Senin, 17 Desember 2012

Lelakiku, menikahlah denganku!



Terlahir di tengah keluarga yang masih menjunjung tinggi adat sopan santun wanita Jawa membuat Rasti memiliki gunungan es hasrat memberontak atas aturan yang ada. Keluarganya memang berpikiran maju, masih mau terbuka terhadap perkembangan zaman dengan menyekolahkan keturunannya ke jenjang lebih tinggi, tertinggi jika perlu. Rasti merasa beruntung.
Sekalipun keluarganya bukan keluarga sangat berada tapi semangat menyambut kemajuan perkembangan zaman yang harus diimbangi dengan pendidikan yang berkualitas bagus, sangat dijunjung tinggi kedua orangtuanya. Meski, orangtuanya juga tidak mengenyam pendidikan sarjana. Tapi, ada hal yang masih tak dimengerti Rasti.
Meskipun mendukung anak-anaknya mengenyam sekolah tinggi tapi orangtuanya masih memiliki pemikiran kolot, -menurut Rasti-.  Bagaimana tidak? Mereka bisa mau mencoba hal-hal baru di zaman modern tapi masih percaya aturan zaman dulu dan seringnya tidak memberikan alasan rasional kenapa harus begini, kenapa harus begitu. Misalnya, dilarang berdiri di tengah pintu, dilarang menyangga piring ketika makan, anak gadis dilarang berkata kasar dan tertawa keras dan gadis perawan tidak boleh mengejar lelaki. Contoh-contoh larangan itu ada yang bisa dirasionalisasi ada yang tidak. Dan larangan yang terakhir itu yang agak mengusik hati Rasti. Rasti mengartikan “gadis perawan tidak boleh mengejar lelaki” secara luas. Itu artinya wanita tidak boleh centil pada lelaki dan pastinya mengutarakan cintanya pada sang lelaki. Rasti tidak terima. Karena dia pernah melakukan itu. Tapi, bukankah cinta itu untuk dibagi, orang lain harus tahu kalau kita cinta kepadanya. Kalau kepentok aturan wanita tidak boleh memulai dahulu menyatakan perasaan atau memulai hubungan apa jadinya? Apakah harus mempertahankan “semboyan” wanita hanya berhak menerima dan menolak lelaki?
Ini nggak adil!!. Pikir Rasti.
Nampaknya Rasti tipe wanita yang suka mengejar ketimbang dikejar. Terbukti dari sekian banyak pengalamannya jatuh hati pada lelaki, ia dahulu yang merasakan cinta dan berusaha mendekati lelaki itu untuk mendapatkan hati lelaki yang ia kehendaki. Meski hasilnya nol besar! Ia selalu gagal menjalin hubungan asmara dengan lelaki manapun yang pernah ia sukai. Tapi, Rasti tak pernah jera mencoba jatuh cinta lagi, “mengejar” lagi dan lagi. Meski akhirnya sakit hati lagi dan lagi karena bertepuk sebelah tangan, baik sebelum ia berhasil menunjukkan perasaannya maupun setelah benar-benar ditolak mentah-mentah.
Banyak cerita yang ia dengar dari banyak mulut bahwa beberapa pernikahan yang langgeng dibangun berawal dari kisah wanita yang mengutarakan rasa cintanya dan memulai hubungan asmara lebih dulu. Mereka melaluinya dengan tenaga ekstra memenangkan hati lelaki pujaan mereka. Mereka berhasil. Tapi, mengapa Rasti Enggak?? Sekali lagi ini tak adil bagi Rasti.
