Lelakiku
wanitaku
Dua gelas
ukuran jumbo ada di hadapanku kosong menyisakan es batu saja. Isinya berupa es
teh jeruk sudah aku tenggak habis. Tapi rupanya aku masih kehausan. Surabaya
begitu panas beberapa hari terakhir. Minum es dua gelas jumbo tak serta merta
mengusir dahagaku. Mungkin lebih baik aku berendam di kamar mandi saja atau
membiarkan shower di kontrakan
mengalir deras mengguyur badanku. Tapi eh, aku masih belum rela beranjak dari
tempat ini walaupun kegerahan sudah kurasakan semenjak satu jam berlalu. Ada
"pemandangan" menakjubkan yang tak bisa kutinggalkan begitu saja.
Seseorang di suatu sudut asyik berhaha-hihi bersama gerombolannya.
Senyumnya manis, kepalanya nyaris plontos,
macho dengan tubuh atletisnya yang tak berlebihan. Tahu Vin Diesel yang bermain
di Chronicle of Riddick atau yang
paling tak asing adalah Fast and Furious?
Yap, seperti itulah "pemandangan" yang kumaksud tadi. Bukan versi
aslinya, mungkin ini versi duplikatnya dalam versi Indonesia. Aku tak jelas apa
yang ia bicarakan dengan kawan-kawannya. Mereka semua nampak gagah dengan gaya
rapi casual. Aku memerhatikan mereka,
teristimewa lelaki duplikatnya Vin Diesel.
"Mbak mau
pesen minum lagi?" tanya seorang pelayan.
Aku
"bangun" dari lamunanku mengagumi ciptaan Tuhan satu itu.
"Oh,
boleh, Mas. Satu gelas super jumbo lagi, ya? Sama kayak tadi, ya?,"
pintaku.
“Ditunggu ya,
Mbak?”
Pelayan itu
hendak pergi tapi aku bergegas menghadangnya.
"Iya,
Mbak?"
"Mas, mau
tanya," suara kulirihkan. "... lelaki itu siapa?" tanyaku begitu
saja tanpa berkedip menatap lelaki di sudut sana.
"Yang mana
ya, Mbak?" tanya pelayan itu.
"Itu yang
plontos, kemeja garis-garis," sahutku.
"Wah, maaf
Mbak, saya kurang tahu. Tapi dia memang sering kemari Mbak,"
"Oh,
begitu. Oke, terima kasih. Saya tunggu esnya ya?"
Pelayan itu
pergi dan aku kembali memerhatikan lelaki itu tanpa jeda. Di dalam hatiku aku
mengumpat-umpat memuji-muji kesempurnaan desain Tuhan yang ada di hadapanku.
Mengapa ada lelaki setampan itu?
Ketika asyik
mengalunkan segala sanjung puji di dalam hati, keasyikanku musnah seketika
bersambung dengan rasa tak nyaman dan akhirnya seluruh syaraf maluku bekerja
membuat yah, mungkin sekarang pipiku sudah merah merona. Jantungku berdegup
cepat mendadak. Gerak-gerikku tak bisa kukontrol. Aku salah tingkah. Mata tajam
lelaki itu sekonyong-konyong menyorot ke arahku! Mampus! Hatiku meleleh
seketika kemudian. Aku menolehkan kepalaku ke kanan, ke kiri, memutar arah
bolah mataku ke atas, ke bawah, tak fokus! Aku bingung berekspresi bagaimana,
melakukan apa setelah tertangkap basah memandanginya.
Sepersekian
menit aku mencuri pandang lagi. Masihkah dia melihatku? Masih. Melihat tanpa
ekspresi. Tuhan, apa-apaan ini? Aku kembali melempar arah pandanganku ke lain
arah. Aku tak bisa berlama-lama di sini. Aku harus pergi sebelum aku semakin
salah tingkah. Aku tak bisa ditatap orang begitu tajam berlama-lama. Aku
mengemasi barang-barangku yang berserakan di meja dan segera pergi.
Kutinggalkan pesananku dan segera ke kasir. Aku tak berani menatap ke arah
lelaki itu.
Aku
terburu-buru sampai serampangan berjalan dan akhirnya menabrak seorang wanita
super bohay, lebih bohay dariku yang sudah terkenal bohay –menurut sepupu
lelakiku-. Aku seketika memohon maaf. Lalu, mendadak ada suara lantang
memanggil nama wanita itu. Aku menoleh juga, refleks. Lelaki itu yang memanggil
wanita yang kutabrak tadi. Ia melambaikan tangan kepada wanita itu. Kepalaku
tak bisa kupalingkan dari lelaki itu dan wanita tadi. Secara tiba-tiba saja aku
merasa kecil hati. Ah, lelaki tampan dan gagah dengan wanita cantik seksi.
