Jumat, 03 Agustus 2012

Ketika Hati Jungkir Balik

KETIKA HATI JUNGKIR BALIK
Gadis itu berlari sekuat tenaga mengejar ketertinggalan bus antarkota yang membawa sang pemuda, kekasihnya pergi jauh ke ibu kota. Gadis itu berteriak-teriak bak orang gila memanggil-manggil nama kekasihnya dan memintanya untuk tetap tinggal tapi bus itu melaju begitu cepat hingga ia musnah dari pandangan gadis itu. Gadis itu terjatuh bersimpuh menangis.
Yak, adegan di atas memang sebuah take adegan sinetron terbaru Vika. Vika Oen, artis pendatang baru yang tengah naik daun. Sinetron stripping, tiga kali menjadi video klip grup band ternama, model iklan sampo dan sabun mandi.
"Yak! Kita break dulu!" ucap sang sutradara. 
Vika segera mengambil posisi duduk yang nyaman untuk dia bersandar melepas lelah sebentar. Kemudian asistennya bernama Beby alias Bagas menghampirinya untuk  memberikan sebotol air mineral dan mengipasi Vika.
"Semangat bangkek hari ini, Cyin? Kalo iye gini terus pasti makmur deh, iye," celetuk Beby.
Vika tersenyum lebar. 
"Beb, abis gini temenin gue ke stasiun, ya?" pinta Vika usai menenggak air mineral dari botol di tangannya. "Jemput Farhan dari Surabaya, liburan dia ke sini," lanjut Vika sambil menenggak air lagi.
"APAHH??!!" seru Beby mengagetkan Vika hingga ia menyemburkan air dari mulutnya keluar. "Adik iye yang super duper ganteng macem Nadzar Rizky itu dateng ke sini??!!"
"Elo kira-kira dong, Beb! Gue jantungan gimana?" protes Vika menabok Beby. "Elo juga musti inget, gue haramin elo deket-deket Farhan. Maaf-maaf kata nih, Beb, adik gue punya orientasi seksual lurus. Pacarnya elo tahu, wuhh, super bohay ketimbang gue," tukas Vika pedas.
Beby mencibir. "Terserah iye bilang apa, deh, Cyin... yang penting gue bakal dandan sekece badai ketemu Farhan, hihihi,"
Vika mengalihkan pandangannya ke arah lain tersenyum asal. Apa pun usahanya untuk bisa menghentikan keinginan Beby, asistennya itu tak akan pernah gentar. Selalu maju, never give up. Tapi ia juga tahu pasti Beby hanya melakukan itu sesaat saja. It's mean hal serupa juga akan ia lakukan terhadap lelaki yang sama beningnya dengan adiknya. 
Sang sutradara beberapa menit kemudian menyapa Vika, memintanya untuk berkenalan dengan seseorang yang wajahnya begitu asing namun memesona segar bagi Vika, pun Beby.
"Hai, Vika!" sapa lelaki itu mengulurkan tangannya bersalaman dengan Vika.
Vika sigap membalasnya. "Hai, emmm..." Vika mencoba mengenali tapi tetap tak bisa karena ia memang tak pernah kenal sebelumnya.
"Edgar," sahut lelaki itu.
"Beliau putra sulung pak Edi yang akan menggantikan beliau memimpin  Citra Sinema," tungkas si sutrada menjelaskan. Citra Sinema, PH yang memekerjakan Vika sebagai artisnya. "Baru nyelesaikan studi  masternya di Boston," 
Beby ber-oh ria terkesima melihat anak bosnya. Mulutnya berkomat-kamit tak karuan memuji ketampanan lelaki tulen di depannya. Vika juga hanya ber-oh plus berusaha tersenyum manis. Senyumnya memang manis dengan lesung di kedua pipinya.
***
"Barang-barang elo banyak banget sih, Han!" keluh Vika membantu adiknya mengangkut tas dan kardus ke bagasi taksi. "Nggak lagi berniat migrasi ke apartemen gue, kan?" 
"Berisik lo Mbak! Itu tas isinya oleh-oleh dari mami. Segala macam masakan mami ada di situ, tuh, tuh, di kardus oranye itu. Terus tas kresek itu isinya segala macam keripik, keripik rambak, ketela ungu, pisang dan semuanya. Gue aslinya juga ogah, masa' cowok bawa ginian? Ribet! Tapi demi elo kakak tercinta, gue lakukan! Kalo enggak gue sudah dikira kurir pengantar barang!" celoteh Farhan merapikan barang-barang di bagasi. Usai itu dia dan Vika, termasuk Beby yang sedari tadi ngiler mandangin Farhan masuk ke dalam taksi.
"Mbak, temen lo itu udah disuntik rabies belom?" ucap Farhan di samping supir. Ia tak nyaman dengan tatapan Beby yang begitu bergairah. Sementara Beby tak jua urung mengalihkan pandangan. Ia bahkan seolah tak mendengar ucapan Farhan yang begitu menusuk telinga. Like sister, like brother. Dua bersaudara itu memang berbakat untuk menjadi kritikus atau bahkan penghina kelas ulung. Tapi sebenarnya mereka hanya bercanda. 
Setelah sedikit bercek-cok, taksi yang mereka tumpangi pun melaju menuju apartemen Vika. Sayangnya di pertengahan jalan, ada sedikit masalah menimpa taksi mereka. Taksi mereka bergesekan dengan sebuah mobil mewah keluaran pabrik mobil sporty dari Italia. 
Vika dan supir taksi keluar ketika mereka tahu pengendara mobil "lawan" keluar.
"Yang bener dong, Pak bawa taksinya!" protes salah seorang lelaki berkaus putih polos dan berkerah "V" menunjukkan sisi maskulin sebagian dadanya.
"Loh, Mas, mobil Mas duluan yang nyalip saya nggak aturan. Saya nyetirnya udah bener," sanggah si supir taksi.
Vika sibuk melihat seksama lelaki yang sedang mengomel itu. Sedetik kemudian ia terperangah. Lelaki ini!!
"Terus maunya gimana, Mas?" tanya Vika tegas.
Lelaki itu menoleh ke arah Vika. Dia juga tak kalah terperanjat dari Vika.
"Mau gue? Elo ganti rugi gesekan yang udah ngerusak cat mobil gue!" sahut lelaki itu.
"Oke, gue ganti. Nomor rekening elo berapa? Gue transfer habis ini,"
"Gaya bener lo!" ejek lelaki itu. "Oh, gue lupa, elo kan sudah jadi artis terkenal ya, jadi gunungan lembar rupiah elo juga banyak. Iya, iya, gue lupa," 
Vika menghujamkan tatapannya tajam ke arah lelaki itu.
"Sekalipun harus menguras tabungan gue, itu lebih baik ketimbang gue berurusan lama-lama sama lelaki busuk macem elo! Cepetan kasih tahu rekening elo!" Vika tak sabar ingin segera pergi dari hadapan lelaki ini.
Kemudian lelaki lain yang lebih rapi penampilannya muncul dan menyela pembicaraan mereka berdua. "Hei, berisik banget, sih?" tanya lelaki itu. Vika kedua kalinya kaget. "Loh, Vika!" seru lelaki itu. 
"Iya, Mas Edgar. Ada sedikit masalah," kata Vika.
"Oke, oke, Dit, mending diselesaikan secara damai, deh. Elo jangan suka main otot dan toak mulu, ya. Inget umur!" kata Edgar. "Lagian, masa' elo nggak  tahu, Vika ini artis PH kita. Kita tadi juga buru-buru, nggak bener juga jalannya. Jadi, bapak taksi nggak salah juga," Edgar berpihak pada supir taksi dan Vika.
Vika terhenyak. PH kita? Lelaki busuk yang dia sebut tadi siapanya Edgar? Edgar siapanya lelaki busuk itu? Kalau begitu, lelaki busuk itu ada kaitannya sama PH yang menaunginya? Vika menatap Edgar dan lelaki busuk itu ke kanan dan ke kiri bergantian.
Tanya Vika yang tergambar jelas dari raut wajahnya dijawab oleh Edgar. Edgar memerkenalkan lelaki busuk -demikian Vika menyebut- adalah adiknya, Radit.
Vika merasa kepalanya berkunang-kunang. Kenapa dunia ini begitu sempit? Radit, lelaki congkak teman SMA-nya dulu adik seorang tampan seperti Edgar dan anak dari Pak Edi, produser tersohor di negeri ini. Vika mau jungkir balik seketika untuk menyadarkan dirinya sendiri terhadap kenyataan yang ada tapi jelas itu tak mungkin.
***
Beberapa hari berikutnya di tempat syuting sinetron stripping Vika, Edgar berjalan ke arah Vika yang sedang break  syuting sembari membawa dua botol minuman isotonik. Ia menyapa Vika dan menyerahkan satu botol untuk Vika.
"Maafin Radit kemarin, ya? Dia aslinya baik, kok,"
Psstt!! Baik? 
"Tapi memang agak kekanak-kanakan,"
Asli. Dulu begitu dan kayaknya sekarang juga. Kemarin saja sikapnya nggak bijak banget, apalagi sama gue. Selalu nyolot. Dua lima tahun masih tetep gitu aja. Cih!
"Elo tahu nggak kita saudara beda ibu?"
Vika memutar kepalanya cepat ke arah Edgar. Dua alasan. Pertama, fakta yang memang mengejutkan. Kedua, Edgar begitu jujur membuka hal bersifat pribadi.