Rasti ingin membuktikan omongan orang-orang itu tapi ia terbentur pesan ayahnya agar tak mengejar lelaki, juga pesan sahabat baiknya. Rasti gamang, penat. Tapi, jika mengingat pengalaman selama ini, mengejar lelaki memang menyakitkan tapi Rasti tidak dapat membayangkan jika ia justru didekati orang yang tidak ia cintai. Bagaimana menghindarinya? Rasti tak punya pengalaman menolak lelaki, pacaran saja tidak pernah selama nyaris 25 tahun ia hidup di bumi ini. Rasti semakin bertampang kusut memikirkan hal ini. Hal ini lebih membuat galau dibandingkan kala ia galau terhadap lelaki.
“Mbak, saya boleh duduk di sini? Soalnya bangku lain penuh. Boleh? Boleh, ya?” kata seorang lelaki tiba-tiba, membangunkan Rasti dari kepeningan pikirannya.
Rasti menoleh ke arah lelaki yang langsung duduk di hadapannya. Rasti terkesima bukan main. Matanya terpaku mengamati setiap inci garis lekuk paras tampan lelaki di hadapannya. Wajahnya segar memancar. Tiba-tiba Rasti deg-degan sekali. Ia sulit mengatur distribusi oksigen dan karbondioksida yang keluar-masuk hidungnya. Tangannya melemas. Ah, kebiasaan Rasti jika bertemu lelaki tampan setampan pangeran keraton Solo, Paundra Karna, ia langsung lemas!
Lelaki itu tak peduli ekspresi Rasti yang menatapnya terpaku. Lelaki itu melahap makanan dan minumannya dengan buru-buru. Kemudian Rasti sadar. Dan mulai mengatur nafasnya agar tak kentara grogi di depan lelaki rupawan.
“Mas, buru-buru banget makannya?” sapa Rasti memberanikan diri.
“Oh, iya, Mbak, seharusnya nggak boleh tapi saya buru-buru mau ada interview kerja. Saya belum makan sedari pagi,” ujar lelaki itu.
Rasti kembali terkesima. Mata lelaki itu mata elang.
Wohooo... ini benar-benar pangeran Paundra kawe 2!! Nggak mirip tapi setipe! Aiihhh...
Rasti banyak diam di hadapan lelaki itu hingga akhirnya lelaki itu selesai makan dan berpamitan pergi dengan langkah tergesa-gesa. Mata Rasti tak terlepas dari lelaki itu sampai lelaki itu sudah terlihat seperti semut di kejauhan sana.
Rasti masih mengagumi lelaki itu. Ia mencoba mengukir jelas wajah lelaki itu di memorinya. Kemudian ia kembali sibuk dengan laptopnya mengurusi tesisnya yang sedang berjalan dan sesekali menilik bisnis online-nya yang sedang berkembang di bidang fashion busana muslim dan cup cake kopi miliknya. Sesekali ia menyeruput kopi yang ia pesan sejak dua jam lalu di kedai kopi di pertokoan dekat kampusnya. Jam di laptopnya masih menunjukkan pukul 1 siang. Matahari masih terlalu terik bagi pejalan kaki, sekalipun hanya beberapa langkah saja. Seperti Rasti yang tak mau berpanas ria berjalan menuju parkir motor yang hanya beberapa langkah dari kedai kopi itu.
JJJ
Hari yang melelahkan bagi Rasti. Seharian ia harus mengurusi pengambilan data untuk skripsinya, orderan cup cake kopi-nya juga cukup banyak dari pelanggannya yang kebanyakan teman-teman kampusnya yang memang menyukai kopi dalam berbagai varian.
Hari yang melelahkan sekaligus menjengkelkan secara tiba-tiba. Semua berawal dari perbincangan di ruang keluarga bersama kedua orangtuanya.
“APA?? NIKAH???” seru Rasti dengan suara meninggi.
“Iya, kenapa? Usiamu sudah cukup, bentar lagi kamu lulus. Masalah pekerjaan, cari saja sambil nanti kalau sudah menikah,” ujar ayahnya.
Wait! Tunggu, Yah! Ayah pernah bilang kan, kalau aku harus bisa settled dulu karirku? Kalau perlu kuliah lagi. Kenapa tiba-tiba begini?” protes Rasti.
