Minggu, 13 September 2015

GEDEBUK

sumber
Jaranan, jaranan, jarané jaran Tèji ... Sing numpak Mas Ngabèhi, sing ngiring para abdi ... Jrèk jrèk nong, Jrèk jrèk gung, Jrèk è jrèk turut lurung ... Gedebuk krincing (2x) ... Thok thok ... Gedebuk jedhèr


Angguk-angguk. Geleng-geleng. Tak sadar kepalaku bergerak kecil mengikuti alunan lagu jaranan ini. Tentu sajalah, sudah tiga belas tahun aku tak menonton kesenian tari jaranan—disebut juga kuda lumping! Tidak peduli matahari sedang terik menebar panasnya, toh, di atasku ada juluran ranting-ranting kokoh beringin tua kompleks punden desaku ini. Pun aku dan ratusan penonton kesenian ini, tidak merasakan sedikit saja aura mistis. Padahal asal kalian tahu, di sebelah utara persis punden, ada permakaman leluhur pembabat alas desa kami. Dan alasan kami semua berkumpul di sini, menonton pertunjukan jaranan dalam rangka memperingati acara tahunan bersih desa pada bulan Suro1 begini.
Tapi ... satu saja yang membuatku (cukup) sumpek.
“Kamu yakin kesenian ini asli dari Kediri?” tanya si Raksasa Botak—badannya menjulang mencolok di antara seluruh penonton yang hadir, ditambah kepala plontos kinclong—setengah berteriak. Bicaranya cukup lancar tapi masih berlogat daerah asalnya.