Senin, 17 Desember 2012

Lelakiku, menikahlah denganku!



Terlahir di tengah keluarga yang masih menjunjung tinggi adat sopan santun wanita Jawa membuat Rasti memiliki gunungan es hasrat memberontak atas aturan yang ada. Keluarganya memang berpikiran maju, masih mau terbuka terhadap perkembangan zaman dengan menyekolahkan keturunannya ke jenjang lebih tinggi, tertinggi jika perlu. Rasti merasa beruntung.
Sekalipun keluarganya bukan keluarga sangat berada tapi semangat menyambut kemajuan perkembangan zaman yang harus diimbangi dengan pendidikan yang berkualitas bagus, sangat dijunjung tinggi kedua orangtuanya. Meski, orangtuanya juga tidak mengenyam pendidikan sarjana. Tapi, ada hal yang masih tak dimengerti Rasti.
Meskipun mendukung anak-anaknya mengenyam sekolah tinggi tapi orangtuanya masih memiliki pemikiran kolot, -menurut Rasti-.  Bagaimana tidak? Mereka bisa mau mencoba hal-hal baru di zaman modern tapi masih percaya aturan zaman dulu dan seringnya tidak memberikan alasan rasional kenapa harus begini, kenapa harus begitu. Misalnya, dilarang berdiri di tengah pintu, dilarang menyangga piring ketika makan, anak gadis dilarang berkata kasar dan tertawa keras dan gadis perawan tidak boleh mengejar lelaki. Contoh-contoh larangan itu ada yang bisa dirasionalisasi ada yang tidak. Dan larangan yang terakhir itu yang agak mengusik hati Rasti. Rasti mengartikan “gadis perawan tidak boleh mengejar lelaki” secara luas. Itu artinya wanita tidak boleh centil pada lelaki dan pastinya mengutarakan cintanya pada sang lelaki. Rasti tidak terima. Karena dia pernah melakukan itu. Tapi, bukankah cinta itu untuk dibagi, orang lain harus tahu kalau kita cinta kepadanya. Kalau kepentok aturan wanita tidak boleh memulai dahulu menyatakan perasaan atau memulai hubungan apa jadinya? Apakah harus mempertahankan “semboyan” wanita hanya berhak menerima dan menolak lelaki?
Ini nggak adil!!. Pikir Rasti.
Nampaknya Rasti tipe wanita yang suka mengejar ketimbang dikejar. Terbukti dari sekian banyak pengalamannya jatuh hati pada lelaki, ia dahulu yang merasakan cinta dan berusaha mendekati lelaki itu untuk mendapatkan hati lelaki yang ia kehendaki. Meski hasilnya nol besar! Ia selalu gagal menjalin hubungan asmara dengan lelaki manapun yang pernah ia sukai. Tapi, Rasti tak pernah jera mencoba jatuh cinta lagi, “mengejar” lagi dan lagi. Meski akhirnya sakit hati lagi dan lagi karena bertepuk sebelah tangan, baik sebelum ia berhasil menunjukkan perasaannya maupun setelah benar-benar ditolak mentah-mentah.
Banyak cerita yang ia dengar dari banyak mulut bahwa beberapa pernikahan yang langgeng dibangun berawal dari kisah wanita yang mengutarakan rasa cintanya dan memulai hubungan asmara lebih dulu. Mereka melaluinya dengan tenaga ekstra memenangkan hati lelaki pujaan mereka. Mereka berhasil. Tapi, mengapa Rasti Enggak?? Sekali lagi ini tak adil bagi Rasti.
Rasti ingin membuktikan omongan orang-orang itu tapi ia terbentur pesan ayahnya agar tak mengejar lelaki, juga pesan sahabat baiknya. Rasti gamang, penat. Tapi, jika mengingat pengalaman selama ini, mengejar lelaki memang menyakitkan tapi Rasti tidak dapat membayangkan jika ia justru didekati orang yang tidak ia cintai. Bagaimana menghindarinya? Rasti tak punya pengalaman menolak lelaki, pacaran saja tidak pernah selama nyaris 25 tahun ia hidup di bumi ini. Rasti semakin bertampang kusut memikirkan hal ini. Hal ini lebih membuat galau dibandingkan kala ia galau terhadap lelaki.
“Mbak, saya boleh duduk di sini? Soalnya bangku lain penuh. Boleh? Boleh, ya?” kata seorang lelaki tiba-tiba, membangunkan Rasti dari kepeningan pikirannya.
Rasti menoleh ke arah lelaki yang langsung duduk di hadapannya. Rasti terkesima bukan main. Matanya terpaku mengamati setiap inci garis lekuk paras tampan lelaki di hadapannya. Wajahnya segar memancar. Tiba-tiba Rasti deg-degan sekali. Ia sulit mengatur distribusi oksigen dan karbondioksida yang keluar-masuk hidungnya. Tangannya melemas. Ah, kebiasaan Rasti jika bertemu lelaki tampan setampan pangeran keraton Solo, Paundra Karna, ia langsung lemas!
Lelaki itu tak peduli ekspresi Rasti yang menatapnya terpaku. Lelaki itu melahap makanan dan minumannya dengan buru-buru. Kemudian Rasti sadar. Dan mulai mengatur nafasnya agar tak kentara grogi di depan lelaki rupawan.
“Mas, buru-buru banget makannya?” sapa Rasti memberanikan diri.
“Oh, iya, Mbak, seharusnya nggak boleh tapi saya buru-buru mau ada interview kerja. Saya belum makan sedari pagi,” ujar lelaki itu.
Rasti kembali terkesima. Mata lelaki itu mata elang.
Wohooo... ini benar-benar pangeran Paundra kawe 2!! Nggak mirip tapi setipe! Aiihhh...
Rasti banyak diam di hadapan lelaki itu hingga akhirnya lelaki itu selesai makan dan berpamitan pergi dengan langkah tergesa-gesa. Mata Rasti tak terlepas dari lelaki itu sampai lelaki itu sudah terlihat seperti semut di kejauhan sana.
Rasti masih mengagumi lelaki itu. Ia mencoba mengukir jelas wajah lelaki itu di memorinya. Kemudian ia kembali sibuk dengan laptopnya mengurusi tesisnya yang sedang berjalan dan sesekali menilik bisnis online-nya yang sedang berkembang di bidang fashion busana muslim dan cup cake kopi miliknya. Sesekali ia menyeruput kopi yang ia pesan sejak dua jam lalu di kedai kopi di pertokoan dekat kampusnya. Jam di laptopnya masih menunjukkan pukul 1 siang. Matahari masih terlalu terik bagi pejalan kaki, sekalipun hanya beberapa langkah saja. Seperti Rasti yang tak mau berpanas ria berjalan menuju parkir motor yang hanya beberapa langkah dari kedai kopi itu.
JJJ
Hari yang melelahkan bagi Rasti. Seharian ia harus mengurusi pengambilan data untuk skripsinya, orderan cup cake kopi-nya juga cukup banyak dari pelanggannya yang kebanyakan teman-teman kampusnya yang memang menyukai kopi dalam berbagai varian.
Hari yang melelahkan sekaligus menjengkelkan secara tiba-tiba. Semua berawal dari perbincangan di ruang keluarga bersama kedua orangtuanya.
“APA?? NIKAH???” seru Rasti dengan suara meninggi.
“Iya, kenapa? Usiamu sudah cukup, bentar lagi kamu lulus. Masalah pekerjaan, cari saja sambil nanti kalau sudah menikah,” ujar ayahnya.