"Kita beda ibu tapi gue sayang banget sama dia," Edgar membuka lebih dalam tabir hubungannya dan Radit. "Dia anak kedua dari istri kedua papa dan didiagnosa sebagai anak dengan temper tantrum. Tahu kan, temper tantrum?" Edgar memandang Vika. Vika menggeleng tapi ia yakin pernah mendengar istilah itu. "Bukan masalah yang amat serius tapi memang merepotkan juga. Jadi, dia itu kalau ada mau harus segera dituruti, kalo enggak dia pasti marah-marah, teriak-teriak. Dan setiap kali pinginya nggak terpenuhi, dia bakal ngancem marah dan nangis kejer-kejer. Itu terjadi pas dia masih anak-anak dan berulang selama itu. Tapi katanya sih, seiring beranjak dewasa hal itu bisa saja menghilang tapi yah, gue mencoba meyakini. Tapi terkadang pribadi impulsifnya masih kelihatan. Dia juga nggak terlalu bagus kontrol emosi kalo sudah tersulut emosinya. Gue harap suatu hari ada yang bisa menjinakkan perangainya, hehehe,"
"Dikira hewan buas, dijinakkan? Hahaha. Ada-ada saja nih, Mas Edgar," tungkas Vika. Kemudian  ia tercenung. Temper tantrum? Hemm... mungkin... bisa jadi kelakuan nakal Radit ketika SMA itu salah satu gejalanya yang masih tertinggal. Atau mungkin saja bukan. Tapi beralih ke gangguan perilaku lainnya? Siapa yang tahu? Iya, Vika ingat pas SMA Radit dikenal sebagai siswa super nakal dari kalangan parlente. Bolos sekolah, tidur pas mata pelajaran berlangsung bahkan ketika ujian, suka ngerjain siswa-siswa minoritas semacam mereka yang kutu buku atau lebih terlihat pendiam mungkin lebih tepatnya suka nge-bully kali ya dan semua maunya harus dianggap perintah yang wajib dilaksanakan. Ekstrimnya dia tukang tawuran di luar sekolah. Ah, entahlah! Ada hubungannya atau tidak dengan keterangan Edgar, yang pasti di antara dirinya dan Radit telah terjadi suatu peristiwa yang tak bisa dimaafkan Vika begitu saja. Jengkel setengah mati. Ya terhadap dirinya sendiri, ya terhadap Radit.
"Oh, iya, katanya kalian saling kenal? Radit juga nyebut elo beruang buruk rupa, elo bilang dia lelaki busuk, bener? Kalian sudah kenal lama?"
"Lama, Mas!" seru Vika. "Dan amat mendalam!" lanjutnya berapi-api teringat jengkelnya pada Radit.
Alis Edgar terangkat sebelah.
"Lelaki busuk eh, maksudnya Radit itu... teman sekolah saya pas SMA di Surabaya sebelum  saya sempat pindah ke Banjar tahun berikutnya. Dia itu...  suuuupppperrr trouble maker! Dan satu hal yang nggak bisa saya maafin dari dia..." Vika hampir nyeplos begitu saja, seketika ia menghentikan ucapannya.
"Apa?" tanya Edgar.
Vika lekas menggeleng kuat-kuat dan meringis. Tapi Edgar terus mendesaknya dengan begitu halus tapi akurat tepat sasaran. Akhirnya, Vika menceritakan semua yang ia alami bersama Radit beberapa tahun silam
Vika merasa benar-benar dungu bisa menyukai lelaki tipe bad boy seperti Radit kala itu. Semata-mata karena aksi Radit itu begitu memesonanya. Ya, dirinya siswi yang tak pernah melanggar satu pun aturan sekolah yang menyukai siswa badung yang menentang semua peraturan yang ada. Kalau bukan orang dungu apa coba? Tapi itulah yang dirasakan Vika. Hingga akhirnya suatu hari Vika diam-diam menyelipkan sebuah puisi romantis untuk Radit. Tapi kejamnya Radit membacakan puisi itu di hadapan semua siswa seantero SMA ketika turnamen futsal berlangsung di gedung serba guna sekola mereka. Sontak wajah Vika memerah padam. Malu tak tertahankan dan amarah yang tak terperikan lagi. Plus luka yang menyayat hati ketika Radit mengolok-oloknya sebagai beruang buruk rupa. Semenjak itu rasa cinta Vika berputar 180 derajat berubah jadi benci. Sampai detik ini.
Edgar dan Vika impas. Edgar bercerita siapa dirinya, siapa Radit dan Vika membeberkan siapa dirinya hingga bisa mengenal Radit. Singkat cerita semenjak percakapan lebih dalam ini, keduanya semakin dekat.
***
Pagi-pagi sekali Vika mampir ke rumah Edgar sebelum berangkat syuting. Pastinya itu juga rumah Radit. Vika sengaja membawakan sekotak bubur untuk Edgar yang kabarnya sedang sakit. Keduanya sekarang rekan dekat, jadi Vika memberikan perhatian untuk rekan dekatnya itu.
Vika memencet bel tak jauh dari pagar rumah Edgar. Beberapa detik kemudian keluar lah Radit dari garasi dengan hanya mengenakan kaos dalam dan celana pendek dengan muka penuh oli, hitam-hitam. Ia mendorong pintu harmonika garasinya. Vika setengah menahan ketawa dan sempat berpikir gila,"Nih, orang sejak kapan jadi berotot bagus begini? Keren juga." Lalu Vika segera menggeleng-gelengkan kepala cepat membuyarkan pikiran konyolnya itu, sebelum Radit mendapatinya tengah mengaguminya.
"Elo?" tanya Radit. "Ngapain pagi-pagi ke sini?"
"Mau ngasih ini buat Edgar." Vika menunjukkan kotak yang dibawanya, mendekati Radit yang ada di ambang pintu garasi mobilnya. "Semalem dia bilang dia sakit, jadi gue bawain bubur buat dia." 
Radit menerima kotak kue itu dari Vika dan menaruhnya di sebuah kursi panjang di pinggir tembok garasi mobilnya.
"Perhatian banget? Lo lagi usaha cari muka di depan Edgar?" 
"Ih, biarin! Suka-suka gue, apa urusan elo?"
"Ngimpi lo!" Radit ketus sembari sibuk dengan mesin mobilnya.
"Kalo iya dia suka sama gue, gimana? Pada akhirnya elo harus terima,"
"Berisik lo beruang buruk rupa!" kata Radit membuat Vika kaget. Radit menatapnya tajam. "Mulut lo makin comel ya semenjak jadi artis! Butuh disekolahin, tuh!" Radit membuang obengnya kemudian menatap Vika. "Atau perlu gue yang nyekolahin tuh, mulut?" Radit mendadak menarik kepala Vika, mendekatkan wajahnya pada wajah Vika. Sepersekian senti jarak bibirnya dan bibir Vika, begitu dekat.
Vika beringsut segera, mendorong tubuh Radit menjauh.
"Gue nyesel pernah ngenal elo!" Vika bersuara lantang.
"Gue nggak ngelakuin apa-apa. Tapi nyaris, sih! Tapi gue nggak sebejat yang elo kira, beruang buruk rupa!!" Suara Radit meninggi, sementara Vika makin menjauh.
***
Pekan ini Edgar kembali sehat. Dia kembali beraktivitas di PH milik ayahnya yang sekarang ia kelola. Hari ini sinetron yang dibintangi Vika akan syuting di daerah pegunugan teh. Semua kru dan pemain pendukung sinetron itu segera berangkat pada sore harinya untuk beristirahat semalam saja sebelum esok harinya syuting. Edgar turun langsung memantau jalannya syuting yang ternyata menduduki rating tertinggi di hati penikmat tayangan sinetron di Indonesia. Radit juga ikut dalam rombongan ini. Meski tak terlalu terganggu dengan keberadaan Radit tapi setiap kali bertemu Radit, Vika tetap merasa tak nyaman bahkan merasa terancam. 
Dua hari berlalu.
Malam ini jam dinding menunjukkan pukul tujuh, hawa dingin sudah teramat menusuk tubuh-tubuh mereka yang bekerja malam hari, para artis, kru dan manajemen sinetron yang memasangkan Vika sebagai tokoh utamanya.
Syuting akan dimulai kembali sekitar pukul delapan. Vika menyempatkan diri beristirahat dan menghangatkan diri. Beberapa detik kemudian ia ke kamar kecil dan usai itu ia tak sengaja melihat dua orang lelaki tengah duduk bermesraan seolah tengah melepas rindu di sebuah gazebo. Vika mengucek-ucek kedua matanya. Benar kah yang dilihatnya dua orang sesama jenis?
Vika penasaran dan mencoba memastikan siapa dua lelaki itu. Dan ketika tahu salah seorang lelaki itu, Vika hendak berteriak tapi tiba-tiba sebuah tangan membungkam mulutnya dari belakang. Sosok itu segera menyeret Vika bersembunyi di balik semak-semak.
"Lepasin!!" pinta Vika meronta. Ia kemudian terbelalak ketika tahu itu Radit.
"Sssstttt, diem!!! Elo bisa ketahuan Edgar!"
"Iya, tapi nggak usah kayak gini, pakai nikem orang dari belakang! "
"Heheh, sori, sori, nggak sengaja. Jangan berisik! Ayo ikut gue!"
"Kemana?"
"Ah, selalu berisik lo, cepetan!"
"Dari dulu yang berisik dan badung itu elo, bukan gue. Gua paling diem dan patuh, tahu!"
Radit menyosorkan mulutnya. Vika tahu artinya dan segera menutup mulutnya erat-erat.
"Elo berisik, gue sosor lo!" ancam Radit.
Mereka berdua pun menyingkir ke tempat yang lebih jauh dari Edgar dan "pasangan"nya. Di dekat bawah temaran lampu taman, duduk berdua di sebuah bangku semen cukup untuk berdua.
"Mau ngapain lo di tempat sepi gini? Pasti elo punya niat jahat sama gue!" tuduh Vika.