“Mapan bisa dicapai seiring kamu membangun rumah tangga,”
No! Mana bisa sukses kalau diriwuki urusan lawan jenis sedini ini? Rasti pengen jadi wanita karir dan sukses. Membuktikan juga ke lelaki kalau Rasti harus masuk perhitungan mereka kalau ingin Rasti menjadi pasangan mereka. Rasti nggak mau cuman menjadi ibu rumah tangga biasa. Rasti nggak mau ditindas seperti bude Yuli yang pasrah atas kelakuan suaminya yang seenaknya,”
Rasti bicara mengikuti emosinya yang meletup-letup hingga tak sadar ia menyinggung perasaannya ayahnya.
“RASTI!! Begitu juga dia yang mengasuhmu sejak kecil!”
Rasti menyesal dan meminta maaf segera lalu ia lanjut berargumen agar ayahnya membatalkan perjodohannya dengan lelaki pilihan ayahnya.
“Ayah tidak melarangmu jadi wanita karir. Tapi ayah tidak ingin kamu terlalu lama sendiri. Ayah dan ibu harus segera mencarikan jodoh yang tepat untukmu untuk menggantikan kami menjagamu di masa depan. Kita tidak pernah tahu usia seseorang. Makanya ayah berjaga-jaga sejak awal,” jelas ayahnya.
“Tapi, saat ini Rasti masih belum butuh pengganti ayah dan ibu. Kalian masih segar bugar dan insyaAllah berumur panjang sampai aku punya anak yang sukses!”
“Cobalah dulu! Setidaknya kenalilah dia dulu, Nduk. Dia pemuda yang baik dan ibu yakin dia tipe lelaki yang seperti kamu inginkan selama ini,” kara ibunya.
“Memang Ibu tahu bagaimana tipe lelakiku?”
“Ibu lebih tahu, lebih dari kesadaranmu sendiri. Kamu terlalu lama di kandungan ibu, masa’ nggak tahu gimana maumu?” goda ibunya.
Rasti mendengus keras.
JJJ
Waktu dua minggu berlalu. Rasti menjalani hidupnya dengan penuh pikiran. Tesis, bisnis, urusan perjodohan. Hal yang terakhir ini yang lebih menggundahkan hati Rasti dibandingkan tesisnya yang akan mengantarkan dia sebagai seorang psikologi klinis.
Rasti mengabaikan laptopnya yang memutar musik dengan volume nyaris 100%. Padahal di layarnya tesis menunggu untuk dijamah dituntaskan. Rasti memikirkan perjodohan itu. Dia mencoba membayangkan seperti apa wajah lelaki yang akan dijodohkan dengannya, bagaimana kepribadiannya, bagaimana pola hubungan -maaf- suami istri yang suami inginkan dan bagaimana kelanjutan kisah hidupnya setelah menikah. Hal itu berputar-putar di otak Rasti. Tak ada habisnya!
Pikiran Rasti tentang perjodohan itu buyar seketika ketika ibunya memanggilnya. Tapi, perasaan Rasti dibuat berlipat-lipat tidak karuan karena ia harus menemui calon suami dan calon mertuanya yang merupakan kawan lama ayahnya.
Rasti sudah merapikan diri dan ia tidak bisa menghindari pertemuan itu. Dan akhirnya Rasti bertemu sosok lelaki yang katanya akan jadi suaminya.
Rasti takjub! Ini lebih dari ekspektasinya! Prince Paundra kawe 2! Rasti memastikan.
“Ini yang dimaksud ayah dan ibu?” tanya Rasti pada ayah dan ibunya di hadapan keluarga calon suaminya.
Ayah dan ibu Rasti tersenyum tanda iya.
“Kalau begini, bagaimana bisa menolak. Mau banget!” seru Rasti. Ibunya menyenggol Rasti menandakan sikap Rasti kurang sopan.