Wait! Tunggu, Yah! Ayah pernah bilang kan, kalau aku harus bisa settled dulu karirku? Kalau perlu kuliah lagi. Kenapa tiba-tiba begini?” protes Rasti.
“Mapan bisa dicapai seiring kamu membangun rumah tangga,”
No! Mana bisa sukses kalau diriwuki urusan lawan jenis sedini ini? Rasti pengen jadi wanita karir dan sukses. Membuktikan juga ke lelaki kalau Rasti harus masuk perhitungan mereka kalau ingin Rasti menjadi pasangan mereka. Rasti nggak mau cuman menjadi ibu rumah tangga biasa. Rasti nggak mau ditindas seperti bude Yuli yang pasrah atas kelakuan suaminya yang seenaknya,”
Rasti bicara mengikuti emosinya yang meletup-letup hingga tak sadar ia menyinggung perasaannya ayahnya.
“RASTI!! Begitu juga dia yang mengasuhmu sejak kecil!”
Rasti menyesal dan meminta maaf segera lalu ia lanjut berargumen agar ayahnya membatalkan perjodohannya dengan lelaki pilihan ayahnya.
“Ayah tidak melarangmu jadi wanita karir. Tapi ayah tidak ingin kamu terlalu lama sendiri. Ayah dan ibu harus segera mencarikan jodoh yang tepat untukmu untuk menggantikan kami menjagamu di masa depan. Kita tidak pernah tahu usia seseorang. Makanya ayah berjaga-jaga sejak awal,” jelas ayahnya.
“Tapi, saat ini Rasti masih belum butuh pengganti ayah dan ibu. Kalian masih segar bugar dan insyaAllah berumur panjang sampai aku punya anak yang sukses!”
“Cobalah dulu! Setidaknya kenalilah dia dulu, Nduk. Dia pemuda yang baik dan ibu yakin dia tipe lelaki yang seperti kamu inginkan selama ini,” kara ibunya.
“Memang Ibu tahu bagaimana tipe lelakiku?”
“Ibu lebih tahu, lebih dari kesadaranmu sendiri. Kamu terlalu lama di kandungan ibu, masa’ nggak tahu gimana maumu?” goda ibunya.
Rasti mendengus keras.
JJJ
Waktu dua minggu berlalu. Rasti menjalani hidupnya dengan penuh pikiran. Tesis, bisnis, urusan perjodohan. Hal yang terakhir ini yang lebih menggundahkan hati Rasti dibandingkan tesisnya yang akan mengantarkan dia sebagai seorang psikologi klinis.
Rasti mengabaikan laptopnya yang memutar musik dengan volume nyaris 100%. Padahal di layarnya tesis menunggu untuk dijamah dituntaskan. Rasti memikirkan perjodohan itu. Dia mencoba membayangkan seperti apa wajah lelaki yang akan dijodohkan dengannya, bagaimana kepribadiannya, bagaimana pola hubungan -maaf- suami istri yang suami inginkan dan bagaimana kelanjutan kisah hidupnya setelah menikah. Hal itu berputar-putar di otak Rasti. Tak ada habisnya!
Pikiran Rasti tentang perjodohan itu buyar seketika ketika ibunya memanggilnya. Tapi, perasaan Rasti dibuat berlipat-lipat tidak karuan karena ia harus menemui calon suami dan calon mertuanya yang merupakan kawan lama ayahnya.
Rasti sudah merapikan diri dan ia tidak bisa menghindari pertemuan itu. Dan akhirnya Rasti bertemu sosok lelaki yang katanya akan jadi suaminya.
Rasti takjub! Ini lebih dari ekspektasinya! Prince Paundra kawe 2! Rasti memastikan.
“Ini yang dimaksud ayah dan ibu?” tanya Rasti pada ayah dan ibunya di hadapan keluarga calon suaminya.
Ayah dan ibu Rasti tersenyum tanda iya.
“Kalau begini, bagaimana bisa menolak. Mau banget!” seru Rasti. Ibunya menyenggol Rasti menandakan sikap Rasti kurang sopan.
“Hai, Mas, masih inget di kedai kopi kapan hari lalu?” tanya Rasti pada lelaki itu.
“Jelas. Sebelum-sebelumnya juga selalu inget kamu. Sudah terhitung tujuh belas tahun inget kamu,” jawab lelaki itu.
Hari Rasti berbunga-bunga. Merekah seketika. Seolah selama ini ia kekeringan tiada hujan segar yang menyirami.
“Tunggu, tujuh belas tahun?” tanya Rasti heran.
“Masa’ kamu ndak inget, Nduk? Restu ini teman waktu kamu kecil. Kemana-mana mesti sama Restu. Restu yang jagain kamu kemana-mana, ke sekolah, main. Kamu masa’ juga nggak ingat dia pernah ngasih baju kamu dan kamu bawa itu baju kemana kamu pergi tapi sebagai gombal? Hahahah. Kalau nggak ada gombal itu kamu nangis-nangis, hahahah,” jelas ibu Rasti disambut tawa semua orang.
Rasti menahan malu.
“Rasti sengaja lupa, Bu, soalnya dia kan, ndak suka sama saya setelah dia jatuh dari pohon rambutan gara-gara saya. Dia marah-marah nggak mau ketemu saya. Dan setelah itu saya ikut mama sama papa ke Makassar,” tungkas Restu.
Rasti mencoba tersenyum. Otaknya mulai menelusuri memori lama masa kecilnya.
“Maaf, ya, lupa. Maaf semuanya. ” kata Rasti sambil menundukkan kepalanya menahan malu.
“Rasti... dia ini alasan ayah melarang kamu pacaran. Melarang kamu mengejar lelaki. Soalnya ada dia yang nungguin kamu selama ini. Restu tidak diragukan lagi sebagai lelaki yang berkualitas buat kamu. Tipe lelaki seperti ini kan, maumu? Ngaku sekarang,” kata ayah Rasti menggoda.
Rasti tak bisa membantah pernyataan ayahnya. Ia masih menahan malu.
Perbincangan antarorangtua berlangsung, di tempat lain Rasti dan Restu berbincang sendiri mencoba membuka memori romansa lama yang pernah terjalin di antara mereka berdua dan Rasti sempat melupakannya.
Nggak nyangka, aku punya teman kecil yang ternyata begini ceritanya. Persis FTV lho, Mas! Memang yang namanya rejeki itu nggak akan kemana, yah? Dulu aku mengejar lelaki yang aku suka dan tak satupun berhasil aku dapatkan dan di saat sedikit putus asa begini ternyata rejeki itu datang, hehehe. Ini keajaiban namanya,” ujar Rasti terhadap Restu.
“Semangat kamu ngedapetin sesuatu nggak pernah pudar, ya? Salut. Tapi, untungnya kamu gagal terus dapet lelaki. Kalau kamu berhasil, aku nggak punya peluang besar lagi,”
“Kenapa kamu masih kukuh ingin bersamaku setelah sekian lama berpisah? Lagian untuk lelaki seperti kamu biasanya maunya sama wanita yang... yang yah, levelnya Olla Ramlan mungkin?” tanya Rasti. Restu tersenyum maniiiiissss sekali!
“Cinta. Tuhan menakdirkan aku hanya punya satu hati yang terpaut ke kamu,”
Sumpah! Ini seperti mimpi Rasti! Lelaki tampan ini menjatuhkan hati ke kamu!
 “Kalau begitu, jadilah lelakiku selamanya dan nikahilah aku!” celetuk Rasti seketika.
