Rabu, 16 Mei 2012

cerpen "Pangeran Bad Boy"


Pangeran Bad Boy

“Eh, Mbak Runi, tahu nggak kita dapet tetangga baru!” celetuk Fara, adik satu-satunya Runi ketika mereka sedang sarapan.
“Oh, ya?” sahut Runi sibuk mengoleskan selai coklat kacangnya pada roti di tangannya.
“Orangnya cakee.....pp banget! Dia keponakannya bu Hasan sebelah kita ini,” lanjut Fara.
“Bagus dong!” kata Runi.
“Maksudnya bagus?” tanya Fara heran.
“Itu artinya kamu sudah doyan cowok!”
“Ye...emang kemarin-kemarin Mbak anggep apa aku ini?”
Runi melempar senyum pada Fara.
“Sudah, sekarang cepetan makan itu roti! Mbak buru-buru ke kampus mau konsultasi tesis dan jam sepuluh Mbak ada meeting di kantor,” ujar Runi sambil berbenah diri menyelesaikan sarapannya dan segera menyambar tasnya menuju keluar rumah.
“Eh, tunggu! Tunggu!!” kata Fara sambil mulutnya penuh dengan roti dan sama terburu-burunya akibat paksaan Runi.
Runi dan Fara menuju mobil VW Beattle lawas peninggalan almarhum ayah mereka yang sudah siap di depan rumah mereka. Runi pun segera memanasi ulang mobilnya sementara Fara mengunci pagar rumah mereka. Kemudian lelaki yang dikatakan Fara tadi di ruang makan nongol menyapa Fara.
“Hai, cantik! Mau berangkat sekolah, ya??” sapa si lelaki sambil menaik-turunkan kedua alisnya.
“Eh, Mas Raja. Iya,” sahut Fara.
“Sama siapa?” tanya Raja lagi.
“Mbak Runi. Dia kakakku satu-satunya. Itu dia di dalam mobil. Aku kenalin, yok!” ajak Fara.
“Boleh,”
Fara dan lelaki bernama Raja itu menghampiri Runi.
“Mbak, ini mas yang kuceritakan keponakannya bu Hasan. Namanya mas Raja,” kata Fara.
Runi menolehkan pandangannya pada Raja. Keduanya bertemu pandang.
“KAMU????!!!!” ucap keduanya bersamaan.
“Loh, kalian sudah saling kenal??? Bagus, dong!” sahut Fara.
Runi keluar dari mobil dan langsung ngomel-ngomel.
“Kamu masih punya hutang ya, sama aku! Gara-gara kamu kameraku rusak!!!” kata Runi.
“Oke. Berapa sih, harga kamera itu. Paling juga sejutaan,” tungkas Raja.
“Sejutaan??? Kamu bilang sejutaan?? Aku beli kamera itu dengan menguras semua tabunganku selama dua tahun!!” lanjut Runi geram.
“Iya deh, nanti gue mintain sama tante gue. Dia pasti ngasih, kok!” balas Raja.
“Kebetulan ya, kamu tinggal tepat di sebelah rumahku jadi aku nggak susah-susah lagi nyari pengecut macem kamu!!” tuduh Runi.
“Apa loe bilang???!!! Pengecut!! Jaga ya, mulut elo! Gue bukan lelaki pengecut!” balas Raja.
“Kalau bukan pengecut apa? Badan aja yang gede, gaya preman pasar tattoan sana-sini, suruh ganti rugi aja sampai enam bulan nggak diganti juga,”
“Aduh, Mbak Runi, Mas Raja, berantemnya nanti aja, dong! Fara udah telat, nih!” kata Fara memutus adu mulut Runi dan Raja.
Runi dan Fara masuk ke dalam mobil. Tapi Runi dan Raja masih tetap sewot-sewotan.
JJJ
Runi nampak sibuk di kantornya. Sudah tiga tahun ini ia bekerja menjadi wartawan di sebuah perusahaan media cetak terbesar di kotanya. Dia menjadi wartawan setelah dia lulus kuliah S1-nya di bidang ilmu komunikasi. Jiwa jurnalisnya sudah tumbuh semenjak dia SMP. Maka dari itu, dia fokus menekuni bidang itu. Saat ini ia sedang menyusun tesisnya.
Runi hanya tinggal bersama Fara semenjak ayah mereka meninggal empat tahun lalu. Ayah mereka meninggal karena depresi ditinggal pergi ibu mereka dengan lelaki lain sehingga ayah mereka mengalami serangan jantung. Runi sangat terpukul dengan keadaan itu dan harus mengolah otak untuk tetap bisa bertahan hidup bersama adiknya. Untungnya, Runi segera mendapatkan pekerjaan usai lulus kuliah. Meskipun ironisnya ketika ia wisuda S1 dulu, dia hanya ditemani sang adik, tanpa ayah dan ibu. Dan Runi pun memulai kehidupannya dan adiknya mulai dari nol. Dari hasil kerjanya, ia bisa mencukupi biaya hidupnya dan adiknya, membiayai sekolah adiknya, dan sedikit saving meski jarang bisa.
