Senin, 24 Februari 2014

Samudra Telah Purna

credit

Alta sibuk dengan data-data karyawan perusahaan penggilingan gandum. Kepalanya pusing merekap keseluruhan data payroll: presensi seluruh karyawan dan pengecekan ulang ketimpangan data miliknya dengan data departemen keuangan, sungguh menguras energi. Akibatnya, selain kepalanya serasa dihantam paku godam bertubi-tubi, rasa lapar dan lelah tak dapat ditolaknya.
Sementara waktu menunjukkan jam tiga sore, seharusnya Alta bersemangat pulang tapi tidak untuk hari ini. Ia harus lembur untuk menuntaskan deadline pekerjaannya esok hari. Alta makin stres dibuatnya.
Akhirnya Alta sudah tidak mampu berpikir jernih lagi, dadanya sesak dan merasa gelisah. Ia harus segera mencari udara segar tapi mengingat ruang kerjanya di lantai lima, pasti akan membuang waktu kalau harus turun ke bawah dan keluar gedung menghirup oksigen di luar sana. Maka, ia hanya memutar kursi putarnya 180 derajat dari semula ia menghadap. Kini, tepat di depannya sejauh matanya memandang terhampar laut beserta perahu besi besar yang berjejeran yang baru datang atau sedang menunggu giliran mengangkut atau menaruh kebutuhan pokok pembuatan tepung.
Langit Surabaya hari ini mendung pertama di awal Oktober. Warna kelabu terlihat jelas menembus kaca sebagai dinding-dinding ruang kantor Alta. Alih-alih merasa mendung adalah representasi kemuraman, justru Alta merasakan efek teduh. Ia juga perlahan menghirup oksigen untuk melegakan kesesakannya tadi. Matanya yang sempat tertutup ketika menyedot udara kembali terbuka dan memuaskan diri menyapukan pandangan dari ujung ke ujung hamparan pemandangan di hadapannya, pemandangan khas pelabuhan. Ia tak lupa merenggangkan keseluruhan otot tubuhnya sampai berbunyi cetak-cetuk di beberapa bagian tubuhnya, pertanda ia amat lelah dan butuh penyegaran. Kemudian ia menenggak air isotonik yang ada di meja sebelah kanan tubuhnya berdiri. Segar dan lega rasanya.
Alta menarik napas dalam, semakin melegakan. Alta pun menarik kedua ujung bibirnya ke atas.
Beberapa menit kemudian Alta mendapati ponselnya bergetar di saku celananya. Ia segera merogohnya sembari meletakkan botol minumannya kembali ke meja.
Di layar ponselnya tertera satu pesan dari kakak angkatnya, Lila. Alta mendengus.
Pasti si Arif lagi.
>> Jgn lupa hari ini km ada janji sm Arif. Jgn kecewakan dia. <<
Alta menaikkan sebelah alisnya.
Kecewa? Hhh! Justru aku yang kecewa. Cuma dia lelaki yang menolakku. Yang benar saja, Alta Maulana ditolak lelaki?!
Alta mengetik huruf demi huruf untuk kakaknya.
>> Sepertinya aku perlu bicara lg sm Mb Lila, deh. URGENT!! <<
Alta memencet tombol send dengan sekuat tenaga dan membuang napasnya cepat.
Lila membalas pesan tersebut.
>> Kalau begitu, bsk ketemuan aja, ya? Tp mlm ini, jgn mangkir dr ajakan Arif keluar. Dia jg ingin bicara penting sm km. Plisss... <<
Alta mendesis keras. Kenapa harus dirinya yang berkorban? Kenapa dirinya yang menjadi umpan untuk mantan kekasih Lila? Apa tidak ada wanita lain? Baru kali ini Alta mengemis cinta dan sialnya ini bukan kehendaknya!
Semua berawal dari kisah yang nyaris terjalin -kembali- dan terlarang di antara Lila dan mantan kekasihnya, Arif. Lelaki tampan khas Indonesia yang wajahnya bisa hampir disamakan dengan Donny Alamsyah, dan kini menjabat sebagai kepala departemen flour blending, departemen yang bertugas mencampur tepung dengan bahan-bahan lain sesuai dengan permintaan customer perusahaan.
Lila dan Arif berpacaran ketika kuliah namun kemudian putus karena Arif yang ternyata suka “terbang” bak lebah yang hinggap ke sana-ke mari dari satu gadis ke gadis lain. Gadis mana yang mau diperlakukan seperti itu? Tak terkecuali Lila. Lila jelas patah hati dibuatnya. Tapi lambat laun, Lila bisa menghalau rasa sakitnya itu dan kini menjalin bingkai rumah tangga romantis dengan lelaki pilihannya dengan dua orang anak berusia empat tahun dan dua tahun.