Restu terdiam sejenak menatap Rasti. Rasti salah tingkah.
“Kenapa? Ada yang salah dengan ucapanku? Terlalu agresif, ya? Aduuhhh, maaf...” kata Rasti.
Restu menarik tubuh Rasti tiba-tiba, mendekapnya erat-erat,
“Dengan senang hati, wanitaku,” tungkas Restu.
JJJ
















Jumat, 03 Agustus 2012

Ketika Hati Jungkir Balik

KETIKA HATI JUNGKIR BALIK
Gadis itu berlari sekuat tenaga mengejar ketertinggalan bus antarkota yang membawa sang pemuda, kekasihnya pergi jauh ke ibu kota. Gadis itu berteriak-teriak bak orang gila memanggil-manggil nama kekasihnya dan memintanya untuk tetap tinggal tapi bus itu melaju begitu cepat hingga ia musnah dari pandangan gadis itu. Gadis itu terjatuh bersimpuh menangis.
Yak, adegan di atas memang sebuah take adegan sinetron terbaru Vika. Vika Oen, artis pendatang baru yang tengah naik daun. Sinetron stripping, tiga kali menjadi video klip grup band ternama, model iklan sampo dan sabun mandi.
"Yak! Kita break dulu!" ucap sang sutradara. 
Vika segera mengambil posisi duduk yang nyaman untuk dia bersandar melepas lelah sebentar. Kemudian asistennya bernama Beby alias Bagas menghampirinya untuk  memberikan sebotol air mineral dan mengipasi Vika.
"Semangat bangkek hari ini, Cyin? Kalo iye gini terus pasti makmur deh, iye," celetuk Beby.
Vika tersenyum lebar. 
"Beb, abis gini temenin gue ke stasiun, ya?" pinta Vika usai menenggak air mineral dari botol di tangannya. "Jemput Farhan dari Surabaya, liburan dia ke sini," lanjut Vika sambil menenggak air lagi.
"APAHH??!!" seru Beby mengagetkan Vika hingga ia menyemburkan air dari mulutnya keluar. "Adik iye yang super duper ganteng macem Nadzar Rizky itu dateng ke sini??!!"
"Elo kira-kira dong, Beb! Gue jantungan gimana?" protes Vika menabok Beby. "Elo juga musti inget, gue haramin elo deket-deket Farhan. Maaf-maaf kata nih, Beb, adik gue punya orientasi seksual lurus. Pacarnya elo tahu, wuhh, super bohay ketimbang gue," tukas Vika pedas.
Beby mencibir. "Terserah iye bilang apa, deh, Cyin... yang penting gue bakal dandan sekece badai ketemu Farhan, hihihi,"
Vika mengalihkan pandangannya ke arah lain tersenyum asal. Apa pun usahanya untuk bisa menghentikan keinginan Beby, asistennya itu tak akan pernah gentar. Selalu maju, never give up. Tapi ia juga tahu pasti Beby hanya melakukan itu sesaat saja. It's mean hal serupa juga akan ia lakukan terhadap lelaki yang sama beningnya dengan adiknya. 
Sang sutradara beberapa menit kemudian menyapa Vika, memintanya untuk berkenalan dengan seseorang yang wajahnya begitu asing namun memesona segar bagi Vika, pun Beby.
"Hai, Vika!" sapa lelaki itu mengulurkan tangannya bersalaman dengan Vika.
Vika sigap membalasnya. "Hai, emmm..." Vika mencoba mengenali tapi tetap tak bisa karena ia memang tak pernah kenal sebelumnya.
"Edgar," sahut lelaki itu.
"Beliau putra sulung pak Edi yang akan menggantikan beliau memimpin  Citra Sinema," tungkas si sutrada menjelaskan. Citra Sinema, PH yang memekerjakan Vika sebagai artisnya. "Baru nyelesaikan studi  masternya di Boston," 
Beby ber-oh ria terkesima melihat anak bosnya. Mulutnya berkomat-kamit tak karuan memuji ketampanan lelaki tulen di depannya. Vika juga hanya ber-oh plus berusaha tersenyum manis. Senyumnya memang manis dengan lesung di kedua pipinya.
***
"Barang-barang elo banyak banget sih, Han!" keluh Vika membantu adiknya mengangkut tas dan kardus ke bagasi taksi. "Nggak lagi berniat migrasi ke apartemen gue, kan?" 
"Berisik lo Mbak! Itu tas isinya oleh-oleh dari mami. Segala macam masakan mami ada di situ, tuh, tuh, di kardus oranye itu. Terus tas kresek itu isinya segala macam keripik, keripik rambak, ketela ungu, pisang dan semuanya. Gue aslinya juga ogah, masa' cowok bawa ginian? Ribet! Tapi demi elo kakak tercinta, gue lakukan! Kalo enggak gue sudah dikira kurir pengantar barang!" celoteh Farhan merapikan barang-barang di bagasi. Usai itu dia dan Vika, termasuk Beby yang sedari tadi ngiler mandangin Farhan masuk ke dalam taksi.
"Mbak, temen lo itu udah disuntik rabies belom?" ucap Farhan di samping supir. Ia tak nyaman dengan tatapan Beby yang begitu bergairah. Sementara Beby tak jua urung mengalihkan pandangan. Ia bahkan seolah tak mendengar ucapan Farhan yang begitu menusuk telinga. Like sister, like brother. Dua bersaudara itu memang berbakat untuk menjadi kritikus atau bahkan penghina kelas ulung. Tapi sebenarnya mereka hanya bercanda. 
Setelah sedikit bercek-cok, taksi yang mereka tumpangi pun melaju menuju apartemen Vika. Sayangnya di pertengahan jalan, ada sedikit masalah menimpa taksi mereka. Taksi mereka bergesekan dengan sebuah mobil mewah keluaran pabrik mobil sporty dari Italia. 
Vika dan supir taksi keluar ketika mereka tahu pengendara mobil "lawan" keluar.
"Yang bener dong, Pak bawa taksinya!" protes salah seorang lelaki berkaus putih polos dan berkerah "V" menunjukkan sisi maskulin sebagian dadanya.
"Loh, Mas, mobil Mas duluan yang nyalip saya nggak aturan. Saya nyetirnya udah bener," sanggah si supir taksi.
Vika sibuk melihat seksama lelaki yang sedang mengomel itu. Sedetik kemudian ia terperangah. Lelaki ini!!
"Terus maunya gimana, Mas?" tanya Vika tegas.
Lelaki itu menoleh ke arah Vika. Dia juga tak kalah terperanjat dari Vika.
"Mau gue? Elo ganti rugi gesekan yang udah ngerusak cat mobil gue!" sahut lelaki itu.
"Oke, gue ganti. Nomor rekening elo berapa? Gue transfer habis ini,"
"Gaya bener lo!" ejek lelaki itu. "Oh, gue lupa, elo kan sudah jadi artis terkenal ya, jadi gunungan lembar rupiah elo juga banyak. Iya, iya, gue lupa," 
Vika menghujamkan tatapannya tajam ke arah lelaki itu.
"Sekalipun harus menguras tabungan gue, itu lebih baik ketimbang gue berurusan lama-lama sama lelaki busuk macem elo! Cepetan kasih tahu rekening elo!" Vika tak sabar ingin segera pergi dari hadapan lelaki ini.
Kemudian lelaki lain yang lebih rapi penampilannya muncul dan menyela pembicaraan mereka berdua. "Hei, berisik banget, sih?" tanya lelaki itu. Vika kedua kalinya kaget. "Loh, Vika!" seru lelaki itu. 