"Parno banget sih, lo? Diapa-apain elo tetep beruang buruk rupa yang punya pantat segede beruang eh, salah panda kali ya yang super ge--"
Vika spontan menginjak kaki Radit. 
"Aduh! Sialan lo, nginjek-nginjek kaki. Jadi cewek jangan sadi-sadis, dong!"
"Gue? Sadis? Terus kata-kata elo barusan itu nggak sadis? Itu pelecehan! Seharusnya gue laporin elo ke komnas perlindungan wanita. Dari dulu harusnya,"
"Sori, sori,"
"Bisanya bilang sori. Apa upaya elo nebus kesalahan elo sama gue? Nggak ada,"
"Iya, gue ngaku salah. Puas?" Vika menggeleng mantab. "Gue salah keterlaluan sama elo. Makanya gue ngajak elo ke sini. Minta maaf, juga ngasih tahu bahwa yang elo lihat tadi adalah alasan kenapa elo sama Edgar itu nggak mungkin bersatu. Dia suka sesama lelaki,"
Vika terperanjat tapi tak terlalu seperti pertama mendapati Edgar tadi.
"Nggak mungkin. Mana mungkin?"
"Mungkin aja lah. Dia hidup lama di negara liberal. Kemungkinan bergaya hidup seperti itu besar banget. Dan itu sudah jadi kenyataan. Elo harus terima dan gue minta elo berhenti berharap sama dia,"
"Tapi masa nggak ada harapan?"
"Masih. Tapi bukan sama dia,"
"Sama siapa?"
"Sama gue. Hem?" tawar Radit sambil menaik-turunkan alisnya.
Vika tersenyum sadis. "Elo? Elo lupa elo pernah nolak gue sampai bikin malu gue di depan umum? Lupa lo? Kenapa sekarang elo niat banget sama gue?"
"Ya gue suka sama elo, gimana dong? Elo mau ngelarang? Ya gue tahu gue keliru dulunya tapi asal elo tahu pas itu gue nggak setulusnya mau ngehina elo. Gue nyesel setelah hari itu. Aslinya... elo nggak jelek-jelek banget, kok. Serius. Hanya saja perlu banyak permak, hehehe,"
Vika mendengus.
"Tapi nggak seharusnya elo bilang sebegitu menyakitkan di depan anak-anak, Radit...."
"Elo marah?" tanya Radit sembari memutar posisi tubuhnya menghadap Vika.
"Ya, iyalah gue marah!" balas Vika sambil menghindar dan salah tingkah.
"Maaf," suara Radit tampak tulus. 
Vika menatapnya dengan kedua mata yang siap merebakkan air mata.
"Rasanya belum cukup, Dit. Gue bener-bener malu waktu itu. Cowok yang gue sukai pas itu ngehina gue di depan banyak orang. Harga diri gue jatuh, Dit," Vika mulai berat bersuara. 
"Apa yang perlu gue lakukan untuk menebus kesalahan gue? Memulihkan rasa sakit harga diri elo?" tanya Radit menatap Vika lekat.
"Cukupkah ini..." Radit mengecup bibir Vika yang baginya menawan sejak dulu. Vika memasrahkan diri tak lagi meronta seperti di depan rumah Radit tempo hari.
"Sudah lebih baik?" tanya Radit melepas kecupannya.
Vika menggeleng lemah.
"Bukan ini, Dit. Tapi... tapi kenapa begini? Kenapa elo suka bikin hati gue jungkir balik, sih? Dulu elo nolak gue sekarang elo deketin gue,"
"Elo tuh, yang bikin gue jungkir balik saltoan. Gue nyesel pas itu ngehina elo. Walau dulu elo gendut, elo masih menawan aslinya. Sampai sekarang, elo menawan tak terbantahkan," tutur Radit. "Maafin gue ya, Vik? Please! Jangan bikin hati gue jungkir balik patah hati lagi, ya? Gue bener-bener nyesel ngatain elo beruang buruk rupa pas itu, sampai elo pindah sekolah gue nggak bisa maafin diri gue sendiri karena nggak sempet minta maaf. Sialnya awal kita ketemu setelah lama berpisah, gue belum bisa bersikap manis sama elo tapi gue pingin banget tapi gue bingung. Elo juga malah deket sama Edgar," ujar Radit meyakinkan Vika. 
Vika seolah terhipnotis. Radit menatapnya lekat jauh ke dalam. Radit mantab mengucapkan kalimat mujarab itu dan membuat hatinya luluh.
"Gue ralat, ya?" kata Vika. "Gue rasa ini cukup untuk tanda minta maaf." Vika memeluk  Radit erat. Selama ini ia memang memendam amarah tak terelakan tapi ia juga tak bisa berbohong ia masih mengharapkan Radit kembali padanya dengan kabar yang lebih membahagiakan. Mengembalikan hatinya ke posisi semula, tak lagi jungkir balik, tapi kembali merasakan cinta yang bersemi dan tumbuh subur meninggi. 
***


cerpen "Untuk Perempuanku"


UNTUK PEREMPUANKU

Galuh kepanasan menunggui ban motornya selesai ditambal dalam perjalanannya dari Kediri ke Surabaya.
“Pak, masih lama nambalnya?” tanya Galuh pada tukang tambal ban sembari ia mengusap keringat yang menetes di pipinya.
“Sedikit lagi ya, Mbak!” kata bapak itu.
Ketika Galuh dan penambal itu asyik ngobrol, tiba-tiba berhentilah seorang lelaki yang kira-kira usianya tak terpaut jauh dengan Galuh menuntun motornya. Lelaki itu meminta tolong pada si penambal ban untuk menambal bannya juga.
Lelaki itu duduk di sebelah Galuh. Galuh memasang tampang ramah setengah tersenyum eh, si cowok itu langsung membuang muka. Langsung hati Galuh menjadi dongkol. Tak berapa, si bapak tambal ban mengatakan pada Galuh bahwa ban motornya sudah selesai ditambal. Usai memberikan upah, Galuh segera pergi melanjutkan perjalanannya.
JJJ
Galuh menikmati jalan-jalannya di sebuah mall besar di Surabaya. Ia sendirian. Usai lelah berjalan-jalan mengelilingi mall, ia keluar gedung besar berisi beraneka macam barang kebutuhan manusia itu. Galuh mulai merasa perutnya lapar. Kebetulan tak jauh dari mall itu terdapat deretan kedai kuliner. Di sanalah salah seorang teman karibnya membuka lapak kuliner kesukaan Galuh. Dari kejauhan ia melihat temannya sedang menjadi kasir.
“Hallo, Retha!!!” seru Galuh mengagetkan temannya.
“Kamu, Luh!” sahut Retha.
“Pesen paket 3 nggak pake’ pete, ya? Nggak pakai lama, ya? Aku tunggu di bangku sini, ya?” kata Galuh sambil menunjuk sebuah bangku makan yang tak jauh dari tempat Retha berjualan. Retha hanya mengangguk.
Galuh duduk di tempat yang dikehendakinya disusul oleh Retha.
“Habis jalan-jalan apa langsung ke sini tadi?” tanya Retha duduk di depan Galuh.
“Dari olah raga keliling mall. Hahahha....,” kelakar Galuh.
“Tetep aja pelit, kamu ini! Sudah jadi dosen dengan bayaran memuaskan masih aja kalo ke mall, nggak pernah beli apapun!”
“Bukan pelit tapi berhemat!!”
“Berhemat katanya! Numpuk pundi-pundi uang bener ya, kamu!”
“Iya dong! Demi masa depan cerah. Habis gini, aku investasikan ke tanah, perkebunan sawit, dan emas! Kan, harganya sering mahal, tuh! Kaya deh, gue!”
“Materialistis tetep...”
“Dari pada gue morotin lelaki,” tegas Galuh disambut tawa Retha.
Mereka bicara mengenai masa-masa indah saat mereka kuliah dulu sampai makanan yang dipesan Galuh datang.
“Silakan, Mbak!” kata si waitress lelaki yang mengantarkan pesanan Galuh.
“Loh, Mas, aku kan, pesennya nggak pakai pete di sambelnya??” protes Galuh.
Waitress yang sudah memalingkan langkahnya menuju ke dapur kembali pada Galuh.
“Di catatannya kan, nggak ada tambahan, Mbak!”
Nggak mau tahu! Saya mau diganti sambelnya!” protes Galuh lagi.
Retha menyuruh lelaki itu segera mengganti sambal itu. Lelaki itupun segera mengambil mangkuk kecil sambal itu tapi entah kenapa ia melakukan kesalahan dengan menumpahkan sambal itu ke baju Galuh.
“Waduh!!! Gimana sih, Mas??!!” kata Galuh sigap berdiri. Dia benar-benar tak tahan dengan bau pete itu. Dia memang sangat membenci makanan pete itu.
“Maaf, Mbak, nggak sengaja!”
Nggak sengaja, nggak sengaja, makanya buka tuh, mata!!” omel Galuh sambil menarik topi yang dikenakan lelaki itu.
Ketika Galuh tahu dengan pasti bagaimana wajah waitress itu, Galuh melotot kaget. Begitu pula si lelaki. Ternyata lelaki itu adalah lelaki beberapa hari lalu yang ia temui di tambal ban di daerah Krian. Dengan sigap lelaki itu mengambil topinya dari tangan Galuh dan memakainya. Sementara Galuh tetap melongo.
“Tunggu sebentar ya, Mbak! Pesanan segera datang!” kata si lelaki itu segera pergi dari hadapan Galuh.
“Sori ya, Luh! Dia memang baru di sini jadi agak serampangan juga!” kata Retha tapi Galuh masih terbengong-bengong sekalipun Retha melambai-lambaikan tangannya di depan wajah Galuh.
“Galuh!!” kata Retha menepuk bahu Galuh. Galuh pun tersadar.