...
Jam dinding menunjukkan jam makan siang. Runi berencana makan siang bersama kekasihnya, Robby yang juga bekerja di tempat yang sama dengan Runi sebagai staff HRD. Mereka sudah pacaran selama tiga tahun semenjak mereka sama-sama melamar pekerjaan di perusahaan tempat mereka bekerja sekarang.
Runi dan Robby janjian bertemu di kantin langsung tepat pukul dua belas. Selama perjalanan menuju kantin, Runi resah mau bilang apa kalau cincin pemberian Robby sudah tidak ia pakai karena hilang entah kemana saat ia membersihkan kamar mandi kemarin pagi. Padahal Robby pernah bilang jangan sampai cincin itu rusak apalagi hilang karena itu artinya Runi nggak menghargai Robby sebagai kekasihnya.
“Dia pasti marah aku nggak pakai cincin itu,” gumam Runi.
Tiba-tiba Robby menyapanya dari belakang.
“Hai, Sayang!” sapa Robby sambil tersenyum.
“Eh, kamu ngagetin aja,”
“Hari ini mau makan apa?”
“Eh, ee...ehm..terserah...” jawab Runi agak salah tingkah tapi Robby tak menyadari itu.
“Kalau begitu...kita makan di luar aja, ya?” tawar Robby disambut anggukan Runi.
Mereka berdua memutuskan makan siang di food court sebuah mall yang tak terlalu jauh dari tempat mereka bekerja. Untuk sejenak Runi tenang, Robby tak bicara apa-apa menyinggung soal kalung. Tapi beberapa menit kemudian ketika ia sudah merasa “aman”, Robby bertanya dengan dinginnya.
“Kemana cincinnya?”
Jantung Runi berdegup kencang.
“Ehm, anu...ee...lupa, Yang! Maaf ya, waktu aku m’bersihkan kamar mandi kemarin, aku lepas dan lupa makai lagi...,” jawab Runi.
“Lain kali jangan pelihara penyakit tolol lupa itu!” kata Robby ketus.
Runi menghela nafas menahan amarah. Kalau ia menimpali perkataan Robby barusan bakal terjadi keributan tiada usai. Hubungan mereka memang sering diwarnai cek-cok hanya masalah sepele. Hal ini disebabkan Robby yang posesif dan pencemburu buta, temperamental juga pastinya. Untung saja dia nggak main tangan, jadi Runi masih punya alasan selain cinta butanya pada Robby untuk tetap pacaran dengan Robby.
JJJ
Pukul sebelas malam. Runi baru sampai rumah. Ia membuka pintu pagar dengan keadaan lelah. Tiba-tiba Raja muncul sambil nangkring di atas pagar pembatas rumahnya dan rumah tante Raja.
“Berjilbab kok, suka pulang malam, sih?? Nggak takut kena fitnah?” ujar Raja tanpa memandang Runi. Tapi Runi melihat Raja dengan sebal.
“Tuntutan kerjaan,” sahut Runi.
“Tuntutan kerjaan apa dari awal berhasrat selalu pengen keluar malam? Percuma dong, kalo berjilbab,” ejek Raja menambah kesebalan Runi.
“Raja, ini sudah malam, jangan ngajak berantem! Malu ama tetangga,” sahut Runi berlagak ramah. Kemudian ia memasukkan mobilnya ke dalam garasi dan mengunci pintu pagar rumahnya. Setelah itu ia menghampiri Raja yang masih nangkring di atas pagar.
“Daripada kamu berkicau di malam hari mending kamu cari kerja untuk ngganti kameraku. Kamu pengangguran, kan?” tanya Runi membuat Raja merasa diinjak-injak harga dirinya, tadi pagi dikatain pengecut sekarang pengangguran.
“Dasar mulut ular berbisa ya, loe!” tuduh Raja sambil turun dari pagar dan menimpa tubuh Runi.
“Aduh!!” keluh keduanya.
“HEH!! Minggir kamu! Badan berat gini. Mau ambil kesempatan dalam kesempitan kamu???!!!” omel Runi dan Raja pun berdiri.
“Kalo iya kenapa?? Cewek macem elo tuh, harus dikasih pelajaran biar tahu sopan santun!” balas Raja. Runi melotot.
“Emang cowok model preman pasar, tattoan, pakai anting kayak banci gini tahu sopan santun?? Sopan santun dalam berpakaian aja kamu nggak bisa apalagi sopan santun dalam perilaku,” sahut Runi.