Nampaknya mereka juga bukan dari kalangan proletar semacam diriku. Mereka
borjuis. Ah, lupakan! Aku akhirnya memaksakan seluruh tubuhku meninggalkan
tempat itu.
@@@
Seminggu
berlalu. Aku kembali ke café itu. Menghabiskan jam makan siangku di sana
sendiri sebelum kembali berkutat dengan para klien bunda Tantri yang sudah
antri ingin konsultasi dari jauh-jauh hari.
Pekerjaanku
memang hanya sebagai resepsionis di sebuah biro konsultasi psikologi ternama
milik psikolog yang sudah aku anggap sebagai ibuku sendiri tapi kebosanan
acapkali aku rasakan. Interaksi dengan para klien yang antri padat setiap hari
kerja membuatku cukup jengah. Mendata mereka, mengatur jadwal pertemuan mereka
dengan bunda Tantri atau psikolog lain, membuat mereka bersabar menunggu
giliran mereka, bahkan menerima segala macam komplain dari mereka, termasuk
membantu asisten bunda Tantri mengelola administrasi data-data klien yang sudah
ada juga kukerjakan beberapa kali.
Bosan tak bisa
kutolak. Mungkin pekerja lain juga pernah merasakan bosan. Wajar. Aku ambil
sisi positifnya. Rutinitas sehari-hari itu membuatku belajar untuk bisa
mengendalikan diri ketimbang masa laluku yang meloloskan semua impulsivitasku
terhadap apapun yang aku kehendaki. Kesabaran sebagai resepsionis yang awalnya
berat itu sudah cukup berhasil membuatku mengendalikan impulsivitasku walaupun
belum seratus persen.
Kuusir
kejengahanku dengan izin keluar makan siang di café seberang kantor. Sebenarnya
kantorku tidak mengondisikan karyawannya yang hanya beberapa orang untuk keluar
makan siang bahkan jam istirahat pun aslinya tak menentu. Istirahat siang pada
pukul dua belas siang hanya aturan tak tertulis jika memang ada yang sudah
bebas dari pekerjaan. Kalau masih ada klien, aku juga harus melayani mereka.
Kalau mereka masuk konsultasi dan tak ada yang bisa menggantikanku, aku
terpaksa makan siang di tempatku semula. Kalau ada penggantiku, aku dengan
sangat senang hati pergi keluar dan hanya ingin sendirian. Bandel. Tak ada
karyawan lain yang senang makan di luar sepertiku. Hanya aku yang sering nekat
keluar makan siang, yang lain tetap berada di kantor. Itu karena aku bosan.
Kalau bisa keluar kenapa tidak keluar cari suasana baru. Dan di café seberang
kantor aku memusnahkan kejengahanku sejenak. Dan beberapa waktu terakhir hormon
kesenanganku semakin banyak karena lelaki tempo hari. Ah... senangnya jika hari
ini aku bisa bertemu kembali.
Belum ada satu
menit aku memanjatkan doa pada Tuhan, muncul sosok itu lagi datang bersama
kawanannya. Aih... detak jantungku cepat seketika. Aku meletakkan telapak
tanganku di sana, merasakan benar-benar detak jantung yang makin cepat. Dan
mataku terus tertuju padanya dan sialnya baru saja aku memerhatikannya dia
mendadak sigap menoleh ke arahku. Aku reflek memalingkan muka. Leherku
tercekat. Aku tak bisa bertindak aneh-aneh, alih-alih pergi. Aku kelaparan.
Pesan makanan saja belum. Biarkan saja. Aku akan terus di sini. Makan dengan
kondisi tegang, bagaimana rasanya? Entah.
Beberapa menit
berlalu aku menikmati makananku. Tak kurasakan apapun dari makanan itu tapi
perutku akhirnya mengenyang. Es di hadapanku hanya berasa dingin. Aku tak
mencecap dengan baik setiap apa yang masuk ke mulutku baru saja. Saraf tegangku
sedang aktif. Itu karena aku sudah dua kali tertangkap basah oleh lelaki itu.
Aku yakin aku tertangkap pasti olehnya. Nyatanya aku langsung merasa seperti
maling kepergok mencuri. Dan perasaanku sering tak meleset.