“Eh, ya, Retha! Sori. Sori,”
“Kok, elo mandangin Tama sampai segitunya? Kalian kenal?” tanya Retha. Galuh menggeleng kuat.
JJJ
Lelaki seganteng dia kok, jadi waitress, sih?? Pantesnya jadi manajer, direktur, pengusaha gitu. Hhhmmm...tapi sayang juteknya itu yang nggak nahan. Buktinya waktu  sama-sama nunggu di tukang tambal ban, nggak sedikitpun dia berbasa-basi ngajak ngobrol. Selalu aku yang mencoba berbasa-basi.
Galuh berkutat dengan pikirannya tentang waitress bernama Tama itu padahal ia sedang mengikuti rapat departemen di fakultas dia bekerja. Parahnya sampai ia tak menyadari tangannya nyemplung ke teh setengah panas ketika ia hendak mengambil mouse laptopnya.
“Aduh!!” keluh Galuh membuat semua orang memandang ke arahnya.
“Ehem! Ibu Galuh, ada masalah?” tanya ketua rapat yang tak lain adalah ketua departemen dimana Galuh mengajar.
“Oh, enggak, Pak! Tidak ada masalah apa-apa! Saya setuju-setuju saja!” kata Galuh yang dirasa nggak nyambung oleh yang lain.
“Setuju apa? Kita tidak membahas setuju tidak setuju, Bu!” sahut si ketua membuat Galuh menahan malu bukan main. Junior yang memalukan.
Usai rapat Galuh segera mengajar. Selama kurang lebih dua jam setengah dia mengajar. Lalu ia merasa lapar. Otaknya mengarah pada makanan kesukaannya di kedai Retha. Akhirnya ia menelepon Retha untuk mengantarkan makanan padanya.
“Eh, Retha...kalo boleh, yang nganter si Tama, ya?” pinta Galuh agak malu-malu.
“Kenapa harus dia? Dia kan, bukan kurir. Lagian ada dua orang kurir yang nganggur,” sahut Retha dari seberang sana.
“Retha...please....”
“Okeh. Okeh,”
Galuh kegirangan mendengar persetujuan Retha. Ia tersenyum-senyum sendiri sambil memutar-mutarkan diri di kursi putarnya hingga tangannya terantuk meja. Dan ia mengeluh kesakitan.
Butuh waktu kurang lebih tiga puluh menit untuk Galuh mendapatkan makanannya dan pastinya bertemu dengan Tama. Mulanya yang menyampaikan makan siangnya adalah office boy tapi Galuh segera ngacir keluar kantor menyusul si pengantar pesanannya yang ia yakin pasti Tama.
“Eh, Mas! Mas! Tunggu dulu!” kata Galuh menghentikan lelaki yang berseragam khas kedai Retha yang mulai men-starter motornya. Lelaki itu menoleh dan ternyata benar, itu Tama.
“Ehm, Mas kok, nggak masuk tadi?” tanya Galuh malu-malu.
“Bukannya sudah ada O-Be?” tanya balik Tama datar.
“Ehm, iya, sih! Tapi,...”
“Maaf, saya masih banyak pekerjaan!” kata Tama memotong pembicaraan Galuh.
“Kamu itu kenapa, sih, selalu jutek sama saya? Belagu banget, ya, kamu??!!” omel Galuh.
“Saya nggak banyak waktu untuk basa-basi!” kata Tama lalu pergi dari pandangan Galuh.
Galuh dongkol bukan main. Tangannya mengepal kesal. Lalu ia segera masuk ke kantor dan memakan dengan kesal pesanannya.
JJJ
“Tapi kan, nggak usah jutek begitu! Kalo dia bermuka masam begitu, pelangganmu pada kabur semua,” keluh Galuh pada Retha melalui telepon.
“Ya, maklum saja, Luh. Lagi ada masalah besar. Dia ditinggal kawin sama tunangannya. Jadi, yang aku denger dari karyawanku yang lain, tunangannya itu hamil duluan sama sahabatnya. Hati pacar mana yang nggak sakit digituin? Terus dia sempet kenal alkohol gitu beberapa bulan lalu. Sekarang sih, sudah agak baikan,” jelas Retha.
“Ih, kamu kok, berani terima karyawan pecandu alkohol begitu?”
“Ya, dia kan, sudah sadar dan yang penting dia nggak bikin kisruh. Kasihan kalo dikucilkan. Setiap manusia berhak diperlakukan selayaknya manusia. Tama juga manusia,”
“Ya, sudahlah kalau begitu. Aku mau nglanjutin tugas buat besok ngajar. Malem,” kata Galuh sambil memutus hubungan teleponnya dengan Retha.
Kasihan banget Tama. Ditinggal begitu sadisnya sama tunangannya. Pantesan dia dingin sama cewek, pasti di otaknya semua cewek itu sekejam mantan tunangannya. Padahal, aku kan, nggak begitu. Pengen rasanya nyembuhin lukanya tapi kalo gue didepak sebelum beraksi ya, pasti malu banget aku. Lagian...aku ini kenapa sih, selalu nyosor duluan. Ngebet duluan. Ibarat lagunya Sheila On 7 ost. 30 Hari Mencari Cinta, berjudul Untuk Perempuan, aku bunga yang menghampiri kumbang padahal jelas itu mustahil. Yang ada kumbang menghampiri bunga. Terlalu sering aku melakukan itu dan hasilnya selalu nol besar. Nggak ada satupun lelaki yang suka sama aku. Masa’ sekarang aku mengulanginya lagi? Ah, aku mikir apa sih? Masih banyak hal yang butuh aku perhatikan.
Galuh segera menyentuh laptopnya dan mengerjakan tugas-tugasnya untuk esok hari. Beberapa menit kemudian seorang warga menggedor-gedor pintu rumah kontrakannya, berteriak minta tolong. Galuh segera keluar rumah menanyakan apa yang terjadi.  Menurut lelaki setengah baya itu, ada seorang lelaki kecelakaan. Lelaki setengah baya yang meminta tolong itu meminta Galuh mengambil segelas air minum untuk lelaki yang kecelakaan itu sekaligus obat untuk megobati lukanya. Galuh segera mengambil apa yang dibutuhkan tersebut dan segera ke tepi jalan melihat separah apakah lelaki yang kecelakaan itu.
Galuh menembus kerumunan orang yang mengelilingi lelaki yang mengalami kecelakaan itu. Betapa kagetnya Galuh ketika tahu siapa lelaki itu.
“Tama??!!” seru Galuh.
“Mbak Galuh tahu siapa dia?” tanya seorang warga. Galuh mengangguk.
“Ya, sudah biar dia istirahat sebentar di rumah Mbak Galuh,” lanjut warga tersebut. Kemudian Galuh meminta tolong pada warga sekitar untuk membawa Tama ke ruang tamunya.
Galuh masih membersihkan darah yang keluar dari pelipis Tama.
“Pelan-pelan!” pinta Tama agak membentak.
“Iya. Ini sudah pelan,” sahut Galuh.
“Jadi cewek nggak ada halus-halusnya sama sekali! Kecentilan! Ngapain ngaku-ngaku temenku??!” lanjut Tama.
Galuh yang tersinggung langsung menekan pelipis Tama sampai Tama mengerang kesakitan.
“Niat nggak sih, nolongin??!!” tanya Tama dengan lantang.
“Mulutmu itu nggak sopan!! Aku cuman niat nolongin. Nggak lebih!!!” balas Galuh nggak mau kalah lantang.
“Obatin aja lukamu. Dan lima belas menit lagi silakan pulang!” tambah Galuh sambil melirik jam dinding yang menunjuk hampir pukul sepuluh malam. Lalu ia beranjak dari tempat duduk. Tapi, Tama menarik tangan Galuh hingga Galuh terpaksa duduk di samping Tama kembali. Untuk beberapa detik Tama menatap Galuh tajam dan dalam. Galuh  menjadi salah tingkah dan segera mengalihkan pandangan.
“Jangan setengah-setengah melakukan sesuatu! Selesaikan pertolonganmu ke aku!” suruh Tama. Galuh pun segera melanjutkan pertolongannya pada Tama.
JJJ
Semenjak kejadian kecelakaan malam itu yang membuat Tama akhirnya bermalam di rumah Galuh, hubungan mereka menjadi dekat. Galuh jelas merasa senang akhirnya dia dekat dengan orang yang disukainya. Tapi, kebahagiaan itu tak berlangsung lama.
Tepat pukul empat sore di hari Sabtu, Galuh sudah duduk manis menanti kedatangan Tama di taman kota. Kebetulan Galuh tak sedang mengajar dan Tama hanya bekerja setengah hari saja. Tak lama berselang, Tama datang membawa seikat bunga.
“Hai!” sapa Tama.
“Hai!” sahut Galuh.
“Lama nunggunya? Maaf, tadi banyak pelanggan. Oh, ya, ini buat kamu!” kata Tama sambil menyerahkan bunga yang dibawanya pada Galuh. Galuh menerimanya dengan senang hati.
“Makasih,” sahut Galuh. Lalu ia mempersilakan Tama duduk di sampingnya tapi Tama menolak. Tama memilih berdiri di depan Galuh.
“Langsung saja, Luh! Aku ke sini cuman mau tanya, kamu cinta sama aku?” tanya Tama menohok hati Galuh. Jelas Galuh salah tingkah.
“I-i-i-iya,” sahut Galuh.
Aduh, lagi-lagi aku yang duluan bilang cinta. Padahal aku janji bakal bikin Tama yang bilang cinta duluan ke aku. Pertanda apa ini??
