Sabtu, 28 Juni 2014

Isyarat



‘Ingin ketemu Ketut’ telah terbawa perahu kertasku yang melaju di air pantai.
Termenung di pesisir pantai Nusa Penida kala sang surya siap bersembunyi. Kuingat betul tempat ini memberikan banyak kenangan. Semenjak lahir sampai saat usiaku ke-18 dan pindah ke Jakarta bersama keluargaku. Namun satu yang sangat kurindukan dari sini.
Ketut. Lelaki mungil jika dibandingkan kebanyakan murid lelaki di SMP-ku. Namun wajah dan hatinya manis. Dia yang menolongku kala aku jatuh dari sepeda saat pulang sekolah. Selain itu kami sering bermain di padang rumput laut. Sesekali jail memakannya langsung. Dan saling memercik air satu sama lain. Kami juga membuat perahu kertas untuk dilayarkan ke air pantai. Katanya, “Aku ingin mengarungi lautan nanti. Seperti yang dilakukan para turis asing yang singgah ke Kuta atau yang lain.” Walau memang pada akhirnya perahu itu ditelan ombak.
Aku tersenyum lucu. Sejurus kemudian lamunanku buyar karena ternyata Ketut seperti turun dari langit menyapaku. Terperanjatlah aku! Lantas...
“Ketut Sayang,” panggil wanita bule dari arah belakang kami sambil menggendong gadis cilik.
“Dia... istri dan anakku.”
Hatiku hancur!
Ketutku berlalu. Salahku yang tak pernah memberitahu cintaku. Atau memang Ketut tak pernah mencintaiku?
Ketut membuatku nanar menatap. Seiring itu perahu kecilku juga lenyap. Laksana isyarat sang alam menjawab.*

*diikutsertakan dalam #CERMIN minggu ke-4 Juni 2014 oleh @bentangpustaka menang nggak menang yng penting nuliiisss ^^9

Jumat, 27 Juni 2014

Kita Tak Padu Tapi Kita Satu Karena I Love You


Judul Buku     : My Perfect Sunset/ My Beautiful Sunrise
Penulis        : Kyria
Penerbit       : PT. Bentang Pustaka
Tahun Terbit   : Februari 2014 (Cetakan Keempat) / Agustus 2013 (Cetakan Pertama)
Tebal          : vi + 370 halaman/ iv + 328 halaman
Cara Dapat     : titip sama teman dari jakbookfair
 