Rasa ini agak
menyesakkan. Membuat kandung kemihku menimbulkan efek ingin ke toilet. Aku
bergegas ke toilet usai menyantap makananku.
Lima menit
berlalu. Aku masih berusaha mengontrol distribusi oksigen dan karbondioksidaku
dan degupan jantungku. Berusaha agar nanti ketika keluar dari toilet dan
melewati lelaki itu aku bisa berlaku elegan. Aku berkaca di depan cermin.
Melakukan self talk bahwa aku bisa
melaluinya. Aku keluar dari toilet dengan janutng berdegup cepat dan tak sangka
ada peristiwa yang membuatku menganga. Seseorang menabrakku. Aku kesakitan lalu
aku mulai fokus siapa itu. Mataku hendak copot. Beberapa detik aku sempat tak
bernafas. Wajah itu tersenyum padaku.
“Ada yang salah
dariku, Nona?” suaranya lelaki sekali.
Aku salah
tingkah. “Tid-tidak,” sahutku terbata-bata.
“Lalu?”
“Lal-lalu?”
tanyaku balik.
“Kenapa kamu
tak berkedip memerhatikanku?” tanyanya masih tersenyum, mungkin senyum
menggoda. Entah apa. Aku menggeleng.
Dia
mencondongkan tubuhnya ke arahku seraya berkata,“Mata wanita yang sedang jatuh
hati tak pernah berbohong,” dia berbisik di telingaku, dekat sekali. Bibirnya
separuh menempel di telingaku. Kembali aku melemah tak berdaya.
Dia menegapkan
diri lalu mengulurkan tangannya.
“Evan,”
katanya.
Aku agak ragu
menyambutnya tapi akhirnya aku memperkenalkan diri juga.
“Febri,”
“Senang
berkenalan denganmu. Nanti malam ada pesta kecil di rumahku. Adikku berhasil
menembus beasiswa Boston University, silakan datang! Apartemen jalan protokol
dekat sini, kok. Senang jika kamu bisa datang, Nona Febri,” ujarnya nampak
bersemangat.
Aku tersenyum.
Lelaki ini baru saja bicara sudah menawarkan undangan. Ramah sekali pikirku.
“Pastikan kamu
datang, ya? Ini PINku, hubungi aku segera jika kamu berkenan. Pastikan kamu
berkenan datang, honey!”
Bbhhh... maut.
Baru saja berkenalan sudah dipanggil honey
aku. Meleleh bukan main. Aku ingin salto di tempat. Tapi ah... ini akan menjadi
hal memalukan. Benar kata sepupuku dan sahabatku, aku mudah terlena pada
keindahan. Mudah tertipu. Semoga kali ini tidak.
...
Aku baru saja
pulang dari kantor. Tak ada lagi yang aku kerjakan sepulang kerja. Aku teringat
undangan Evan tadi siang. Tapi apakah aku pantas datang begitu saja? Aku baru
saja kenal dengannya. Tapi daripada aku menganggur bosan di kontrakan.
Menimbang berulang kali tawaran Evan akhirnya aku putuskan aku datang ke pesta
adik Evan. Aku coba hubungi Evan untuk memastikan aku datang.
Aku sudah
melewati puluhan meter jarak dari kontrakanku ke apartemen Evan. Aku sudah ada
di depan pintu apartemen Evan. Aku memencet bel sekali. Sekali langsung ada
yang membukakan pintu. Seorang lelaki yang tak asing bagiku. Dia sering bersama
Evan di café. Dia tersenyum dan mempersilakan aku masuk.
“Febri?”
tanyanya. “Evan masih terima telepon, tunggu di dalam, ya? Anggap aja rumah
sendiri, Feb!” lanjutnya.
Aku tersenyum
dan melangkah masuk. Tak seberapa ramai, ada tiga lelaki, empat termasuk Evan
di luar sana. Dan aku. Lalu mataku menjelajahi seisi ruangan apartemen itu.
Nuansa interior Amrik kental di sini. Fokusku jatuh ke suatu foto yang terpajang
cukup besar di dinding. Mataku fokus. Dua wanita. Salah satunya aku tahu. Iya,
wanita yang kutabrak di café beberapa waktu lalu. Ingatanku memang selalu
pasti, sekalipun pada hal sepintas lalu. Apa hubungan wanita ini dan Evan?
Otakku masih belum menemukan titik terang pertanyaanku sendiri. Lalu, wanita di
sampingnya sepertinya... sepertinya tak asing bagiku. Tapi aku juga tak tahu.