"Iya, Mas Edgar. Ada sedikit masalah," kata Vika.
"Oke, oke, Dit, mending diselesaikan secara damai, deh. Elo jangan suka main otot dan toak mulu, ya. Inget umur!" kata Edgar. "Lagian, masa' elo nggak  tahu, Vika ini artis PH kita. Kita tadi juga buru-buru, nggak bener juga jalannya. Jadi, bapak taksi nggak salah juga," Edgar berpihak pada supir taksi dan Vika.
Vika terhenyak. PH kita? Lelaki busuk yang dia sebut tadi siapanya Edgar? Edgar siapanya lelaki busuk itu? Kalau begitu, lelaki busuk itu ada kaitannya sama PH yang menaunginya? Vika menatap Edgar dan lelaki busuk itu ke kanan dan ke kiri bergantian.
Tanya Vika yang tergambar jelas dari raut wajahnya dijawab oleh Edgar. Edgar memerkenalkan lelaki busuk -demikian Vika menyebut- adalah adiknya, Radit.
Vika merasa kepalanya berkunang-kunang. Kenapa dunia ini begitu sempit? Radit, lelaki congkak teman SMA-nya dulu adik seorang tampan seperti Edgar dan anak dari Pak Edi, produser tersohor di negeri ini. Vika mau jungkir balik seketika untuk menyadarkan dirinya sendiri terhadap kenyataan yang ada tapi jelas itu tak mungkin.
***
Beberapa hari berikutnya di tempat syuting sinetron stripping Vika, Edgar berjalan ke arah Vika yang sedang break  syuting sembari membawa dua botol minuman isotonik. Ia menyapa Vika dan menyerahkan satu botol untuk Vika.
"Maafin Radit kemarin, ya? Dia aslinya baik, kok,"
Psstt!! Baik? 
"Tapi memang agak kekanak-kanakan,"
Asli. Dulu begitu dan kayaknya sekarang juga. Kemarin saja sikapnya nggak bijak banget, apalagi sama gue. Selalu nyolot. Dua lima tahun masih tetep gitu aja. Cih!
"Elo tahu nggak kita saudara beda ibu?"
Vika memutar kepalanya cepat ke arah Edgar. Dua alasan. Pertama, fakta yang memang mengejutkan. Kedua, Edgar begitu jujur membuka hal bersifat pribadi.
"Kita beda ibu tapi gue sayang banget sama dia," Edgar membuka lebih dalam tabir hubungannya dan Radit. "Dia anak kedua dari istri kedua papa dan didiagnosa sebagai anak dengan temper tantrum. Tahu kan, temper tantrum?" Edgar memandang Vika. Vika menggeleng tapi ia yakin pernah mendengar istilah itu. "Bukan masalah yang amat serius tapi memang merepotkan juga. Jadi, dia itu kalau ada mau harus segera dituruti, kalo enggak dia pasti marah-marah, teriak-teriak. Dan setiap kali pinginya nggak terpenuhi, dia bakal ngancem marah dan nangis kejer-kejer. Itu terjadi pas dia masih anak-anak dan berulang selama itu. Tapi katanya sih, seiring beranjak dewasa hal itu bisa saja menghilang tapi yah, gue mencoba meyakini. Tapi terkadang pribadi impulsifnya masih kelihatan. Dia juga nggak terlalu bagus kontrol emosi kalo sudah tersulut emosinya. Gue harap suatu hari ada yang bisa menjinakkan perangainya, hehehe,"
"Dikira hewan buas, dijinakkan? Hahaha. Ada-ada saja nih, Mas Edgar," tungkas Vika. Kemudian  ia tercenung. Temper tantrum? Hemm... mungkin... bisa jadi kelakuan nakal Radit ketika SMA itu salah satu gejalanya yang masih tertinggal. Atau mungkin saja bukan. Tapi beralih ke gangguan perilaku lainnya? Siapa yang tahu? Iya, Vika ingat pas SMA Radit dikenal sebagai siswa super nakal dari kalangan parlente. Bolos sekolah, tidur pas mata pelajaran berlangsung bahkan ketika ujian, suka ngerjain siswa-siswa minoritas semacam mereka yang kutu buku atau lebih terlihat pendiam mungkin lebih tepatnya suka nge-bully kali ya dan semua maunya harus dianggap perintah yang wajib dilaksanakan. Ekstrimnya dia tukang tawuran di luar sekolah. Ah, entahlah! Ada hubungannya atau tidak dengan keterangan Edgar, yang pasti di antara dirinya dan Radit telah terjadi suatu peristiwa yang tak bisa dimaafkan Vika begitu saja. Jengkel setengah mati. Ya terhadap dirinya sendiri, ya terhadap Radit.
"Oh, iya, katanya kalian saling kenal? Radit juga nyebut elo beruang buruk rupa, elo bilang dia lelaki busuk, bener? Kalian sudah kenal lama?"
"Lama, Mas!" seru Vika. "Dan amat mendalam!" lanjutnya berapi-api teringat jengkelnya pada Radit.
Alis Edgar terangkat sebelah.
"Lelaki busuk eh, maksudnya Radit itu... teman sekolah saya pas SMA di Surabaya sebelum  saya sempat pindah ke Banjar tahun berikutnya. Dia itu...  suuuupppperrr trouble maker! Dan satu hal yang nggak bisa saya maafin dari dia..." Vika hampir nyeplos begitu saja, seketika ia menghentikan ucapannya.
"Apa?" tanya Edgar.
Vika lekas menggeleng kuat-kuat dan meringis. Tapi Edgar terus mendesaknya dengan begitu halus tapi akurat tepat sasaran. Akhirnya, Vika menceritakan semua yang ia alami bersama Radit beberapa tahun silam
Vika merasa benar-benar dungu bisa menyukai lelaki tipe bad boy seperti Radit kala itu. Semata-mata karena aksi Radit itu begitu memesonanya. Ya, dirinya siswi yang tak pernah melanggar satu pun aturan sekolah yang menyukai siswa badung yang menentang semua peraturan yang ada. Kalau bukan orang dungu apa coba? Tapi itulah yang dirasakan Vika. Hingga akhirnya suatu hari Vika diam-diam menyelipkan sebuah puisi romantis untuk Radit. Tapi kejamnya Radit membacakan puisi itu di hadapan semua siswa seantero SMA ketika turnamen futsal berlangsung di gedung serba guna sekola mereka. Sontak wajah Vika memerah padam. Malu tak tertahankan dan amarah yang tak terperikan lagi. Plus luka yang menyayat hati ketika Radit mengolok-oloknya sebagai beruang buruk rupa. Semenjak itu rasa cinta Vika berputar 180 derajat berubah jadi benci. Sampai detik ini.
Edgar dan Vika impas. Edgar bercerita siapa dirinya, siapa Radit dan Vika membeberkan siapa dirinya hingga bisa mengenal Radit. Singkat cerita semenjak percakapan lebih dalam ini, keduanya semakin dekat.
***
Pagi-pagi sekali Vika mampir ke rumah Edgar sebelum berangkat syuting. Pastinya itu juga rumah Radit. Vika sengaja membawakan sekotak bubur untuk Edgar yang kabarnya sedang sakit. Keduanya sekarang rekan dekat, jadi Vika memberikan perhatian untuk rekan dekatnya itu.
