Rabu, 27 Maret 2013

Wisuda dan Kelulusan


Oke, cek, cek, cek.. ehem!
Well,  judul “wisuda dan kelulusan”.  Catatan sub realitas dari admin Dunia Alfabetika saudara-saudara J

PART 1: Euforia


Kemarin Selasa, 26 Maret 2013 saya menjalani “ritual” tahunan oh, enggak, empat bulanan dalam setahun, upacara wisuda di tempat saya kuliah. Rasanya senang luarrrrr biasa! Akhirnya saya menjalani step tersebut setelah 4,5 tahun menuntut ilmu psikologi. Bangga? Jelas. senang? Pasti. Nama saya sekarang mendapat tambahan di belakangnya “Sarjana Psikologi” disingkat S.Psi. Wow! (tak peduli orang tak bilang wow. Buat saya ini prestasi tersendiri). 

Sarjana Psikologi
Panitia wisuda menghimbau dan menekankan para wisudawan datang pukul 7 pagi tepat. Saya? yah, telat sedikit lah. Hehehe. Ribet dandan. Kemudian saya sampai di parkiran kampus C kemudian oper kereta kelinci bersama kedua orangtua. Hihiih... ternyata untuk ke sekian kali saya naik kereta kelinci yang sebelumnya saya tumpangi bersama keponakan saya. Menuju Airlangga Convention Centre (dulunya Auditorium Universitas Airlangga). Terus, sampai di sana tanda tangan presensi lalu masuk ke dalam gedung dan langsung cengengas-cengenges berusaha pede dengan make up super tebal (selalu merasa seperti ondel-ondel berjalan ketika bermake-up) mencari-cari teman-teman psikologi dan seorang sahabat. Menyapa mereka dengan menunjukkan deretan gigi dan bersuara tawa. Lalu ngobrol ngalor-ngidul singkat kata akhirnya upacara berlangsung. Setiap wisudawan dipanggil satu per satu. dan hebohnya saya sendiri, saya nggak nyangka bakal wisuda bareng sama teman sekelas SMA namanya Dedi (entah gimana penulisannya) biasa dipanggil Abah, spontan langsung “Bah, ayo foto Bareng”. Lalu, lebih heboh pengen jingkrak-jingkrak adalah mata saya sudah ditentukan Tuhan untuk tahu seorang wisudawan dari fakultas seberang yang pernah membuat hormon-hormon euforia saya memuncah! Saya suka dia setahun lalu. Hohoho. Untuk memastikan memang dia, saya perhatikan seksama layar super besar yang menampilkan wajah setiap wisudawan yang dipanggil menerima piagam wisuda. Ah, nostalgia kembali sejenak.

Upacara wisuda selesai. Maunya foto bareng dekan tapi semua wisudawan sudha berhamburan. Ya, sudah. Lalu, saya dan keluarga melesat ke Hotel Cendana, Surabaya. Bukan. Bukan mau booking kamar berlibur, makan mahal. Hanya pick up adik lelaki saya, Adi. Dia mewakili kabupaten Kediri (bersama ketua OSISnya) untuk jadi peserta pelestarian cagar budaya Jawa Timur yang diadakan di hotel itu. So proud of him. Dari sekian banyak sekolah SMA di kabupaten Kediri (nggak banyak-banyak juga sih) cuman sekolahnya dia, dan Adi dan temannya, Dista, yang berangkat. Ah, adik saya itu... beruntung sekali dia bisa lebih aktif berkegiatan tanpa mengabaikan pelajaran. Nggak seperti saya dulu yang notabene study oriented tapi otak kosong mlompong aslinya. Ini nih, Adi yang bikin bangga...
Sang (calon) Sarjana

Usai jemput Adi, balik lagi deh, ke kampus C Unair. Foto-foto. Walau sadar betul badan bau kecut, muka kucel, kelaparan, dan oh... pakde yang berbaik hati menyupiri keluarga saya jauh-jauh dari Pare, ke Surabaya, sudah terlihat sangat payah. Keluarga saya berhutang budi banyak ke keluarga pakde saya itu. Semoga limpahan rejeki dan berkah terlimpah untuk keluarga pakde. Tapi, saya dan adik-adik saya plus temannya, muka badak meluluskan dan memuaskan nafsu narsis!! Foto begini. Foto begitu. Foto di sana. Foto di sini. Gaya ini. Gaya itu. Ah... kami memuaskan kebahagiaan kami kemarin. Saya dengan wisuda saya. Adik-adik saya dan temannya dapat pesangon setelah ikut acara tadi. Hehehe.
Sudjono sekeluarga
yang muda yang berekspresi euforia
Ibu dan ayah saya nggak ketinggalan dong. Romantisme berdua tapi ah, kenapa tidak senyum? O_o
Romantisme Tuan dan Nyonya Sudjono

Beliau berdua juga foto sama “anak perempuan” yang lain.
Wif Dista
Inilah yang saya bangga dan amat bersyukur pada Sang Khaliq. Orangtua saya menganggap semua orang, terutama yang memang sudah kenal adalah keluarganya. Semua sepantaran kami anaknya dianggap anak sendiri semua. Keramahan dan tangan terbuka tak bisa ditutupi oleh mereka pada siapapun, kapanpun, dimanapun. Kami bukan keluarga kaya dan tak memberikan banyak  materi, tapi kami punya kasih, kami punya keramahan, kami punya energi, kamu punya doa untuk sesama. Itulah hidup kami. Tapi, kalau saya boleh berdoa sih, ya bisa jadi keluarga kaya hati tapi dermawan seperti pak Dahlan Iskan di buku “Sepatu Dahlan”. Hehehe, dan waktunya sekarang saya mengusahakan.