“Kamu tahu, Luh? Wanita itu mahal harganya. Tak seharusnya dia mengemis cinta. Tak seharusnya dia mengejar cinta. Bukankan selama ini kumbang yang menghampiri bunga? Mana mungkin bunga yang tak bisa berpindah tempat menghampiri kumbang yang pintar terbang kesana-kemari? Hargailah dirimu sendiri. Apalagi kamu seorang dosen yang disegani banyak orang. Jangan sampai reputasimu runtuh karena mengejar lelaki,” tutur Tama yang membuat sakit hati Galuh.
“Selesai ceramahnya? Perlu kamu tahu, sekalipun aku berusaha mengejar cinta tapi aku nggak pernah mengemis cinta. Kamu lulus SD nggak, sih? Arti kata mengemis? Meminta-minta, memohon-mohon, persis seperti pengemis jalanan. Apa kamu pernah melihat aku seperti itu? Kalaupun sikapku yang berusaha dekat dengan kamu, kamu anggap wujud mengemis, kamu picik, Tam! Bener-bener picik!!” balas Galuh.
Galuh kemudian pergi sambil meneteskan air mata dan membuang bunga yang diberikan Tama tadi. Ia menginjak bunga itu. Hatinya hancur dikatai Tama seperti itu. Ternyata langkahnya salah kaprah mendekati lelaki. Padahal wanita lain yang melakukan hal lebih gila, bisa mendapatkan cinta lelaki, bisa dihargai lelaki yang dicintainya. Galuh mengutuk perbuatannya sendiri. Ia terus larut dalam kehancurannya.
JJJ
Dua bulan berlalu. Selama itu pula, Galuh tidak pernah memesan makanan apalagi datang ke kedai Retha. Galuh bertekad menjauhi semua berbau Tama. Niatnya didukung dengan datangnya tawaran berlibur ke Singapura bersama dosen seniornya dalam seminggu.
Galuh berangkat ke Singapura. Selama perjalanan di pesawat, Galuh hanya mendengarkan lagu Untuk Perempuan milik Sheila On 7.
Jangan mengejarnya/ Jangan mencarinya/ Dia yang kan menemukanmu/ Kau mekar di hatinya/ Di hari yang tepat// Jangan mengejarku/ Jangan mencariku/ Aku yang kan menemukanmu/ Kau mekar di hatiku/ Di hari yang tepat// Reff:      Tidaklah mawar hampiri kumbang/ Bukanlah cinta bila kau kejar/ Tenanglah tenang, dia kan datang/ Dan memungutmu ke hatinya yang terdalam// Sibukkan harimu/ Jangan pikirkanku/ Takdir kan menuntunku pulang kepadamu/ Di hari yang tepat.
Selama seminggu Galuh di negeri orang untuk menyegarkan kembali pikiran dan hatinya. Kembalinya ia dari Singapura, ia mendapati Tama duduk di teras rumahnya.
“Cari siapa?” tanya Galuh dingin.
“Kamu,” sahut Tama.
“Perlu apa?” tanya Galuh lagi yang sedang sibuk membuka kunci pintu rumahnya.
“Bisa kita bicara sebentar?” tanya Tama.
Galuh menghadap Tama.
“Apa lagi? Belum puas menghinaku sebagai pengemis cinta? Maaf ya, aku bukan objek penderitamu. Untukku tak mendapatkanmu bukan perihal besar,” ujar Galuh lancar tapi hatinya sebenarnya berat.
“Maafkan aku! Aku salah. Aku hanya belum siap menerima wanita lain. Tapi kali ini aku tak akan menyia-nyiakanmu. Itu pun kalau kamu masih merasakan perasaan itu,”
 “Itu!”
Tama mengernyitkan dahi.
“Itu kesalahan terbesarmu. Kalimat terakhirmu itu. Kamu menunggu aku menyatakan aku-masih-cinta-kamu. Kamu nggak ada effort bikin aku jatuh cinta lagi dan lagi sama kamu. Untuk apa aku masih menyimpan rasa itu? Buang-buang tenaga,”
Galuh repot memasukkan kopernya ke dalam rumah dan akhirnya selesai sudah. Ia sudah bisa fokus pada Tama.
“Apalagi? Kalau tak ada lagi pembicaraan penting, silakan pergi! Aku capek,”
“Aku sayang kamu, Luh. Aku cinta,” tegas Tama.
“Katakan itu ketika kamu sudah benar-benar yakin dan kamu sudah punya amunisi meyakinkan aku untuk tidak menerima cinta dari orang lain. Oke? Pikirkan dengan tenang, pikiran yang jernih, jiwa yang bersih. Silakan pulang, Mas Tama!” celoteh Galuh tersenyum kecut.
Galuh menutup pintu rumahnya setelah ia mengucap permisi pada Tama ia akan menutup pintu. Dari balik pintu Galuh menumpahkan air mata segera. Ia berhasil tegar dan jual mahal di hadapan Tama. Tapi hatinya menolak. Ia masih menyimpan rasa itu pada Tama. Tak mudah bagi Galuh untuk melupakan perasaannya sebegitu cepat.
Di luar rumahnya Tama belum beranjak. Ia juga tak menyangka kali ini Galuh menjaga harga diri yang sudah ia jatuhkan tempo hari. Ia menyesal. Kini dia benar-benar tak ingin kehilangan Galuh. Perempuan yang ia yakini sebagai bunga “ajaib” yang akan membuatnya tak pernah kehabisan madu untuk bertahan hidup. Ia kumbang yang mulai melabuhkan diri dengan mantab pada hati Galuh.
“Jadilah perempuanku, Luh. Terimalah aku,” gumam Tama lalu beranjak pergi.
JJJ



cerpen "Rani’s The Lion King"



“Ck-ck-ck, come on!” ajak Maha pada Rani. Ia melempar ekspresi mengajak Rani makan siang.
“Iya, bentar. Gue beres-beres ini sebentar,” sahut Rani.
Rani segera membereskan meja kerjanya kemudian pergi makan siang dengan sahabatnya di luar area kantor.
“Gue mau makan mie ayam di seberang sono,” celetuk Rani.
“Oke, gue pengen nasi rawon di sebelahnya,” sahut Maha.
Mereka berdua berjalan melawan panasnya terik matahari siang itu dan berbagai debu dan asap tak sehat kendaraan yang berlalu lalang di tengah kota itu.
“Heran gue, jalanan selebar dan seramai ini kenapa nggak ada jembatan penyeberangan, sih? Dari ujung jalan sono sampai ke pangakal sono, ga ada zebra cross kek, minimal!” dumel Maha.
Rani hanya tersenyum kecil melihat sahabatnya sering ngomel-ngomel sendiri terhadap segala sesuatu yang tidak sesuai dengan kehendak hatinya.
“Dan lebih herannya, kenapa gue bisa temenan sama elu yang kerjanya senyam-senyum sendiri begitu setiap kali gue ngedumel. Lu kira gue lagi ngelawak apa?” tandas Maha.
“Ngomel aja terus sampai kita balik kerja lagi. Hehehehe,” ujar Rani sesampainya mereka selesai menyeberang dan berada di warung yang mereka kunjungi.
Kedua sahabat ini bertemu setelah mereka bekerja di sebuah perusahaan provider telepon seluler ternama di bagian human resources development-nya. Mereka berdua pribadi yang 180 derajat berbeda. Maha berkepribadian tipe koleris yang selalu berapi-api dan ekspresif dalam menyampaikan pendapat dan perasaan sementara Rani berkepribadian plegmatis yang cinta damai dan lebih cenderung agak pendiam tapi perasaannya cukup sensitif.
Kehidupan pribadi mereka berdua juga cukup berbeda nasib. Maha beruntung soal keluarga yang cukup berada dan soal asmara yang disukai banyak lelaki. Setiap ia usai putus dengan pacarnya ia segera mendapatkan penggantinya. Sementara Rani, keluarganya bukan keluarga berkecukupan dan soal asmara tak ada yang bisa diceritakan atau dibanggakan siapa kekasihnya atau mantan kekasihnya selama ini. Ia cukup dingin dengan lelaki urusan asmara semenjak ia menjadi korban perselingkuhan yang dilakukan pacarnya ketika kuliah.
Rani dan Maha menikmati makan siang mereka berdua sembari mengobrol hal apapun yang dapat dijadikan topik obrolan.
“Ran, besok bos baru kita dateng. Denger-denger dia manajer HRD teladan di kantor pusat sono. Dia mutasi ke sini untuk perbaikan di kantor kita,” celetuk Maha.
“Perbaikan macam apa? Perasaan pak Tommy sudah bekerja dengan baik, kita sejahtera dipegang pak Tommy,” sahut Rani.
Maha mengangkat kedua bahunya tanda tak tahu.
“Mas, mana minumnya? Kok, lama, sih? Saya sudah dower kepedesan, nih!” teriak Maha kepada penjual nasi rawon.
“Minum punya gue aja dulu, nih!” kata Rani menyodorkan es kelapa mudanya.
“Wah, makasih, Ran,”
 Maha segera meminum es kelapa muda Rani dan ow-ow, langsung habis airnya, tinggal ampasnya kelapa muda.
“Mahaaaa...”
“Tenang aja, nanti gue ganti,”
Dasar mereka berdua sahabat yang sama-sama penggemar makanan pedas.
@@@
Seminggu berlalu. Rani sekarang mulai tertular kebiasaan Maha yang ngedumel mulu. Semua karena manajer HRD yang baru bernama Iras. Sikapnya bossy dan menyebalkan. Segala sesuatu harus sempurna sedetil-detilnya. Tak ada toleransi pada kekeliruan sedikitpun.
“Tuh, orang ibunya ngidam apa sih, perfeksionis begitu? Lagaknya songong lagi. Angkuh! Kelihatan dari wajahnya yang selalu terangkat terus tanpa mau menunduk sebentar. Ciri orang angkuh! Dan sialnya gue yang selalu jadi sasaran bulan-bulanannya dia. Semua yang gue lakuin salah. Kurang ini kurang itu. Kerjain aja sendiri kalo mau sempurna!!” dumel Rani.
