Rabu, 30 April 2014

RESENSI BEBAS ABAL-ABAL NOVEL “L”


Judul                     : L
Pengarang             : Kristy Nelwan
Penerbit                : PT. Grasindo
Tahun terbit          : April 2012 (cetakan keempat)
Tempat terbit        : Jakarta
Tebal                    : 394 halaman
Cara dapet buku    : pinjem temen namanya Mila :D

Oke, judulnya resensi bebas karena kamu bakal nemuin banyak unsur subjektifitasku di sini.
Please don’t complain!
(oke, wait mendadak keganggu sama butiran pasir yang ngeganjel keyboard-ku karena “serangan pasir kelud” belum enyah dari rumahku)
Baru baca novel “L” milik penulis yang baru aku tahu ini mulanya bikin aku menilai “woah, Ika Natassa versi lain!”. Secara aku “kenalnya” Ika Natassa duluan dan nggak ada referensi serupa yang gaya tulisannya metropop banget, gaul habis, cranky bingit, dan bikin aku yang baca kayak naik roller coaster dan semacamnya – yang cuman aku naiki 2 kali seumur hidup pas TK dan sama pas kuliah dan bikin aku nggak mau lagi naik karena takut ketinggian dan kecepatan, sering kebawa mimpi sih padahal nggak ada trauma juga.
Oke, lanjut. Terus pas share status di path, temen2 pada bilang bagus dan bikin mewek. Oh, ya? Segitunya? Dan kelakuan busukku setiap kali dapet spoiler (apa itu disebut spoiler? ngarah sih, ya) adalah langsung baca halaman-halaman terakhirnya. Kalau inget kata senior kos pas zaman kuliah sih, kelakuanku ini MERUSAK TATANAN CERITA! KASIHAN YANG NULIS CAPEK-CAPEK. Oke, habis gimana? Keburu nafsu tahu ending-nya. Tapi untungnya setelah baca-baca halaman akhir lalu gantian sama blurb, kok ya pas banget ya... aku masih tertarik baca dari awal halaman per halaman karena SUER bahasanya penulis ini tuh “renyah” (atau gurih? Apa pun lah). Makanya ya seporos (istilah macam apa pula lah seporos, huh?) sama Ika Natassa. Plis, aku nggak mau membandingkan dan atau menyamakan mereka tapi perasaanku nggak bisa bo’ong. Tapi yang kubahas bukan negatifnya. Melainkan betapa “Oh, perasaan baca yg sana sama yang ini kok, sama, sih. Aku suka!”
Terus soal pengarakteran. Lagi-lagi, si Ava sama Kei (Antologi Rasa) hampir mirip. Semau gue tapi prinsipil (alias punya prinsil hidup yg dipegangnya teguh). Dan menyadarkan diriku bahwa orang yang kelihatannya slengekan, belum tentu busuk. Walau kebanyakan orang bakal menilai buruk. Karena tertancap sebuah hadits – sori ye, bawa-bawa hadits segala soalnya pikiranku ke sini melulu - “siapa yang bergaul dengan pedagang minyak wangi, ia akan ikutan wangi”. Akhirnya, hadits gini dipukul rata dengan konsep pemahaman kaku. Padahal sih, orang juga tahu bahwa ada kalimat “don’t judge the book from the cover” tapi nggak semua orang bisa mengaplikasikannya. Jadi, kalo aku pribadi ya balik sama hati kita-lah (aku juga masih belajar, kok. ;p). Mau temenan sama si ini, si anu, nggak masalah. Akhirnya balik ke jalan tengah – menurutku – “hidupku, hidupku. hidupmu, hidupmu. tapi kita bisa jalan bersisian dan seirama.”
Karakter lain yang bikin aku sebel ya si Ludi kampretos itu. Nah, ini nih yang menarik banget. Orang yang kelihatan sempurna belum tentu juga bagus kelakuannya. Makanya sekarang aku lagi getol banget bikin cerita yang lakinya ngehek tapi aslinya baik. Sweet dah laki kayak gitu. Ngehek tapi karismatik. Uyeah! :D
Terus... si Rei, ya ampun jangan tanya. Secara fisik kalau aku ngebayangin, dia bukan impian ya tapi pikir dong (dengan gaya tunjuk pelipis ala cak lontong :p), perlakuannya maniiiissss banget. Do more, talk less. Dan tetep aja gokil. *salam metal cinta buat Rei di surga, ya*
Nah, kalo soal ceritanya sendiri, aslinya agak begah juga kalau cuman dibayangin sederhana. Cewek di persimpangan jalan cinta, ketemu dua lelaki, terus pacaran sama salah satunya tapi aslinya jatuh cinta sama yang satunya. Eh, yang dipacarin kurang ajar, dan justru yang bikin sebel malah bikin klepek-klepek. Selalu ada angel di belakang tokoh yang siap memeluk tokoh ketika devil di depan matanya menghantui, rrawwrrr! Agak klise. Tapi pengemasan jalan cerita yang nggak bikin bosen sedikit pun dengan gaya bahasa “renyah” tadi akhirnya bikin cerita itu nggak biasa aja. Btw, selama baca, aku nggak pernah bosen sekali pun bahkan setiap ninggalin buat makan/madi/poop sekalipun kepikiran tuh, Rei mau ngapain lagi ya sama Ava? Membombardir otakku lah istilahnya. :D
Aku kira novel “L” ini cuma melulu cinta tapi ya nggak mungkinlah. Hampir 400 halaman masa yang dibahas cintaaaaa aja? Oke, soal persahabatan yang segitunya, tentang toleransi agama (aku suka part ini. cinta nggak mandang suku/agama/ras. dan pliisss... jangan menghakimiku jika pernah hampir merasakan kayak Ava dan Rei *curcol dikit* tapi merasakah kalian bahwa perbedaan itu indah?), soal bahayanya perokok pasif (sialnya aku juga perokok pasif tapi alhamdulillah sekeluarga sehat. secara kami doyan makan, gemuk dan “mengusir” ayah merokok di WC aja :D), soal bos bernama Mbak Luna yang keren humanis (aku padamu Mbak Luna! HRD waras!). Terus soal cinta yang bikin Ava harus nelen bulet-bulet omongannya yang berjemawa (untuk bagian ini aku pengen njitak kepalanya Ava, kapoookkkk!!!). Tapi she let him untuk menguasai hatinya, dengan gaya Rei sendiri.
Pokoknya, aku suka novel ini. Walau ada typo sithik-sithik tapi bayangkan hampir 400 halaman, ya capeklah kalau ngecekin satu-satu. Ora popo. Aku tetep berani teriak lantang “ANGKAT L KE LAYAR LEBAAAARRRRR!!! SEGERA!!!!!”. Angkat L ke film biar aku (tambah) jatuh cinta sama kayak aku jatuh cinta ke Eiffel... I’m in Love (EliL). Selama ini belum ada yang ngegeser film itu di hatiku, wkwkwkkw. L bukan menggeser tapi “menemani” ELiL.
Kalo pake istilah Goodreads sih, izinkan aku kasih 5 dari 5 bintang. Nggak peduli kamu bilang aku bego dan nggak objektif. Sedari awal udah aku bilang, resensi ini resensi bebas nan subjektif.
Bye,