Tapi setahun lalu setelah lebih dari lima tahun tak pernah lagi bersua dengan kondisi hubungan pasca putus yang tak baik, Lila dan Arif kembali dipertemukan di tempat kerja yang sama. Arif melamar menjadi kepala departemen tempat Lila bekerja. Dan seakan kebetulan sekali, Arif menggantikan posisi Lila yang dimutasi ke departemen lain. Sungguh dunia begitu sempit. Ada saja hal yang menghubungkan kita pada sesuatu yang pernah kita temui tanpa diduga.
Sebuah fakta yang tak bisa dielakkan oleh kedua pribadi yang pernah dimabuk asmara itu adalah keduanya mulai saling tertarik -kembali- seiring hubungan profesional dan personal yang mencair. Tapi keduanya masih waras untuk tidak membiarkan kuncup perasaan terlarang itu bersemi bahkan merekah sempurna. Mulanya mereka bisa, bahkan Lila yakin sekali bahwa apa yang terjadi beberapa waktu lalu dengan Arif hanya sebuah perasaan sesaat karena terbawa kenangan masa lalu. Tapi ternyata Arif gagal. Ia tetap memikirkan Lila walau sudah disepakati bersama antara dirinya dan Lila bahwa mereka hanya akan menjadi teman biasa. Lalu, sekalipun sudah beda departemen, hati kecilnya tetap mendorongnya untuk mencari-cari alasan agar bisa bertemu dengan Lila. Hal ini membuat Lila cukup frustrasi. Ia jadi tak suka dengan kehadiran lelaki masa lalunya itu.
Rasa frustrasi Lila membuatnya memunculkan ide “gila”. Menurutnya itu ide cemerlang. Entah karena ia terlalu pintar atau bagaimana, yang pasti adiknya, Alta dibuatnya menganga tak percaya. Bahkan suaminya tercinta turut mendukung ide konyol itu.
Suatu hari Lila dan Galang menyampaikan ide itu.
“Buat dia jatuh cinta sama kamu, dek!” celetuk Lila.
“Masa’ kamu mau rumah tangga kami berantakan karena lelaki itu? Mbakmu ini milikku, selamanya. Jodohku hidup-mati. Kamu sajalah yang masih menjomblo sama dia. Aku yakin dia nggak akan menolakmu,” sahut Galang menegaskan.
Alta serasa disambar geledek di siang hari bolong. Selama ini lelaki yang mengejarnya, bukan dia!
Alta sempat menolak tapi setelah tahu rupa lelaki itu seperti lelaki impiannya, Alta makin tertantang menaklukkannya. Namun setelah turun ke lapangan menjalankan aksinya merayu Arif bertekuk lutut, Alta lelah juga rasanya. Arif merupakan lelaki yang konsisten mengejar keinginannya dan Lila adalah satu dari sekian banyak keinginannya.  Lelaki sinting!, pikir Alta.
Pikiran Alta buyar tentang permintaan “gila” kakaknya dan suaminya ketika ponselnya berdering keras. Nama “Mbak Lila” tertera di layar ponselnya. Alta menerima panggilan Lila.
“... Iya, nanti aku temuin dia. Tapi tolong jangan berharap lebih, Mbak. Aku sudah mengerahkan semua usahaku tapi dianya ngotot suka sama Mbak. Aku mau apa? Lagian dipikir-pikir harga diriku ditaruh mana, Mbak? Malu aku Mbak, dikatain anak-anak ngemis cinta. Ya, walaupun dia lelaki yang aku pengen tapi nggak segitunya juga,” cerocos Alta.
Usai bicara dengan Lila di telepon, Alta mematikan teleponnya dan kembali ke meja kerjanya. Otaknya kembali “segar”, badannya terasa lebih enteng tapi perasaannya agak terganggu. Kenapa urusan Arif masuk ke dalam hidupnya? Menambah PR hidupnya saja.
***
Pukul tujuh lebih lima belas menit, Alta keluar kantor dengan kemejanya yang kusut. Kakinya kini beralaskan sandal ala kadarnya tapi membuatnya nyaman setelah seharian mengenakan stiletto.
Ia memanggil taksi dan segera meluncur ke “Cafe Sofas”, cafe dengan ciri khas sofa-sofa aneka bentuk dan rupa yang memenuhi setiap sudut cafe tersebut.
“Dari sekian banyak cafe, kenapa cafe ini, sih? Apanya yang move on? Ngajak cewek baru ke tempat favorit bersama mantan itu namanya nggak move on kali, Mas. Aduh, kenapa sih, aku menyanggupi permainan konyol Mbak Lila? Aku ini korban!” dumel Alta berjalan menuju pintu masuk cafe tersebut.
Kalau kamu nggak suka, putuskan segera malam ini, Al. Kamu bisa mencari lelaki lain yang kamu suka.
Seolah ada suara yang menelusup ke dalam telinga kanan Alta.