Vika memencet bel tak jauh dari pagar rumah Edgar. Beberapa detik kemudian keluar lah Radit dari garasi dengan hanya mengenakan kaos dalam dan celana pendek dengan muka penuh oli, hitam-hitam. Ia mendorong pintu harmonika garasinya. Vika setengah menahan ketawa dan sempat berpikir gila,"Nih, orang sejak kapan jadi berotot bagus begini? Keren juga." Lalu Vika segera menggeleng-gelengkan kepala cepat membuyarkan pikiran konyolnya itu, sebelum Radit mendapatinya tengah mengaguminya.
"Elo?" tanya Radit. "Ngapain pagi-pagi ke sini?"
"Mau ngasih ini buat Edgar." Vika menunjukkan kotak yang dibawanya, mendekati Radit yang ada di ambang pintu garasi mobilnya. "Semalem dia bilang dia sakit, jadi gue bawain bubur buat dia." 
Radit menerima kotak kue itu dari Vika dan menaruhnya di sebuah kursi panjang di pinggir tembok garasi mobilnya.
"Perhatian banget? Lo lagi usaha cari muka di depan Edgar?" 
"Ih, biarin! Suka-suka gue, apa urusan elo?"
"Ngimpi lo!" Radit ketus sembari sibuk dengan mesin mobilnya.
"Kalo iya dia suka sama gue, gimana? Pada akhirnya elo harus terima,"
"Berisik lo beruang buruk rupa!" kata Radit membuat Vika kaget. Radit menatapnya tajam. "Mulut lo makin comel ya semenjak jadi artis! Butuh disekolahin, tuh!" Radit membuang obengnya kemudian menatap Vika. "Atau perlu gue yang nyekolahin tuh, mulut?" Radit mendadak menarik kepala Vika, mendekatkan wajahnya pada wajah Vika. Sepersekian senti jarak bibirnya dan bibir Vika, begitu dekat.
Vika beringsut segera, mendorong tubuh Radit menjauh.
"Gue nyesel pernah ngenal elo!" Vika bersuara lantang.
"Gue nggak ngelakuin apa-apa. Tapi nyaris, sih! Tapi gue nggak sebejat yang elo kira, beruang buruk rupa!!" Suara Radit meninggi, sementara Vika makin menjauh.
***
Pekan ini Edgar kembali sehat. Dia kembali beraktivitas di PH milik ayahnya yang sekarang ia kelola. Hari ini sinetron yang dibintangi Vika akan syuting di daerah pegunugan teh. Semua kru dan pemain pendukung sinetron itu segera berangkat pada sore harinya untuk beristirahat semalam saja sebelum esok harinya syuting. Edgar turun langsung memantau jalannya syuting yang ternyata menduduki rating tertinggi di hati penikmat tayangan sinetron di Indonesia. Radit juga ikut dalam rombongan ini. Meski tak terlalu terganggu dengan keberadaan Radit tapi setiap kali bertemu Radit, Vika tetap merasa tak nyaman bahkan merasa terancam. 
Dua hari berlalu.
Malam ini jam dinding menunjukkan pukul tujuh, hawa dingin sudah teramat menusuk tubuh-tubuh mereka yang bekerja malam hari, para artis, kru dan manajemen sinetron yang memasangkan Vika sebagai tokoh utamanya.
Syuting akan dimulai kembali sekitar pukul delapan. Vika menyempatkan diri beristirahat dan menghangatkan diri. Beberapa detik kemudian ia ke kamar kecil dan usai itu ia tak sengaja melihat dua orang lelaki tengah duduk bermesraan seolah tengah melepas rindu di sebuah gazebo. Vika mengucek-ucek kedua matanya. Benar kah yang dilihatnya dua orang sesama jenis?
Vika penasaran dan mencoba memastikan siapa dua lelaki itu. Dan ketika tahu salah seorang lelaki itu, Vika hendak berteriak tapi tiba-tiba sebuah tangan membungkam mulutnya dari belakang. Sosok itu segera menyeret Vika bersembunyi di balik semak-semak.
"Lepasin!!" pinta Vika meronta. Ia kemudian terbelalak ketika tahu itu Radit.
"Sssstttt, diem!!! Elo bisa ketahuan Edgar!"
"Iya, tapi nggak usah kayak gini, pakai nikem orang dari belakang! "
"Heheh, sori, sori, nggak sengaja. Jangan berisik! Ayo ikut gue!"
"Kemana?"
"Ah, selalu berisik lo, cepetan!"
"Dari dulu yang berisik dan badung itu elo, bukan gue. Gua paling diem dan patuh, tahu!"
Radit menyosorkan mulutnya. Vika tahu artinya dan segera menutup mulutnya erat-erat.
"Elo berisik, gue sosor lo!" ancam Radit.
Mereka berdua pun menyingkir ke tempat yang lebih jauh dari Edgar dan "pasangan"nya. Di dekat bawah temaran lampu taman, duduk berdua di sebuah bangku semen cukup untuk berdua.
"Mau ngapain lo di tempat sepi gini? Pasti elo punya niat jahat sama gue!" tuduh Vika.
"Parno banget sih, lo? Diapa-apain elo tetep beruang buruk rupa yang punya pantat segede beruang eh, salah panda kali ya yang super ge--"
Vika spontan menginjak kaki Radit. 
"Aduh! Sialan lo, nginjek-nginjek kaki. Jadi cewek jangan sadi-sadis, dong!"
"Gue? Sadis? Terus kata-kata elo barusan itu nggak sadis? Itu pelecehan! Seharusnya gue laporin elo ke komnas perlindungan wanita. Dari dulu harusnya,"
"Sori, sori,"
"Bisanya bilang sori. Apa upaya elo nebus kesalahan elo sama gue? Nggak ada,"
"Iya, gue ngaku salah. Puas?" Vika menggeleng mantab. "Gue salah keterlaluan sama elo. Makanya gue ngajak elo ke sini. Minta maaf, juga ngasih tahu bahwa yang elo lihat tadi adalah alasan kenapa elo sama Edgar itu nggak mungkin bersatu. Dia suka sesama lelaki,"
Vika terperanjat tapi tak terlalu seperti pertama mendapati Edgar tadi.
"Nggak mungkin. Mana mungkin?"
"Mungkin aja lah. Dia hidup lama di negara liberal. Kemungkinan bergaya hidup seperti itu besar banget. Dan itu sudah jadi kenyataan. Elo harus terima dan gue minta elo berhenti berharap sama dia,"
"Tapi masa nggak ada harapan?"
"Masih. Tapi bukan sama dia,"
"Sama siapa?"
"Sama gue. Hem?" tawar Radit sambil menaik-turunkan alisnya.
Vika tersenyum sadis. "Elo? Elo lupa elo pernah nolak gue sampai bikin malu gue di depan umum? Lupa lo? Kenapa sekarang elo niat banget sama gue?"
"Ya gue suka sama elo, gimana dong? Elo mau ngelarang? Ya gue tahu gue keliru dulunya tapi asal elo tahu pas itu gue nggak setulusnya mau ngehina elo. Gue nyesel setelah hari itu. Aslinya... elo nggak jelek-jelek banget, kok. Serius. Hanya saja perlu banyak permak, hehehe,"
Vika mendengus.
"Tapi nggak seharusnya elo bilang sebegitu menyakitkan di depan anak-anak, Radit...."
"Elo marah?" tanya Radit sembari memutar posisi tubuhnya menghadap Vika.
"Ya, iyalah gue marah!" balas Vika sambil menghindar dan salah tingkah.
"Maaf," suara Radit tampak tulus. 
Vika menatapnya dengan kedua mata yang siap merebakkan air mata.