NB:
Ini beberapa dari L yang terngiang-ngiang banget:
1.      Jangan bahas kata yang nggak penting dari kalimat yang sedang dibahas (Mama Ava)
2.      Cinta bukan segalanya dalam pernikahan/ rumah tangga tapi cinta adalah fondasi (Mama Ava)
3.      Too good to be true (nyangkut soal Ludi gendeng! Kalau nggak salah. Semoga nggak salah. -.-)
4.      Kita harus tau kapan kita harus berhenti nanya “kenapa” dan bilang sama diri kita sendiri... someday we’ll know (Rei buat Ava) - ini bikin cesss... selama ini aku sering gini lho, Rei. Gimana? Kamunya keburu pergi :(

 Dan satu lagi, bukan quote melainkan keluhan diri pribadi. Gara-gara saking semangatnya bikin resensi abal-abal ini, aku ngrusak tombol shift laptopku. But, it’s okay. Aku puas bisa menuliskan isi hatiku soal the L, the Last, the Love, the Last Love. GREAT JOB KRISTY NELWAN...!

Oya, satu lagi yg bisa jadi pelajaran. Kita jadi orang kudu berani nanggung resiko segala tindakan yang kita perbuat. Kayak Ava. Membayar Maya si perusak rumah tangga orang buat mancing pacarnya Xi Men (jadi inget anggora F4 deh) tapi akhirnya dia kena getahnya. Walau Ava nggak menyesali sama sekali - sama kaya dulu2nya tapi kan Ludi itu... well, baca sendiri aja. dijamin bagus! - Tapi seenggaknya, jadi belajar kan... bahwa terkadang sesuatu yang kita “lempar” akhirnya balik ke diri kita sendiri. Entah gimana caranya. Entah gimana efeknya. :) 




