Rabu, 21 Mei 2014

Jangan Menikah Jika Tak Kuat Mental!

sumber

Judul Buku     : (Bukan) Salah Waktu
Penulis           : Nastiti Denny
Penerbit         : PT. Bentang Pustaka
Tahun Terbit  : Desember 2013 (Cetakan Pertama)
Tebal             : viii + 248 halaman
Harga           : - (didapat dari kuis yang diselenggarakan penulis :) )
 




Jangan Menikah Jika Tak Kuat Mental!

Sekar dikejar-kejar mimpi buruk tentang masa lalu yang ia sembunyikan dari suami tercinta, Prabu. Ia tidak ingin keluarga Prabu yang fokus pada reputasi baik orang lain, harus menerima kenyataan bahwa dirinya adalah “produk” dari perceraian – yang ia tidak ketahui sebab-musababnya. Yang ia tahu, dulu orangtuanya sering bertengkar karenanya.
Namun ternyata Prabu juga menyembunyikan masa lalu, justru lebih rumit dengan mantan kekasih dan melibatkan ayahnya. Laras, sang mantan, datang secara perlahan ke dalam kehidupan barunya bersama Sekar. Mengusik perlahan kemudian menukik tajam bersamaan fakta yang terungkap tentang ayahnya dan tentang anak yang tak pernah ia ketahui sudah lahir ke dunia.
Sekar dan Prabu dirundung masalah dari masa lalu secara bersamaan sehingga merenggangkan hubungan mereka. Bahkan Sekar yang tak sengaja tahu masa lalu Prabu menjadi layu kepercayaannya pada Prabu. Namun pada akhirnya, keduanya saling menyadari tak bisa berpindah ke lain hati kendati “guncangan” ada di depan mata.
Novel ini mengisahkan bahwa ada rahasia di balik rahasia. Ya, novel ini mengisahkan setiap konflik secara step by step dan pasti pada pungkasannya tapi tidak terduga. Hal ini membuat pembaca benar-benar terkecoh. Ketika dikiranya sudah bertemu jawaban dari permasalahan di awal, ternyata masih ada lagi. Namun yang sedikit membuat pembaca bertanya-tanya – terutama yang masih single – adalah bagian ketika Sekar sebagai seorang istri tidak memberikan kabar sama sekali pada Prabu ketika menjaga mamanya sakit. Pun Prabu sibuk dengan Laras. Kok, tahan sih, berlama-lama tidak saling tukar kabar?
Karakter Sekar dan Prabu cukup detil digambarkan melalui dialog dan narasi. Namun pembaca harus sedikit meraba-raba untuk membayangkan fisik dari keduanya, pun tokoh lain. Sedangkan bicara soal setting, novel ini menuliskan secara rinci kondisi suasana yang dialami tokoh. Bahasanya pun sangat lugas, mengingatkan pembaca bahwa ini novel “rasa” Indonesia (nama tokoh sampai konflik) di tengah maraknya novel-novel populer yang mengusung tema-tema budaya barat. Mengingatkan pembaca juga pada novel Mira W yang beberapa di antaranya juga berkisah tentang rumah tangga beserta konfliknya. Selain itu nilai yang ingin disampaikan penulis juga bisa dicerna dengan baik yaitu tentang sikap dan tindakan tokoh terhadap konflik rumah tangganya, kasih sayang orangtua – sekalipun bukan orangtua kandung – dan penerimaan masa lalu.
Desain sampul manis dan sederhana. Sedangkan blurb, meskipun bisa membuat penasaran tapi blurb yang berupa kalimat-kalimat isyarat bisa membuat beberapa calon pembaca malas karena tidak segera tahu siapa lakon dan masalah di dalam cerita. Bisa saja membuat mereka menunda memasukkan novel ini ke dalam wish-list.
Secara keseluruhan, novel ini “berbobot”. Novel ini membagi kisah rumah tangga untuk menghadapi masa lalu yang mendadak muncul dan mengisahkan cara mereka menghadapinya agar bisa mempertahankan mahligai rumah tangga. Sementara banyak kasus perceraian di Indonesia yang dapat dilihat dari banyaknya selebritis yang berbondong-bondong mengajukan gugatan cerai.
Novel ini berusaha menyampaikan bahwa kehidupan rumah tangga bukan hanya membutuhkan cinta dan materi melainkan juga mental baja untuk menyongsong masa depan sampai Tuhan yang memisahkannya dengan maut.
Bagi yang ingin menikah atau baru saja menikah, novel ini memberikan semangat dan keyakinan: sedari awal kita harus bermental baja mencintai, menerima dan mempertahankan pasangan kita sampai maut menjemput!*

