sumber |
Mulutku komat-kamit lirih menirukan Foxes melantunkan Let Go For Tonight. Hal ini caraku mengusir kebosanan mendengarkan Madam Elke. Dosen cantik dan berumur dengan jambul ala Syahrini, kalung manik-manik segede botol kecap di keseluruhan benang yang menghubungan manik-manik tersebut, gelang bergerincing setiap kali menggerakkan tangan, sepatu wedges ala anak muda dan kombinasi warna pakaian yang suka tabrak sana-sini. Dosen satu ini nyentrik. Truly original!
Kebosananku tiba-tiba luntur ketika
beliau membahas konsep Oedipus Complex
di kelas Sapsi[1]
pas bagian aliran psikoanalisa dengan founder
father-nya Sigmund Freud.
“Jadi, Oedipus Complex menggambarkan perasaan anak laki-laki yang
mencintai ibunya, disertai rasa cemburu dan kemarahan terhadap ayahnya. Secara
sederhana, lelaki suka wanita yang lebih tua usianya, contohnya Raffi Ahmad. Sementara
untuk anak perempuan disebut Electra
Complex. Tapi konsep ini milik Carl Jung sebenarnya...” Dan ceramah Madam
Elke terus berlanjut.
Mendadak otakku mengajakku menjelajahi
secara kilat memori masa lalu.
*
”Mau ke mana, Neng?” tanya
seorang lelaki.
Aku yang sudah berumur 12
tahun sudah tahu nada orang bicara centil menggoda atau bertanya baik-baik.
Langkah kakiku dari membeli
gula untuk Ibu di sebuah toko berjarak seratus meter dari rumahku berlanjut
seraya wajahku cuek, membuat lelaki itu kembali nyeletuk.
“Ayu-ayu kok cemberut, sih.”
Aku kesal. Langsung kulempar
pelototan kepadanya yang duduk bersama dua orang teman di sebuah bangku semen
di depan gereja yang tak jauh dari toko tersebut. Lelaki itu cengengesan di
wajah tampannya. Kekesalanku berubah sekejap menjadi rasa tersanjung. Kukira
yang menggodaku bapak-bapak, ternyata mas-mas.
Aku jadi berpikir, lelaki kece begitu
masa’ iya buruh ternak ayam di Koh Anton? Soalnya yang sering duduk-duduk di
sana buruh Koh Anton yang gudangnya ada di depan gereja itu.
Diriku menjadi penasaran. Dan
semenjak itu aku sering memikirkannya, mencari informasi tentang dia melalui
kawan sekelas yang bapaknya kerja di Koh Anton, rela duduk-duduk di depan rumah
menunggu truk Koh Anton lewat yang pasti ada dirinya, mengingat pelat nomor
sekaligus suara cempreng motornya. Sejurus itu hatiku sering jumpalitan tak keruan
setiap bertemu dengannya. Ragu-ragu aku menyimpulkan: inikah cinta pertama?
Apa pun namanya, itulah pertama
kalinya aku merasakan hal demikian terhadap lawan jenis yang ternyata terpaut
16 tahun denganku. Cinta monyetku adalah dia yang sepantasnya menjadi oom-ku.
*
“Poppi!” sentak Madam Elke
dengan menggebrak mejaku.
Aku tergagap kaget, nyaris
terjengkang dari kursiku sekaligus ketakutan.
“Kamu dapat C untuk Sapsi!”
putusnya sangar lalu menyapukan pandangan ke seluruh mahasiswa. “Kalian masih
ingat kesepakatan kita di awal semester bukan? Bengong-ngobrol-tidur di kelas,
dapat C. Mencontek, D. Plagiat, E.
Kuliah selesai!”
Melihat Madam marah, aku beringsut
merengek kepadanya yang bersiap pergi keluar kelas. Nilai C bukan tujuanku.
Memang nilai bukan segalanya tapi tetap saja itu menentukan IPK[2]-ku dan simbol kebanggaanku
yang kusetor pada Ayah-Bunda.
Aku mewek. Sayang, Madam
berkeras hati.
Holy
shit! Gara-gara aku memikirkan si Taufik sialan yang menikah dengan
sesama buruh setelah mendapat kado ulang tahun ke-28 dariku – berupa kotak
musik yang kutitipkan temanku dengan inisial “P”, menunjukkan aku ini pengagum
rahasia. Hancur hatiku! Pun nilaiku.*
*terdiri dari 495 kata
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Ditunggu kritik dan saran membangun yah :)