Kita Tak Padu Tapi Kita Satu Karena I Love You

Akhirnya selesai baca dwilogi penulis Kyria, My Perfect Sunset (MPS) dan My Beautiful Sunrise (MBS)! \o/ \o/ \o/. Bolehkah aku menyandingkan Satria di sisi para ‘lelakiku’ yang lain? Adit ‘ELiL’, John Hayden ‘Trilogi The Abandon-Underworld-Awaken’ dan Alex Hirano ‘Sunshine Becomes You’. Aku mulai tertarik dengan lelaki tipe-tipe genit dan pengacau namun hatinya baik dan penuh kasih. Manisss!!!
Satu paket novel ini bener-bener bikin jatuh cinta sama karakternya, terutama si Hardi ‘The Knight’ Prasatria. Siapa sih, dia?
Dia itu petinju amatiran yang sukses menembus juara tinju internasional!
Oke, aku berusaha tidak spoiler. Akan aku rangkum saja dalam satu review ini, ya? Review bebas abal-abal. Heuheuheu.
Novel ini tema besarnya kisah asmara antara dua orang yang memiliki karakter bertolak belakang. Yang cewek serius dan gengsian sedangkan si cowok slengekan dan penuh kejutan. See? Jodoh itu ternyata saling melengkapi.
Novel ini memang fiktif tapi kita bisa belajar dari sana. Memang sih, kalau masih pacaran, idealisme masing-masing itu mendominasi. Merasa seolah dunia milik berdua dan berjanji akan mengarungi kehidupan selanjutnya dengan sejahtera. Tapi tidak pernah ada salahnya dong, begitu. Justru masa-masa muda di saat sedang berkasih-sayang, bisa menjadi alasan orang untuk membatalkan perpisahan (baca: perceraian), kan? Ah, bicara apa aku ini?! Balik ke novel Kyria, yaaa... maaf melantur :p
Penulis menyuguhkan kisah cinta yang mainstream, saudara-saudara! Pertemuan dengan lelaki lantas lelaki itu mengejarnya sementara dia berkekasih. Penulis mencoba ‘mengenyahkan’ salah satu di antara dua lelaki yang dekat dengan Indah (tokoh cewek). Tapi sebelum salah satu dari Satria atau Kevin (pacar Indah) ‘enyah’, ada banyak batuan polemik. Perselingkuhan. Biasa banget, kan? Kayak FTV-FTV yang mengisahkan seseorang dilema sama dua orang lalu akan dihilangkan salah satunya. Terlebih yang ‘ow-ow moment’ itu ketika penulis mengenyahkan salah satu karakternya dengan cara yang terkesan ‘sadis’. 
Tapiii...
Yang menjadikan novel dengan tema cinta mainstream menjadi antimainstream adalah pembangunan karakter dan atribut tokoh. Rasanya jarang ya, novel yang mencomot profesi atlet jadi tokoh utama? (kalau ada yang tahu, beritaku aku, ya? ^.^). Petinju pula! Aiih, ini padahal dulu pengen kujadikan ide cerita juga.Tapi ternyata sudah ada. Tapi aku tetep suka bangettt! Sebelumnya pernah nonton K-Drama tentang petinju ‘My Tutor Friend’. Dari situ jatuh hati dengan tinju dan petinju. (Teuteup :p). Akhirnya sering bertanya-tanya, adakah novel yang mengangkat tema kisah yang sama? Atau setidaknya tokohnya sama-sama petinju. Ternyata Kyria memenuhi imajikuuuu!
Novel ini novel cinta tapi menyodorkan juga kisah perjuangan hidup soal passion, keluarga dan kehidupan. Passion. Aku bilang MPS merupakan masa ‘suram’ Indah dan Satria. Mereka masih berkutat dengan pekerjaan yang itu-itu saja. Baru di MBS, mereka menemukan pekerjaan yang benar-benar melibatkan hati mereka dalam mengerjakannya. Keluarga. Satria memberikan pelajaran bahwa mencintai orang terkasih dengan cara yang berbeda. Sekalipun disakiti, pengalaman hidup membuatnya untuk membalas sakit itu dengan kasih manis. Kehidupan. Kedua tokoh belajar untuk melupakan masa lalu dan merangkai masa depan yang indah.
Novel ini mencoba menceritakan bagaimana kedua tokoh saling melengkapi. Tak salah jika judul novelnya memuat unsur yang berseberangan, sunset dan sunrise. Keduanya berbeda namun sesungguhnya itu hanya permainan perputaran poros bumi saja. Mereka tetap satu: sun (matahari). Tapi ‘taste’nya saja yang berbeda. Secara implisit mungkin penulis menyatakan bahwa ‘kita memang berbeda tapi hati kita menyatu’. ^.^
Dan untuk menyatukan sesuatu, jalannya tidak selalu mudah. Bahkan menata ceceran puzzle pun kita harus bongkar-pasang dulu beberapa kali, bukan. Tapi selalu berhasil membuat penasaran dan menyenangkan seusai berhasil mengaturnya rapi. Begitu pun kedua tokoh dalam sepaket novel ini. Tidak mudah menyatukan Satria dan Indah.
Sebagai novel pop asli Indonesia, penulis membuat dialog yang agak berbeda. Biasanya novel pop Indonesia sering membahasakan tokoh dalam dialog ‘aku-kamu’ atau ‘gue-elo’. Namun penulis memilih menggunakan ala terjemahan novel luar, ‘kau-aku’. Maaf spoiler. Dan nggak penting banget, ya. Heuheuheu. Awalnya agak  aneh tapi ternyata lama-lama terbiasa juga untuk hitungan novel pop Indonesia.
Sejak pertama baca ulasan di timeline @bentangpustaka soal novel bertokoh tinju, langsung cari koneksi supaya bisa dapat novel itu dengan harga miring. Akhirnya dapat dengan diskon 30% di @Jakbookfair. Aih, betapa senangnya hatikuuu! Dan AMAT SANGAT TIDAK MENYESAL sudah beli dan membaca.
FYI, MPS kubaca sehari semalam sedangkan MBS dalam dua hari satu malam. Soalnya nggak bisa ditaruh begitu saja. Dengan alur maju memang mudah tertebak ending-nya dari dua novel ini tapi sumpah setiap jalan cerita yang dimunculkan penulis melalui Satria ini sungguh-sungguh out of the box! Sepertinya aku akan benar-benar mengganti tipikal lelaki favorit, dari yang tampan-gagah-maskulin menjadi tampan-jenaka-genit-konsisten cinta sama aku. Xixixi. Dan berharap pengantin lelakiku nanti se-out of the box Satria. Dengan demikian, pernikahan kami adalah alasan kuat untuk menyatukan hati sekaligus menghabiskan hidup bersama sampai Tuhan memanggil kami kembali pulang.