Masalahnya Alta, sekarang nggak ada lelaki yang kamu suka dari sekian banyak lelaki yang mengejarmu. Dan semua orang tahu bahwa sekarang kamu mengejar bos Arif. Dunia tahu bahwa kamu menyukainya setengah mati.
Ada suara lain di telinga kiri Alta.
Tapi kan, kamu cuma pura-pura menyukainya, Alta. Kamu nggak serius menyukainya. Ini cuma tipu daya mengalihkan fokus hati bos Arif dari Lila selamanya. Kalau bos Arif benar jatuh cinta padamu, kamu mau apa? Padahal kamu nggak suka.
Suara pertama kembali hadir.
Sampai kapan kamu menjomblo, Alta? Kamu butuh bahu dan dada untuk bersandar mengistirahatkan sejenak egomu mengejar status wanita mandiri. Bagaimanapun kamu membutuhkan lelaki yang melindungimu. Bos Arif adalah lelaki yang tepat. Ingatlah semua usahamu ditolak mentah-mentah olehnya tapi dia tak benar-benar mengabaikanmu setiap kali kamu butuh bantuan. Apakah itu kebetulan? Tidak. Bahkan dia pernah menyelamatkanmu dari kecelakaan maut. Dia menggendongmu yang berlumuran darah. Dan kamu dalam setengah sadarmu mendengar dia berteriak panik bahkan pipimu merasa air matanya menetes begitu saja di pipimu yang berdarah. Keringatnya dan darahmu pernah menyatu.
Suara dua menyeloroh.
Alta menepuk-nepuk kedua telinganya. Halusinasi suara! Rasanya dirinyalah yang gila, bukan Lila dan Galang.
“Kenapa berdiri di sini?” Sebuah suara mengusir suara-suara tak bertuan tadi.
“Mas Arif?” Alta kaget Arif berdiri di depannya.
“Aku sudah nungguin dari tadi? Ayo,” Arif langsung menggandeng tangan Alta yang sempat berdiri mematung di ambang pintu masuk cafe.
Alta memprotes Arif yang cukup kasar menggandengnya dan mendudukkannya paksa di sofa cafe, berhadapan dengan Arif.
“Mas, baru kali ini aku diperlakukan seperti ini.”
“Aku tahu. Semua yang ada padaku, perlakuanku ke kamu, semuanya adalah hal pertama buatmu, kan? Aku tahu. Aku heran kenapa kamu beda sekali sama Lila, ya? Ketus.”
Alta mendelik ke arah Arif. “Jangan mencoba membandingkan aku sama Mbak Lila! Sekalipun aku menyayanginya walau dia bukan kakak kandungku tapi aku tetap nggak mau dibanding-bandingkan! Aku tahu aku nggak bisa menjadi wanita paket lengkap seperti Mbak Lila. Dia ngerti teknik tapi pinter masak dan bersolek sekali waktu. Dia bisa pasang lampu sendiri tapi dia nggak ngeluh pakai kebaya. Dia pimpinan yang tegas tapi dia manis sama anak-anaknya bahkan bisa beromantis ria dengan puisi-puisinya. Iya, puisi-puisi syahdu kalian semasa pacaran. Aku tahu.”
“Apa?” tanya Arif mencondongkan tubuh ke arah Alta.
“Kenapa? Kaget? Aku tahu. Karena dia dulu sering menunjukkannya padaku. Bahkan ada beberapa yang dimuat di koran mingguan. Mas tahu? Dan sekarang puisi-puisi itu tersimpan rapi dan sungguh anugerah Mas Galang nggak marah akan semua itu. Nah, seharusnya Mas bisa merelakan bahwa Mbak Lila itu sudah punya kehidupan sendiri dengan suami tercintanya. Berpikir sehatlah sedikit, Mas! Jangan bertingkah Mas masih pacarnya atau hanya sekedar mencuri pandang pada Mbak Lila. Dosa Mas, dosa! Jangan membebani Mbak Lila dengan rasa bersalah pada Mas Galang. Buatlah hidupmu bermanfaat untuk orang lain. Salah satunya dengan tidak membebani istri orang,” sergah Alta berapi-api tanpa jeda.
Arif justru menyodorkan air mineral untuk Alta.
Alta melirik botol itu sekejap. “Kamu pikir lucu?”
“Enggak. Aku cuma lihat kamu kehausan ngomong panjang lebar,”
Alta salah tingkah. Apa lagi ya, yang harus dikatakannya untuk benar-benar menghentikan langkah Arif yang  selalu tegap lurus menuju ke arah Lila?
Alta merasa malam ini ia harus menuntaskan semuanya. Ia sudah tidak tahan terus berpura-pura. Lelaki di depannya tampaknya tak akan pernah mundur dari niatnya. Lelaki di depannya memang sinting dan Alta tak punya alasan lagi mencegah orang sinting terus melaju. Alta lelah. Di luar sana banyak lelaki menunggu cintanya, kenapa ia berkutat dalam kebohongan dengan lelaki di depannya?
“Alta, aku ingin bicara sesuatu.”
“Ya!” potong Alta segera.