“Jjiiaahhh, tadi pagi bilang gue pengecut, barusan bilang gue pengangguran sekarang bilang gue kayak banci, bener-bener kurang ajar ya, loe! Sini...” ujar Raja mengendalikan kepala Runi hendak mencium bibir Runi. Runi mengelak kuat dan Raja melepaskan Runi.
“Gue juga kagak nafsu nyium cewek mulut berbisa macem elo!” kata Raja sambil melompati pagar kembali ke rumahnya.
Runi merasa takut dan sebal bukan main. Hampir saja keperawanan bibirnya direbut sama lelaki yang bukan suaminya. Robby saja meminta cium langsung ditampiknya. Lalu ia masuk ke dalam rumah cepat-cepat.
JJJ
Hari ini hari Minggu. Runi dan Fara sibuk membersihkan rumah mereka. Mulai dari mengatur ulang tata letak barang-barang di rumah mereka juga mengecat ulang beberapa bagian rumah yang catnya sudah luntur.
“Mbak, nggak minta tolong orang aja buat ngecat rumah? Sebanyak ini nanti capek, lho!” kata Fara.
“Daripada uangnya buat ngasih upah orang mending ditabung buat biaya kamu study tour ke Bali tiga bulan lagi,” sahut Runi.
“Ehm...biar nggak ngasih upah uang, minta tolong mas Raja aja!” celetuk Fara.
“APA?? Raja?? Enggak, ah! Males banget minta bantuan dia!”
“Dia mau nggak dibayar, kok! Dia pernah bilang setiap kali aku minta bantuan dia nggak akan nolak dan nggak minta balesan, Mbak! Kalau begitu aku panggil dia aja, deh!” kata Fara segera ngacir mencari Raja tanpa Runi sempat mencegahnya.
Beberapa menit kemudian Raja dan Fara datang.
“Mbak, ngecatnya biar mas Raja aja! Mbak Runi benerin meja-kursi ruang tamu aja. Aku bikinin pisang goreng, ya buat kalian. Mumpung ada sisa pisang kemarin lusa di kulkas,”
Nggak usah,” kata Runi sambil berupaya membersihkan sarang laba-laba di ujung tembok yang tak bisa ia jangkau tapi ia berusaha untuk meraihnya sambil berjinjit di atas tangga yang biasanya dipakai para tukang bangunan.
“Mbak, hati-hati!” pesan Fara sambil menuju ke dapur.
“Udah deh, kalau emang tubuh sudah pendek nggak usah kepedean jinjit segala,” kata Raja.
Runi hanya menghembuskan nafas kesebalan lalu ia mengeluh kelilipan dan akhirnya ia hilang keseimbangan. Ia pun terjatuh menimpa tubuh Raja. Tak hanya itu, kepala Raja tersiram cat yang dipegang Runi tadi.
“Aduh, maaf ya, Raja! Aku nggak sengaja,” kata Runi sambil membersihkan wajah Raja dari cat tapi ia tak beanjak dari atas tubuh Raja.
“Ini yang dinamakan cewek ngambil kesempatan dalam kesempitan,” celetuk Raja.
“Idih, siapa yang ambil kesempatan dalam kesempitan?? Ge-Er banget sih, kamu!” sahut Runi sewot sembari berdiri.
Raja membersihkan dirinya di kamar mandi lalu melanjutkan pekerjaan Runi. Hingga senja tiba, mereka belum selesai membereskan rumah. Lalu, tante Raja datang memberi tahu mereka untuk segera makan malam di rumahnya. Raja pun pulang sementara Runi dan Fara segera membersihkan diri mereka yang belum mandi sejak pagi.
Ruang makan tante Raja alias bu Hasan sudah penuh dengan makanan lezat.
“Wah, Tante lagi ada hajatan apa masak besar begini sampai kita dipanggil ke sini? Heheh...” tanya Fara.
“Raja diterima kerja di sebuah bengkel di ujung jalan kompleks kita ini. Ya, itung-itung biar dia belajar bekerja lagi setelah lama dia menghambur-hamburkan uang papanya. Walau cuman jadi montir tapi semoga bisa memberikan pelajaran buat dia, cari uang itu susah. Dulunya dia anak yang rajin, pinter, pekerja keras bahkan rela nyambi kerja jadi kurir pengantar barang di kantor papanya tapi semenjak dia punya pacar namanya Bella yang nggak jelas itu, sikapnya berubah. Dia jadi susah diatur, nglawan orang tua, sering nggak pulang, pulang-pulang dalam keadaan mabuk, sempat dia kena narkoba dan akhirnya direhabilitasi tapi tetap balik lagi ke dunia gelap. Untung dia nggak menghamili anak orang, kan, bisa kacau! Lalu sama papanya dia dititipin ke saya untuk mondok di ponpes sebelah tapi dia belum siap katanya. Katanya dia kepikiran insyaf tapi belum siap. Dasar Raja, selalu setengah hati menjalani sesuatu. Tapi sebenernya dia baik lho, kalo nggak terpengaruh sama lingkungan jelek,” cerita bu Hasan mengenai Raja. Lalu Raja nongol dari kamar mandi hanya dengan menggunakan handuk. Runi dan Fara segera memalingkan pandangan mereka.