Jumat, 20 Juni 2014

JANTUNG HATI

JANTUNG HATI

MASUK Fakultas Psikologi memang keinginanku sejak duduk di bangku SMA. Bukan tanpa alasan. Aku ingin survive dengan kondisi keluargaku yang amburadul. Aku memang bukan anak yang tumbuh menjadi pribadi nakal, alih-alih sangat introvert dan pesimis.
Berhasil menjadi Sarjana Psikologi ternyata tidak berjalan seperti yang aku harapkan. Ekspektasiku terlalu tinggi. Empat tahun dapat mengubah watakku yang kacau selama belasan tahun? Mimpi!
Inilah diriku, kurangkum dalam tipe koleris-melankolis. Sangat ambisius, tidak mau dikalahkan, selalu berpikir negatif dan bisa sangat pemurung. Komplet.
Permasalahanku kompleks, dari urusan keluarga, karir sampai jodoh. Keluargaku utuh namun esensinya tidak. Selalu saja ada pertengkaran akibat perselingkuhan Ayah. Karir mapan tidak bisa segera kuraih bahkan sekarang diriku mandek setelah sempat bekerja selama delapan bulan di sebuah biro konsultasi psikologi ternama di Surabaya. Tidak betah. Tekanan terlalu berat. Sementara aku bisa mimisan kalau terlalu memforsir tenaga. Mulanya aku memang nekat karena tergiur nominal gaji tapi karena aku jadi sering mimisan, Ibu memintaku berhenti saja. Lalu, jodoh? Jangan bicara soal lelaki denganku. Selama 23 tahun hidup, aku hanya bisa memandangi orang yang kusayangi tanpa bisa berkata padanya. Aku sering jatuh cinta tapi sebanyak itu pula aku patah hati karena kisah cinta bertepuk sebelah tangan. Lelaki lain pun tidak ada yang mendekatiku dan berupaya memacariku. Menyedihkan.
Tapi itu kondisi dua tahun lalu. Kini soal lelaki memang berubah tapi tidak untuk kondisi keluargaku yang masih begitu-begitu saja dan karirku hanya sebagai editor lepas sebuah penerbit di Jakarta, modal hasil jadi editor majalah kampus dulu.
Memang tidak ada lelaki yang mendekatiku untuk pacaran apalagi menikah seperti yang dialami teman-temanku kebanyakan. Tapi ada yang serius terhadapku. Serius making love. Yah, melototlah kalau kau mau.
Kami berkenalan ketika menjadi member sebuah situs kencan. Aku sign in ke sana karena memang ingin mendapatkan pacar. Aku yang polos mulanya takut dengan lelaki yang otaknya di selangkangan. Tapi sejak bertemu dengan satu lelaki yang... well, membuatku nyaman, aku rasa aku sudah menemukan yang tepat. Kebetulan dia juga tinggal di Surabaya.
Hardi, accounting manager bank swasta nan rupawan berusia 32 tahun, membuatku bisa melupakan semua permasalahanku. Bahkan aktivitas intim kami di ranjang menjadi ‘obat’ dosis tepat menyembuhkan sakit kepalaku dan mencegah darah keluar dari hidungku. Itu candu bagiku.
Pagi ini, aku membuatkan secangkir teh hangat untuknya. Ia sendiri sedang merapikan diri usai mandi dengan rambut yang masih acak-acakan setelah keramas. Aroma tubuhnya segar sabun milikku yang selalu kubawa saat menemuinya untuk menghabiskan malam bersama.
“Aku ingin bicara, Nggun. Bisa kita duduk sebentar?” pintanya.
Kami duduk berdua di sofa setelah aku meletakkan teh di meja. Kami saling berdekatan. Mata kami bertukar pandangan, sungguh hangat untuk memulai pagi ini.
“Bisakah kita mengakhiri ini semua?” tanyanya tiba-tiba.
Aku terkesiap. Inilah yang kutakutkan. Aku sudah memberikan keperawananku selama tiga bulan terakhir untuknya dan dia hendak mencampakkanku?
Aku meremas kerah bajunya.