Nampaknya Rani melakukan kesalahan fatal ngedumel begitu di depan ruangan Iras. Ia tak menyadari Iras berdiri di belakangnya.
“Kamu saja yang keluar dari kantor ini kalo tidak mau diatur, tidak mau disiplin!!” ujar Iras mengagetkan Rani. Rani terbelalak.
“Mulai hari ini sampai seminggu ke depan kamu harus lembur karena menjelek-jelekkan atasan seperti itu tadi,”
“Apa, Pak??!”
“Laksanakan perintah! Kamu sendiri yang mempersulit pekerjaan kamu,”
Iras manajer baru itu segera berlalu meninggalkan Rani.
@@@
Rani sedang dalam masa hukuman pemberian Iras. Ia harus lembur sampai malam untuk menyelesaikan tugas-tugas segera yang jatuh tempo penyelesainnya mustinya masih dua minggu lagi tapi waktunya diperpendek oleh Iras dan ditimpahkan kepada Rani. Dalam hati Rani berontak tapi daripada ia keluar dari kantor dan pengangguran lebih baik dia melaksanakan tugas itu.
Suatu malam ketika ia kerja lembur. Ia hendak pergi mencari makan sebelum melanjutkan pekerjaan, ia menuruni anak tangga menuju keluar kantor. Ketika ia berjalan sendirian, ia merasa ngeri sendiri karena suasana kantor yang sudah begitu sepi. Sesekali ia mendengar ada langkah kaki yang ada di belakangnya. Ia menoleh tapi ia tak mendapati seorang pun di belakangnya. Ia mempercepat langkah kakinya tapi derap langkah kaki yang mengikutinya juga semakin cepat dan terasa semakin dekat. Rani pun memberanikan diri menoleh segera.
“HUAAAA!!!” teriak Rani tapi segera sebuah tangan membungkam mulut Rani.
“Apaan, sih, teriak-teriak??!” kata lelaki itu ternyata Iras.
“Habis Bapak ngagetin saya. kenapa Bapak seperti mengendap-endap mengikuti saya?”
“Siapa yang mengendap-endap ngikutin kamu? Ge-er kamu!”
“Oh, ya, sudah. Saya permisi,” kata Rani hendak pergi tapi Iras menahan pundak Rani.
Rani membelalakkan mata. Tak pernah ada lelaki yang menyentuh pundaknya kecuali ayahnya, bahkan mantan pacarnya tak pernah. Ia segera menepis tangan Iras. Iras terkaget.
“M-ma-maaf, Pak. Ada apa?” tanya Rani tak berani menatap Iras.
“Kamu bicara sama lantai apa sama saya? Kenapa mata kamu ngelihat bawah? Tatap dong, mata saya!” suruh Iras.
“Saya nggak suka sama orang yang kalo ngomong sama saya matanya kemana-mana karena itu mengartikan hati dan pikiran orang itu kemana-mana,” lanjut Iras.
“Belum tentu, Pak. Ada orang yang memang tak bisa melakukan itu. Jadi, jangan menyamaratakan semua orang yang tak melihat mata lawan bicara seperti itu,” tungkas Rani.
“Oh, ya? Ah, sudahlah, saya tak mau berdebat di saat saya kelaparan. Kamu mau cari makan, kan? Ajak saya juga, ya?” kata Iras sambil berjalan mendahului Rani yang masih diam tak mengerti alur berpikir orang itu. Terkadang baik, terkadang seperti singa yang siap menerkam orang lain, apalagi matanya seperti burung hantu yang super belok menatap tajam ke dalam. Jadi, Iras itu perpaduan singa dan burung hantu yang menyeramkan untuk Rani.
Iras dan Rani makan di warung makan pinggir jalan dekat dengan kantor mereka. Rani memperhatikan Iras yang begitu lahap makan ayam bakar yang dipesannya. Makannya begitu membuat iri orang lain. Begitu lahapnya.
“Kenapa ngelihatin saya begitu? Kamu punya ikan sendiri untuk dimakan, jangan ngelirik punya orang lain, dong!” kata Iras ketika mengetahui Rani memperhatikannya.
Rani kagok dengan perkataan Iras kemudian tersenyum, terdengar lucu karena seperti perkataan anak kecil yang ogah bagiannya direbut kawannya.
“Senyuman nggak akan membuatmu kenyang. Cepat makan dan cepat bekerja lagi! Tugasmu banyak. Kamu harus memenuhi target penyelesaian tugas minggu depan,” lanjut Iras.
Rani menarik garis senyuman di wajahnya pada posisi manyun. Senyuman itu lenyap berganti suasana hati jengkel. Lelaki di hadapannya sungguh menyebalkan.
@@@
Rani baru bangun dari tidurnya setelah semalaman begadang menyelesaikan tugas hukuman terakhirnya yang diberikan Iras kepadanya. Ini memang hari Minggu tapi iras tak memberi kompensasi hari libur untuk Rani menyelesaikan hukumannya. Kejam! Tepat jam lima subuh tadi pagi ia mengirim email kepada Iras sebagai pertanda bahwa tugasnya yang merupakan hukuman dari Iras selesai hari itu juga. Dan setelah mengirim email, Rani tidur lagi sampai jam 9 pagi.
Suara orang mengetuk pintu berulang kali terdengar tapi Rani tak bangun-bangun. Rani dalam kondisi setengah sadar justru menganggapnya hanya lanjutan mimpinya Iras datang ke kontrakannya mengetuk pintu. Rani tidur lagi.
Ponsel Rani berdering. Berulang kali tapi Rani tak juga bangun. Semakin lama suara dering ponselnya semaki berisik. Akhirnya ia mengangkat teleponnya.
“Iya, halo. Siapa? Ada apa?” tanya Rani dengan suara berat.
“Suaramu seksi ya kalau bangun tidur...SEKARANG SUDAH JAM BERAPA MASIH TIDUR, HAH???”
Rani segera bangun.
“Pak Iras???!!!”
“Iya, saya. Bukain pintu! Saya di depan sekarang.”
Rani kelabakan sendiri. Iras datang tanpa diduga. Darimana Iras tahu kontrakannya? Lalu ngapain dia menemui Rani di hari Minggu. Kenapa? Kenapa? Kenapaaaaaa???? Rani segera mencuci mukanya dan merapikan dirinya. Ia juga merapikan ruang tamu kontrakannya yang berantakan karena tak sempat ia bereskan setelah begadang semalaman.
Rani membukakan pintu untuk Iras. Di depannya sudah berdiri Iras dengan mata menatap Rani tajam.
Ah, mata ini bikin gue nggak konsen. Nggak konsen karena takut sekaligus agak terkesima. Jujur.
“Kamu ceroboh banget pagar depan nggak dikunci lalu tidur susah dibangunin. Saya sudah puluhan kali ngetok pintu dan telpon kamu tapi kamu nggak bangun juga. Kalo tiba-tiba penjahat masuk dan memperkosa kamu gimana, hah? Ceroboh!” celoteh Iras.
Rani bergidik sendiri sambil melipatkan kedua tangannya di depan dadanya.
“Kita sarapan berdiri di depan pintu begini? Cepat, persilakan saya masuk dan kita makan. Saya sudah sangat lapar,” kata Iras.
Rani mempersilakan Iras masuk. Lalu tanpa banyak kata-kata lagi Iras meraih makanannya dan makan, ia juga menyuruh Rani memakan sarapan yang sudah ia belikan untuk Rani.
“Makan aja, nggak saya racun kok, makanannya. Jangan ngelihatin saya curiga begitu, dong!”
Rani segera memakan makanannya dan memalingkan pandangannnya dari Iras.
Baik sekali beli sarapan buat gue. ah... apa sih, maunya orang ini? Sedikit baik, sedetik ke depan taring singanya keluar.
@@@
Hari demi hari dilalui Rani seperti di surga dunia tapi dengan segera dilempar ke neraka dunia, jadi berasa bola pingpong yang dilempar dan ditampik kesana-kemari. Bagaimana tidak, semenjak Iras menjadi bosnya, tak pernah sekalipun Iras membiarkan hidupnya nyaman baik selama di kantor maupun di luar kantor. Iras selalu berusaha untuk masuk ke dalam lingkaran hidupnya tapi sikapnya tak pernah bisa ditebak apa maksudnya.
Rani ingin bertanya maksud dan tujuan Iras bersikap seperti itu tapi Rani nggak berani. Dan seiring kejengkelan yang sering muncul di hati Rani, perasaan lain tubmuh begitu halus tak terasa di sisi lain hati Rani. Jatuh cinta. Rani ragu memutuskan itu cinta atau bukan karena Rani takut sakit hati lagi. Ketika ia menegaskan bahwa ia jatuh cinta pada seseorang, ternyata orang itu tak memiliki perasaan yang sama dengannya. Ia takut sakit hati.
Tapi, pada akhirnya Rani memantabkan hati bahwa ia memang menaruh hati pada Iras tak peduli Iras merasakannya atau tidak. Mulai sekarang ia tak akan peduli orang yang dicintainya juga mencintainya atau tidak. Terasa sakit memang tapi mau gimana lagi. Pikir Rani. Akan tetapi, ketika Rani memantabkan hati seperti itu, masalah lain datang dan itu muncul dari sahabatnya sendiri. Maha. Beberapa minggu terakhir, ia sering melihat Maha dan Iras dekat baik di kantor maupun di luar kantor. Sikap Iras begitu berbeda kepada Maha, lembut dan penuh canda senyuman. Itu berbanding terbalik dengan sikap Iras kepadanya. Dan, hati Rani memupus. Seperti guci jatuh dari atap lemari yang tinggi ke lantai keras pecah berkeping-keping. Baru saja dia merasakan cinta sudah sakit lagi. Sekarang Rani sudah habis pikir atas rencana Tuhan terkait lelaki yang menjadi tambatan hatinya. Tuhan suka sekali mempermainkan hatinya selama ini. Rani menangis. Kesakitan Rani semakin dipertegas ketika Maha menanyakan keseriusan pernyataan Rani pada awal-awal Iras baru bekerja di kantor mereka.
