Oke, cek, cek, cek.. ehem!
Well, judul “wisuda dan kelulusan”. Catatan sub realitas dari admin Dunia
Alfabetika saudara-saudara J
PART
1: Euforia
Kemarin Selasa, 26 Maret
2013 saya menjalani “ritual” tahunan oh, enggak, empat bulanan dalam setahun,
upacara wisuda di tempat saya kuliah. Rasanya senang luarrrrr biasa! Akhirnya saya
menjalani step tersebut setelah 4,5 tahun menuntut ilmu psikologi. Bangga?
Jelas. senang? Pasti. Nama saya sekarang mendapat tambahan di belakangnya “Sarjana
Psikologi” disingkat S.Psi. Wow! (tak peduli orang tak bilang wow. Buat saya
ini prestasi tersendiri).
Sarjana Psikologi |
Panitia wisuda menghimbau
dan menekankan para wisudawan datang pukul 7 pagi tepat. Saya? yah, telat
sedikit lah. Hehehe. Ribet dandan. Kemudian saya sampai di parkiran kampus C
kemudian oper kereta kelinci bersama kedua orangtua. Hihiih... ternyata untuk
ke sekian kali saya naik kereta kelinci yang sebelumnya saya tumpangi bersama
keponakan saya. Menuju Airlangga Convention Centre (dulunya Auditorium
Universitas Airlangga). Terus, sampai di sana tanda tangan presensi lalu masuk
ke dalam gedung dan langsung cengengas-cengenges berusaha pede dengan make up
super tebal (selalu merasa seperti ondel-ondel berjalan ketika bermake-up)
mencari-cari teman-teman psikologi dan seorang sahabat. Menyapa mereka dengan
menunjukkan deretan gigi dan bersuara tawa. Lalu ngobrol ngalor-ngidul singkat
kata akhirnya upacara berlangsung. Setiap wisudawan dipanggil satu per satu.
dan hebohnya saya sendiri, saya nggak nyangka bakal wisuda bareng sama teman
sekelas SMA namanya Dedi (entah gimana penulisannya) biasa dipanggil Abah,
spontan langsung “Bah, ayo foto Bareng”. Lalu, lebih heboh pengen
jingkrak-jingkrak adalah mata saya sudah ditentukan Tuhan untuk tahu seorang wisudawan
dari fakultas seberang yang pernah membuat hormon-hormon euforia saya
memuncah! Saya suka dia setahun lalu. Hohoho. Untuk memastikan memang dia, saya
perhatikan seksama layar super besar yang menampilkan wajah setiap wisudawan
yang dipanggil menerima piagam wisuda. Ah, nostalgia kembali sejenak.
Upacara wisuda selesai. Maunya
foto bareng dekan tapi semua wisudawan sudha berhamburan. Ya, sudah. Lalu, saya
dan keluarga melesat ke Hotel Cendana, Surabaya. Bukan. Bukan mau booking kamar berlibur, makan mahal. Hanya
pick up adik lelaki saya, Adi. Dia mewakili kabupaten Kediri (bersama ketua
OSISnya) untuk jadi peserta pelestarian cagar budaya Jawa Timur yang diadakan
di hotel itu. So proud of him. Dari sekian
banyak sekolah SMA di kabupaten Kediri (nggak banyak-banyak juga sih) cuman
sekolahnya dia, dan Adi dan temannya, Dista, yang berangkat. Ah, adik saya
itu... beruntung sekali dia bisa lebih aktif berkegiatan tanpa mengabaikan
pelajaran. Nggak seperti saya dulu yang notabene study oriented tapi otak kosong mlompong aslinya. Ini nih, Adi yang
bikin bangga...