“Ngapain sih, tante cerita-cerita ke mereka??” tanya Raja sewot.
“Mereka ini sudah tante anggap anak tante sendiri jadi jangan takut bocor kemana-mana. Mereka bisa dipercaya,kok!” jawab bu Hasan.
“Fara sih, bisa dipercaya. Kalo yang berjilbab kuning itu, dia wartawan yang bisa nyebar berita kemana aja,” sindir Raja.
“Emang situ sapa? Pede banget beritanya disebar kemana-mana?” sahut Runi.
“Siapa tau elo mata-mata yang mau ngejebak gue!” tuduh Raja.
“Su’udzon banget, sih?” balas Runi.
“Heh, sudah-sudah. Kamu Raja, cepetan pakai baju. Tatto norak begitu dipamerin ke orang!” kata bu Hasan.
Usai Raja merapikan diri, ia bergabung dengan yang lain untuk makan malam.
JJJ
Runi sedang meliput berita gelombang demonstran yang berbondong-bondong datang ke kantor legislatif menolak adanya pembangunan tol tengah di kota mereka. Runi bersama kawannya dengan mudah melakukan pendekatan ke beberapa pihak terkait untuk mendapatkan informasi yang akurat. Di tengah terik sinar matahari bersama seorang rekan lelakinya, Runi mencari berita ke  sana- kemari. Dan usai mencari berita mereka pergi ke sebuah cafe favorit mereka untuk segera mengolah data yang telah mereka dapatkan di lapangan dan kemudian dikirim ke redaksi.
Ketika sedang asyik-asyiknya mengerjakan tugasnya sambil minum teh bersama rekannya, mata Runi seolah-olah diarahkan melihat pada suatu sudut tempat yang tak jauh dari ia berada. Dia melihat Robby bersama wanita lain. Berpelukan mesra sedang melihat-lihat gaun pengantin. Toko itu berada tepat di seberang cafe dimana Runi berada.
“Thomas, boleh lanjutin ini bentar? Aku ada urusan sebentar ke toko seberang,” kata Runi.
“Oke,” jawab Thomas.
Runi membuntuti Robby dan wanita yang dipeluknya tadi. Terdengar pembicaraan tentang tanggal pernikahan, pemesanan gedung dan catering makanan, kartu undangan dan terakhir namanya Runi disebut-sebut.
“Runi gimana, Honey?” tanya si wanita.
“Secepatnya aku putusin,” jawab Robby.
“Beneran lho, ya? Pernikahan kita tinggal satu bulan,”
Runi langsung naik pitam dan menghampiri Robby.
Nggak usah susah-susah mutusin aku. Karena sebelum kamu bilang itu, aku akan bilang, kita putus! Dan ini untuk keb******kan kamu!” kata Runi lalu membogem mentah Robby.
“Aku bisa jelasin, Run!” kata Robby.
“Jelasin apa lagi??!!” tanya Runi marah.
“Oke. Aku minta maaf ngebohongin elo. Karena jujur aja, gue bosen pacaran sama elo yang terlalu kaku dan sok suci, dicium nggak mau, gandengan tangan aja nggak mau,” ujar Robby.
“Karena aku bukan wanita murahan!! Dan revisi kata-kata kamu! Aku kaku?? Kamu itu yang terlalu posesif dan pencemburu. Tapi semua itu alibi supaya aku anggep kamu terlalu takut kehilangan aku. Lelaki b******k!!!” tegas Runi lalu pergi meninggalkan Robby dan wanitanya.
“Runi, kenapa kamu?” tanya Thomas melihat Runi meneteskan air mata.
Nggak papa, Thom! Sudah selesai belum? Oh, ya, ada tugas ngliput lagi nggak? Kalo nggak aku mau pulang cepet karena agak nggak enak badan,”
“Di list–ku nggak ada, Run. Ya, kalo kamu ngrasa sakit ya, pulang aja dulu. Biar ini aku yang nyelesai’in,” jawab Thomas.
“Tugas ini kita selesaikan aja langsung, abis gitu aku pulang. Thanks ya, bantuannya hari ini?”
“Ah, kamu kayak baru kenal aku kemarin sore aja. Kita sudah partner tiga tahun, Run,” balas Thomas sedikit membuat Runi tersenyum. Tapi senyuman itu senyuman pahit. Sakit hati yang sedang ia rasakan begitu menghujam jiwa.