“Kamu serius nggak suka sama Iras?”
“Ya, iyalah. Kenapa? Elu mau? Embat aja! Lelaki seperti itu bukan tipe gue!”
 Itulah pernyataan Rani beberapa bulan lalu tapi sekarang ia tak kuasa mengatakan itu lagi ketika Maha bertanya.
“Tentu saja. Elo suka sama Iras? Silakan, jangan khawatirin gue,” kata Rani berat.
Maha dapat membaca raut wajah tak rela dari Rani. Ia sadar betul sahabatnya, Rani sungguh-sungguh mencintai Iras.
“Jangan menyesal jika dia menjadi milik orang lain atau bahkan menjadi milik gue, Ran. Elo nggak pernah mau jujur sama perasaan elo sendiri. Mana dia tahu kalo elo suka sama dia,” tungkas Maha.
Rani berusaha keras menahan tangis  di depan Maha.
@@@
“Bilang aja kamu cemburu waktu saya jalan bareng Maha!” tuduh Iras pada Rani.
Rani tersenyum sinis tapi hatinya jelas menangis.
“Untuk apa saya merasa cemburu? Tidak ada alasan khusus yang mendasari itu,” tungkas Rani.
“Mata kamu bohong! Kalau kamu nggak cemburu seharusnya kamu berani menatap mata saya!”
Rani tersentak. Menatap mata seseorang adalah tindakan yang tak pernah ia lakukan. Ia tak mampu melihat kedua bola mata lawan bicaranya berlama-lama apalagi untuk urusan seserius ini, persoalan hati.
“Ini kebiasaan. Saya memang tak terbiasa menatap mata orang dalam waktu lama ketika bicara,”
Bad habit!!
“Lalu? Kamu menyadari saya memiliki banyak kebiasaan buruk, pemarah, tak bisa berterus terang, ceroboh, lalu apalagi? Kenapa kamu menyudutkan saya dengan pertanyaan cemburu dan semacamnya?? Kenapa kamu masih saja bertahan di lingkaran hidup saya hah??!! Kenapa???”. Rani mulai melantangkan suaranya di hadapan Iras.
Rani bernafas cepat dan terengah-engah setelah merasa meluapkan separuh isi hatinya. Separuhnya lagi, ia tak bisa mengatakan.
“Mulai sekarang, menjauhlah dari lingkaran hidup saya!” lanjut Rani.
“Saya nggak mau!” tungkas Iras. Rani menatap Iras tajam.
“Kalau begitu, saya yang akan memaksa kamu untuk keluar jauh-jauh dari lingkaran itu,” kata Rani.
“Kamu yakin? Kamu yakin akan mengeluarkan saya jauh-jauh? Saya nggak yakin, tuh. Saya justru yakin kamu akan menarik saya dekat-dekat dengan inti lingkaran hidup kamu,” ujar Iras masih dengan kepercayaan-diriannya yang tinggi.
“Lakukan saja yang kamu mau tapi saya tidak akan mengikuti aturan main kamu lagi. Ingat baik-baik, saya akan mambuat kamu menjauh dari lingkaran itu!” kata Rani sembari pergi meninggalkan Iras pergi.
Kemudian Maha datang. Mata Maha menyapu setiap sudut ruangan seolah mencari-cari seserang.
“Rani mana? Katanya dia sudah di sini pas aku telpon tadi,” tanya Maha.
“Sudah pergi,” jawab Iras santai.
“Hah? Kenapa?” tanya Maha.
“Biarin. Sesekali dia harus dikasih pelajaran biar nggak gampang ngambek untuk hal sepele dan untuk hal-hal yang terjadi karena kesalahan dia sendiri yang tak bisa mengungkapkan apa yang dia mau,” jawab Iras.
“Iras...” ucap Maha.
“Kalau dia mau hidup denganku dia harus bisa berterus terang apapun itu, sekecil dan sebesar apapun persoalan yang ada,” kata Ira.
“Dia pasti marah kan, barusan?? Elo ngomong apa aja ke dia? Tujuan kita ke sini itu memperbaiki hubungan kalian dan mencoba membuat kalian jujur satu sama lain bahwa kalian memang ada perasaan satu sama lain. Dan satu lagi, elo menuntut Rani berterus terang atas segala sesuatu yang terjadi, tapi elo sendiri nggak pernah mengatakan sejujurnya bahwa elo juga cinta sama dia. Dia itu nungguin elo menyatakannya. Dia sudah berjanji pada diri sendiri tak akan pernah mengungkapkan perasaannya terlebih dulu pada lelaki,” jelas Maha.
“Apa dia tidak cukup bisa memahami perlakuanku selama ini mencintai dia sampai gila aku memikirkan semua ini!!!” tandas Iras.
“Selama ini ia merasa sudah melakukan berulang kali kesalahan mengartikan sikap lelaki ke dia. Dikiranya lelaki itu menyukai dia tapi ternyata tidak. Dia nggak mau jatuh ke lubang yang sama,”
“Tapi, aku lubang yang berbeda. Dia tak akan pernah sakit hati kalau jatuh ke lubang yang aku miliki. Tapi dia tak bisa melihat itu,”
“Belum. Karena elo tak bisa menegaskan bahwa kamu ingin memiliki hatinya selamanya,”
Iras terdiam sambil memakan makan malamnya. Ia pun menyuruh Maha memakan makanan di depannya yang sudah mereka pesan. Sekalipun makanan malam itu enak tapi suasana hati mereka tak nyaman. Iras gamang mengenai tindakannya kepada Rani. Ia sungguh gila mencintai wanita itu tapi ia sendiri sulit bagaimana memulai menegaskan bahwa ia ingim menjadikan Rani sebagai the one and only wanita yang akan menjadi pendamping hidup dan ibu bagi keturunannya kelak.Dan Maha makin bingung menyatukan Iras dan Rani yang sama-sama menahan perasaan.
@@@
Rani sudah memasukkan semua barang-barangnya ke dalam bagasi taksi dan bersegera pergi ke stasiun kereta api untuk menuju kota kelahirannya, Blitar, tepat pukul sepuluh pagi.
Selama perjalanan menuju stasiun dia mengingat-ingat kembali semua yang ia alami di tempatnya bekerja termasuk di dalamnya kisah yang sangat berpengaruh besar pada perasaannya beberapa waktu terakhir bersama Maha dan Iras. Ia menangis.
Ini mungkin tindakan bodoh memutuskan pergi dari persoalan yang tak ada penyelesaian jalan keluarnya. Tapi, menurutku membiarkan mereka berdua bersatu adalah penyelesaian dari segala persoalan. Akulah yang menjadi penghalang bersatunya mereka. Tuhan...selalu seperti ini. Aku mencintai lelaki yang hatinya milik orang lain. Aku berharap terlalu jauh memiliki lelaki seperti itu. Aku bermimpi terlalu tinggi. Bego! Bego! Begooooo!!!
Tapi aku musti kuat. Aku sudah sering ngalamin sakit hati mustinya sudah kebal. Aku kuat. Aku kuat. Aku kuat.
Rani sudah sampai di stasiun kota. Ia sedang menunggu kereta tujuan Blitar datang. Sesekali ia mencoba mengajak bicara ibu-ibu atau bapak-bapak yang duduk di sebelahnya. Sesekali ia juga menenggak teh botol yang ia beli di minimarket di stasiun kota.
Tiba-tiba ponselnya berdering. Satu panggilan dari Maha.
“Hei! Ada apa telpon?” suara Rani mencoba berbohong pada Maha.
“Ada apa-ada apa?? Maksud lo apa? Lo nggak masuk kerja? Ada sidak dadakan dari manajer,” sahut Maha dari seberang sana.
“Si Singa Iras, kan? Pasti dia marah-marah lagi, kan? Hhh!!”
“Kok, elo bisa bilang begitu, sih? Kedengeran orangnya dihukum lagi lo ‘ntar,”
“Hahaha... hukum aja kalo bisa. Gue pikir dia sudah nggak akan bisa ngehukum gue dan maki-maki gue selamanya, deh! Hahahaha,” kata Rani sambil tertawa tapi hatinya tak berniat untuk tertawa lepas.
“Sekarang lo dimana? Ini sudah jam sembilan tapi lo belum juga nongol? Lo sakit atau gimana?”
“Gue dalam keadaan baik-baik tapi gue nggak bisa bilang gue lagi dimana. Nanti elo juga bakal tahu. Sudah ya, gue mau cari sarapan dulu sebelum perjalanan panjang mencari udara segar. Daaa....” ujar Rani bohon lalu menutup telponnya. Ia ingin menangis seketika tapi ia tak bisa.
Baru beberapa detik Rani memutur telepon Maha, Maha sudah telepon lagi.
“Kenapa lagi sih, Maha? Gue kan, sudah bilang, gue mau cari sarapan dulu,” kata Rani.
“Kamu bisa makan dengan senang hati sementara kamu sudah menyakiti hati orang lain? Wanita macam apa kamu tega membiarkan hati orang lain sakit sementara kamu berniat bersenang-senang mencari udara segar?? JAWAB!!!”
Rani kaget seketika. Itu suara Iras. Karakter suara dan aksen pelafalan tiap kata itu kembali bersuara lantang di telinganya. Kenapa sosok itu selalu melemparkan suara-suara dengan nada tinggi dan tak pernah ramah padanya.