Tanyaku makin banyak.
Aku melihat
Evan agak samar dari balik tirai jendela. Aku tersenyum sendiri mengagumi
segala tindak-tanduknya. Aku mendekatinya dari balik jendela, menyingkap tirai.
Tak kupedulikan tiga lelaki yang ramai di belakangku. Kembali aku takjub. Pesona
Evan malam ini sungguh sempurna!
Maskulin menonjol memukau! Kemeja dengan dua kancing atas terbuka merepresentasikan
bidang tubuhnya. Kakiku hendak melangkah mendekatinya lebih dekat lagi tapi
seketika terhenti. Seorang wanita berjalan menuju ke arahnya. Dari mana wanita
itu berasal?
Wanita itu
mendekatkan tubuhnya pada Evan yang baru saja menutup teleponnya. Semakin
dekat, dekat, rapat, lekat! Wajah mereka saling mendekat, seolah ada daya
magnet dari masing-masing pihak. Dekat, dekat, melekat dan akhirnya mencecap.
Aku menutup mataku beberapa detik. Kubuka dan mereka masih menikmati itu. Hancur!
Hatiku hancur! Lelah aku datang kemari penuh harap bisa merasakan kesenangan
bertemu Evan, pemandangan laknat ini yang kutemui. Aku menarik diriku spontan
tanpa kusadari di belakangku lelaki bernama Dion yang tadi membukakan pintu
untukku. Aku terjatuh.
“Febri, kamu nggak apa?” serunya.
Aku menggeleng
kuat. Ia membantuku berdiri.
“Febri!” suara
Evan terdengar.
Evan
menghampiriku bersama wanita itu. Ternyata wanita yang di foto dan kutabrak di café
tempo hari.
“Kamu dari
tadi?” tanya Evan.
Aku mengangguk.
“Maaf,” aku
mengucap maaf begitu saja.
“Kenapa harus
minta maaf?” tanya Evan.
“Aku tak
sengaja melihat itu,” jawabku.
“Itu apa?”
tanya Evan.
“Dia ngelihat
kamu kissing sama Jane, Van!” sahut
Dion.
“Oh, nggak masalah, Feb! Kita di sini
sama-sama dewasa jadi bukan hal tabu lagi, kan?” tungkas Evan.
“Dia Febri yang
kamu ceritakan itu?” tanya wanita bernama Jane itu.
Evan
mengangguk. Jane mengulurkan tangan padaku dan mencium pipi kiri dan kananku.
“Evan sudah
memerhatikanmu lama. Bodohnya dia baru menyapamu hari ini dan sekonyong-konyong
mengundangmu ke sini. Ini trik dia menggoda wanita, Feb. Berhati-hatilah, Evan player,” ujar Jane. Aku tersenyum
terpaksa mencoba membaur dengan suasana yang ada. Di satu sisi aku sedikit terpana, Evan
memerhatikanku? Lama? Artinya selama ini dia juga ada rasa padaku? Ah...
senang!
Pesta berjalan
sampai jam dinding menunjukkan pukul sebelas malam. Mereka semua teler. Hanya
aku dan Evan yang masih sadar. Aku memang tak pernah sekalipun mengecap minuman
beralkohol seumur hidupku. Aku juga tak suka baunya. Minuman memabukkan juga
meninggalkan luka lama bagiku. Ayahku meregang nyawa setelah pesta miras di
kampungku sana.
Aku dan Evan
duduk di luar menikmati malam Surabaya. Langit malam itu cerah. Berlian-berlian
seperti kata Rihanna berkelip indah di sana. Kami berdua duduk dekat tak ada
sekat.
“Terima kasih
sudah mau datang,” celetuk Evan.
“Sama-sama.
Tapi maaf aku tak membawa apa-apa. Aku tak enak pada Jane,” sahutku.
“Tenang saja.
Jane tak butuh itu. Dia itu hanya ingin orang-orang yang dia sayangi ada di
sekitarnya setiap saat. Itu hadiah terindah baginya,”
“Lalu bagaimana
kalau dia hidup di Amrik? Dia bakal sendiri,”
“Siapa bilang?
Ibunya ada di sana, kok,”
Aku mengangguk.
Suasana hening sejenak. Lalu ada pertanyaan mengusik pikiranku.
“Jane itu
adikmu?” tanyaku. Evan mengangguk.
“Bukan adik
kandung. Aku dan dia pernah terlibat hubungan asmara ketika masih SMA,”
Deg! Asmara?