Sabtu, 12 April 2014

Tragedi Ahad Siang

from this


Joko hanya termenung menunduk di antara kedua lututnya yang tertekuk. Punggungnya menempel pada dinding. Dinding putih yang telah menguning –bahkan menghijau lumut di beberapa bagian sudutnya- terasa dingin menusuk tulang punggungnya. Namun Joko tak acuh. Memorinya tentang Embok terlalu asyik untuk berenang-renang di alam pikirnya. Joko pun terisak tangis. Dadanya sesak penuh sesal. Andai waktu bisa diputar kembali –ah, Joko sadar ini pengandaian yang sudah basi- ia akan segera menarik tangannya sendiri saat itu juga supaya semua penyesalan ini tak terjadi. Tragedi Ahad siang.
*
Pagi ini Embok ingin menghidangkan nasi liwet untuk sang lelakinya yang tampan dan gagah perkasa. Nantinya nasi liwet itu dihidangkan bersama sambal terasi segar (bahan-bahannya tidak digoreng, dikukus atau bahkan dibakar) bersama ikan asin. Embok menanaknya di atas tungku kayu bakar karena menurutnya aroma nasi liwet akan lebih sedap dibandingkan menanak dengan kompor gas. Kebetulan sambal dan ikan asinnya sudah siap.
“Mbok!” suara lelaki memanggil Embok.
Kepala Embok menoleh kemudian melongok ke dalam rumah melewati pintu yang menghubungkan rumah dan dapur. Kemudian Embok bergegas menghampiri tole[1].
Tole yang sedang mematut diri di depan sebuah cermin besar melirik seraya tersenyum pada Embok yang sudah berdiri di sampingnya.
“Mbok, nanti aku tugas sampai malam. Nggak pa-pa, ya? Kalau ada apa-apa telepon aku,” ujar tole yang memiliki alis tebal, berdagu (nyaris) lancip, hidung mancung yang menghiasi kerupawanan parasnya. “Mbok bisa to mencet hapenya?” lanjut tole dengan senyum lebar, jail pada Embok.
“Iya. Gampang, Le. Jangan kuwatir. Sing penting kowe[2] hati-hati dalam bertugas. Ndak usah mikir sing ndek omah,” balas Embok mengulas senyuman. Pesan ini yang selalu terdengar di kuping tole ketika hendak pergi berdinas. (Tidak usah memikirkan yang di rumah).
Tole kembali melemparkan senyum sambil menyisir rambutnya yang hitam legam sampai mengilap klimis, bekas diolesi minyak rambut nan wangi.
“Sudah ganteng, Le. Tapi percuma kalau kowe masih sendiri. Umurmu makin mateng. Ndang cari istri sana!” celetuk Embok membuat tole tersenyum lebar. “Sudah waktunya kamu merelakan kepergiannya, Le. Kamu masih punya masa depan,” sambung Embok serius membuat tole ingat pada istrinya yang meninggal karena sakit parah hampir lima tahun lalu. Tole dan istri tidak punya keturunan.
Si tole berhenti dari aktivitasnya merapikan rambut. “Tenang saja, Mbok. Aku sudah ikhlas, kok. Tapi mendapatkan istri lagi itu nggak semudah membalikkan telapak tangan. Semua kembali ke hati. Apalagi sudah mateng gini kayak Embok bilang, he-he-he.”
Tole terkekeh. Embok cembetut. Selalu cucunya begitu. Embok pun memilih kembali ke dapur, menyiapkan sarapan untuk mereka berdua.
*
Sudah belasan tahun Joko -si tole Embok- menjadi anggota kepolisian. Sekarang pangkatnya sudah Inspektur Polisi Dua (Ipda) bagian Reserse Kriminal  (Reskrim). Joko ingat dulu, tak mudah untuk bisa menembus seleksi ketat menjadi bagian dari aparat pengayom masyarakat. Joko sendiri kurang beruntung untuk berjuang dengan kemampuannya sendiri. Tapi dia beruntung soal kekayaan materi yang dimiliki Embok.  Iya, Joko masuk ke sana karena duit si Embok.
Embok merupakan petani tebu sekaligus peternak sapi ulet dan sukses. Belum lagi sebagai janda veteran sejak masa orde baru runtuh, dia mendapatkan uang pensiunan mendiang suaminya. Semua pemasukannya itu menyejahterakannya bersama anak dan cucunya. Anaknya cuma satu, Retno. Meninggal pula bersama sang suami -pejabat dinas pendidikan kabupaten- ketika Joko masih berusia sebelas tahun. Mereka mengalami kecelakaan maut ketika pulang dari kunjungan kepada sanak saudara di Probolinggo. Semenjak itu hartanya resmi menjadi harta waris Joko, kelak ia sudah tiada.
 Tapi tidak menunggu dirinya sendiri tiada, Embok sudah mengalokasikan dana untuk pendidikan sang cucu. Embok tidak pernah pelit kalau soal pendidikan keturunannya. Bagi Embok, ilmu adalah pelita kehidupan dan jalan menuju kemuliaan hidup. Mendiang anaknya disekolahkan sampai S2 pendidikan guru. Cucu tunggalnya disekolahkan di sekolah favorit di kabupaten, dari TK sampai SMA. Maunya sih, si Joko dikuliahkan tapi Joko tidak mau. Ia memilih langsung jadi polisi selepas SMA (walau pada akhirnya ia harus menempuh bangku sarjana untuk naik ke jabatan lebih tinggi). Embok tak bisa berkata banyak. Yang penting cucunya bisa berkarya dan bukan malah ongkang-ongkang di rumah, mentang-mentang neneknya ini juragan.