"Rasanya belum cukup, Dit. Gue bener-bener malu waktu itu. Cowok yang gue sukai pas itu ngehina gue di depan banyak orang. Harga diri gue jatuh, Dit," Vika mulai berat bersuara. 
"Apa yang perlu gue lakukan untuk menebus kesalahan gue? Memulihkan rasa sakit harga diri elo?" tanya Radit menatap Vika lekat.
"Cukupkah ini..." Radit mengecup bibir Vika yang baginya menawan sejak dulu. Vika memasrahkan diri tak lagi meronta seperti di depan rumah Radit tempo hari.
"Sudah lebih baik?" tanya Radit melepas kecupannya.
Vika menggeleng lemah.
"Bukan ini, Dit. Tapi... tapi kenapa begini? Kenapa elo suka bikin hati gue jungkir balik, sih? Dulu elo nolak gue sekarang elo deketin gue,"
"Elo tuh, yang bikin gue jungkir balik saltoan. Gue nyesel pas itu ngehina elo. Walau dulu elo gendut, elo masih menawan aslinya. Sampai sekarang, elo menawan tak terbantahkan," tutur Radit. "Maafin gue ya, Vik? Please! Jangan bikin hati gue jungkir balik patah hati lagi, ya? Gue bener-bener nyesel ngatain elo beruang buruk rupa pas itu, sampai elo pindah sekolah gue nggak bisa maafin diri gue sendiri karena nggak sempet minta maaf. Sialnya awal kita ketemu setelah lama berpisah, gue belum bisa bersikap manis sama elo tapi gue pingin banget tapi gue bingung. Elo juga malah deket sama Edgar," ujar Radit meyakinkan Vika. 
Vika seolah terhipnotis. Radit menatapnya lekat jauh ke dalam. Radit mantab mengucapkan kalimat mujarab itu dan membuat hatinya luluh.
"Gue ralat, ya?" kata Vika. "Gue rasa ini cukup untuk tanda minta maaf." Vika memeluk  Radit erat. Selama ini ia memang memendam amarah tak terelakan tapi ia juga tak bisa berbohong ia masih mengharapkan Radit kembali padanya dengan kabar yang lebih membahagiakan. Mengembalikan hatinya ke posisi semula, tak lagi jungkir balik, tapi kembali merasakan cinta yang bersemi dan tumbuh subur meninggi. 
***


cerpen "Untuk Perempuanku"


UNTUK PEREMPUANKU

Galuh kepanasan menunggui ban motornya selesai ditambal dalam perjalanannya dari Kediri ke Surabaya.
“Pak, masih lama nambalnya?” tanya Galuh pada tukang tambal ban sembari ia mengusap keringat yang menetes di pipinya.
“Sedikit lagi ya, Mbak!” kata bapak itu.
Ketika Galuh dan penambal itu asyik ngobrol, tiba-tiba berhentilah seorang lelaki yang kira-kira usianya tak terpaut jauh dengan Galuh menuntun motornya. Lelaki itu meminta tolong pada si penambal ban untuk menambal bannya juga.
Lelaki itu duduk di sebelah Galuh. Galuh memasang tampang ramah setengah tersenyum eh, si cowok itu langsung membuang muka. Langsung hati Galuh menjadi dongkol. Tak berapa, si bapak tambal ban mengatakan pada Galuh bahwa ban motornya sudah selesai ditambal. Usai memberikan upah, Galuh segera pergi melanjutkan perjalanannya.
JJJ
Galuh menikmati jalan-jalannya di sebuah mall besar di Surabaya. Ia sendirian. Usai lelah berjalan-jalan mengelilingi mall, ia keluar gedung besar berisi beraneka macam barang kebutuhan manusia itu. Galuh mulai merasa perutnya lapar. Kebetulan tak jauh dari mall itu terdapat deretan kedai kuliner. Di sanalah salah seorang teman karibnya membuka lapak kuliner kesukaan Galuh. Dari kejauhan ia melihat temannya sedang menjadi kasir.
“Hallo, Retha!!!” seru Galuh mengagetkan temannya.
“Kamu, Luh!” sahut Retha.
“Pesen paket 3 nggak pake’ pete, ya? Nggak pakai lama, ya? Aku tunggu di bangku sini, ya?” kata Galuh sambil menunjuk sebuah bangku makan yang tak jauh dari tempat Retha berjualan. Retha hanya mengangguk.
Galuh duduk di tempat yang dikehendakinya disusul oleh Retha.
“Habis jalan-jalan apa langsung ke sini tadi?” tanya Retha duduk di depan Galuh.
“Dari olah raga keliling mall. Hahahha....,” kelakar Galuh.
“Tetep aja pelit, kamu ini! Sudah jadi dosen dengan bayaran memuaskan masih aja kalo ke mall, nggak pernah beli apapun!”
“Bukan pelit tapi berhemat!!”
“Berhemat katanya! Numpuk pundi-pundi uang bener ya, kamu!”
“Iya dong! Demi masa depan cerah. Habis gini, aku investasikan ke tanah, perkebunan sawit, dan emas! Kan, harganya sering mahal, tuh! Kaya deh, gue!”
“Materialistis tetep...”
“Dari pada gue morotin lelaki,” tegas Galuh disambut tawa Retha.
Mereka bicara mengenai masa-masa indah saat mereka kuliah dulu sampai makanan yang dipesan Galuh datang.
“Silakan, Mbak!” kata si waitress lelaki yang mengantarkan pesanan Galuh.
“Loh, Mas, aku kan, pesennya nggak pakai pete di sambelnya??” protes Galuh.
Waitress yang sudah memalingkan langkahnya menuju ke dapur kembali pada Galuh.
“Di catatannya kan, nggak ada tambahan, Mbak!”
Nggak mau tahu! Saya mau diganti sambelnya!” protes Galuh lagi.
Retha menyuruh lelaki itu segera mengganti sambal itu. Lelaki itupun segera mengambil mangkuk kecil sambal itu tapi entah kenapa ia melakukan kesalahan dengan menumpahkan sambal itu ke baju Galuh.
“Waduh!!! Gimana sih, Mas??!!” kata Galuh sigap berdiri. Dia benar-benar tak tahan dengan bau pete itu. Dia memang sangat membenci makanan pete itu.
“Maaf, Mbak, nggak sengaja!”
Nggak sengaja, nggak sengaja, makanya buka tuh, mata!!” omel Galuh sambil menarik topi yang dikenakan lelaki itu.
Ketika Galuh tahu dengan pasti bagaimana wajah waitress itu, Galuh melotot kaget. Begitu pula si lelaki. Ternyata lelaki itu adalah lelaki beberapa hari lalu yang ia temui di tambal ban di daerah Krian. Dengan sigap lelaki itu mengambil topinya dari tangan Galuh dan memakainya. Sementara Galuh tetap melongo.
“Tunggu sebentar ya, Mbak! Pesanan segera datang!” kata si lelaki itu segera pergi dari hadapan Galuh.
“Sori ya, Luh! Dia memang baru di sini jadi agak serampangan juga!” kata Retha tapi Galuh masih terbengong-bengong sekalipun Retha melambai-lambaikan tangannya di depan wajah Galuh.
“Galuh!!” kata Retha menepuk bahu Galuh. Galuh pun tersadar.
“Eh, ya, Retha! Sori. Sori,”
“Kok, elo mandangin Tama sampai segitunya? Kalian kenal?” tanya Retha. Galuh menggeleng kuat.