Hhh, apa yang dia bilang, gue nyakitin hati orang lain? Yang ada gue yang sering tersakiti!!!
“Sekarang juga kembali ke kantor. Saya tidak menyetujui pengunduran diri kamu.” suruh Iras.
“Maaf, kali ini saya nggak bisa menuruti mau Bapak. Saya sudah menegaskan bahwa saya yang akan membuat Bapak jauh dari lingkaran hidup saya,”
“Kenapa kamu mencampuradukkan urusan kantor dengan pribadi?? Sekarang katakan, dimana kamu sekarang!!”
“Maaf, saya nggak bisa mengatakannya. Ini cara satu-satunya agar Bapak menjauh dari lingakran hidup saya,”
“JANGAN BUAT SAYA GILA DENGAN PERASAAN INI!!! KATAKAN DIMANA KAMU SEKARANG!!! KAMU MAU SINGA TIDUR MENUNJUKKAN AMARAHNYA, HAH???!!!”
“Lakukan yang kamu mau, saya tidak akan peduli!”
Rani menutup telponnya dan mematikan ponselnya. Ia menangis akhirnya.
Kamu membuat segalanya rumit, Ras. Apa maumu meninggikan dan menjatuhkan perasaanku? Aku hampir mengira kamu memiliki perasaan yang sama denganku tapi ternyata semua perhatian tercurah kepada Maha, sahabatku sendiri. Dan kamu selalu bicara berbelit-belit membuatku merasa menjadi orang terbodoh dan tertakut untuk mengartikan semua sikap dan perkataanmu. Perasaan macam apa yang membuatmu gila?? Kalau memang dirimu mencintaku, datang padaku dan bersikap ramahlah padaku. Yakinkan aku bahwa hatimu untukku tapi kalau semuanya begini, aku makin yakin bahwa hatimu bukan untukku.
@@@
Kereta tujuan Blitar sudah datang, Rani beranjak dari tempat duduknya untuk segera masuk ke dalam kereta. Ketika ia menunjukkan tiket kereta kepada petugas di pintu masuk menuju kereta, petugas kereta itu mengatakan bahwa Rani tak bisa pergi sekarang.
“Loh, kenapa, Pak?”
Seorang petugas keamanan menghampiri Rani dan petugas pemeriksa tiket kereta.
“Mbak Rani Hapsari?”
Rani mengangguk.
“Mari ikut saya ke kantor keamanan!” kata petugas keamanan itu.
“Loh, salah saya apa, Pak?”
“Nanti kita bicarakan di kantor, Mbak. Mari...,”
Rani dan petugas keamanan itu berjalan menuju kantor keamanan stasiun. Sesampainya di sana, Rani dipersilakan masuk dan duduk.
“Sebentar, ya, Mbak, saya panggil orang yang berkepentingan dengan Mbak,” kata petugas keamanan itu meninggalkan Rani sendiri.
Rani sudah cemas bukan main. Dirasanya dia tak melakukan kesalahan apapun tapi mengapa ia sampai dibawa ke kantor keamanan.
Tiba-tiba seseorang masuk dan duduk di meja di hadapan Rani. Rani mendongakkan kepalanya dan ia kaget.
“Kenapa? Kaget? Atau terkesima dengan ketampananku?” tanya lelaki itu.
Siapa lagi kalau bukan Iras yang memiki tingkat percaya diri tinggi tapi dia tak menunjukkan bahwa ia sedang menggoda Rani. Ia memasang tampang angkuh dan menatap Rani.Rani segera memalingkan tatapannya, ia tak bisa menatap sorotan tajam Iras.
“Maaf, keretanya sebentar lagi mau berangkat,” kata Rani segera beranjak dari tempat duduknya tapi Iras menahan langkah Rani dengan menghadangkan tubuhnya yang tinggi di depan Rani hingga Rani agak terpental karena menabrak tubuh Iras yang tegap itu.
“Kembali ke kantor!” suruh Iras.
“Pak Wijaya sudah menyetujui surat pengunduran diri saya,”
“Aku atasan kamu. Dia hanya wakil. Seharusnya dia meminta izinku untuk menyetujui surat itu,”
Suasana hening sejenak. Rani memecahnya dengan langkah keluar ruangan dan meraih kopernya untuk menuju kereta. Iras mencegahnya dan segera memeluk Rani dari belakang.
“Jangan pergi! Aku mohon, kembalilah padaku. Jadilah wanita yang paling dekat denganku,”
“Aku nggak bisa,”
“Kalau begitu, jadilah wanitaku selamanya. Wanitaku dan wanita untuk anak-anakku kelak,”
Rani terdiam dan menangis tak percaya Iras mengatakan itu.
“Pikirkan baik-baik. Wanita yang layak untukmu bukan aku tapi Maha,”
“Cukup. Hentikan semuanya. Bisakah kamu menghentikan kebiasaanmu yang tak bisa mengungkapkan perasaan dan sedikit-sedikit marah lalu pergi lari dari kenyataan? Aku sakit mendapat perlakuan seperti ini. Mengertilah aku sakit melihatmu tak bicara sepatah katapun tentang perasaanmu padaku lalu kamu cemburu begitu saja pada orang lain tanpa mau mendengar penjelasan sebenarnya. Bisakah kamu melakukan itu untukku? Jangan buat aku menjadi orang tolol karena takut mengartikan perasaanmu padaku. Tapi aku yakin, kamu mencintaiku tapi kamu tak berani mengatakannya,”
Rani hanya bisa menangis, ia berusaha melepas pelukan Iras tapi Iras tetap bertahan memeluk Rani.
“Lepaskan aku! Aku akan mengatakan semuanya. Tanganmu terlalu besar dan kuat menahan nafasku,” kata Rani.
Iras melepas pelukannya. Kemudian Rani mengajak Iras duduk di bangku dekat mereka.
Setelah mencoba menghapus air matanya, Rani mencoba bicara segalanya pada Iras.
“Kamu bilang, kamu merasa tolol mengartikan sikapku? Itulah yang aku alami selama ini. Kamu mencoba berinteraksi sesering mungkin denganku tapi penyampaianmu selalu dingin, tak ramah sementara dengan Maha sekalipun tak sesering yang kamu lakukan padaku tapi kamu selalu baik terhadapnya. Itu membuatku sangat merasa bodoh. Apa maumu?? Tapi aku nggak bisa bertanya hal itu ke kamu. Aku nggak berani. Aku takut kamu mengatakan aku wanita yang tak tahu diri atau terlalu pede bertanya hal semacam itu. Dan akhirnya aku berpikir kalian berdua memiliki perasaan satu sama lain sehingga aku memutuskan untuk pergi saja. Aku bukan wanita yang sangat kuat untuk menghdapai semua. Jadi aku putuskan mengundurkan diri. Memang hal bodoh lari dari masalah tapi menurutku ini jalan terbaik untuk meneyelesaikan masalah. Menyatukan kalian dan lenyap dari hadapan kalian itu solusi yang baik,”
“Baik? Baik untuk siapa? Tak ada yang baik jika kamu pergi. Aku dan Maha tak memiliki hubungan yang spesial. Justru aku mengejarmu atas bantuan dia. Dia yang paling ingin menyatukan kita berdua. Apa kamu tidak menyadari itu? Hhh, jelas saja kamu nggak menyadari itu karena emosi yang kamu dulukan,”
Rani meninju lengan Iras.
“Lho, bener, kan? Kamu selalu tersinggung tapi kamu mengatakan kamu nggak apa-apa. Akhirnya seperti ini kan, kamu menelan kesakitan yang kamu buat sendiri padahal itu belum tentu benar,”
Rani meresapi perkataan Iras. Benar. Tak ada yang salah dari ucapan Iras.
Iras merangkul Rani dan memaksa Rani bersandar pada tubuhnya. Tapi Rani memberontak menolak. Tapi Iras terus memaksanya.
“Diem aja di situ! Bahu dan dada ini akan selalu ada setiap kali kamu butuh. Kalau perlu peluk sekalian agar kamu merasa lega karena tak sendiri menghadapi semuanya. Datanglah kapan saja pada tubuh ini karena tubuh ini punya hati yang hanya terpatri namamu,” ujar Iras sambil tersenyum tapi ia tak menatap Rani.
Rani tersenyum sambil menyeka air matanya.
“Kalau aku datang untuk mencakar dan menggigit tubuh ini?”
“Kamu macan apa manusia pakai nyakar sama nggigit segala, ha? Hahahha...,”
“Iya aku macan, nyonya singa seperti di Lion King itu,” kata Rani sambil membalas pelukan Iras.
I love you,” ucap Iras sambil mengecup kepala Rani.
“Pulang kampungnya minggu depan aja, sekalian long weekend. Aku akan lamar kamu ke orang tua kamu,” tambah Iras.
“Secepat itu?” tanya Rani.
“Umurku sudah kepala tiga, aku mau segera menikah dan punya anak,”
“Aku nggak mau secepat itu. Umurku masih dua lima,”
“Kenapa enggak? Umur segitu umur-umur reproduktif sehat untuk wanita. Jadi kita bisa bikin anak banyak, hahhaha,”
Rani menimpuk kepala Iras dengan tasnya.
“Aduh!” keluh Iras.
“Otakmu ngeres!” kata Rani.
“Siapa yang ngeres? Itu fakta. Ah, sudahlah. Jangan mengajakku berdebat di saat lapar. Aku belum sarapan tadi. Ayo cari makan dan segera ke kantor! Maha sudah ngomel-ngomel kamu meninggalkan pekerjaan ke dia,”
Mereka berdua berjalan menuju parkir mobil untuk segera kembali ke kantor.
Iras menggandeng tangan Rani erat pertanda ia tak ingin melepaskan wanita pujaan hatinya lagi sampai kapanpun.
@@@