Rabu, 27 Agustus 2014

Mengocehlah! Maka, Kamu Beruntung

Judul Buku              : Queen of Babble (Ratu Ngoceh) (Versi Terjemahan)
Penulis                     : Meg Cabot
Penerbit                   : PT. Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit            : September 2010
Tebal                        : 456 halaman
Harga                       : - (pinjem temen J )
 




Mengocehlah! Maka, Kamu Beruntung

Well, kebanyakan dari kita tahu bahwa diam itu emas. Tapi, tahukan kalian? Diam juga bisa berarti buruk. Misalnya, masalah yang hanya dipendam melulu akan menimbulkan benjolan merah perih di wajah mulus kita.
Maka, berhentilah menjadi pendiam! Alih-alih, mengocehlah seperti Lizzie Nichols. Gadis berusia 20-an tahun, yang (nyaris) menjadi sarjana jika tidak mendadak pembimbingnya datang membawa kabar sialan untuk membuat tesis sebagai syarat lulus dengan sah di saat ia hendak pergi melepas rindu pada kekasihnya, Andrew, di Inggris.
Perkenalkan, dia Lizzie yang punya kelebihan: bisa turun 15 kilogram dalam tiga bulan, mengambil jurusan individu sebuah universitas negeri di daerah Michigan (Amrik) sana, dan keblinger mencintai Andrew sampai (terpaksa) rela mengemban tugas membuat tesis selama berlibur bersama Andrew dan – tentu saja – mengancang-ancang momen romantis bersama yang akan mereka lalui.
Tapi, apa? Ah, di sini kita harus belajar pada Lizzie, Ladies. Terlalu muluk-muluk berkhayal tentang kekasih tercinta dan momen-momen yang akan kita lalui bersamanya adalah kesalahan yang fatal! Fatal jika lelaki itu Mr. Benalu bernama Andrew! Pelajaran juga, Lizzie adalah gadis Amrik polos yang jatuh cinta pada Andrew-Benalu, yang kental dengan aksen f  untuk mengucapkan th, dari Inggris. Maksudnya, jangan mudah meleleh sama bule yang ada di Indonesia. Kita tak tahu di negara asalnya dia siapa, kan?
Peraihan gelar sarjana belum resmi, disuruh bikin tesis selama liburan – yang akhirnya pada novel ini gagal total –, ditipu lelaki yang dicintai, belum cukup membuat Lizzie merasa seperti orang hilang dan sial di tengah London! Tapi, hhh... di bagian ini klise. Dia dipertemukan dengan ‘malaikat’ yang ternyata adalah teman yang selama ini diceritakan, Chaz (pacar Shari, sahabat Lizzie). Perkenalan mereka di gerbong kereta api menuju Perancis (sebab di sanalah Chaz dan Shari berlibur) manis sih, tapi sangat mudah ditebak. Walau lelaki itu menggunakan nama Perancis saat perkenalan, tapi bisa ditebak oleh pembaca. Cuma di situ Lizzie dibuat tidak tahu. Ah, keseringan baca begini, jadi cukup mudah menebak, ya? Hehehe.
Lizzie naksir pada Luke, Lelaki Gerbong Kereta dan teman Chaz, setelah mengoceh kebuntungannya bersama Andrew, hanya dalam waktu kurang dari satu minggu! Dan, mulailah kisah mereka yang yah... mulanya biasa saja, sih. Luke digambarkan lelaki manis dan lucu, bukan beringas. Tapi, Lizzie menganggap Luke itu seksi dan selalu membuatnya berdebar. Padahal, saya merasa biasa saja.
Sayang, Luke sudah punya pacar dengan payudara yang mencurigakan! Dan, sikapnya juga congkak dan meragukan. Tapi, Lizzie tetap menaruh hati pada Luke, dan pada puri abad pertengahan milik moyang Luke bernama Château Mirac. Lizzie memang penyuka barang antik.
Novel ini berbahasa lincah khas chicklit, betul-betul seperti mengoceh, persis representasi tokoh ‘aku’ (Lizzie). Dia dengan lincah menceritakan dirinya yang ternyata sukses diet dengan menahan makan makanan berkarbohidrat, bagaimana dia masih punya komitmen ingin menyelesaikan tesis (walau faktanya tidak sama sekali mengerjakan), membeberkan kebusukan dan apa-yang-telah-dia-berikan-dan-ingin-dia-tarik-kembali dari Andrew pada orang asing, dan bagaimana rasanya jatuh cinta pada pacar orang!
Alurnya mengalir, dan walaupun terkesan biasa membaca Lizzie yang ngoceh tentang dirinya di awal – kecuali bagian Andrew-Benalu – sampai bertemu Luke yang ‘hambar’ karena baik-manis-sopannya, tapi cara menceritakannya renyah dan lincah. Apa khas Meg Cabot begitu ya? (saya baru baca trilogi Abandon, Size 14 Is Not Fat Either, dan Queen of Babble). Tapi, mungkin ini lebih ke genre chicklit kali ya, jadinya dibikin easy reading yang lincah, bukan mendayu-dayu. Tapi, menuju ending, pergolakan antara Lizzie dan Luke akibat kesalahpahaman (lagi-lagi ini senjata ‘klasik’) bikin gemes dan deg-degan. Dan, kita akan tahu siapa Luke sebenarnya. Hahaha.
Novel ini juga berisi kutipan-kutipan tokoh terkenal dunia yang selama ini belum saya –pribadi – tahu pada setiap bab. Dan, saya merasa semuanya ngena banget dalam kehidupan kita sehari-hari. Misal:

Menyakitkan menyimpan rahasia dari orang yang berhak mengetahuinya. Rahasia itu akan terungkap sendiri
(Ralph Waldo Emerson [1803-1882], penulis esai, penyair, dan filsuf A.S)
pada halaman 369.

Pernah mengalaminya?

Belum lagi, pada setiap awal per bab juga tertulis sejarah mode, membuat saya bertambah tahu. Yah, Lizzie memang mengambil jurusan individu ‘Sejarah Mode’. Di Amrik begitu, ya? Agak mengerikan, ya? Maksud saya, agak ngeri sih, ‘berjuang’ sendiri. Hehehe. Tapi, saya belum paham banget maksud program jurusan individu ini, sih. Ada yang bisa membantu menjelaskan?
Overall, novel ini bagus dalam mengemas tema perjuangan impian dan cinta. Klise memang, tapi membuat saya – pribadi – kembali percaya bahwa keberhasilan itu mungkin memang berjarak sejengkal dari kita yang (nyaris) menyerah (sori, lupa siapa yang mulanya bilang begini). Sehingga memotivasi kita untuk jangan menyerah. Iya, seperti Lizzie yang tidak akan pernah menyerah dalam hidupnya, tapi ia tidak bertindak sembrono dalam menyikapi masalah di depannya. Ingat, dia Lizzie! Memang dia bisa mengontrol tindakannya, tapi mulutnya? Ah, dia memang masih perlu belajar walau memang mulutnya itu selalu menyuguhkan fakta – bukan bualan – yang membawa keberuntungan untuknya.
Ratu Ngoceh, bacaan asyik pengusir jenuh. Dasar cerita yang klise namun dikemas dengan hal-hal unik-antik, dan ending yang wow, hot! Luke, aku padamu! Diam-diam menghanyutkan dikau, ya...
Ya, baca saja. Lizzie dan Luke bakalan memberikan gebrakan di belakang. Apa lanjutannya juga seasik ini? Nggak sabar pengen baca J