*terdiri dari 499 kata (judul dan resensi, minus data buku dan intermezo penulis)


Untuk Mbak Nastiti, Kampung Fiksi dan Bentang, thanks novelnya yang manis. Semoga suatu saat aku bisa punya rumah tangga yang manis. #eaaa #tratakdungces #intermezo :D

Kamis, 15 Mei 2014

[FF Cinta Pertama] I Love You, (Mas) Oom

sumber

Mulutku komat-kamit lirih menirukan Foxes melantunkan Let Go For Tonight. Hal ini caraku mengusir kebosanan mendengarkan Madam Elke. Dosen cantik dan  berumur dengan jambul ala Syahrini, kalung manik-manik segede botol kecap di keseluruhan benang yang menghubungan manik-manik tersebut, gelang bergerincing setiap kali menggerakkan tangan, sepatu wedges ala anak muda dan kombinasi warna pakaian yang suka tabrak sana-sini. Dosen satu ini nyentrik. Truly original!
Kebosananku tiba-tiba luntur ketika beliau membahas konsep Oedipus Complex di kelas Sapsi[1] pas bagian aliran psikoanalisa dengan founder father-nya Sigmund Freud. 
“Jadi, Oedipus Complex menggambarkan perasaan anak laki-laki yang mencintai ibunya, disertai rasa cemburu dan kemarahan terhadap ayahnya. Secara sederhana, lelaki suka wanita yang lebih tua usianya, contohnya Raffi Ahmad. Sementara untuk anak perempuan disebut Electra Complex. Tapi konsep ini milik Carl Jung sebenarnya...” Dan ceramah Madam Elke terus berlanjut.
Mendadak otakku mengajakku menjelajahi secara kilat memori masa lalu.
*
”Mau ke mana, Neng?” tanya seorang lelaki.
Aku yang sudah berumur 12 tahun sudah tahu nada orang bicara centil menggoda atau bertanya baik-baik.
Langkah kakiku dari membeli gula untuk Ibu di sebuah toko berjarak seratus meter dari rumahku berlanjut seraya wajahku cuek, membuat lelaki itu kembali nyeletuk.
“Ayu-ayu kok cemberut, sih.”
Aku kesal. Langsung kulempar pelototan kepadanya yang duduk bersama dua orang teman di sebuah bangku semen di depan gereja yang tak jauh dari toko tersebut. Lelaki itu cengengesan di wajah tampannya. Kekesalanku berubah sekejap menjadi rasa tersanjung. Kukira yang menggodaku bapak-bapak, ternyata mas-mas.
Aku jadi berpikir, lelaki kece begitu masa’ iya buruh ternak ayam di Koh Anton? Soalnya yang sering duduk-duduk di sana buruh Koh Anton yang gudangnya ada di depan gereja itu.
Diriku menjadi penasaran. Dan semenjak itu aku sering memikirkannya, mencari informasi tentang dia melalui kawan sekelas yang bapaknya kerja di Koh Anton, rela duduk-duduk di depan rumah menunggu truk Koh Anton lewat yang pasti ada dirinya, mengingat pelat nomor sekaligus suara cempreng motornya. Sejurus itu hatiku sering jumpalitan tak keruan setiap bertemu dengannya. Ragu-ragu aku menyimpulkan: inikah cinta pertama?
Apa pun namanya, itulah pertama kalinya aku merasakan hal demikian terhadap lawan jenis yang ternyata terpaut 16 tahun denganku. Cinta monyetku adalah dia yang sepantasnya menjadi oom-ku.
*
“Poppi!” sentak Madam Elke dengan menggebrak mejaku.
Aku tergagap kaget, nyaris terjengkang dari kursiku sekaligus ketakutan.
“Kamu dapat C untuk Sapsi!” putusnya sangar lalu menyapukan pandangan ke seluruh mahasiswa. “Kalian masih ingat kesepakatan kita di awal semester bukan? Bengong-ngobrol-tidur di kelas, dapat C. Mencontek, D. Plagiat, E.  Kuliah selesai!”
Melihat Madam marah, aku beringsut merengek kepadanya yang bersiap pergi keluar kelas. Nilai C bukan tujuanku. Memang nilai bukan segalanya tapi tetap saja itu menentukan IPK[2]-ku dan simbol kebanggaanku yang kusetor pada Ayah-Bunda.
Aku mewek. Sayang, Madam berkeras hati.
Holy shit! Gara-gara aku memikirkan si Taufik sialan yang menikah dengan sesama buruh setelah mendapat kado ulang tahun ke-28 dariku – berupa kotak musik yang kutitipkan temanku dengan inisial “P”, menunjukkan aku ini pengagum rahasia. Hancur hatiku! Pun nilaiku.*