Sang (calon) Sarjana |
Usai jemput Adi, balik lagi
deh, ke kampus C Unair. Foto-foto. Walau sadar betul badan bau kecut, muka
kucel, kelaparan, dan oh... pakde yang berbaik hati menyupiri keluarga saya jauh-jauh
dari Pare, ke Surabaya, sudah terlihat sangat payah. Keluarga saya berhutang
budi banyak ke keluarga pakde saya itu. Semoga limpahan rejeki dan berkah
terlimpah untuk keluarga pakde. Tapi, saya dan adik-adik saya plus temannya,
muka badak meluluskan dan memuaskan nafsu narsis!! Foto begini. Foto begitu. Foto
di sana. Foto di sini. Gaya ini. Gaya itu. Ah... kami memuaskan kebahagiaan
kami kemarin. Saya dengan wisuda saya. Adik-adik saya dan temannya dapat
pesangon setelah ikut acara tadi. Hehehe.
Sudjono sekeluarga |
yang muda yang berekspresi euforia |
Ibu dan ayah saya nggak
ketinggalan dong. Romantisme berdua tapi ah, kenapa tidak senyum? O_o
Romantisme Tuan dan Nyonya Sudjono |
Beliau berdua juga foto
sama “anak perempuan” yang lain.
Wif Dista |
Inilah yang saya bangga dan
amat bersyukur pada Sang Khaliq. Orangtua saya menganggap semua orang, terutama
yang memang sudah kenal adalah keluarganya. Semua sepantaran kami anaknya
dianggap anak sendiri semua. Keramahan dan tangan terbuka tak bisa ditutupi
oleh mereka pada siapapun, kapanpun, dimanapun. Kami bukan keluarga kaya dan
tak memberikan banyak materi, tapi kami
punya kasih, kami punya keramahan, kami punya energi, kamu punya doa untuk
sesama. Itulah hidup kami. Tapi, kalau saya boleh berdoa sih, ya bisa jadi
keluarga kaya hati tapi dermawan seperti pak Dahlan Iskan di buku “Sepatu
Dahlan”. Hehehe, dan waktunya sekarang saya mengusahakan.
Part
2: Esensi Kelulusan
Saya lulus telat setengah
tahun. Kenapa? Semua bersumber dari saya pribadi yang malas dan menjadikan
alasan apapun sebagai rasionalisasi telat lulus kuliah. Tapi saya beryukur
karena akhirnya saya sampai ke titik ini. Awal tahun 2012 saya berdoa bisa
wisuda Juli 2012, mundur target. Oke, Oktober, deh. Gagal lagi. Ya, doa saya
pas ulang tahun gagal karena sikap saya sendiri. Berdo’a semata tanpa ada
upaya, N-O-L-B-E-S-A-R saudara-saudara! Itu benar! Tepat! Tapi, ya nggak apalah
nggak bisa wisuda 2012 tapi lulus sidang pada November-Desember 2012. Oke, I’m good. Akhirnya, Maret 2013 bisa
wisuda. Sujud syukur.
Angkat badan kembali tegap.
Kegalauan merasuk.
“Selamat,
ya? Habis ini mau kemana? S2? Kerja? Atau dilamar?”
“Lanjut
S2 kemana?”
“Mau
kerja dimana?”
“Sudah
daftar dimana aja?”
“Mau
kerja apa?”
“Ikut
CPNS aja,”
“Ayo,
banyak lowongan di psikologi,”
“Sudah
ada yang nglamar?”
“Wah,
psikologi, bisa baca orang, dong?”
Dan bla bla bla...