Selesai mengerjakan tugas liputan tadi, Runi segera pulang. Di rumahnya ada Fara dan Raja yang sedang asyik main game.
Fara dan Raja terbengong-bengong melihat Runi masuk kamar dengan menangis dan mengunci diri di kamar.
“Mbak! Mbak Runi kenapa?” tanya Fara sambil mengetuk-ngetuk pintu kamar Runi.
Ketika Fara mencoba membujuk Runi agar mau membuka pintu kamarnya, Raja justru  memiliki ide tak terduga. Ia segera keluar rumah menghampiri jendela kamar Runi. Kebetulan Runi tidak menutup jendela kamarnya yang berterali besi cukup longgar antar kerangkanya.
“Heh, ular berbisa! Ngapain loe nangis?” tanya Raja dari balik jendela membuat Runi kaget.
“Ngapain kamu?! Pergi sana!” usir Runi sembari ia hendak menutup jendelanya tapi Raja lebih sigap menarik tangan Runi membuat Runi terbentur terali besi jendela kamarnya hingga bibirnya monyong. Melalui terali besi itu, Runi menjitak kepala Raja.
“Sakit tahu!!” kata Runi.
“Sori, deh! Eh, bibir elo berdarah,” kata Raja mencoba membersihkan darah di bibir Runi tapi Runi menepis tangan Raja.
“Aku bukan wanita murahan!!” celetuk Runi.
“Ini apaan, sih? Gue cuman mau membersihkan darah di bibir elo. Bukan mau nyedot itu darah pake mulut apalagi merkosa elo,” tungkas Raja.
Nggak usah. Mending kamu main lagi sana sama Fara. Pergi...” kata Runi mendorong tubuh Raja menjauh dan segera menutup jendela kamarnya.
Lalu Runi menangis semalaman tanpa keluar kamar sampai ia terlelap hingga ia melalaikan sembahyang Ashar dan Maghribnya. Bangun-bangun pukul tiga dini hari, Runi segera mengambil air wudlu untuk sembahyang Isya’. Sebelum ia ke kamar mandi ia mengambil air minum di dapur dan duduk. Ingatannya kembali pada Robby. Belum ada 24 jam ia putus dengan Robby, rasanya menyakitkan. Lamunannya pada Robby dibuyarkan oleh tepukan tangan seseorang di pundaknya. Runi spontan kaget.
“Kamu?? Ngapain masih di rumahku??” tanya Runi pada Raja.
“Ketiduran tadi pas main game sama Fara sampai jam dua belas. Elo sih, molor nggak tahu waktu. Kenapa sih, loe??” tanya Raja.
Enggak papa. Gue sholat Isya’ dulu,” jawab Runi tapi Raja mencegah Runi beranjak dari tempat duduk.
“Masalah lagi sama pacar elo yang sok borju itu?” tanya Raja.
“Kok, kamu bisa bilang gitu?”
“Fara sudah cerita semuanya soal pacarmu itu. Gue heran kenapa elo bisa bertahan sama cowok gila itu? Atau elo terlalu tolol nurut aja sama dia? Cinta buta?? Bullsyit!!” kata Raja.
“Kita sudah putus tadi siang,” sahut Runi.
“Berita bagus itu!!” kata Raja bersemangat bahagia.
“Kok, kamu seneng gitu aku putus?”
“Ya, bagus dong, kamu terlepas dari cowok sinting itu,”
“Emang situ waras?”
“Oh, jelas. Gue lebih baik soal wanita dari lelaki manapun!” kata Raja membanggakan diri.
“Ciri-ciri playboy cap kadal!”
“Enak aja playboy cap kadal! Ular berbisa!”
“Ah, sudahlah, aku capek berantem terus sama kamu. Nggak ada habisnya. Mending kamu pulang, nggak enak dilihat tetangga ‘ntar,” kata Runi.
Lalu Runi mengantar Raja keluar rumah.
“Eh, mau kemana?” tanya Runi ketika hendak membuka gembok pintu pagarnya.
“Loncat pagar,” jawab raja enteng.
“Dasar mantan maling!!” gumam Runi.
“Heh, sekalipun gue berandalan tapi gue kagak pernah maling tahu??!!!” kata Raja mengherankan Runi padahal Runi sudah berbicara lirih.
JJJ
 Waktu terus berlalu dan Runi pun sudah bisa melupakan sakit hati pada Robby. Fara dan Raja pun tahu hal itu. Hubungan Runi dan Raja mulai melumer secara perlahan. Raja yang tiap pagi sampai sore mondok di pondok pesantren dekat rumahnya mulai menunjukkan perubahan sikap menjadi lebih baik. Walaupun sikap jail dan tengilnya belum hilang. Hal ini meluruhkan hati Runi pelan-pelan tapi ia tak berani mengungkapkannya pada Raja karena ia masih trauma atas hubungannya dengan Robby.