Embok kini sudah semakin tua dengan banyak keriput di paras manisnya, rambut yang seluruhnya sudah memutih kasar dan badannya yang sudah tidak bisa berdiri tegap, harus rela mengubah kenyamanan hidupnya. Bukan berarti tidak nyaman dulunya. Sekarang Embok sudah bisa lebih rileks menjalani hidup. Dulu pontang-panting mengerjakan kebun tebu dan merawat belasan sapinya sementara sekarang lebih banyak melakukan pekerjaan ibu rumah tangga pada umumnya.
Walau kini harta kekayaan Embok sudah tidak sebanyak dulu tapi melihat Joko sudah cukup mapan menjadi pahlawan masyarakat dan memiliki tempat tinggal yang nyaman sudah lebih dari cukup. Tentram hidupnya. Tinggal memaksimalkan amal dan ibadah. Rencananya tahun depan Embok berangkat haji.
Embok juga bangga sama Joko. Joko dikenal sebagai pribadi yang hangat, cerdas dan berprestasi di jajaran kepolisian tempat ia berdinas. Hal ini menjadi sebuah penebusan dari tindakan curang yang Embok dan Joko lakukan dahulu kala. Tidak ada istilah keterlambatan menjadi lebih baik, batin Joko yang diamini Embok.
*
Pekerjaan Joko semakin hari tidak semakin ringan, justru banyak tanggungjawab. Apalagi beberapa waktu terakhir, ia sering turun lapangan melakukan penyergaban banyak penjahat narkoba. Belum lagi ia berselisih paham dengan atasannya, Kasat Reskrim, Komandan Sentot yang terkenal otoriter. Pimpinannya itu juga suka mencari-cari kesalahan Joko. Tapi bukan hanya Joko yang merasakannya, rekan-rekannya juga. Faktanya Komandan Sentot itu memang memiliki nada bicara yang selalu tinggi, tawanya sering terdengar menggelegar, ucapannya selalu berjewama, kurang asertif dalam menyampaikan pesan terhadap bawahan dan sayup-sayup terdengar kabar bahwa ia tak segan memukul bawahan ketika mereka berbuat salah. Joko memang belum pernah tahu atau mengalaminya sendiri karena ia baru sekitar enam bulan bekerja dengan Komandan Sentot. Tapi Joko tak habis pikir, seorang pemimpin bisa “selucu” itu pada bawahannya. Bukankah sekarang banyak seminar tentang “How To Be A Good Leader?”? Seharusnya diadakan juga di lembaga kepolisian tempatnya bertugas.
Joko bisa bertahan pada awalnya tapi semakin lama kondisi psikologisnya tertekan dari segala penjuru. Sikapnya pun berubah drastis seperti suka berkata-kata kasar bahkan umpatan jorok, mengancam melayangkan bogem mentah setiap kali terjadi perselisihan pendapat dengan rekan sejawat dan sikap kasar kepada Embok di rumah. Joko pun sudah beberapa kali mendapat surat peringatan perihal sikapnya yang tidak pantas tersebut.
Dan sebuah peristiwa memunculkan kehancuran besar melalui kondisi hubungan bersitenggang antara Joko dan Komandan Sentot.
Joko mendapati Komandan Sentot memberikan gratifikasi kepada petugas sipil kepolisian untuk mengurus pembebasan seorang tawanan yang sudah jelas-jelas bersalah karena melakukan perampokan sekaligus pembantaian. Komandan Sentot tertangkap tangan di depan mata kepala Joko.
Terbersit keinginan Joko melaporkan tindakan Komandan Sentot tapi Komandan Sentot justru mengancam keselamatannya dan Embok. Joko tak terima. Namun Komandan Sentot tidak tinggal diam. Ia merasa belum aman kalau tidak memberikan sesuatu yang bisa menyumpal mulut Joko. Ia harus berhasil menyuap Joko bagaimanapun caranya. Satu cara gagal, masih ada ribuan jalan lain.
Suatu hari hampir tengah malam, Joko terpaksa membawa pulang seorang gadis yang kesusahan ban motornya bocor sedangkan sudah tidak ada lagi tukang tambal ban buka. Gadis itu mengaku rumahnya di luar kota, tidak punya kerabat atau keluarga dan tidak tahu dengan cermat setiap sudut kota. Dan seiring waktu berjalan malam itu -Embok juga pergi ke rumah saudara yang memiliki hajatan perkawinan- terjadilah adegan romantis panas di antara Joko dan gadis itu. Joko lelaki normal. Lelaki normal yang dalam kondisi stres berat dan butuh sebuah usapan bahkan pelukan orang yang dikasihi -tapi tak dipenuhi lama-, jelas membuat gelora berahinya terpantik luar biasa.
Tak nyana beberapa hari berikutnya diketahui gadis itu bayaran pimpinannya untuk menjebaknya. Tapi berita yang bergulir memojokkannya sebagai otak skandal seks tersebut. Tak ada yang bisa membuktikan ia dijebak. Akhirnya Joko mendapat putusan dipecat secara tidak hormat karena kasus ulah si tengik Sentot. Lima hari lagi upacara pencopotan jabatannya. 
Joko menjadi frustrasi. Nama baiknya tercoreng dan riwayatnya sebagai polisi hancur sudah.
*