JJJ
Lelaki seganteng dia kok, jadi waitress, sih?? Pantesnya jadi manajer, direktur, pengusaha gitu. Hhhmmm...tapi sayang juteknya itu yang nggak nahan. Buktinya waktu  sama-sama nunggu di tukang tambal ban, nggak sedikitpun dia berbasa-basi ngajak ngobrol. Selalu aku yang mencoba berbasa-basi.
Galuh berkutat dengan pikirannya tentang waitress bernama Tama itu padahal ia sedang mengikuti rapat departemen di fakultas dia bekerja. Parahnya sampai ia tak menyadari tangannya nyemplung ke teh setengah panas ketika ia hendak mengambil mouse laptopnya.
“Aduh!!” keluh Galuh membuat semua orang memandang ke arahnya.
“Ehem! Ibu Galuh, ada masalah?” tanya ketua rapat yang tak lain adalah ketua departemen dimana Galuh mengajar.
“Oh, enggak, Pak! Tidak ada masalah apa-apa! Saya setuju-setuju saja!” kata Galuh yang dirasa nggak nyambung oleh yang lain.
“Setuju apa? Kita tidak membahas setuju tidak setuju, Bu!” sahut si ketua membuat Galuh menahan malu bukan main. Junior yang memalukan.
Usai rapat Galuh segera mengajar. Selama kurang lebih dua jam setengah dia mengajar. Lalu ia merasa lapar. Otaknya mengarah pada makanan kesukaannya di kedai Retha. Akhirnya ia menelepon Retha untuk mengantarkan makanan padanya.
“Eh, Retha...kalo boleh, yang nganter si Tama, ya?” pinta Galuh agak malu-malu.
“Kenapa harus dia? Dia kan, bukan kurir. Lagian ada dua orang kurir yang nganggur,” sahut Retha dari seberang sana.
“Retha...please....”
“Okeh. Okeh,”
Galuh kegirangan mendengar persetujuan Retha. Ia tersenyum-senyum sendiri sambil memutar-mutarkan diri di kursi putarnya hingga tangannya terantuk meja. Dan ia mengeluh kesakitan.
Butuh waktu kurang lebih tiga puluh menit untuk Galuh mendapatkan makanannya dan pastinya bertemu dengan Tama. Mulanya yang menyampaikan makan siangnya adalah office boy tapi Galuh segera ngacir keluar kantor menyusul si pengantar pesanannya yang ia yakin pasti Tama.
“Eh, Mas! Mas! Tunggu dulu!” kata Galuh menghentikan lelaki yang berseragam khas kedai Retha yang mulai men-starter motornya. Lelaki itu menoleh dan ternyata benar, itu Tama.
“Ehm, Mas kok, nggak masuk tadi?” tanya Galuh malu-malu.
“Bukannya sudah ada O-Be?” tanya balik Tama datar.
“Ehm, iya, sih! Tapi,...”
“Maaf, saya masih banyak pekerjaan!” kata Tama memotong pembicaraan Galuh.
“Kamu itu kenapa, sih, selalu jutek sama saya? Belagu banget, ya, kamu??!!” omel Galuh.
“Saya nggak banyak waktu untuk basa-basi!” kata Tama lalu pergi dari pandangan Galuh.
Galuh dongkol bukan main. Tangannya mengepal kesal. Lalu ia segera masuk ke kantor dan memakan dengan kesal pesanannya.
JJJ
“Tapi kan, nggak usah jutek begitu! Kalo dia bermuka masam begitu, pelangganmu pada kabur semua,” keluh Galuh pada Retha melalui telepon.
“Ya, maklum saja, Luh. Lagi ada masalah besar. Dia ditinggal kawin sama tunangannya. Jadi, yang aku denger dari karyawanku yang lain, tunangannya itu hamil duluan sama sahabatnya. Hati pacar mana yang nggak sakit digituin? Terus dia sempet kenal alkohol gitu beberapa bulan lalu. Sekarang sih, sudah agak baikan,” jelas Retha.
“Ih, kamu kok, berani terima karyawan pecandu alkohol begitu?”
“Ya, dia kan, sudah sadar dan yang penting dia nggak bikin kisruh. Kasihan kalo dikucilkan. Setiap manusia berhak diperlakukan selayaknya manusia. Tama juga manusia,”
“Ya, sudahlah kalau begitu. Aku mau nglanjutin tugas buat besok ngajar. Malem,” kata Galuh sambil memutus hubungan teleponnya dengan Retha.
Kasihan banget Tama. Ditinggal begitu sadisnya sama tunangannya. Pantesan dia dingin sama cewek, pasti di otaknya semua cewek itu sekejam mantan tunangannya. Padahal, aku kan, nggak begitu. Pengen rasanya nyembuhin lukanya tapi kalo gue didepak sebelum beraksi ya, pasti malu banget aku. Lagian...aku ini kenapa sih, selalu nyosor duluan. Ngebet duluan. Ibarat lagunya Sheila On 7 ost. 30 Hari Mencari Cinta, berjudul Untuk Perempuan, aku bunga yang menghampiri kumbang padahal jelas itu mustahil. Yang ada kumbang menghampiri bunga. Terlalu sering aku melakukan itu dan hasilnya selalu nol besar. Nggak ada satupun lelaki yang suka sama aku. Masa’ sekarang aku mengulanginya lagi? Ah, aku mikir apa sih? Masih banyak hal yang butuh aku perhatikan.
Galuh segera menyentuh laptopnya dan mengerjakan tugas-tugasnya untuk esok hari. Beberapa menit kemudian seorang warga menggedor-gedor pintu rumah kontrakannya, berteriak minta tolong. Galuh segera keluar rumah menanyakan apa yang terjadi.  Menurut lelaki setengah baya itu, ada seorang lelaki kecelakaan. Lelaki setengah baya yang meminta tolong itu meminta Galuh mengambil segelas air minum untuk lelaki yang kecelakaan itu sekaligus obat untuk megobati lukanya. Galuh segera mengambil apa yang dibutuhkan tersebut dan segera ke tepi jalan melihat separah apakah lelaki yang kecelakaan itu.
Galuh menembus kerumunan orang yang mengelilingi lelaki yang mengalami kecelakaan itu. Betapa kagetnya Galuh ketika tahu siapa lelaki itu.
“Tama??!!” seru Galuh.
“Mbak Galuh tahu siapa dia?” tanya seorang warga. Galuh mengangguk.
“Ya, sudah biar dia istirahat sebentar di rumah Mbak Galuh,” lanjut warga tersebut. Kemudian Galuh meminta tolong pada warga sekitar untuk membawa Tama ke ruang tamunya.
Galuh masih membersihkan darah yang keluar dari pelipis Tama.
“Pelan-pelan!” pinta Tama agak membentak.
“Iya. Ini sudah pelan,” sahut Galuh.
“Jadi cewek nggak ada halus-halusnya sama sekali! Kecentilan! Ngapain ngaku-ngaku temenku??!” lanjut Tama.
Galuh yang tersinggung langsung menekan pelipis Tama sampai Tama mengerang kesakitan.
“Niat nggak sih, nolongin??!!” tanya Tama dengan lantang.
“Mulutmu itu nggak sopan!! Aku cuman niat nolongin. Nggak lebih!!!” balas Galuh nggak mau kalah lantang.
“Obatin aja lukamu. Dan lima belas menit lagi silakan pulang!” tambah Galuh sambil melirik jam dinding yang menunjuk hampir pukul sepuluh malam. Lalu ia beranjak dari tempat duduk. Tapi, Tama menarik tangan Galuh hingga Galuh terpaksa duduk di samping Tama kembali. Untuk beberapa detik Tama menatap Galuh tajam dan dalam. Galuh  menjadi salah tingkah dan segera mengalihkan pandangan.