Tanyaku terjawab. Hatiku sakit lagi.
“Dulu. Tapi
sekarang kami sudah seperti saudara sendiri. Dia adalah wanita terhebat dan
terbaik yang pernah kutemui. Dia selalu ada saat aku benar-benar jatuh dan menggenggam
tanganku agar tak lepas kontrol ketika bahagia. Super women,”
Cih! Di depanku
dia memuji wanita lain. Lihat aku! Aku ada rasa untukmu! Aku mengomel spontan
dalam hati.
“Hebat ya,
dia...” pujiku terpaksa.
Evan diam lalu
menatap erat dan tajam membuatku salah tingkah lagi dan lagi.
“Bagaimana
denganmu, Nona?” tanyanya.
“Ak-ak-aku? Aku
bukan super women,” sahutku
terbata-bata.
“Jangan! Jangan
jadi wanita super! Aku ingin dirimu adanya dirimu seperti ini,”
Aku mendengar
desahan nafas Evan semakin dekat di hadapanku. Mataku tak bisa beralih dari
tatapan matanya yang hanya beberapa inci dari mataku.
“Jane wanita
super yang pernah kupunya tak bisa aku terima karena aku tak ingin didominasi.
Aku... ingin... wanita... sepertimu,” lanjutnya lalu seolah bumi berhenti
berputar beberapa detik. Rasanya sempurna. Ini bukan pertama kalinya aku
berciuman tapi hanya ciuman Evan yang begitu hangat menyesap kuat, bukan semata
nafsu liar.
Evan
membopongku ke dalam. Kami tak peduli pada mereka yang sudah tergelepar tak
jelas di sofa. Evan membawaku masuk ke kamarnya. Di dalam sana sebuah aktivitas
dua insan sedang terlena terjadi dan kemudian sampai pada satu titik kami
berdua tercengang! Rahasiaku terbongkar! Rahasia Evan!
"Kamu??!!"
ucapku dan dia bersamaan saking kagetnya.
"Ya,"
ucapnya.
"Ya,"
sahutku.
Kami berdua
masih memasang wajah tercengang.
"Ternyata
kita sama saja," ujarnya.
"Aku
sendiri tak menyangka," sahutku.
Kami mengambil
jarak duduk dengan rileks di ranjang itu.
“Sungguh di
luar dugaan. Hhh. Kamu wanita bertampang lelaki,” celetukku.
“Aku juga tak
menyangka kamu lelaki. Hidup ini menakjubkan! Hehe,” tungkasnya.
Kami tergelak
tawa akhirnya.
“Andai kata
kita masih pada kodrat kita masing-masing, apakah kita merasakan seperti ini?”
tanyaku tiba-tiba.
“Mungkin,”
“Kita akan
berlanjut?” tanyaku.
“Tentu. Aku
ingin kita berlanjut,”
“Berlanjut
seperti apa?”
“Kita jalani
saja. Kita berjalan sampai menemukan ujung,” ujar Evan mantab sembari
menyorotkan tatapannya padaku, kali ini hangat. Ia memberikan senyuman
terindahnya lagi.
“Aku
mencintaimu siapapun dirimu,” tambahnya. Tangannya merengkuh kepalaku dan
mengelusnya lembut. Tak nyana semenjak malam itu dia lelakiku sekaligus wanitaku,
begitu pula sebaliknya.
@@@
Hai Agustin :) Saya dari KampungFiksi ^_^ Terus berkarya ya.
BalasHapusTwisted... Haha, nggak nyangka ternyata mereka 'berbeda' tapi jadi 'klop' ;)
wah, terima kasih responnya... cepet banget. slm kenal ya. ^^
BalasHapusamin amin amin...
Ceritanya keren, bikin ingin terus membacanya sampai tandas. Lebih asik lagi kalau dibuat lebih natural. Itu amazing banget, meskipun kemungkinan seperti itu boleh jadi ada.
BalasHapusKeren. Terus menulis ya Tin
kalau boleh tahu natural seperti apa mas? terima kasih banyak ya mas :)
BalasHapusUnpredictable ending. Kalau bisa ditambahin lagi eksplorasi seputar transgender dek. Kaya faktor2 yg melatarbelakangi knapa transgender bs terjadi. Esp. diliat dari sisi science. So, selain dapat drama, pembaca juga dapat additional knowledge. Tapi overall sip, aku membaca dari awal sampai akhir ga terlewat satu kata pun.
BalasHapusmb Sisimaya wokee... trm ksh byk masukannya :)
BalasHapus