Sulit bagi Joko menanggung semua ini. Pemecatan ini lebih mengerikan dari kondisi post power syndrome. Selama menunggu hari itu tiba, Joko berdiam di rumah sambil sesering mungkin mengepulkan asap rokok lima belas ribunya, menghabiskan beras di gentong Embok kemudian tidur seharian dan tindakan tiada guna lainnya. Seiring itu ia mengumpat kehidupan, mengumpat pimpinannya yang sinting dan mengumpat seisi dunia. Ia juga lebih sering berteriak dan memaki Embok setiap kali berbicara. Ia menjadi terlampau sensitif.
Embok jadi nelangsa melihat cucunya begitu. Didekatinya Joko yang sedang asyik merokok di teras samping rumah. Embok ingin mengusap kepala cucunya, mencoba menghibur dan menguatkan jiwa Joko. Namun Joko malah mencak-mencak dan berkata kasar.
“Sudahlah, Mbok, nggak usah sok peduli begitu!” sembur Joko. “Aku tahu apa yang Mbok bicarakan sama tetangga. Mbok malu punya cucu begundal seperti aku!”
Si Embok terperanjat mendengar kalimat tidak benar dari cucunya.
“Mbok memang suka ngobrol sama mereka, Le, tapi Mbok nggak pernah mengeluh soal kowe. Mbok malah menghindari pembicaraan tentang kowe.”
“BOHONG!!!” sentak Joko melempar tatapan tajam pada Embok. “Memangnya aku nggak tahu mereka semua mengataiku nggak tahu diri dan lelaki berengsek?!”
Embok menekan dadanya seraya mencoba mengatur sirkulasi napasnya supaya tetap tenang.
“Kok, kowe jadi suka kasar begini to, Le?” protes Embok dengan nada bicara sedih dan sedikit ketakutan.
“Nggak usah banyak bacot!” kata Joko berang sambil beranjak dari kursi menuju kamarnya.
Ia jadi “haus” untuk melakukan hal agresif. Bukan memukul dan menendang seperti biasanya, melainkan menembak sesuatu seperti yang ia lakukan ketika masih aktif menjadi polisi. Ia akan latihan di tempat swasta. Joko sendiri memang jatuh hati pada senjata api (senpi) semenjak ia tahu siapa Rambo ketika ia SD. Baginya penembak itu keren. Apalagi penembak dengan status aparat keamanan. Pahlawan. Tapi itu dulu. Sekarang ia muak pada semua hal tentang aparat. Namun ketertarikannya terhadap dunia tembakan jitu tidak memudar. Ia sengaja membeli pistol untuk simpanannya sendiri. Tentu saja ia melakukannya diam-diam. Joko berpikir, siapa tahu pistol itu berguna sewaktu-waktu. Ia bukan tak tahu aturan waktu itu tapi memiliki simpanan pistol pribadi merupakan kesenangan dan kenyamanan tersendiri untuknya. Bahkan jika nanti semua atributnya sebagai polisi diminta kembali oleh dinas, ia tidak akan menyerahkan senpi yang ia beli sendiri itu. Ia akan menyembunyikannya di tempat yang tak bisa terjamah polisi lain –andai kata memang ada penggeledahan rumah. Omong kosong dengan aturan dari (calon mantan) pihak kedinasannya.
“Mau ke mana, Le?” tanya Embok yang melihat cucunya berdiri di mulut pintu sembari mengutak-atik senjata.
“Urusanku! Nggak usah cerewet, Mbok!!” bentak Joko.
Embok lagi-lagi memegangi dadanya, takut jantungnya mencuat ke luar.
“Astaghfirullahaladzim, Joko... Aku nggak pernah ngajari kowe kasar marang wong tuwo. Ibumu juga nggak pernah begini sama aku. Kok, kowe kejem tenan to Le, Le, sama Mbok,” suara Embok bergetar menunjukkan rasa tidak percaya dan kekecewaan mendalam terhadap Joko. (...kamu kasar sama orangtua)
“Ceklak! Ceklak!” suara pistol diutak-atik Joko. Tampaknya sudah siap untuk dibuat latihan menembak sebentar lagi.
“Nggak usah ikut campur, Mbok! Urus saja urusan Mbok!” sergah Joko.
 Joko bergerak ke luar hendak menghampiri motor bebeknya yang ada di beranda depan. Namun Embok berhasil meraih paksa tangan sang cucu. Ia tidak terima diperlakukan kasar oleh darah dagingnya sendiri.
Joko justru menangkis dengan kasar gerakan tangan Embok dengan menyikutkan sikunya tepat di wajah Embok. Embok spontan terjatuh ke belakang, jatuh terlentang di lantai.
Embok sontak mencaci-maki cucunya sendiri seraya mengacungkan jari telunjuknya ke muka Joko dari tempatnya terjatuh. Hatinya terlanjur teriris perih bahkan terkoyak tiada layak. “Cucu laknat kowe, Joko! Nyesel aku mbelani kowe! Kelakuanmu koyok iblis! Minggat kono!”
Mendengar Embok mengusirnya, Joko murka. Tanpa pikir panjang lagi.
“DORR!! DORR!!” suara pistol berdesing singkat dua kali pada siang bolong hari Minggu akhir bulan Mei.
Beberapa detik Joko merasa puas melepaskan amarahnya namun setelahnya ia tersadar. Matanya menatap nanar Embok yang sudah berlumuran darah tepat di keningnya. Ia menelan ludah berulang kali. Ia segera beringsut mendekati Embok yang sakaratul maut.
“Mbok, maafin aku,” kata Joko menyesal.