  

[1] Sejarah dan Aliran Psikologi
[2] Indeks Prestasi Kumulatif

*terdiri dari 495 kata


Senin, 05 Mei 2014

Refleksi Kehidupan


Aku sering berdoa untuk diberi kemapanan dalam hidup. Hidup di dunia. Sering dan selalu aku yakini. Padahal hidup ini akan berujung. Aku memang sering berdoa agar dosaku, orangtua, keluarga dan kerabatku diampuni dosanya, pun berharap diberi keselamatan dunia-akhirat. Tapi celakanya aku hanya berdoa demikian sepintas lalu, tak seperti doa untuk duniawi.
Aku tidak akan berkhotbah tentang surga dan neraka di sini. Aku hanya ingin bercerita yang kualami dan ingin mengabadikannya kemudian menjadi catatan yang selalu kuingat sepanjang hayat.
Surga dan neraka.
Aku berdoa setiap hari hanya untuk duniawi. Berpikir bahwa dengan tercukupinya duniawi, kami bisa hidup lebih tenang beribadah bahkan bisa pergi ke Makkah. Terus dan selalu demikian. Faktanya memang tak banyak yang berubah dalam kondisi duniawiku. Masih sederhana. Dan selalu bersemangat menjalani dinamikanya. Kami merasa lebih hidup. Hanya saja sering juga menyesakkan dadaku. Orang-orang yang kusayangi masih terus berjibaku dengan kerasnya hidup sementara saudara dan teman-temannnya sudah duduk anteng menikmati jerih payah. Hidup terkadang tidak adil, pikirku. Maka aku ingin menggebrak segalanya menjadi lebih sejahtera, hanya saja aku masih berjalan menuju ke sana. Tak apa.  karena aku percaya.
Aku percaya walau belum yakin benar. Aku percaya pada Dia yang punya kuasa namun aku belum yakin karena otakku sering berliar diri. Adakah Dia? mungkin bagi kaum agamawan (adakah istilah seperti ini?) pikiranku picik bahkan terlarang dan haram. Silakan saja kalian berkata.
Namun dalam hati aku berkata, aku tidak mampu hidup tanpaNya. Bahkan aku lahir memang karena kuasaNya untuk tujuan yang entah apa. Secara umum memang untuk berguna bagi semuanya. Benarkah aku sudah berguna? BELUM.
Lantas kapan aku akan berguna?
Sementara aku tak tahu kapan aku akan kembali berpulang. Berpulang padaNya.
Berpulang. Setelah mendengar adik bercerita berdasarkan khotbah ulama yang didengarnya, kita hidup untuk kembali kepadaNya. Bukan untuk surga dan neraka.
Namun,
Aku justru berdoa untuk mengharapkan surga dan menghindari neraka. Kendati aku tahu bahwa masuk surga aku SAMA SEKALI TIDAK PANTAS, tapi juga tidak bisa membayangkan pedihnya siksa neraka. Pernahkah kalian melihat fenomena di alam kubur melalui video yang sudah banyak beredar? Mengerikan. Katanya sih, mengerikan bagi yang tidak beramal-saleh. Allahu a’lam. Tapi kalau di alam barzakh  saja begitu menyakitkan sebagai “imbalan” perbuatan apalagi neraka. Entah, hanya Dia yang Maha Tahu.
Tapi benarkah surga dan neraka itu ada? Jadi teringat lagu Ahmad Dani dan mendiang Chrisye. Jika surga dan neraka tidak pernah ada. Apakah kita masih menyembah kepadanya?
Bisa dimasukkan akal juga. Surga dan neraka itu stimulus untuk orang berlomba-lomba dalam kebaikan. Esensinya kita tetap kembali berpulang dan terserah Dia yang memiliki kita mau berbuat apa terhadap kita.
Tapi sulit untukku. Aku tetap ingin sejahtera di dunia dan selamat di akhirat. Begitu banyak tendensi dalam hidupku yang kuinginkan Dia mengabulkannya. Dasar aku manusia serakah. Tidak tahu malu. Sudah diberi kehidupan dan banyak keberuntungan namun masih saja meminta lebih. Sebenarnya manusiawi. Hanya saja, kalau keserakahan itu bisa dialihkan ke arah yang lebih tulus kepadaNya, misal serakah untuk rajin menjalankan kewajiban kepadaNya, kepada sesama dan kepada semesta alam, mungkin itu akan menjadi keserakahan yang bisa disebut berguna.
Ya, dengan begitu hidupku berguna sebagai manusia yang bertugas sebagai khilafah di muka bumi. Tapi akankah aku bisa?
Aku ingin bisa. Sebelum waktu menghentikan segalanya dan tidak memberiku kesempatan melakukan hal-hal berguna semampuku.
Oh, iya, selain keserakahanku meminta yang enak-enak tadi dan ketakutanku terhadap neraka, yang lebih dulu aku takutkan adalah kematian. Kematian menghentikan segalanya. Kita juga tidak bisa kembali sekalipun mati suri sebab nantinya kita akan mati kembali untuk selamanya.
Kenapa aku takut mati? Jelas karena aku tidak mendapat kesempatan untuk melakukan target yang belum tercapai. Karena sendiri di tempat sempit, gelap, pengap pun tertimbun tanah dan perlahan belatung menggerogoti badan. Karena aku belum melakukan banyak hal berguna. Karena aku belum ini dan itu and so on and so on. Dan ternyata Dia berbaik hati. Pagi ini aku membaca kutipan dari akun twitter berikut:
 Alasan terbaik mengapa kita masih dibangunkan Tuhan pagi ini adalah..krn dosa kita terlalu banyak & Tuhan Mau kita berbuat baik (Imam Ghazali) via @PIDjakarta