Part 2: Esensi Kelulusan
Saya lulus telat setengah tahun. Kenapa? Semua bersumber dari saya pribadi yang malas dan menjadikan alasan apapun sebagai rasionalisasi telat lulus kuliah. Tapi saya beryukur karena akhirnya saya sampai ke titik ini. Awal tahun 2012 saya berdoa bisa wisuda Juli 2012, mundur target. Oke, Oktober, deh. Gagal lagi. Ya, doa saya pas ulang tahun gagal karena sikap saya sendiri. Berdo’a semata tanpa ada upaya, N-O-L-B-E-S-A-R saudara-saudara! Itu benar! Tepat! Tapi, ya nggak apalah nggak bisa wisuda 2012 tapi lulus sidang pada November-Desember 2012. Oke, I’m good. Akhirnya, Maret 2013 bisa wisuda. Sujud syukur.
Angkat badan kembali tegap. Kegalauan merasuk.
“Selamat, ya? Habis ini mau kemana? S2? Kerja? Atau dilamar?”
“Lanjut S2 kemana?”
“Mau kerja dimana?”
“Sudah daftar dimana aja?”
“Mau kerja apa?”
“Ikut CPNS aja,”
“Ayo, banyak lowongan di psikologi,”
“Sudah ada yang nglamar?”
“Wah, psikologi, bisa baca orang, dong?”

Dan bla bla bla... bertubi-tubi orang bicara. Menimbulkan kesenangan, kegundahan, harapan, dan sedikit sedih. Ucapan selamat membua senang. Tanya mau lanjut sekolah atau bekerja membuat gundah. Lamaran membuat ada harapan yang entah nampak tak berujung dan ekspektasi naik satu level soal lulusan sarjana psikologi. Ah, kegalauan berubah menjadi pening. Tapi, eittss.. saya akan berusaha berpikir sehat. Saya nggak mau asal kerja hingga membuat ilmu psikologi saya terbuang percuma. Saya juga tidak mau mengejar pekerjaan bergaji tinggi tapi jiwa tak pernah bebas. Saya ingin bekerja yang menjadi passion saya. Tak peduli kalau itu memang ikut orang. Maunya sih, memang berwirausaha. Tapi, saya ingin cari modal dulu. Lagipula, saya cenderung tipe orang yang suka dipimpin tapi tak suka pimpinan otoriter yang mencak-mencak seenaknya tanpa peduli kesejahteraan pegawainya. Lalu, pekerjaan apa itu? Semoga pekerjaan itu berjodoh dengan saya karena saya sudah menaruh “dia” di satu ruangan khusus di hati saya, meyakininya di otak saya, mendoakan “dia” di setiap sujud saya. Saya ingin mengerjakan sesuatu dengan hati, dengan ikhlas, dengan semangat, dengan tanpa bosan, yang membuat saya lebih baik bermanfaat bagi sesama sehingga rejeki mengikuti saya. Uang ikut saya. Bukan saya ikut uang. Itulah intisari yang saya ambil dari pesan seorang dosen yang sudah saya anggap seperti ibu sendiri, menguji sidang skripsi saya, Bu Hamidah Suryadi. Semoga saya bisa mengamalkannya.

Kelulusan. Tak mudah untuk pribadi kurang pengalaman seperti saya dan tak berketrampilan apapun. Makanya saya ingin menulis cerita fiksi dan rutin nge-blog ini sebagai ketrampilan yang unik sebagai saya sendiri. Rasanya belum siap melepas status pelajar atau mahasiswa. Orang yang sudah lepas status itu berganti status lain, terjun ke masyarakat dan tugas perkembangan lainnya sebagai dewasa awal untuk bekerja. Saya ingin segera bekerja untuk meringankan beban keluarga dan membuktikan bahwa saya pribadi dewasa awal yang mampu memenuhi tugas perkembangan saya. Saya ingin merasakan rasanya menikmati gaji pribadi, membeli ini dan itu, investasi ini dan itu, tabungan ini dan itu dan semuanya. Gaji yang barokah. Ya, semoga saja saya segera menemukan “jodoh”  itu. Amin.

Esensi kelulusan. Kita lulus melewati sebuah proses, proses belajar. Apapun itu. Bisa pendidikan formal, pendidikan non formal bahkan pelajaran hidup dalam arti sebenarnya. Jelas bangga ketika sudah lulus melalui proses belajar dan ujian. Tapi kehidupan ini tak pernah membebaskan manusia untuk stop menjalani proses belajar. Satu proses terlampaui, proses lain menyusul, menyusul, menyusul. Semua untuk menempa manusia untuk lebih baik. Kelulusan kemarin yang saya jalani, salah satu bentuk dari sekian banyak proses belajar yang saya jalani. Belum banyak tapi satu sisi saya beryukur, di sisi lain ada beban tersendiri. Tadi, beban merasa belum siap mengampu tanggungjawab hasil ekspektasi orang lain. Tapi bagaimanapun, hidup memang tak lepas dari ekspektasi diri pribadi, dari orang lain maupun terhadap orang lain. Teruslah berharap sebagai tanda kita hidup karena kemungkinan-kemungkinan harapan jadi kenyataan bisa terjadi kapanpun. Mungkin begitu kali, ya. Dan harapan untuk lulus dari setiap proses belajar yang dijalani semoga lekas terwujud dengan upaya yang dimaksimalkan dan biarkan Tuhan bekerja sesuai kehendakNya setelah kita berusaha dan berdoa. Dan setelah lulus, bisa menjadikan diri pribadi yang lebih matang dan bijak, bukan berjemawa congkak membusungkan dada, tidak! Manusia sombong akhirnya terbujur lurus di alam kubur. Sekian...
 But anyway, happy graduation everyone :)





Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ditunggu kritik dan saran membangun yah :)