Runi sedang menikmati suasana menyenangkan bersama Fara dan Raja di ruang keluarga sambil nonton bareng DVD film box office. Tiba-tiba ada telepon masuk dengan private number.
“Halo?” sapa Runi.
“Saudari Runi Maharani? Jangan sekali-kalinya berani memuat berita pemojokan bos saya yang merupakan anggota legislatif. Kalau Anda tetap memuat berita itu, kami tidak segan-segan menghabisi Anda dan keluarga!” suara seorang lelaki dari seberang sana.
“Anda siapa? Rakyat harus tahu semua dalang korupsi di badan legislatif. Anda tidak bisa sedikitpun menghentikan langkah saya mengungkap kebenaran,”
“Saya sudah memberikan uang tutup mulut kepada rekan Anda, Thomas dan pimpinan redaksi Anda. Jadi, jangan berani macam-macam dengan kami,”
“Lakukan semau Anda, saya akan tetap mengungkap kebenaran yang ada,” tegas Runi menutip telponnya.
“Kenapa, Run??” tanya Raja. Runi menggeleng.
“Fara, setelah ini segera beres-beres. Besok sepulang sekolah kita pergi ke rumah Bude di Malang,” kata Runi.
“Kok, mendadak, Mbak?” tanya Fara.
“Mbak pengen cari udara segar ke sana. Jangan banyak tanya, lakukan aja perintah mbak,” tegas Runi lalu amsuk ke dalam kamar.
Keesokan harinya Runi meminta izin pulang lebih awal dari kantor untuk mengantar Fara ke Malang hari itu juga. Ia tak mau terjadi apa-apa pada adik semata wayangnya.
Runi menunggui Fara hingga pulang sekolah tapi nampaknya ia kalah cepat dari lelaki misterius tadi malam yang meneleponnya. Lelaki itu kembali menelpon dan mengatakan bahwa Fara sudah ada di tangannya. Lelaki itu mengancam akan membunuh Fara bila Runi nekat memuat beritanya. Mereka memang tidak sedang main-main.
“Dasar mafia-mafia hukum!!” gumam Runi lalu menelepon Raja meminta Raja menemaninya mencari Fara. Lalu Runi menjemput Raja di pondok pesantren
“Kamu nggak tanya mereka nyekap Fara dimana?” tanya Raja.
“Ngapain aku tanya? Aku tanya mereka juga nggak akan bilang. Mereka bukan butuh uang, mereka butuh supaya kebusukan mereka nggak masuk koran nasional!”
“Lalu apa susahnya, sih, nurutin mau mereka demi keselamatan adik kamu sendiri??”
“Ini demi kesejahteraan masyarakat luas. Kasus mereka harus diketahui banyak orang dan harus diadili dengan seadil-adilnya,” jelas Runi.
“Kalau terjadi apa-apa sama Fara?”
Runi mendadak menghentikan mobilnya.
“Berarti aku egois? Aku memilih idealismeku dan mengabaikan adikku? Itu menurut kamu?”
“Ya, bukan begitu tapi...”
“Jelas kata-katamu menjurus ke sana! Ini resiko profesiku jadi aku harus siap,”
“Ya, tapi kasihan Fara, Run!”
“Kamu peduli banget ya, sama Fara! Setiap hari nyamperin dia, setiap minggu ngajak dia keluar, kalau sempat jemput ke sekolah kamu jemput dia, setiap kali kita cek-cok kamu selalu belain dia, kamu cinta sama dia?? Bilang aja!” kata Runi mulai marah dan ketus.
“Loh, elo kok, jadi ngelantur gini?”
“Maksud kamu ngelantur?? Ini masalah hati, Ja! Aku cin...” Runi memutus perkataannya.
Raja bengong menanti Runi melanjutkan kata-katanya.
“Ahhh, lupakan! Kita harus gimana, nih, nyari Fara?”
“Telpon polisi,” sahut  Raja.
“Kalau mereka macam-macam sama Fara?” tanya Runi khawatir.
Raja mengenggam tangan Runi.
“Percaya sama gue, dia nggak akan kenapa-kenapa,” ucap Raja menenangkan Runi lalu Runi menarik tangannya dari genggaman Raja.
Runi segera menelepon polisi untuk membantunya mencari Fara. Setelah melaui proses yang panjang dan rumit, akhirnya Fara ditemukan dan bebas dari cengkeraman kaki tangan mafia hukum yang mengancam Runi. Hingga pada akhirnya, masalahnya tersentuh sampai ke akar-akarnya di waktu selanjutnya.