“Aku tahu kedatanganmu bukan kebetulan. Aku juga tahu kedatanganmu akhirnya menjadi sebuah rencana untukku. Rencana Lila untuk menghentikan langkahku memilikinya. Samudra sepertiku memang nggak akan pernah puas hanya dengan satu atau dua bahtera tapi aku sadar bahtera seperti Lila menguras konsentrasiku untuk terus mengajaknya bertualang sekalipun dia sudah terpancang pada sebuah dermaga...” belum usai Arif bicara, Alta kembali memotong.
“Dermaga, samudra, bahtera. Aku sudah pernah membacanya dari buku kumpulan puisi Mbak Lila. Bicaralah secara gamblang Mas, aku nggak suka berpuisi. Ingat, aku bukan Mbak Lila. Aku Alta Maulana!” tegas Alta.
“Tapi kamu membacanya, kan?”
“Aku nggak sengaja.”
“Oke, lupakan itu. Izinkan aku bicara sampai tuntas.”
Alta terdiam, tanda ia mengabulkan permintaan Arif.
“Tapi sayangnya aku ini manusia biasa, bukan samudra dalam arti sebenarnya. Dan aku juga lelah jika terus bertualang dengan banyak bahtera apalagi menguras tenaga untuk menghantam bahtera yang sudah terpancang ke dermaga sejatinya... ”
Alta melengos, bosan mendengar istilah demi istilah yang menganalogikan diri Arif dan Lila.
“Alta perhatikan aku,” pinta Arif. Alta melakukannya.
Arif memberi kode agar Alta memajukan dirinya ke arah Arif.
“Aku ingin memastikan sesuatu bahwa aku ini manusia biasa yang juga mengalami lelah dan ingin ada yang bisa mengisi ulang energiku sebagai manusia bukan sebagai samudra.”
Waktu seolah berhenti sejenak. Arif mengunci bibir Alta dengan bibirnya. Alta tertegun seketika dan akhirnya sungguh salah tingkah.
“Bagaimana rasanya? Apa ini membayar kejengkelanmu atas penolakanku?” tanya Arif sesaat setelah menarik tubuhnya dari Alta.
Alta terlonjak. Penghinaan macam apa ini? Mengejar Arif lalu ditolak adalah penghinaan apalagi dicium di depan umum juga penghinaan terlebih dengan alasan yang dilontarkan Arif. Dikiranya Alta wanita murahan?!
“Cukup, Mas! Jangan karena nggak bisa mendapatkan Mbak Lila kembali, kamu bisa memanfaatkanku. Aku memang diminta Mbak Lila membuatmu jatuh cinta padaku tapi bukan seperti ini. Menolakku lalu barusan apa?” sergah Alta. “Maaf, aku merasa kamu sudah menghinaku,” lanjutnya sambil  membereskan tasnya dan beringsut dari sofa.
Arif spontan menahannya. “Tunggu! Tolong duduk kembali. Kita luruskan semuanya,” pinta Arif. Alta kembali duduk dengan hati yang penuh amarah.
“Aku nggak bermaksud merendahkanmu. Aku hanya ingin memastikan apakah aku sudah benar-benar jatuh hati padamu. Semenjak kecelakaan itu, aku merasa jantungku sering merasa nggak karuan. Aku takut sekali kehilangan kamu, Ta. Aku nggak tahu kenapa. Tapi rasa takut menyerangku mendadak kala itu. Semenjak itu pikiranku terpecah antara kamu sama Lila. Tapi sejujurnya, usahamu yang pantang menyerah membuat hatiku goyah. Dan malam ini aku mencoba membuktikannya.”
Alta menelan ludah, kini jantungnya yang serasa melompat-lompat hendak keluar dari tempatnya.
“Lalu apa hasil uji cobamu?” tanya Alta berusaha bersuara mantab.
Arif memandang mata Alta yang belok dan jernih dengan begitu lembut tapi pasti menghujam ke jantung Alta. Buktinya Alta makin dibuat kikuk terpaku.
“Jadilah istriku,” cetus Arif.
Alta merasa jantungnya baru saja mencelos keluar.
“Aku mencintaimu. Jadilah istriku.”
“Apa kamu pensiun menjadi samudra?”
“Enggak. Sudah aku bilang, aku manusia. Samudra, dermaga, bahtera hanya  rekayasa, hanya analogiku semata. Nanti akan aku buatkan analogi romantis lainnya untuk kita berdua,” ujar Arif sembari tersenyum tapi tak sukses membuat Alta tersenyum membalasnya.
“Denganku jangan suka berpuisi! Sudah kubilang aku nggak suka puisi. Aku nggak mau berkencan hanya mendengarmu berpuisi. Sesekali aku ingin mendengarmu bernyanyi.”
Well, kita akan berkaraoke sampai puas nanti pada kencan resmi kita yang pertama,” sahut Arif mantab.
“Jadi ini bukan kencan namanya?” tanya Alta memiringkan kepalanya.
“Jadi kamu ingin menyebutnya kencan? Oke, kita berkencan.”
Keduanya terkekeh bahagia.
-SELESAI-