“Jangan tinggalin aku, Har. Aku rela menjadi selingkuhanmu jika kamu menikah. Bahkan jika kamu memberikan hatimu sepenuhnya untuk istrimu nanti, aku relakan. Tapi tolong jangan berhenti bersamaku,” tuturku menggigit bibir bawah.
Dia menyentuh kulit tanganku lembut, menurunkannya dari kerah kemeja putihnya.
“Kita menikah, Cantik.”
Mataku mengerjap-ngerjap ingin merebakkan air mata. Apakah aku tidak salah dengar?
“Kamu nggak tahu siapa aku dan latar belakang keluargaku sepenuhnya.”
“Aku menikahimu, bukan keluargamu.”
“Tapi budaya kita itu juga menikahkan kedua keluarga, Har. Lagi pula aku takut.”
Keningnya mengernyit. “Takut apa?”
“Aku takut nggak bisa merelakanmu untuk wanita lain ketika ikatan kita sudah sah. Karena aku paling nggak bisa merelakan milikku pindah tangan walau hanya sesaat. Aku terlalu sayang dan takut kehilangan. Dengan hubungan kita yang begini, aku bisa tenang. Sekalipun aku menginginkanmu tetap di sisiku tapi dengan mengingat tidak ada suatu ikatan yang pasti di antara kita, aku tetap bisa realistis kamu bukan milikku sepenuhnya. Jadi bisa datang dan pergi sesukamu. Asal jangan menghilang selamanya,” jelasku.
Aku memang takut berkomitmen semenjak tahu kelakuan ayahku yang tukang selingkuh.
Hardi menarik napas panjang. Lalu tangannya mengusap rambut lurus cepakku.
“Aku nggak ngerti omonganmu, Nggun. Kenapa kamu membuat segalanya rumit? Kita bisa menikah dan memulai semuanya dari nol. Kita bisa belajar bersama untuk saling setia.”
“Bagaimana bisa, Har? Mungkin aku bisa karena selama ini aku hanya berkencan dan melakukannya denganmu. Tapi kamu? Kamu hyper. Aku takut kamu nggak bisa melakukannya lagi ketika menikah karena aku pasti melarangmu keras. Tapi itu juga bikin aku sedih menahan keinginanmu. Dan apakah bisa kita saling setia sementara nggak cinta?”
“Kamu nggak mencintaiku?” tanya Hardi telak.
Aku mengangkat kedua bahuku. Aku memang tidak pernah yakin hatiku pada Hardi adalah cinta atau nafsu posesif belaka.
Aku membalas tatapannya. “Kamu?”
“Kamu sudah memintaku untuk enggak jatuh hati padamu,” jawabnya, mengecewakanku tanpa kuduga.
Aku sendiri bingung dengan diriku sendiri. Betul katanya, aku ini rumit.
“Ah, sudah jam tujuh. Kamu harus siap-siap berangkat. Nanti aku yang akan membereskan apartemenmu. Kita bicarakan nanti setelah kamu pulang,” timpalku mengalihkan topik pembicaraan.
“Hari ini aku pulang ke rumah Mami. Kuncinya bisa kamu bawa pulang. Dan... Anggun,” panggilnya sebelum beranjak berdiri. “Jika memang kamu ingin kita selalu begini, akan aku penuhi permintaanmu,” imbuhnya memberikan senyuman manis padaku.
Kegetiran seketika menyusup ke palung hatiku tapi kupaksakan saja untuk membalas senyuman ‘lelakiku’.
**
Aku mencoba perlahan membuka mataku. Terasa berat. Tubuhku juga rasanya sulit kugerakkan. Di mulutku sudah ada alat bantu pernapasan. Pergelangan tanganku terasa nyeri, seperti ditusuk-tusuk.
“Anggun, kamu sudah siuman, Nak?” suara Ibu menggema di telingaku.
Aku melihatnya berurai air mata. Di sampingnya, Ayah tersenyum bahagia, pipinya juga dihiasi air mata yang sudah mengering. Keduanya kemudian memegang tanganku bersamaan.
“A-ku ke-na-pa?” tanyaku terbata-bata.
“Kamu kecelakaan, sepulang dari pernikahan Hardi, temanmu.”
Memoriku kupaksa untuk keluar setelah Ibu bicara demikian. Perlahan aku pun ingat apa yang terjadi padaku sebelum aku di kamar ini terkapar.
