Judul Buku :
Two Lovely Hearts
Penulis :
Ade Nastiti
Penerbit :
PT. Bentang Pustaka
Tahun Terbit : Februari 2011
(Cetakan Pertama)
Tebal :
vi + 370 halaman
Harga :
- (swap sama teman)
Cinta
Memang Harus Memilih
Cinta
pertama... Ketika irama rindu mengalun, tiada lelahnya ia menari di relung
jiwa.
Membaca kalimat tersebut di kaver depan,
sungguh bikin merinding. Bicara cinta pertama itu tidak akan ada habisnya. Seperti
Amel yang kembali bertemu dengan cinta pertamanya setelah belasan tahun berpisah
karena kesengajaan.
Iya, kesengajaan yang dilakukan sang ayah
sendiri. Amel tidak tahu menahu kebusukan tindakan ayah yang memisahkannya dengan
cinta pertamanya di Tual, salah satu daerah di Maluku, Indonesia timur.
Membuatnya sempat salah paham dan kecewa pada cinta pertamanya bernama Nando (Fernando).
Tapi Tuhan selalu memiliki kehendak lebih menakjubkan ketimbang kehendak
manusia. Mereka dipertemukan di negeri kanguru, tepatnya di Canberra dan
menjalin kembali kisah persahabatan masa kecil yang berkembang menjadi sebuah jalinan
cinta. Namun hubungan asmara keduanya tak pernah mulus kendati terasa manis
sekali. Sebab suatu hari datang lelaki lain dari masa lalu Amel dan Nando.
Lelaki itu Yuda. Mereka bertiga berteman baik dan kini terlibat cinta segitiga.
Benang kusut yang telah lama (seolah) lenyap kembali muncul dengan jelas, menunggu
penguraian supaya semuanya menjadi habis perkara.
Dibaca dari judul novelnya, terkesan terlalu
manis dan membimbangkan. Mengesankan bahwa ini hanya kisah asmara seorang gadis yang terjebak di antara dua hati
lelaki. Ternyata tidak ‘semulus’ dan ‘sepolos’ itu.
Kelebihan novel ini menyajikan jalan cerita
yang memukau. Penulis mempertemukan para tokoh melalui konflik-konflik yang tidak
drama sinetron banget! Beda. Sangat ‘rasa’ Indonesia. Konflik-konflik khas Indonesia
diusung di novel ini kemudian diolah untuk menjadi satu dalam cerita para tokoh
dengan sangat bagus dan tidak menyinggung pihak mana saja. Mulai dari kasus para
elit politik yang tidak jauh dari masalah kekuasaan yang semena-mena sampai wanita
selingkuhan; kasus demo; polemik dunia jurnalistik yang terkadang pro maupun
kontra dengan para elit politik lalu persoalan toleransi antarumat beragama di
Indonesia.
Selain itu, penulis dengan bersemangatnya
menceritakan detail keindahan bibir pantai Maluku. Padahal (tampaknya) banyak
novel pop Indonesia yang sering berkutat dengan setting area Indonesia barat dan tengah. Salut untuk penulis!
Penulis juga bisa menggambarkan dengan detail setting cerita di Canberra dan
sekitarnya berikut beberapa kebudayaan lokalnya. Di samping itu, yang
benar-benar menonjol dari penulis ketika menuliskan novel ini, per halaman
terkesan padat cerita tapi sebagai pembaca saya tidak pernah merasa bosan. Kenapa?
Penulis pintar memilih diksinya! Suer. Baru kali ini saya membaca novel banyak
paragraf narasi dan setiap halaman terkesan ‘penuh’ namun saya betah membacanya
dengan gembira dan anteng! Belum lagi logat Maluku sesekali keluar dalam dialog
membuat ampuuunnn DJ... saya suka! Se
pasti suka sama novel ini. Coba se
baca. Beta sudah terkontaminasi dengan logat Maluku si tokoh bernama Nando. Hehehehe.
Namun di sisi lain, novel ini memiliki beberapa
ketidaksesuaian. Saya memang tidak terlalu mahir soal EYD tapi rasanya kok,
aneh ketika membaca ada yang berbeda. Misalnya, penyebutan tokoh dalam dialog
orang kedua ‘kamu’, tidak jarang berganti ‘kau’ padahal dalam satu dialog. Rasanya
kok, mencla-mencle (plin-plan). Atau memang
penulis sengaja menyesuaikan seperti kondisi masyarakat kita (atau diri kita
sendiri) yang terkadang tidak sadar juga begitu? Kemudian penulis juga kerap
membuat bingung dengan tidak membedakan action
setiap tokoh. Misalnya dialog dari tokoh 1 dan narasi tentang tokoh 2 disambung
begitu saja dalam satu paragraf sehingga kalau tidak dibaca dengan cermat bisa
membuat pembaca bingung. Sepertinya akan jauh lebih enak dibaca ketika action tokoh 1 dan tokoh 2 dibedakan
paragrafnya, deh.
Kemudian untuk menuntun pembaca memahami
konflik dan cara penyelesaiannya, penulis menyodorkan kisah di luar tokoh
utama. Sempat bingung, kenapa tokoh ‘pendamping’ ikut diceritakan kisah
asmaranya sampai detail? Namun penulis tetap membuat garis merah untuk menautkannya
sampai cerita tandas. Jadi, tokoh-tokoh ‘pendamping’ tidak diabaikan begitu
saja sampai jalan cerita selesai.
Kisah novel ini memang semanis judulnya,
mulanya. Tapi ketika pertengahan sampai akhir, pembaca harus siap-siap kembali
ke realitas. Katanya hidup tidak selamanya indah dan manis. Amel harus
menentukan pilihan dari dua hati yang sama-sama disukainya. Terkadang jodoh
memang begitu, ya? Tidak pernah tahu kepada siapa belahan hati milik kita akan
dipasangkan. Rencana Tuhan siapa yang tahu, sih? Yang jelas, ending-nya tidak bahagia, kecewa maupun
sedih yang berlebihan. Proporsional.
Novel ini bagus buat teman-teman yang ‘haus’
kisah romansa tapi yang tidak murni lope-lope
sekalian mengenal kearifan lokal Indonesia sekaligus isu-isu yang terjadi dalam
kemasan yang ringan baca. Tidak memusingkan seperti kala membaca berita koran
dan atau media massa lain yang kaku.
Novel ini mengemas nusantara tercinta ini dengan
apik – tentu Canberra juga –
sebagai setting tempatnya. Ini novel yang sudah lama saya cari
dan idam-idamkan. Bukan sekadar menjual cerita cinta. Bukan beta tak suka novel
demikian tapi novel ini bisa bikin beta lebih mencintai sisi lain tanah
air beta ini. Mungkin se juga lebih
bisa cinta Indonesia sambil berkasih sayang dengan se pu kekasih. Kalau bukan kita, pa lagi? :)
Waah... Kayanya Keren ni bukunya, bisa jadi menambah wawasan budaya juga
BalasHapusbukan hnya mmbhas kisah cinta segitiganya sja.
Kren jga pnyampaiannya.. Hebat deh