Ini bukan hoki-hokian

Satu hal yg bikin gue males plus jengkel adalah orang-orang yg punya hoki gede. Punya ini, itu, gitu, gini. Sederhananya, semua yg dia mau selalu dia dapet & itu tanpa dia usaha keras. Bikin gemes nggak, sih?
Lah, sementara gue, buat ngedapetin sesuatu aja kudu jungkir balik dulu.
Tapi ya, daripada gue ngeluh mulu, gue ubah cara pikir gue.

Orang yg dapat hokinya melalui kerja keras adalah orang yang teruji. Pantas bersaing & pantas mendapatkan hasil kerja kerasnya. Why? Karena Tuhan memberikan yg kita upayakan.

Dg kalimat di atas, adem gue. Hehehe.

Nah, kenapa gue bisa berubah pikiran?
Ya, karena dapet buku penulis @nastiti_ds yg baru launching minggu, 23022014 kemarin. Novelnya: (bukan) salah waktu. Cerpen gue: kesempatan kedua (boleh dibuka postingan sebelum ini). Bukan karena gue hoki ikutan kuis tebak jawaban trus jawaban bener dikocok, nooo... Gue nggak pernah dapet hoki semacam itu. (Inget kan, gue dapet sesuatu setelah bikin kepala jd kaki, kaki jd kepala). Gue beruntung karena gue lolos dari seleksi bikin cerpen 1000kata yg sudah ditentukan. Ya, gue gak tahu, berapa banyak saingan gue. Tapi seminimal apa pun kompetisi itu, gue hargai. Artinya gue lolos di tahap ini dan berhak ke tahap selanjutnya. Analoginya sih, begitu, buatku. Betul?
Ini sih, tulisan untuk self-motivation ajah. Semoga bisa menginspirasi.

Gue cuma mau bilang bahwa gede atau enggak hoki seseorang, ingatlah bahwa Tuhan hanya ngasih sesuai upaya kita. Balik-baliknya ke Tuhan juga kok, guys.
Dan bukankah kita ini makhluk beruntung? Kita lolos & sukses jadi manusia mengalahkan jutaan sel sperma? Itulah kenapa Tuhan menyebut kita manusia beruntung & punya maksud diciptakan ke dunia.  Terbukti, ini bukan hoki-hokian.

Happy Monday, guys :)