“Hai, Mas, masih inget di kedai kopi kapan hari lalu?” tanya Rasti pada lelaki itu.
“Jelas. Sebelum-sebelumnya juga selalu inget kamu. Sudah terhitung tujuh belas tahun inget kamu,” jawab lelaki itu.
Hari Rasti berbunga-bunga. Merekah seketika. Seolah selama ini ia kekeringan tiada hujan segar yang menyirami.
“Tunggu, tujuh belas tahun?” tanya Rasti heran.
“Masa’ kamu ndak inget, Nduk? Restu ini teman waktu kamu kecil. Kemana-mana mesti sama Restu. Restu yang jagain kamu kemana-mana, ke sekolah, main. Kamu masa’ juga nggak ingat dia pernah ngasih baju kamu dan kamu bawa itu baju kemana kamu pergi tapi sebagai gombal? Hahahah. Kalau nggak ada gombal itu kamu nangis-nangis, hahahah,” jelas ibu Rasti disambut tawa semua orang.
Rasti menahan malu.
“Rasti sengaja lupa, Bu, soalnya dia kan, ndak suka sama saya setelah dia jatuh dari pohon rambutan gara-gara saya. Dia marah-marah nggak mau ketemu saya. Dan setelah itu saya ikut mama sama papa ke Makassar,” tungkas Restu.
Rasti mencoba tersenyum. Otaknya mulai menelusuri memori lama masa kecilnya.
“Maaf, ya, lupa. Maaf semuanya. ” kata Rasti sambil menundukkan kepalanya menahan malu.
“Rasti... dia ini alasan ayah melarang kamu pacaran. Melarang kamu mengejar lelaki. Soalnya ada dia yang nungguin kamu selama ini. Restu tidak diragukan lagi sebagai lelaki yang berkualitas buat kamu. Tipe lelaki seperti ini kan, maumu? Ngaku sekarang,” kata ayah Rasti menggoda.
Rasti tak bisa membantah pernyataan ayahnya. Ia masih menahan malu.
Perbincangan antarorangtua berlangsung, di tempat lain Rasti dan Restu berbincang sendiri mencoba membuka memori romansa lama yang pernah terjalin di antara mereka berdua dan Rasti sempat melupakannya.
Nggak nyangka, aku punya teman kecil yang ternyata begini ceritanya. Persis FTV lho, Mas! Memang yang namanya rejeki itu nggak akan kemana, yah? Dulu aku mengejar lelaki yang aku suka dan tak satupun berhasil aku dapatkan dan di saat sedikit putus asa begini ternyata rejeki itu datang, hehehe. Ini keajaiban namanya,” ujar Rasti terhadap Restu.
“Semangat kamu ngedapetin sesuatu nggak pernah pudar, ya? Salut. Tapi, untungnya kamu gagal terus dapet lelaki. Kalau kamu berhasil, aku nggak punya peluang besar lagi,”
“Kenapa kamu masih kukuh ingin bersamaku setelah sekian lama berpisah? Lagian untuk lelaki seperti kamu biasanya maunya sama wanita yang... yang yah, levelnya Olla Ramlan mungkin?” tanya Rasti. Restu tersenyum maniiiiissss sekali!
“Cinta. Tuhan menakdirkan aku hanya punya satu hati yang terpaut ke kamu,”
Sumpah! Ini seperti mimpi Rasti! Lelaki tampan ini menjatuhkan hati ke kamu!
 “Kalau begitu, jadilah lelakiku selamanya dan nikahilah aku!” celetuk Rasti seketika.
Restu terdiam sejenak menatap Rasti. Rasti salah tingkah.
“Kenapa? Ada yang salah dengan ucapanku? Terlalu agresif, ya? Aduuhhh, maaf...” kata Rasti.
Restu menarik tubuh Rasti tiba-tiba, mendekapnya erat-erat,
“Dengan senang hati, wanitaku,” tungkas Restu.
JJJ