bertubi-tubi orang bicara. Menimbulkan kesenangan, kegundahan, harapan, dan
sedikit sedih. Ucapan selamat membua senang. Tanya mau lanjut sekolah atau
bekerja membuat gundah. Lamaran membuat ada harapan yang entah nampak tak
berujung dan ekspektasi naik satu level soal lulusan sarjana psikologi. Ah,
kegalauan berubah menjadi pening. Tapi, eittss.. saya akan berusaha berpikir
sehat. Saya nggak mau asal kerja hingga membuat ilmu psikologi saya terbuang
percuma. Saya juga tidak mau mengejar pekerjaan bergaji tinggi tapi jiwa tak
pernah bebas. Saya ingin bekerja yang menjadi passion saya. Tak peduli kalau itu memang ikut orang. Maunya sih,
memang berwirausaha. Tapi, saya ingin cari modal dulu. Lagipula, saya cenderung
tipe orang yang suka dipimpin tapi tak suka pimpinan otoriter yang
mencak-mencak seenaknya tanpa peduli kesejahteraan pegawainya. Lalu, pekerjaan
apa itu? Semoga pekerjaan itu berjodoh dengan saya karena saya sudah menaruh “dia”
di satu ruangan khusus di hati saya, meyakininya di otak saya, mendoakan “dia”
di setiap sujud saya. Saya ingin mengerjakan sesuatu dengan hati, dengan
ikhlas, dengan semangat, dengan tanpa bosan, yang membuat saya lebih baik
bermanfaat bagi sesama sehingga rejeki mengikuti saya. Uang ikut saya. Bukan
saya ikut uang. Itulah intisari yang saya ambil dari pesan seorang dosen yang
sudah saya anggap seperti ibu sendiri, menguji sidang skripsi saya, Bu Hamidah
Suryadi. Semoga saya bisa mengamalkannya.
Kelulusan. Tak mudah untuk
pribadi kurang pengalaman seperti saya dan tak berketrampilan apapun. Makanya saya
ingin menulis cerita fiksi dan rutin nge-blog
ini sebagai ketrampilan yang unik sebagai saya sendiri. Rasanya belum siap
melepas status pelajar atau mahasiswa. Orang yang sudah lepas status itu
berganti status lain, terjun ke masyarakat dan tugas perkembangan lainnya
sebagai dewasa awal untuk bekerja. Saya ingin segera bekerja untuk meringankan
beban keluarga dan membuktikan bahwa saya pribadi dewasa awal yang mampu
memenuhi tugas perkembangan saya. Saya ingin merasakan rasanya menikmati gaji
pribadi, membeli ini dan itu, investasi ini dan itu, tabungan ini dan itu dan
semuanya. Gaji yang barokah. Ya, semoga saja saya segera menemukan “jodoh” itu. Amin.
Esensi kelulusan. Kita lulus
melewati sebuah proses, proses belajar. Apapun itu. Bisa pendidikan formal,
pendidikan non formal bahkan pelajaran hidup dalam arti sebenarnya. Jelas bangga
ketika sudah lulus melalui proses belajar dan ujian. Tapi kehidupan ini tak
pernah membebaskan manusia untuk stop menjalani proses belajar. Satu proses
terlampaui, proses lain menyusul, menyusul, menyusul. Semua untuk menempa
manusia untuk lebih baik. Kelulusan kemarin yang saya jalani, salah satu bentuk
dari sekian banyak proses belajar yang saya jalani. Belum banyak tapi satu sisi
saya beryukur, di sisi lain ada beban tersendiri. Tadi, beban merasa belum siap
mengampu tanggungjawab hasil ekspektasi orang lain. Tapi bagaimanapun, hidup
memang tak lepas dari ekspektasi diri pribadi, dari orang lain maupun terhadap
orang lain. Teruslah berharap sebagai tanda kita hidup karena kemungkinan-kemungkinan
harapan jadi kenyataan bisa terjadi kapanpun. Mungkin begitu kali, ya. Dan
harapan untuk lulus dari setiap proses belajar yang dijalani semoga lekas
terwujud dengan upaya yang dimaksimalkan dan biarkan Tuhan bekerja sesuai
kehendakNya setelah kita berusaha dan berdoa. Dan setelah lulus, bisa
menjadikan diri pribadi yang lebih matang dan bijak, bukan berjemawa congkak
membusungkan dada, tidak! Manusia sombong akhirnya terbujur lurus di alam
kubur. Sekian...
But anyway, happy graduation everyone :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Ditunggu kritik dan saran membangun yah :)