Jumat, 07 Februari 2014

Kesempatan Kedua



Ponsel itu menyalak lagi. Sialan! Aku sudah teramat lelah hari ini tapi kenapa dia terus menerorku?!!
Dia sudah aku enyahkan dari kamus hidupku. Orang seperti dia, sudah sepantasnya dijebloskan ke dalam lubang setan di Segitiga Bermuda sana! Ah, kebencianku meluap-luap lagi.
Ponsel itu berhenti berdering. Kemudian satu pesan masuk. Darinya.
>> Apa tak bisa kita cakap baik-baik? Awak hendak balik ke KL. Urusan awak di sini sudah usai
Aku mendengus sambil mematikan ponselku. Aku ingin tidur, besok ada meeting  pagi-pagi.
#
Aku menyeruput teh hangat di depanku sembari menunggu meeting dimulai. Aku memang datang terlalu pagi, sendiri di ruangan ini. Aku ingin segalanya sempurna di hari aku presentasi, jadi aku harus datang lebih awal menyiapkan segalanya.
Aku nyalakan TV flat yang terpajang di tembok di seberangku. Langsung muncul berita kecelakaan pesawat komersil di Juanda.
“.... Tidak ada korban jiwa dalam kecelakaan pesawat tujuan Surabaya-Kuala Lumpur ini, yang rencananya terbang tadi malam pukul delapan. Tapi ada sepuluh orang terluka dan sisanya trauma karena hentakan keras ketika pesawat mendadak berguncang hebat dan kemudian jatuh setelah beberapa detik berusaha untuk terbang landas.
Tubuhku refleks menegak.
Para penumpang yang terluka di bawa ke rumah sakit terdekat di Sidoarjo...”
Aku mendadak gusar. Aku teringat dia. Kemudian mengecek SMS darinya. Awak hendak balik ke KL. Ah, pasti dia tak termasuk.  
Tapi, mendadak aku cemas. Iya, aku mencemaskannya.
#
Aku langsung mengempaskan diri di kasur sepulang dari kantor.  Lelah. Seharian meeting, ke lapangan lalu membuat laporan karyawan. Ya, seperti itulah “makanan”ku di bagian personalia pabrik produsen produk sabun dan makanan terkemuka di Indonesia. Kesibukanku ini menyita nyaris keseluruhan fokus kehidupanku. Bahkan hanya berkumpul dengan keluargaku di Malang atau kawan dekat kuliah bisa dihitung jari berapa kali. Rasanya hidupku sepi.
Pikiranku pun terlempar ke masa lalu. Tentang dia yang datang suatu ketika meniupkan ruh semangat setiap kali berangkat bekerja. Dia datang dari negeri seberang sebagai teknisi ahli di pabrik tempat aku bekerja. Kami berkenalan ketika aku terjebak hujan dengan fixi-ku sepulang bekerja. Waktu itu aku memang mencoba sepeda baruku. Berniat hidup sehat, hehehe. Dia menolongku. Sepedaku diangkutnya ke jok belakang mobil dan aku khawatir nanti mengotori mobilnya. Dan dia menyahut. “Ini mobil kantor.” Dia  melempar senyum manis dari wajah timur-tengahnya yang khas.
“Sudah terbiasa menyetir di sini?” cetusku membuka pembicaraan kala itu.
Dia menatapku. “Ya. Awak sudah belajar menyetir selama satu tahun dulu di Jakarta.”
Aku paham jadinya. Ia sempat bekerja juga di pabrik pusat di Jakarta. Tapi aku sempat tersenyum geli ketika logat negaranya keluar. Bukan aku hendak mencemooh tapi lelaki tampan seperti dia biasanya (mungkin berusaha) berlogat elegan sebagai seorang ekspatriat. Setidaknya, seperti itulah bule-bule yang sering aku temui sebelum dia hadir di pabrik.
Semenjak itu kami semakin intim. Tapi kami tidak pacaran. Namun, aku tak bisa tak jatuh hati mendapat perhatian istimewanya padahal aku punya rekanan kerja yang cantik dan semlohai bodi gitar Spanyol. Kenapa bukan temanku itu?
Mulai titik ini aku tersenyum sengit dan getir. Lima bulan kami berhaha-hihi dan bermenye-menye seperti orang pacaran, bencana itu datang.
Aku mendapatinya bergumul di atas ranjang dengan seorang wanita yang entahlah siapa dia. Lebih bertampang wanita bayaran untuk one-night stand. Hatiku hancur lebur seperti debu yang siap lenyap diterpa badai.
Kejadian itu enam bulan lalu, sih. Masih membekas sekali sakitnya. Seiring dengan itu dia mengejarku untuk menjelaskan semuanya. Aku mendengarkan tapi bukannya meredakan sakitku malah membuatnya semakin perih.
Bagiku dia penjahat kelamin! Sungguh aku makin membencinya. Tapi yang sempat membuatku terkesima adalah kalimatnya yang menyatakan bahwa semenjak bertemu denganku, ia ingin mengakhiri semuanya. Aku tersanjung? Jelas. Akulah penakluk pria -yang tak kuduga- flamboyan. Tapi tidak. Orangtuaku pasti menyabitku kalau menikahi begundal semacamnya.
Ah, sudah, sudah. Dadaku semakin sesak mengingat peristiwa itu.
Ponselku berdering. Dari nomor asing.
Katanya dari rumah sakit di Sidoarjo, mengabarkan ada pasien bernama Rifat mencariku. Dia terkapar di rumah sakit dan terus mengigaukanku. Astaga! Jantungku jumpalitan sendiri. Terkapar? Mengigau? Mungkinkah dia menjadi korban kecelakaan semalam? Bukannya, setelah jam kecelakaan itu, dia masih menghubungiku?
Tanpa pikir panjang aku sesegera mungkin ke sana. Sesampainya di sana, aku segera ke kamarnya.
Aku melihatnya dirawat di kamar kelas dua, berisi dua orang. Tapi tempat tidur satunya kosong. Hanya dia. Menurut suster, ia baru saja tidur setelah shock akibat kecelakaan semalam. Dia tidak apa-apa. Hanya terluka di kening dan beberapa nyeri di tubuhnya. Aku bernapas lega. Untung dia selamat. Dan sialan, dia masih mengingatku ketika nyaris kehilangan nyawa!
Aku berjalan mendekatinya. Menggerak-gerakkan tanganku di atas wajahnya yang terlihat bersinar itu, memastikan ia memang tidur. Dia memang punya wajah yang cerah. Setiap orang pasti suka menatapnya berlama-lama entah sambil mengobrol maupun tidak.
Tiba-tiba dia membuka mata dan aku salah tingkah. Kemudian dia tersenyum.
“Terima kasih peduli sama awak.”
“Demi rasa kemanusiaan saja. Kata suster kamu mengigaukanku. Benar?”
“Awak selalu memikirkan Sarah.”
Aku mengibaskan tanganku. Bosan.
Dia sontak meraih tanganku. Mata kami bertukar pandangan.
“Tolong kasih maaf untuk awak,” ujarnya lalu menarik napas dalam dengan mimik wajahnya seakan menahan nyeri di dada.
Aku menatapnya cemas.
“Awak cinta sama Sarah. Awak sudah bercakap dengan Mrs. Clara untuk beberapa konseling ke depan. Awak akan berusaha berhenti bertualang. Tolong, percaya pada awak, Sarah.”
Aku terpaku. Bu Clara? Iya, dia psikiater rekanan perusahaanku. Rifat berniat berhenti bertualang demi aku? Haruskah aku percaya?
“Maaf, tidak semudah itu.”
“Plis, janganlah Sarah menutup diri. Izinkan awak masuk, memperbaiki semuanya dan kita mencobanya. Awak paham, Sarah juga cinta sama awak. Mata Sarah tak bisa bohong, kan? Please,Dear.”
Mataku panas, air mataku mulai mengalir. Aku bimbang. Haruskah aku menerimanya? Ia sudah berjanji dan sudah berusaha. Bu Clara juga beberapa waktu lalu menyampaikan Rifat datang padanya. Tapi dia tidak menjelaskan lebih lanjut kenapa Rifat mengunjunginya. Aku pun sudah tak peduli tapi dalam hati aku bertanya-tanya. Tak kusangka demi aku.
Akhirnya, aku memutuskan.
Tidak ada yang salah  di antara kita kecuali masa lalu. Yang lalu biar berlalu. Aku akan mencobanya. Asal kamu sembuh dulu. Katanya kamu mengalami trauma karena semalam.”
Rifat tersenyum mengangguk. Kemudian menggenggam tanganku erat. “Tapi, temani awak supaya lekas sembuh.”
Aku mengangguk tersenyum pula. Malam ini aku lalui dengan menemaninya. Di rumah sakit. Berdua. Syahdu.