Hidup Runi pun kembali tenang sekalipun resiko pekerjaannya menjadi seorang wartawan politik tidak akan pernah lepas dari bahaya-bahaya serupa. Tapi kehidupan asmaranya tetap tak tenang. Semakin hari apalagi semenjak Fara selamat dari penculikan, hubungan Fara dan Raja makin dekat bak orang pacaran asli saja. Hal ini membuat Runi terbakar cemburu. Hingga suatu hari Runi beralasan meliput berita keluar kota  padahal ia ingin menghindari “pemandangan” yang ada di depan mata setiap hari di rumah, Fara dan Raja.
“Raja, Tante, nitip Fara, ya?” kata Runi.
“Kamu berapa lama keluar kotanya, Runi?” tanya bu Hasan.
“Belum tahu, Tante. Saya minta maaf sering ngrepotin Tante sama Raja,”
“Sudah nyadar sering ngrepotin, mau nambahin kerepotan lagi,” sahut Raja.
“Sstt, Raja!” katan bu Hasan.
“Sori, sudah ngrepotin kamu. Aku nggak akan lagi ngrepotin, kok. Masalah kamera, lupain aja. Aku juga sudah beli yang baru. Fara, baik-baik, ya. Mbak pergi dulu. Permisi semuanya,” pamit Runi sembari masuk ke dalam mobil.
Raja dengan jailnya ikut masuk ke dalam mobil.
“Ngapain kamu?” tanya Runi.
“Ngenterin sampai pintu depan kompleks. Masa’ nggak boleh? Jangan kaku-kaku dong, sama cowok, nanti nggak laku-laku, loh!” goda Raja.
“Aku lagi males berantem,” kata Runi sambil menstarter mobilnya.
“Ya, udah, ayo jalan! Aku ikut sampai pintu depan aja mau ke mini market depan,” kata Raja beralasan.
Runi pun menjalankan mobilnya. Sesampainya di mini market kompleks, Runi menyuruh Raja keluar. Tapi Raja menolak.
“Gue nggak mau terjadi apa-apa sama elo dengan kondisi emosi nggak jelas gitu,” ujar Raja.
“Maksudmu?” tanya Runi.
Raja membenarkan posisinya menghadap Runi.
“Katakan elo cinta sama gue sekarang juga! Kalo elo nggak bilang cinta ke gue dan meneruskan perjalanan elo yang merupakan pelarian dari kenyataan, jangan harap elo dapet cinta gue dan ketemu gue selamanya,” jawab Raja. Runi mengernyitkan dahi.
“Jangan berlaga bego! Gue tahu elo cemburu sama adik elo. Asal elo tahu, gue nggak ada apa-apa sama Fara. Kita itu kongsian bikin elo jatuh cinta sama gue!”
“APA??!!”
“Dan kita berhasil,” lanjut Raja.
“Dan kamu? Oh, aku sudah tahu jawabannya. Kamu jelas nggak akan pernah jatuh cinta sama cewek kuno, egois, judes, kaku, ular berbisa dan nggak bisa disentuh-sentuh kayak gue, kan? Jelas elo akan milih Fara yang cantik yang fashionable dengan bandana di kepalanya, rambutnya yang terurai bagus, memakai gaun cantik, nggak berat kalo digendong...” cerocos Runi.
“STOP!!! Gue lelaki dewasa, bukan ABG yang suka dengan cewek dari penampilannya doang. Oke, dulu gue pernah mentingin fisik tapi gue yakin elo juga pernah ngrasain selalu pengen lelaki ganteng, tajir dan royal sama elo. Tapi semua akan berubah, Run. Lelaki macem Robby aja elo tinggalin karena apa? Karena kembali pada hati. Siapapun orangnya ingin membutuhkan ketenangan, kejujuran dan komitmen dalam menjalin sebuah hubungan. Hidup cuma sekali, Run. Dan gue pengen menemukan ketenangan, kejujuran dan komitmen itu sekali seumur hidup gue. Dan gue pengen elo jadi orang yang membantu gue menemukan, membangunnya juga menjaganya. Gue cinta sama elo, Run. Terima gue sebagai pasangan hidup elo!” celoteh Raja diakhiri dengan ungkapan cintanya pada Runi.
Runi terpaku menatap Raja. Pikirannya berkecamuk hebat.
Apalagi Runi yang kamu pikirkan? Dia juga cinta sama kamu. Kamu juga lama mencintai lelaki ini. Dia sudah menyatakan niat baiknya membina hubungan baik sama kamu. Walaupun dia mantan bad boy tapi dia punya niat baik berubah menjadi lebih baik.