Embok tidak mampu berkata-kata lagi. Matanya menutup segera dalam lima detik.
Hati Joko hancur berbaur rasa marah dan benci. Ia telah bertindak keji. Tangannya yang membunuh orang yang ia cintai sendiri.
*
Joko tak bisa memaafkan dirinya sendiri sampai berbulan-bulan kasus ini berlalu. Di dalam sel ia juga sering melamun, tertawa sesekali, tersenyum beberapa kali, namun lebih banyak menangis. Ia belum merelakan kepergian Embok begitu cepat. Ia belum siap ditinggalkan orang-orang yang dicintai. Tapi faktanya orang-orang yang dicintainya sudah meninggalkannya satu per satu. Embok, istrinya dan kedua orangtuanya.
Habis sudah semua yang dimiliki Joko: karir dan kehidupan pribadi. Mungkin Tuhan sedang menghukum Joko atas kesalahannya sendiri. Tapi kesalahannya ini juga diakibatkan pemimpin tak tahu diri. Dirinya hanyalah korban. Joko masih belum bisa memaafkan mantan pimpinan jahanam itu. Ketidakadilan dirasakannya kembali, persis seperti saat ia kehilangan orangtuanya di usia belia dan ketika ia telah mempercayakan sepenuh hatinya pada mendiang istri tercinta.
*
Joko mendengar suara sipir memanggilnya. Katanya ada tamu untuknya. Siapa?
Joko terkejut bercampur rasa benci melihat siapa yang datang.
“Gimana kabarmu?” tanya si (bekas) pimpinan yang tak pernah diharapkan Joko untuk datang.
“Mau apa kamu ke sini, Bangsat?!” balas Joko sarkastis. “Kurang puas melihatku hancur? Padahal sedikit pun nggak pernah aku membocorkan rahasiamu,” imbuh Joko.
Komandan Sentot duduk sementara Joko tidak. Ia enggan duduk satu tempat dengan pimpinan culas itu.
“Juga bukan aku yang menjebloskanmu ke penjara. Untuk apa? Toh kamu menemukan takdirmu di sini dengan caramu sendiri,” kata Komandan Sentot. “Duduklah. Mari kita bicara baik-baik.”
“Katakan saja apa maumu!”
“Aku menawarkan bantuan keringanan masa hukumanmu. Asal kamu melakukan satu hal untukku.”
“CIH! Aku lebih baik di sini menebus salahku pada Mbok daripada menjadi jongos di bawah kaki baumu!”
Mimik wajah Komandan Sentot berubah masam. Merasa tiada guna bicara baik-baik dengan Joko, ia pun memutuskan segera.
“Kalau begitu...” Komandan Sentot diam sejenak dengan tatapan berubah lebih menghunus kepada Joko.
Hanya dalam hitungan detik terdengar pelepasan peluru yang suaranya terdengar di seluruh penjuru lembaga pemasyarakatan (lapas).
Sebuah peluru menembus kening mulus Joko. Tubuh Joko ambruk. Namun ia masih mendengar jelas suara sepatu Komandan Sentot yang mendekatinya. Berdiri di sampingnya dengan wajah angkuhnya.
“Dendam adikku terbalaskan,” suara Komandan Sentot jadi menggema di telinga Joko. “Satu tahun lalu pelurumu membunuhnya.” Komandan Sentot masih melanjutkan ucapannya padahal sudah ramai para polisi sampai tukang sapu lapas mengerubunginya dengan ekspresi terkejut dibumbui ketakutan. Mereka baru saja menyaksikan seorang polisi senior telah membunuh (mantan) sejawatnya di tempat yang seharusnya jeruji besi sudah bisa membuat tahanan jera.
Joko ingin berkata-kata tapi ia tak sanggup. Apalagi merecall ingatannya ke satu tahun lalu. Tapi seketika ia ingat Embok. Seperti inikah yang dirasakan Embok ketika sakaratul maut? Ingin segera bangkit tapi tak bisa, ingin melayang tapi beban badan berat sekaligus sakit tiada tara.
“Kita impas, Joko. Arwah adikku tenang. Haha-haha-haha...” Komandan Sentot bicara disusul dengan tawa laksana raksasa. Ia telah menebus nyawa adiknya yang telah menggeluti dunia haram, narkoba, tanpa diketahui banyak pihak. Dan sialnya mati di tangan Joko.
Pasca penembakan itu tak ada yang bisa diupayakan untuk Joko. Dalam perjalanan menuju rumah sakit Bhayangkara, Joko mengembuskan sisa napasnya. Sedangkan di suatu tempat, Komandan Sentot menjalani uji cobanya sebagai bagian dari upaya diagnosis gangguan jiwa dari pakar psikologi. Berjalan untuk beberapa hari berikutnya.
Tragedi yang terjadi pada siang hari -yang sama ketika Embok pergi meninggalkan dunia- itu sungguh melukai dan mencoreng nama baik lembaga kepolisian.
Tak ada yang pergi dengan membawa nama mewangi. Nilai patriotisme juga terbengkalai. Tapi Joko masih punya nurani. Ia membela harga dirinya di tengah tekanan pekerjaan dan gaya kepemimpinan yang tak bisa diterimanya. Dialah tumbal kelicikan membabi-buta dari sang pemimpin. Fakta bicara Joko juga tak berjiwa tangguh untuk mempertahankan kestabilan emosinya. Namun sungguh ia menyesali seluruh perbuatannya. Kini semuanya impas seimpas-impasnya. Hutang nyawa dibayar nyawa. Apakah pada akhirnya hukum alam selalu (dirasa) benar?