Aku frustrasi dan marah besar menerima undangan pernikahan Hardi yang mampir ke rumahku. Aku menangis, berteriak dan memorak-perandakan kamarku sehancur-hancurnya. Ternyata aku menjilat ludahku sendiri. Kukatakan aku rela dia menikah tapi hati ini meronta menolak. Aku merasa dipecundangi. Aku belum memutuskan menerima atau menolaknya sebulan lalu. Padahal pikiranku mulai mengalami perubahan. Tapi terlambat. Sehari setelah undangan itu datang adalah hari resepsinya. Aku menyesali diri sendiri, menyalahkannya dan marah pada dunia. Aku kalah start. Sialan!
Tapi kuputuskan datang ke Shangri-La grand ballroom. Hanya dia yang mengenaliku dan sebaliknya dalam resepsi tersebut. Aku datang sendiri dengan menahan perih mengucapkan selamat kepada kedua mempelai dan keluarga. Aku tahu mata Hardi sendu memandangku tapi aku abaikan. Aku murka padanya namun merasakan cara tangan Hardi menyalamiku – yang tetap saja lembut dan hangat – membuatku tak tega menyumpah-serapahinya.
Beberapa menit berikutnya, aku berjalan keluar menuju parkiran. Terdengar Hardi memanggilku. Aku merasa telah berhalusinasi. Tapi ternyata tidak. Diraihnya tanganku paksa.
“Kita bisa bicarakan ini. Besok kita ketemu,” ujarnya dalam balutan jas hitam rapi dan bunga di dada kirinya.
Aku terdiam.
“Kamu cemburu?”
Aku melengakkan kepalaku.
“Kamu cinta kan, sama aku? Terus kenapa kamu menolak aku nikahi? Niatku dulu menikahimu sebelum orangtuaku menjodohkanku. Tapi karena kamu menggantungku, kuputuskan begini. Tapi sumpah, aku juga nggak ingin berpisah denganmu, Nggun.”
Air mataku jatuh dalam hitungan detik.
“Masuklah, Har. Kasihan pengantin wanitamu. Kita bisa bicarakan ini besok.”
Ia langsung memelukku erat seraya mengucapkan kata yang selama ini tidak pernah kudengar darinya, pun diriku tak pernah mengucapkannya pada Hardi.
“Aku mencintaimu sampai kapan pun. Kamu nggak akan pernah sendirian. Lupakan semua masalahmu. Aku ada untukmu,” ujarnya menciumi kening dan kepalaku.
Itu yang kuingat darinya saat kami bertemu. Lalu aku pulang mengendarai mobil Ayah keluar dari area gedung resepsi. Kemudian...
BRAKKK!!!
Ada benda berjalan yang menghantam mobilku keras. Aku ikut terpelanting hebat. Dan usai itu hilang kesadaranku.
Aku mencoba menghirup lebih banyak oksigen dari alat yang terpasang di mulutku.
“A-pa Har-di da-tang men-je-ngukku, Bu?” tanyaku.
Ibu menatap Ayah sejenak.
“Hardi...” ucap Ayah menggantung sesaat. “meninggal karena serangan jantung. Kaget kamu kecelakaan parah, Nak,” lanjut Ayah yang membuat jantungku berdentam dahsyat.
Jantung? Sejak kapan? Aku mencoba mengingat-ingat kejadian di antara kami yang bisa saja menunjukkan gejala penyakitnya itu.
Ya, aku ingat ketika kami melakukannya pertama kali. Kami terlalu bersemangat dan dia mengeluh nyeri di dada. Kukira dia berbohong. Sungguh, aku tidak menyangka itu benar. Hardi juga tidak pernah bercerita padaku tentang penyakitnya.
Dadaku menyesak. Jantung hatiku pergi tanpa pamit. Apakah ungkapan cintanya kemarin itu adalah bentuk pamit darinya?
Aku menutup mata untuk mengenang semuanya. Air mataku juga meleleh. Lalu kubuka secara perlahan. Tepat di depanku ada Hardi tersenyum. Wajahnya pun bersinar.
Kini aku yakin bahwa cintanya hanya untukku. Iya, dia-lah lelaki yang sudah mengisi ulang energi hidupku. Bukan semata karena nafsu liar tapi juga karena cinta yang terlambat kusadari.
Hardi... aku mencintaimu,” gumamku lirih.*