Runi, jangan terbujuk rayuan lelaki berandalan ini. Sekali berandalan tetap berandalan. Tidak menutup kemungkinan sebagai lelaki anak orang kaya yang pernah digandrungi banyak wanita, dia akan menyia-nyiakan kamu suatu saat seperti Robby.
“Iya,” akhirnya Runi bersuara.
“Iya untuk?”
“Untuk...melepas anting-anting kamu dan membersihkan semua tatto di tubuh kamu sekarang juga,” kata Runi sambil tancap gas.
“Eh, kita mau kemana? Gue belum siap ngilangin ini tatto, sakit tahu??!!” ujar Raja.
“Salah sendiri. Siap suruh pakai tatto. Jadi pasanganku nggak boleh bertatto, nggak boleh ngrokok, nggak boleh pakai anting kayak banci, nggak boleh sedikit-sedikit berantem kayak preman pasar, nggak boleh masuk halaman rumah orang pakai loncat pager, nggak boleh lancang membuka jendela kamar orang, nggak boleh ngatain aku ular berbisa. Oke??” cerocos Runi.
“Banyak bener syaratnya?” tanya Raja nampak ciut nyalinya.
“Maaf ya, kalau  aku bilang, mantan preman nggak boleh takut sama persyaratan itu! Nggak jantan itu namanya. Preman itu pantang mundur, loh!” kata Runi.
“Sekarang kita ke tempat yang bisa ngilangin tatto-tatto kamu,”
“OH, TIDAAKKKKKKKKKKKKKK...” teriak Raja.
JJJ

Kamis, 10 Mei 2012

Basketball Holic

Hello, pembaca, postingan ini sebenarnya sudah lama ya, cuman aku edit ulang aja. Nambahin deskripsi aja, sih. Mengisi waktu luang :)
Saya mau share aja... Di bawah ini foto-foto saya sama idola :p mereka bukan artis film atau sinetron tapi artis lapangan basket ^^. Bicara soal basket sih, jujur serius saya nggak bisa main basket, asli! Tapi dari dulu zaman smp sampai sekarang masih tertarik sama basket. Nah, tahun 2009 saya beruntung banget "dikenalin" temen bernama syailendra (sori sebut merek ^^) kepada basket dalam skala nasional. Mulanya nggak tertarik ya, dikiranya saya sih, level liga kampus. Tapi wow! Ternyata atlet basket nasional. Ullala... Woke lah, saya akhirnya nonton dan cukup "keranjingan" deh, akhirnya. So, tiap tahun diusahakan nonton pertandingan basket nasional. Dulu namanya IBL (indonesia basketball league). Saya masih kebagian riwayat IBL terakhir tahun 2009. Mulai 2010 sudah ganti jadi NBL (national basketball league) indonesia. Wah, tambah bergengsi turnamen ini dan banyak fansnya. Dan saya beruntung banget jadi saksi final NBL perdana tahun 2010/2011 kemarin. Hehehe. Nah, trus karena suka basket tapi nggak bisa main basket, akhirnya deh,... suka juga sama pemainnya. Terus hampir tiap nonton itu setelah nonton game-nya terus nyamperin pemainnya terus minta foto. Ihhihi. Lagi-lagi ini saya tahu dari Syailendra, kawan saya. oh... senangnya bisa foto sama pebasket keren. Hihihi... sayangnya saya nggak bisa foto bareng sama pebasket sekaligus aktor idola pertama saya si Samuel Rizal. Keburu dia jadi artis. Hohoho. Oke, di bawah ini ada beberapa foto sih, niatnya pamer... hehehe... sama pebasket oke skill-nya, teduh penampilannya  :D *lebe mode on*. Cek nih..


wif Dino Leonardo #11 Stadium Jakarta
NBL musim kedua, Maret 2012

wif Merio Ferdiansyah #2 Stadium Jakarta
NBL musim kedua, Maret 2012 
sama mas Fanny Budianto Stadium Jakarta
(lupa jersey brp :p) || NBL musim kedua, Maret 2012


dg bang Dian Heryadi (ex Hangtuah), CLS Surabaya
NBL musim kedua, Maret 2012

Bang Andi Batam (Pelita Jaya)... ^^9 senior
NBL musim perdana, Maret 2011

Kelly.... ^_^
(kumus2+bekas kehujanan)
NBL musim perdana, Maret 2011
ko Archa alias Ary Candra, Pelita Jaya
NBL musim perdana, Maret 2011

Kapten Erick, Pelita Jaya
NBL musim perdana, Maret 2011

  
Khalif Akbar, Aspac Jakarta
NBL musim perdana, Maret 2011
Mario Gerungan, AspacNBL musim perdana, Maret 2011
Pringgo, AspacNBL musim perdana, Maret 2011
Legend: Isman Thoyib, Aspac
NBL musim perdana, Maret 2011