“Jangan setengah-setengah melakukan sesuatu! Selesaikan pertolonganmu ke aku!” suruh Tama. Galuh pun segera melanjutkan pertolongannya pada Tama.
JJJ
Semenjak kejadian kecelakaan malam itu yang membuat Tama akhirnya bermalam di rumah Galuh, hubungan mereka menjadi dekat. Galuh jelas merasa senang akhirnya dia dekat dengan orang yang disukainya. Tapi, kebahagiaan itu tak berlangsung lama.
Tepat pukul empat sore di hari Sabtu, Galuh sudah duduk manis menanti kedatangan Tama di taman kota. Kebetulan Galuh tak sedang mengajar dan Tama hanya bekerja setengah hari saja. Tak lama berselang, Tama datang membawa seikat bunga.
“Hai!” sapa Tama.
“Hai!” sahut Galuh.
“Lama nunggunya? Maaf, tadi banyak pelanggan. Oh, ya, ini buat kamu!” kata Tama sambil menyerahkan bunga yang dibawanya pada Galuh. Galuh menerimanya dengan senang hati.
“Makasih,” sahut Galuh. Lalu ia mempersilakan Tama duduk di sampingnya tapi Tama menolak. Tama memilih berdiri di depan Galuh.
“Langsung saja, Luh! Aku ke sini cuman mau tanya, kamu cinta sama aku?” tanya Tama menohok hati Galuh. Jelas Galuh salah tingkah.
“I-i-i-iya,” sahut Galuh.
Aduh, lagi-lagi aku yang duluan bilang cinta. Padahal aku janji bakal bikin Tama yang bilang cinta duluan ke aku. Pertanda apa ini??
“Kamu tahu, Luh? Wanita itu mahal harganya. Tak seharusnya dia mengemis cinta. Tak seharusnya dia mengejar cinta. Bukankan selama ini kumbang yang menghampiri bunga? Mana mungkin bunga yang tak bisa berpindah tempat menghampiri kumbang yang pintar terbang kesana-kemari? Hargailah dirimu sendiri. Apalagi kamu seorang dosen yang disegani banyak orang. Jangan sampai reputasimu runtuh karena mengejar lelaki,” tutur Tama yang membuat sakit hati Galuh.
“Selesai ceramahnya? Perlu kamu tahu, sekalipun aku berusaha mengejar cinta tapi aku nggak pernah mengemis cinta. Kamu lulus SD nggak, sih? Arti kata mengemis? Meminta-minta, memohon-mohon, persis seperti pengemis jalanan. Apa kamu pernah melihat aku seperti itu? Kalaupun sikapku yang berusaha dekat dengan kamu, kamu anggap wujud mengemis, kamu picik, Tam! Bener-bener picik!!” balas Galuh.
Galuh kemudian pergi sambil meneteskan air mata dan membuang bunga yang diberikan Tama tadi. Ia menginjak bunga itu. Hatinya hancur dikatai Tama seperti itu. Ternyata langkahnya salah kaprah mendekati lelaki. Padahal wanita lain yang melakukan hal lebih gila, bisa mendapatkan cinta lelaki, bisa dihargai lelaki yang dicintainya. Galuh mengutuk perbuatannya sendiri. Ia terus larut dalam kehancurannya.
JJJ
Dua bulan berlalu. Selama itu pula, Galuh tidak pernah memesan makanan apalagi datang ke kedai Retha. Galuh bertekad menjauhi semua berbau Tama. Niatnya didukung dengan datangnya tawaran berlibur ke Singapura bersama dosen seniornya dalam seminggu.
Galuh berangkat ke Singapura. Selama perjalanan di pesawat, Galuh hanya mendengarkan lagu Untuk Perempuan milik Sheila On 7.
Jangan mengejarnya/ Jangan mencarinya/ Dia yang kan menemukanmu/ Kau mekar di hatinya/ Di hari yang tepat// Jangan mengejarku/ Jangan mencariku/ Aku yang kan menemukanmu/ Kau mekar di hatiku/ Di hari yang tepat// Reff:      Tidaklah mawar hampiri kumbang/ Bukanlah cinta bila kau kejar/ Tenanglah tenang, dia kan datang/ Dan memungutmu ke hatinya yang terdalam// Sibukkan harimu/ Jangan pikirkanku/ Takdir kan menuntunku pulang kepadamu/ Di hari yang tepat.
Selama seminggu Galuh di negeri orang untuk menyegarkan kembali pikiran dan hatinya. Kembalinya ia dari Singapura, ia mendapati Tama duduk di teras rumahnya.
“Cari siapa?” tanya Galuh dingin.
“Kamu,” sahut Tama.
“Perlu apa?” tanya Galuh lagi yang sedang sibuk membuka kunci pintu rumahnya.
“Bisa kita bicara sebentar?” tanya Tama.
Galuh menghadap Tama.
“Apa lagi? Belum puas menghinaku sebagai pengemis cinta? Maaf ya, aku bukan objek penderitamu. Untukku tak mendapatkanmu bukan perihal besar,” ujar Galuh lancar tapi hatinya sebenarnya berat.
“Maafkan aku! Aku salah. Aku hanya belum siap menerima wanita lain. Tapi kali ini aku tak akan menyia-nyiakanmu. Itu pun kalau kamu masih merasakan perasaan itu,”
 “Itu!”
Tama mengernyitkan dahi.
“Itu kesalahan terbesarmu. Kalimat terakhirmu itu. Kamu menunggu aku menyatakan aku-masih-cinta-kamu. Kamu nggak ada effort bikin aku jatuh cinta lagi dan lagi sama kamu. Untuk apa aku masih menyimpan rasa itu? Buang-buang tenaga,”
Galuh repot memasukkan kopernya ke dalam rumah dan akhirnya selesai sudah. Ia sudah bisa fokus pada Tama.
“Apalagi? Kalau tak ada lagi pembicaraan penting, silakan pergi! Aku capek,”
“Aku sayang kamu, Luh. Aku cinta,” tegas Tama.
“Katakan itu ketika kamu sudah benar-benar yakin dan kamu sudah punya amunisi meyakinkan aku untuk tidak menerima cinta dari orang lain. Oke? Pikirkan dengan tenang, pikiran yang jernih, jiwa yang bersih. Silakan pulang, Mas Tama!” celoteh Galuh tersenyum kecut.
Galuh menutup pintu rumahnya setelah ia mengucap permisi pada Tama ia akan menutup pintu. Dari balik pintu Galuh menumpahkan air mata segera. Ia berhasil tegar dan jual mahal di hadapan Tama. Tapi hatinya menolak. Ia masih menyimpan rasa itu pada Tama. Tak mudah bagi Galuh untuk melupakan perasaannya sebegitu cepat.
Di luar rumahnya Tama belum beranjak. Ia juga tak menyangka kali ini Galuh menjaga harga diri yang sudah ia jatuhkan tempo hari. Ia menyesal. Kini dia benar-benar tak ingin kehilangan Galuh. Perempuan yang ia yakini sebagai bunga “ajaib” yang akan membuatnya tak pernah kehabisan madu untuk bertahan hidup. Ia kumbang yang mulai melabuhkan diri dengan mantab pada hati Galuh.
“Jadilah perempuanku, Luh. Terimalah aku,” gumam Tama lalu beranjak pergi.
JJJ