--------------------------------
Cerpen ini aku ikut sertakan dalam lomba seru-seruan ulang tahun penulis Anggun Prameswari. Memang nggak menang tapi pelajaran berharga aku dapet dari sini. Berikut feedback dari Mbak Anggun:
Anggun Prameswari <mbak.anggun@*****.com> menulis:

Dear Agustin, terima kasih telah mengirimkan cerpen Jantung Hati untuk #KuisUltahAnggun ya. Berikut ini sedikit masukan dariku ya.
Wah ceritanya dramatis sekali, Agustin. Tentang Anggun yang sejak kecil tercabik-cabik jiwanya, kemudian menjalin hubungan dengan Hardi. Anggun perempuan yang rumit, dilandasi oleh problem keluarga yang dialaminya. Namun Hardi memutuskan memilihnya. Anggun takut dengan komitmen. Kemudian Hardi memilih menikah dengan perempuan pilihan orangtuanya. Keren. Tapi begitu masuk tahap berikutnya, terasa seperti drama sinetron. Anggun kecelakaan. Hardi masih cinta. Hardi mati serangan jantung. Twist yang benar-benar di luar dugaan. Sayangnya, penyampaiannya sedikit terburu-buru sehingga terasa seperti ringkasan saja. Kemudian, serangan jantung itu juga seperti tempelan, karena ujug-ujug ada, tidak “diperkenalkan” ke pembaca di awal. Seakan Agustin bingung harus mengakhiri cerita ini dengan cara apa. Apalagi judulnya Jantung Hati, cobalah sejak awal cerita, simbol ini diperkuat agar emosi tokoh dan pembaca sama-sama terbangun.
Jadi begitulah sedikit input dariku ya Agustin. Mohon maaf bila kurang berkenan.
Terus menulis.
Salam,
Anggun Prameswari



Kesalahan fatal banget bikin ending tokohnya meninggal padahal katanya CEO Diva Press, Pak Edi, nggak boleh bikin penutup cerita yang tokohnya mati, gila maupun bahagia yang berlebihan. Oke, kekeliruanku. Pelajaran. ^.^

Rabu, 18 Juni 2014

My 24th


Ya ampuunn umurku sudah 24 tahun, mau seperempat abad. Umur segitu ibuku sudah menikah, hihihi. Sepupuku sudah punya anak satu. Aje gilee... terus gue masih gini-gini aje? Syedih...
Oke well... aslinya dengan kondisi ‘masih gini-gini aje’ sebetulnya keberuntungan buatku. Aku single, masih free melakukan apaaaa saja yang kumau, belum ada yang melarang ini dan itu – kecuali orangtua. Harusnya aku bersyukur tidak menikah muda (bukan maksud nyindir yang nikah muda) sesuai keinginanku yang pengen mengeksplor kemampuanku dan dunia ini semaksimal kubisa. Iya, aku punya impian besar. Jadi penulis, jadi wanita karir, melancong ke tempat-tempat indah di belahan dunia mana saja dan berkenalan dengan banyak teman. Aku ingin jiwa dan pikiranku berkembang seluas permukaan bumi ini bahkan sejagat raya #eaaa... tapi itu jujur, sih. Selama ini soalnya nggak jauh dari rumah padahal pengen merantau tapi agak nggak berani juga, heuheuheu...
24 tahun buatku... duh, aku nggak mau sok jadi filsuf. Pokoknya 24 tahun ini aku pengen jadi pribadi yang lebih bisa menahan emosi, sabar, tegas, pokoknya baik dalam segala hal daripada sebelumnya. Pengen dapet kerja yang mapan juga pastinya. Pengen segera nerbitin novel juga tentunya. Pengen... duh... aku nggak kepikiran bakalan nikah usia berapa tapi pengen juga segera ketemu jodoh, hehehe. Tapi yang pasti untuk merangkum semuanya, aku pengen aku menjadi pribadi yang terberkahi Sang Illahi supaya aman dan nyaman diriku ini.