-selesai-

*tulisan ini diikutsertakan dalam lomba "Kompetisi Kreatif Internasional Dialog Muda 2014"


[1] Panggilan untuk anak laki-laki dalam masyarakat Jawa
[2] Kamu

Rabu, 02 April 2014

RUMAH KOS 666 (part of ANTOLOGI GROUND ZERO by DE TEENS)

from this
 Keyla atau Key – demikian panggilannya – berdiri mematung dan mendadak menegang keseluruhan tubuhnya. Binar matanya menunjukkan kilat ketakutan teramat sangat tapi juga keinginan kuat untuk berteriak sekeras-kerasnya dan menyergap lelaki tua itu. Namun keberadaannya saja tak dihiraukan oleh si lelaki tua yang tega mengayunkan keras sebilah bambu tua ke tubuh seorang gadis berulang kali di bawah keran air yang mengucur deras. Terlihat wajah gadis itu membiru lebam bahkan darah menetes dari ujung bibirnya. Gadis itu meronta-ronta tapi si lelaki terus menghunjamkan pukulannya. Sebanyak apa pun gadis itu memohon maaf dan meminta tolong, sebanyak itu pula hukuman fisik yang ia dapatkan. Pedih, pilu, ironis, sengsara dan menakutkan. Itulah yang tertangkap bola mata Key. Key tak tahu kenapa gadis itu dihukum sebegitunya. Apa salahnya? Dan pada kesempatan terakhir, lelaki tua itu meraih sebuah cambuk. Gadis itu dicambuk habis-habisan tanpa ampun. Sadis! Hingga akhirnya, tiba-tiba saja cambuk itu berubah menjadi sebuah kapak. Sontak Key berteriak....
 “TIDAAAAAAKKKK!!!” Key terbangun dari tidur malamnya dengan napas yang tak beraturan sambil ia memegangi kepalanya. Mimpi itu lagi. Ini sudah kali kedua dan sama persis!
“Astaghfirullah,” gumam Key kemudian ia merenung. Pasti ada makna dari mimpi yang sama persis untuk kedua kalinya. Tapi Key tak jua menemukan jawabannya.
Angin Subuh membelai lembut gorden kamar Key. Key lupa menutup jendela kaca model lawas kamarnya. Pantas saja, semalam terasa lebih dingin ketimbang biasanya. Key menutup jendela itu asal tanpa menyibak gordennya. Mendadak saja sekelebatan bayangan orang melintas di depan jendelanya, di depan matanya. Kamar Key terletak di dekat teras lantai dua. Biasanya saat Subuh hari, Karin, teman kosnya beda kamar olahraga ringan di depan situ. Tapi Karin sedang sakit di Gresik. Key segera menyibakkan gordennya dan mengintip dari dalam. Tiada seorang pun. Key menunggu sejenak. Adakah suara aneh? Tidak. Adakah bayangan itu lagi? Ia menunggunya sampai hitungan ke lima menit pertama, tapi tidak mendapati sosok itu muncul lagi di balik tembok kamarnya melalui jendela. Well, mungkin itu tipuan penglihatannya. Atau mungkin tadi itu maling?
Tapi tunggu! Atau sebuah... sebuah... halusinasi? Key menggelengkan kepalanya cepat kemudian termangu sesaat. Teringat masa lalu. Kenapa kejadian ini kembali mengusiknya setelah sekian tahun hidupnya aman, nyaman dan damai tanpa ini. Dulu ketika SMP dia seringkali melihat sosok-sosok transparan berkeliaran di kebun Tebu milik tetangganya yang ada tepat di sebelah rumahnya. Kemudian, ia bisa seketika berhenti berjalan dan melihat serangkaian peristiwa di dalam matanya yang terpejam. Tapi, kala itu Key hanya geleng-geleng, mungkin itu hanya khayalannya semata. Tapi tidak! Apa yang ada di pikirannya benar-benar terjadi. Sialan! Tapi, dua hal tersebut belumlah sering terjadi. Dan seiring ia beranjak dewasa, ia semakin yakin bahwa apa yang ia alami semasa SMP hanya kebetulan dan faktor kelelahan sehingga inderanya mengada-ada.
Tapi, kini tampaknya Key harus berpikir ulang walau ia juga masih sering berupaya mengelak sekuat tenaga. Mimpinya tentang sebuah kejadian tragis di kosnya yang baru, berulang dengan sama persis. Kemudian suara aneh yang terjadi pada suatu pagi.
Hari itu dia bangun tepat pukul setengah lima. Subuh pun pukul setengah lima pagi sehingga ia segera  mengambil air wudlu untuk menunaikan ibadah wajibnya. Usai itu, ia mandi sebelum didahului oleh seniornya di kamar sebelah, Laksmi yang sukanya juga mandi Subuh hari. Key pun menyalakan keran air begitu lebar sehingga suara air menyemprot keras setelah berada di dalam kamar mandi. Beberapa detik kemudian samar-samar ia mendengar suara, “Siapa di kamar mandi?”.
Key memutar keran air supaya suaranya tidak berisik. “Ya?”
“Antri, ya?”