-selesai-





ENTROK: SIMBOL KETANGGUHAN WANITA


credit: goodreads


Judul: Entrok
Penulis: Okky Madasari
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit: 2010
Tebal/ Jumlah Halaman: 288 halaman

Entrok?
Apaan, tuh?
Ladalah, setengah darah gue dari daerah yang sama dengan  penulisnya dan setting novel ini juga di sana tapi gue nggak ngerti?
Bra. Iya, entrok itu bahasa Jawa dari bra/ BH para sedulur[1]. Orang Magetan dan sekitarnya nyebutnya begitu. Tapi, walaupun berjudul begitu, nggak semuanya membahas entrok. Entrok hanya salah satu elemen di dalam novel ini yang menurut gue adalah simbol. Simbol wanita. Ya,  kan? Cuma wanita yang pake entrok, bukan lelaki. Pun juga sepanjang gue baca novel ini, hanya beberapa istilah Jawa yang ada di sana sehingga nggak merusak jalan gue buat  baca.
Gue baru kali ini baca karyanya Okky tapi merasa bahasanya ngalir, lancar, mulus, dan no cacat. Sederhana, nggak membuai ala penyair yang suka melakukan penganalogian. Ya iyalah, ini berkisah rakyat jelata Indonesia di zaman peperangan sampai orde baru (orba).  Menyesuaikan kali ya. Menurutku.
Baca buku bikin gue ngerasa terlempar seketika ke tanah leluhur gue di Magetan. Ada semacam keterikatan batin di sana. Ya, iyalah. Bapak gue dari sana. Jadi, gue seneng. Selain itu, novel ini menyinggung soal sejarah perjuangan sampai zaman orba. Dari dulu gue paling demen sama yang namanya histori juga segala sesuatu yang tersembunyi di baliknya. Kenapa? Sejarah itu kan, masa lampau dan kita nggak pernah ada di sana, nggak mengalaminya sendiri. So, nggak heran kalau ada orang bilang bahwa pelajaran Sejarah itu bisa jadi sudah tercampuri opini-opini pembuatnya. Siapa yang benar? Entahlah.
Tapi yang bikin aku semangat, tetep setting histori zaman peperangan s.d orba yang melatari konflik ibu (Marni) dan anak (Rahayu). Dua perempuan yang berseberangan arah soal prinsip keimanan tapi keduanya sama-sama berniat baik dengan jalannya masing-masing. Keduanya sama-sama perempuan Jawa tangguh  yang memperjuangkan hidup. Marni memperjuangkan harkat dan martabatnya dengan keyakinannya kepada Mbah Bapa Ibu Maha Kuasa sedangkan Rahayu berjuang mempertahankan keimanannya pada Illahi Rabbi.
Kehidupan mereka sulit, rumit dan miris. Marni lahir di zaman peperangan yang untuk membeli entrok yang mahal tidak bisa sehingga buah dadanya kewer-kewer[2]. Jangankan itu, makanan sehari-harinya itu singkong upah dari dia dan Simboknya bekerja jadi buruh kupas di Pasar Ngranget. Maka terlecutlah ia ingin hidup sejahtera dengan membawa keyakinannya terhadap leluhur. Setiap punya keinginan ia tirakat, membuat sajen, tumpeng dan segala ubo rampe. Hingga akhirnya hidupnya perlahan merangkak nikmat. Benarkah? Semua yang diraihnya dari hasil berdagang dari mulai sayuran kemudian berubah jadi perkakas dapur kemudian jualan duit alias renternir –begitulah para pengutang acapkali menyebutnya- bisa membuatnya membangun rumah, membeli kebun tebu, menyekolahkan Rahayu sampai universitas sampai akhirnya perlahan nyaris habis karena selalu “dirampas” oleh para tentara berbaju loreng yang katanya petugas negara atau siapa pun petugas negara saat itu (RT & Lurah) yang katanya membantu untuk menjaga keamanan Marni berjualan namun justru mencekik Marni habis-habisan. Bukan hanya itu, nyaris separuh hartanya juga jatuh pada selingkuhan mendiang suaminya, Teja, seorang kledek[3] beranak satu. Nasib hidupnya naik dan turun. Memang tak ada yang abadi kan, di dunia ini?
Begitu pun Rahayu. Semenjak merasa ibunya sudah melenceng jauh dari akidah agama Islam, ia memutuskan untuk merantau ke Jogja dan menikah dengan pria Arab beristri yang menjadi teman aktivisnya memperjuangkan keadilan rakyat di dekat Merapi dan daerah Magelang sana. Dia sudah lama memendam malu dan amarah tiada berkesudahan pada ibunya, maka dari itu ia berjuang dengan jalannya sendiri. Menjadi guru ngaji dan aktivis pembela rakyat. Tapi, cukup naas, ketika ia berusaha membantu keadilan sekelompok warga di daerah Jogja yang mempertahankan tanah warisan leluhur mereka yang notabene hendak dijadikan waduk oleh pemerintah, ia kehilangan suami tercinta. Ia pun akhirnya rela dicap sebagai PKI!