24 tahun tanpa perayaan, sama seperti tahun-tahun sebelumnya. Ulang tahunku hanya 2 kali dirayakan oleh teman-teman sekolah, pas SD kelas 3 dan SMP kelas 1. Sueneng bukan main! Pas SD aku dikasih semangka, jadi kue tart-nya diganti semangka, dibeli nggak jauh dari sekolahan. Terus pas SMP aku dikasih surprise kue tart trus dicemongin mukaku plus dapat hadiah kliping band favorit aku, Sheila on 7. Sayangnya semakin ke sini, semuanya terasa sepi. Hanya ucapan dari kawan terdekat dan keluarga. Tapi tahun ini hanya segelintir teman dekat dan adik tertuaku. Sedih sih, orangtua nggak ngucapin tapi aku nggak pernah ragu dalam setiap doa mereka selalu tersebut namaku. Aku mau apa lagi coba? Tapi aku juga masih iri sih, sama temen-temen yang pas ulang tahun dapat surprise ini-itu bahkan dari pacarnya. Yah, baiklah... tiada guna aku bermuram durja. Harusnya aku bersyukur Allah kasih aku umur untuk memperbaiki diri. Dan kalian tahu apa yang dikasih Allah ke aku di umur ke-24 tahun ini?
 Ini ceritanya...
Sehari setelah aku ulang tahun ibu memintaku jagain seorang nenek, teman mendiang nenekku, masuk rumah sakit karena kecelakaan tersiram air panas. Aku kagok, dong. Gimana enggak? Aku dijagain mbahku itu terakhir kelas 1 SD lalu beliau meninggal sebelum aku dewasa. Aku bingung jagain beliau di rumah sakit, bingung gimana kalau pipis dan berak. Eh, tapi aku nggak kehilangan akal, dong. Kan, ada suster-susternya, heheheh. Terus aku mikir ‘Ya Allah, kok baik bener ya Engkau, pas aku udah nggak punya mbah (padahal aku juga nggak lagi pengen dan kangen sama mbah) tapi dikasih peristiwa beginian’. Bikin aku merasa Allah sayaaaang banget sama aku. Dia pengen aku melihat kalau orang sudah tua tuh begini loh, sudah kayak anak kecil lucu-lucu manja dan terkadang merasa kesepian karena jauh dari anak-anaknya. Mbahku mungkin dulu enggak, soalnya ibuku tinggal sama mbahku. Tapi aku jadi inget orangtuaku. Gimana kalau suatu hari aku dan adik-adikku merantau, siapa yang jagain mereka? Sedangkan mereka semakin tua dan rapuh. Kasihan. Dan nanti kalau aku tua, apakah aku bisa hidup sampai tua dan punya keturunan? Kalau punya keturunan apakah mereka ingat sama aku? Atau kalau enggak berketurunan lalu aku gimana? Masya Allah, pikiran-pikiran itu berkelebatan di otakku. Oke, mungkin waktu itu pikiranku terlalu pusing mikir kondisi ‘kalau ini dan itu’, akhirnya kulakukan semampuku jagain nenek itu.
Terus yang nggak diduga lagi adalah aku bertemu cucunya yang sudah belasan tahun nggak pernah ketemu. Nggak pernah berubah dia, wajahnya tetap tengil tapi aku kira sih, kepribadiannya sudah baik. Ramah dan sopan. Sempet dibikin GR pula, hehehe.
24 tahun yang... ah, aku hanya memanjatkan doa terbaik pada Gusti Allah... pengen lebih bisa mengambil hikmah dari semua yang kualami dan pandai jadi pribadi bersyukur. Itu aja. Selamat milad untukku sendiri. :)
Someday, akan ada give away novelku untuk memperingati hari lahirku. Aamiin.