Menancap di hati. Menyuruh kita bersyukur diberi waktu untuk berbenah diri sebelum bertemu denganNya yang Maha Indah dan Suci. Tak heran sih – jika aku boleh berbicara – jika orang-orang yang baik, menyenangkan, beramal-saleh, beberapa di antara mereka, meninggal masih muda (namun dengan cara yang tidak terduga). Itu karena Tuhan teramat menyayangi mereka. Tuhan tidak mau orang-orang baik seperti mereka bertambah dosanya. Mungkin. Itu yang sering kudengar dan mulai kuyakini. Sebab teman-teman dan kemarin saudara perempuanku – yang yah, well, kami tidak begitu dekat tapi aku menghormati dan menyayanginya karena kesupelannya, keberagaman keyakinan dalam keluarganya (beserta pola hubungan baiknya dengan orangtua) dan karena dia istri dari sepupu lelakiku yang sudah tough melalui kehidupan pada tahun ke... mungkin 40-an tahun kehidupannya. Dia dan suami adalah contoh bagiku menjalani hidup dari nol, menghadapi banyak rintangan, hormat orangtua dan dan caranya mensyukuri kehidupan – mengalami proses berpulang dengan cara yang benar-benar di luar dugaan. Aku kira itu hanya terjadi pada orang di luar keluarga dan kerabat kami. Tapi tidak. Siapa pun bisa mengalami. Dengan begini, kematian lebih dekat dari yang kita pikir.
Lalu denganku yang masih bisa bernapas sampai detik ini dan sehat, aku menyesal telah pernah meminta kematian. Kematian sepertinya tidak semudah yang kita duga. Sebab banyak air mata yang tertumpah. Membuatku mungkin akan pilu jika tak sempat membahagiakan mereka yang menangisiku. Padahal seharusnya kita tersenyum ketika meninggalkan orang-orang yang kita sayangi sehingga mereka  menangisi kita. Hal ini impas untuk kita yang menangis keras ketika baru terlahir ke dunia dan orang-orang di sekitar kita tersenyum bahagia.
Semoga catatan ini bisa memberiku semangat untuk menjadi lebih berguna dan tidak hanya memberatkan masalah dunia. Karena kehidupan sejati dan yang abadi jelas bukan di bumi ini. Mungkin abadi ya, sebab rasanya akal manusia tak bisa membayangkan apakah kita akan kembali berpijak di bumi jika sudah mati-dikubur-bangkit-mendapat tiket entah itu surga atau neraka dan? Aku dan kalian tak tahu kan mau ke mana lagi kita? Selamanya di sana? Wallahu a'lam bish-shawabi. 

Minggu, 04 Mei 2014

Stimulus Penyemangat

Hai, selamat siang :)
Apa kabar?
Semoga always be happy ya.
Hari ini lagi mau posting writing progres bulan narasi oleh @bulannarasi @nulisbuku dan @_plotpoint. Tapi berhubung web-nya error jadi iseng aja ngumpulin cover2 antologi yang ada namaku sebagai kontributor. Ide ini sih dateng setelah liat background twitternya author Pia Devina. Pikirku, seru juga ya, ngumpulin cover2 buku-buku yang ada nama kita. Bedanya aku sama Mbak Pia sih, dia sudah sekalian sama novelnya sendiri sementara aku belum hehe, masih antologi semua. Tapi nggak masalah, ini jadi semangat aku untuk lebih semangat bikin novel! ^^9