“Oh iya, Mbak,” sahut Key sudah mengenali suara Laksmi sejak pertama bertemu. Cempreng tapi kalau sudah nyanyi, merdu unik kayak Fatin begitu, deh.
Kebiasaan wajib di kos 666 salah satunya bilang: aku antri, ketika hendak mandi supaya tidak heboh seisi kos akibat saling serobot antrian. Sebab kamar mandi yang berfungsi hanya satu untuk sepuluh orang kos 666. Ini yang membuat Key gedeg-gedeg sama ibu kos. Janjinya memperbaiki kamar mandi lantai dua –dekat dengan kamarnya- semenjak ia datang pertama kali untuk ngekos satu tahun lalu tapi sampai sekarang tak jua diperbaiki.
 Satu informasi tentang kos 666 atau sering disebut triple six. Kos ini terletak di gang 6 dengan nomor rumah 66 di dekat Kecamatan Gubeng, Surabaya.
Lima belas menit kemudian Key sudah kembali ke kamarnya. Eh, tapi ia mampir dulu ke kamar Laksmi.
“Mbak Laksmi, udah.”
Tak ada sahutan dari dalam kamar Laksmi yang gelap, terlihat dari ventilasi kamarnya. Akhirnya Key mengetuk pintu bahkan sampai menggedornya dan setengah berteriak, tetap tak ada jawaban dari dalam. Key pun kembali ke kamar lalu mengambil ponselnya. Key mengirim pesan untuk Laksmi.
Mbak, gw udh kelar mandi. Giliran elo.
Beberapa menit kemudian ada balasan dari Laksmi.
Gw lg otw balik SBY nih, Key. Kan, kemarin sore gw balik Lumajang.
Mata Key melotot mau copot. Lah, tadi yang antri mandi siapa???
Kejadian ini membuat Key semakin pening berpikir saat ini. Belum lagi pernyataan temannya, Ratih, beberapa waktu lalu, membuat Key makin tak nyaman balik ke kos. Bahkan sampai detik ini ia masih sesekali parno menatap suatu sudut yang ditunjukkan Ratih.
“Key, thanks ya kemarin lusa udah diizinin nginep kos-an elo. Tenang aja, kamar elo nggak gue obrak-abrik, hehehe,” ujar Ratih. Ratih menginap di kamar Key ketika Key pergi ke rumah saudaranya dan menginap di sana. Ratih kemalaman pulang ke Sidoarjo, sementara sudah tidak ada angkot ke sana. Ayahnya juga pergi keluar kota sehingga tidak ada yang menjemputnya.
“Iya, sama-sama, Tih. Gue percaya, kok,” sahut Key tersenyum lebar.
“Eh, tapi Key, tunggu deh. Elo nggak kenapa-kenapa selama ini tinggal di situ?” Pertanyaan Ratih membuat Key terangkat sebelah alisnya.
Key menggelengkan kepala. “Kenapa-kenapa apanya?”
Ratih menarik napas dalam. Berharap semoga kawannya tidak kaget atau bahkan pingsan di tempat. “Jadi, di pojokan kamar elo, di atas lemari elo ada...” Ratih menghela napas lagi.
Key menunggu tidak sabar. “Ada apanya?”
“... kunti nangkring!” Ratih menandaskan kalimatnya tanpa ampun.
Key terperanjat. “Busyett! Elo pagi-pagi jangan horor, ah, Tih!”
“Gue serius! Elo hati-hati aja. Banyakin sholat sama baca Qur’an.”
Key mencubit lengan Ratih. “Jangan bikin gue nggak berani tidur di kamar sendiri, Tih! Dan gue udah pesen sama elo kan, apa pun yang elo lihat dari gue, sekitar gue, jangan pernah kasih tahu gue! Gue bakal stres mikirinnya. Gue tahu elo cenayang tapi pliisss... jangan berusaha nakut-nakutin gue!” mohon Key.
Mengingat pernyataan Ratih itu membuat Key bukan hanya pening tapi sekarang kebelet pipis. Bulu kuduknya pun merinding seketika. Ia tak berani melihat ke atas lemari di seberang tempat tidurnya. Tapi, ia ingin memastikan tak ada apa-apa di sana dari sudut matanya. Ia tak mau disebut berhalusinasi.  Lagipula dirinya bukanlah cenayang atau titisan nenek moyang yang punya kekuatan supernatural dan -pasti- bukan juga Tuhan yang tahu segala hal yang ghaib dan kasat mata yang tidak diketahui manusia. Dia gadis biasa dan senormalnya manusia. Berstatus mahasiswa semester lima fakultas Psikologi di sebuah PTN ternama di Surabaya. Tapi, kenapa sekarang ia begini? Sensitif. Dan lebih sensitif ketimbang zaman SMP, juga frekuensi mengalami hal aneh semakin sering. Key bukannya takut tapi ia tidak mau pikiran itu memprovokasinya melebihi kenyataan yang ada. Pikiran yang menjelma menjadi sebuah halusinasi bahkan disertai delusi dalam beberapa periode, itu artinya ia bisa didiagnosa mengidap Skizofrenia!
... to be continued


Pengen tahu kelanjutannya? Grab it (Ground Zero: A Crime Behind The Shadow) fast on ur fave book store, guys. Happy Spooky ;)