Senin, 16 Juni 2014

Cinta Memang Harus Memilih


Judul Buku     : Two Lovely Hearts
Penulis           : Ade Nastiti
Penerbit         : PT. Bentang Pustaka
Tahun Terbit  : Februari 2011 (Cetakan Pertama)
Tebal             : vi + 370 halaman
Harga            : - (swap sama teman)
 



Cinta Memang Harus Memilih

Cinta pertama... Ketika irama rindu mengalun, tiada lelahnya ia menari di relung jiwa.
Membaca kalimat tersebut di kaver depan, sungguh bikin merinding. Bicara cinta pertama itu tidak akan ada habisnya. Seperti Amel yang kembali bertemu dengan cinta pertamanya setelah belasan tahun berpisah karena kesengajaan.
Iya, kesengajaan yang dilakukan sang ayah sendiri. Amel tidak tahu menahu kebusukan tindakan ayah yang memisahkannya dengan cinta pertamanya di Tual, salah satu daerah di Maluku, Indonesia timur. Membuatnya sempat salah paham dan kecewa pada cinta pertamanya bernama Nando (Fernando). Tapi Tuhan selalu memiliki kehendak lebih menakjubkan ketimbang kehendak manusia. Mereka dipertemukan di negeri kanguru, tepatnya di Canberra dan menjalin kembali kisah persahabatan masa kecil yang berkembang menjadi sebuah jalinan cinta. Namun hubungan asmara keduanya tak pernah mulus kendati terasa manis sekali. Sebab suatu hari datang lelaki lain dari masa lalu Amel dan Nando. Lelaki itu Yuda. Mereka bertiga berteman baik dan kini terlibat cinta segitiga. Benang kusut yang telah lama (seolah) lenyap kembali muncul dengan jelas, menunggu penguraian supaya semuanya menjadi habis perkara.
Dibaca dari judul novelnya, terkesan terlalu manis dan membimbangkan. Mengesankan bahwa ini hanya kisah asmara seorang gadis yang terjebak di antara dua hati lelaki. Ternyata tidak ‘semulus’ dan ‘sepolos’ itu.
Kelebihan novel ini menyajikan jalan cerita yang memukau. Penulis mempertemukan para tokoh melalui konflik-konflik yang tidak drama sinetron banget! Beda. Sangat ‘rasa’ Indonesia. Konflik-konflik khas Indonesia diusung di novel ini kemudian diolah untuk menjadi satu dalam cerita para tokoh dengan sangat bagus dan tidak menyinggung pihak mana saja. Mulai dari kasus para elit politik yang tidak jauh dari masalah kekuasaan yang semena-mena sampai wanita selingkuhan; kasus demo; polemik dunia jurnalistik yang terkadang pro maupun kontra dengan para elit politik lalu persoalan toleransi antarumat beragama di Indonesia.
Selain itu, penulis dengan bersemangatnya menceritakan detail keindahan bibir pantai Maluku. Padahal (tampaknya) banyak novel pop Indonesia yang sering berkutat dengan setting area Indonesia barat dan tengah. Salut untuk penulis!
Penulis juga bisa menggambarkan dengan detail setting cerita di Canberra dan sekitarnya berikut beberapa kebudayaan lokalnya. Di samping itu, yang benar-benar menonjol dari penulis ketika menuliskan novel ini, per halaman terkesan padat cerita tapi sebagai pembaca saya tidak pernah merasa bosan. Kenapa? Penulis pintar memilih diksinya! Suer. Baru kali ini saya membaca novel banyak paragraf narasi dan setiap halaman terkesan ‘penuh’ namun saya betah membacanya dengan gembira dan anteng! Belum lagi logat Maluku sesekali keluar dalam dialog membuat ampuuunnn DJ... saya suka! Se pasti suka sama novel ini. Coba se baca. Beta sudah terkontaminasi dengan logat Maluku si tokoh bernama Nando. Hehehehe.
Namun di sisi lain, novel ini memiliki beberapa ketidaksesuaian. Saya memang tidak terlalu mahir soal EYD tapi rasanya kok, aneh ketika membaca ada yang berbeda. Misalnya, penyebutan tokoh dalam dialog orang kedua ‘kamu’, tidak jarang berganti ‘kau’ padahal dalam satu dialog. Rasanya kok, mencla-mencle (plin-plan). Atau memang penulis sengaja menyesuaikan seperti kondisi masyarakat kita (atau diri kita sendiri) yang terkadang tidak sadar juga begitu? Kemudian penulis juga kerap membuat bingung dengan tidak membedakan action setiap tokoh. Misalnya dialog dari tokoh 1 dan narasi tentang tokoh 2 disambung begitu saja dalam satu paragraf sehingga kalau tidak dibaca dengan cermat bisa membuat pembaca bingung. Sepertinya akan jauh lebih enak dibaca ketika action tokoh 1 dan tokoh 2 dibedakan paragrafnya, deh.
Kemudian untuk menuntun pembaca memahami konflik dan cara penyelesaiannya, penulis menyodorkan kisah di luar tokoh utama. Sempat bingung, kenapa tokoh ‘pendamping’ ikut diceritakan kisah asmaranya sampai detail? Namun penulis tetap membuat garis merah untuk menautkannya sampai cerita tandas. Jadi, tokoh-tokoh ‘pendamping’ tidak diabaikan begitu saja sampai jalan cerita selesai.
Kisah novel ini memang semanis judulnya, mulanya. Tapi ketika pertengahan sampai akhir, pembaca harus siap-siap kembali ke realitas. Katanya hidup tidak selamanya indah dan manis. Amel harus menentukan pilihan dari dua hati yang sama-sama disukainya. Terkadang jodoh memang begitu, ya? Tidak pernah tahu kepada siapa belahan hati milik kita akan dipasangkan. Rencana Tuhan siapa yang tahu, sih? Yang jelas, ending-nya tidak bahagia, kecewa maupun sedih yang berlebihan. Proporsional.
Novel ini bagus buat teman-teman yang ‘haus’ kisah romansa tapi yang tidak murni lope-lope sekalian mengenal kearifan lokal Indonesia sekaligus isu-isu yang terjadi dalam kemasan yang ringan baca. Tidak memusingkan seperti kala membaca berita koran dan atau media massa lain yang kaku.
Novel ini mengemas nusantara tercinta ini dengan apik – tentu Canberra juga – sebagai setting tempatnya. Ini novel yang sudah lama saya cari dan idam-idamkan. Bukan sekadar menjual cerita cinta. Bukan beta tak suka novel demikian tapi novel ini bisa bikin beta lebih mencintai sisi lain tanah air beta ini. Mungkin se juga lebih bisa cinta Indonesia sambil berkasih sayang dengan se pu kekasih. Kalau bukan kita, pa lagi? :)