Rahayu lahir di era PKI tapi dia bukan PKI. Tapi justru ketika katanya PKI sudah musnah dari bumi nusantara, semua orang yang membangkang negara sudah pasti dicap PKI. Bahkan kaum minoritas seperti masyarakat keturunan Tionghoa kala itu yang sebenarnya mencari suaka berlindung yang lebih baik ketimbang negara asal leluhurnya juga dicurigai sebagai PKI karena menyembah patung dan mengistimewakan naga dan menyalakan dupa. Dan seperti yang kita tahu selama ini, kala orba, orang yang dicurigai mempunyai kaitan dengan PKI, pasti dipersulit untuk mencari makan. Apalagi di instansi pemerintahan. Rahayu pun begitu, ditengarai (lalu ia dipenjara) seorang PKI akhirnya sah dinyatakan sebagai PKI di KTPnya karena ikut “memberontak” membela sekelompok warga tadi dan melawan negara –di mata para aparat yang katanya abdi negara dan yang selama itu dielu-elukan sebagai pengayom-. Iya, mereka pengayom, tapi di balik itu mereka memeras warga meminta upah demi keamanan, bisa berupa uang, bisa juga ladang. Seperti yang dialami Marni.
Kehidupan kedua wanita yang memiliki hubungan darah ini sempat terpisah bertahun-tahun semenjak Rahayu kawin siri dengan almarhum Amri. Tapi ikatan batin ibu-anak tidak akan tergerus oleh apa pun. Marni mendapat firasat buruk tentang anaknya. Sampai akhirnya ia mendapat kabar yang dibawa tamu dari Jogja bahwa Rahayu dipenjara di Semarang. Ibu mana yang tak terenyuh dan hancur hati mendengar anaknya dipenjara padahal sepenuh keyakinan, anaknya tak akan berbuat kriminal? Seketika itu juga ia berusaha menebus pembebasan Rahayu sebesar 10 juta. Sekalipun sempat membenci ibunya, Rahayu minta maaf juga telah mendurhakai ibunya dengan mengatainya penyembah setan, renternir dan sebagainya.
Novel ini menyuguhkan cukup banyak nilai moral yang bisa diambil. Kisah, Marni dan Rahayu mengajari kita bahwa:
Wong tuwo nek bener, dijunjung. Nek wong tuwo salah, tetep diayomi dan diregani.
Orang tua jika benar, kita junjung. Jika orang tua salah, tetaplah diayomi dan dihargai.
Bukankah mereka yang selama ini mengandung, melahirkan, membesarkan, mendidik dan mendo’akan kita untuk menjadi lebih baik ketimbang mereka meskipun dengan cara yang berbeda? Siapa yang akan membela kita kalau tidak orangtua dengan harga dirinya?
Selain itu, kita diminta membuka mata hati bahwa kita sebagai negara Bhinneka Tunggal Ika harus lebih cerdas menghargai perbedaan suku, agama dan ras, bahkan jika itu terjadi di dalam keluarga inti kita.
Kita juga diminta untuk lebih mensyukuri hidup di zaman sekarang. Sekalipun hidup di negara demokrasi yang justru terkadang salah kaprah dan kebablasan (misal: presiden dicaci maki, dll) tapi mungkin itu lebih melegakan ketimbang terlalu kaku seperti orba yang sedikit saja kita menyinggung aparat pemerintahan apalagi presiden, bisa-bisa besok kita sudah tidak ada di dunia atau bahkan hilang entah ke mana. Jadi ingat kerusuhan ’98. Beberapa mahasiswa hilang yang berjuang untuk melengserkan rezim orba. Tapi, jangan lupa mendo’akan arwah para korba orba yang kita sendiri tahu, kala itu orang bisa segera mendapat bencana (ditembak/ diculik secara misterius) padahal belum tentu dia bersalah. Demi apa semua itu? Demi keamanan. Memang aman. Memang bener tagline di foto-foto alm. Presiden Soeharto “Pie? Enak zamanku to?” tapi kita tak pernah tahu konspirasi apa yang sedang terjadi dan hidup terasa mencekam (setidaknya gue tahu itu dari ibu gue. Katanya dulu pernah pulang sekolah pernah tahu mayat korban penembak misterius).
Novel ini tergolong ringan dari segi konflik tapi bisa bikin gue “nyungsep” ke dalamnya. Mungkin karena gue merasa se-Magetan kali ya? Wkwkwk. Tapi, Im serious. Novel ini menggesek emosi kita untuk merasakan ritme kehidupan Marni dan Rahayu. Tentang perjuangan wanita, tentang utang-piutang yang lucu dan nggemesin (masa’ orang yang ngutang ada yang maksa, ada yang memaki Marni karena nggak punya duit pas ditagih tapi besoknya ikutan numpang nonton TV. Haduh, kayak maling teriak maling, nggak ngaca dulu mereka yang ngutang, udah bagus Marni mau ngutangin), jatuh cinta pada lelaki yang tak diduga, sampai fitnah yang kita sendiri merasa nggak pernah melakukan. Makanya, fitnah lebih kejam ketimbang pembunuhan, kan?
Yang jelas novel ini menghadirkan kisah sejarah masa lampau dengan rapi membalut manis dan ironisnya kehidupan Marni dan Rahayu sebagai rakyat jelata tapi berjuang demi keyakinan masing-masing.
Baru kali gue baca buku intrik histori (gue nggak tahu, ikut aliran apa novel ini :p) seperti ini. Gue harap, gue bisa nemu buku-buku seperti ini lagi sebab bisa nambah pengetahuan dan tentu saja “penyegaran” setelah baca novel-novel berkisah roman.
Novel ini ceritanya mengaliiiirrr banget walau dibikin sistem selang-saling PoV (point of view)nya dari Marni-Rahayu-Marni-Rahayu.
Membumi. Iya, novel ini kisahnya membumi.  Standing applause untuk Okky Madasari.
Cacatnya? Cacatnya gue telat baca novel ini. Hahaha. Selebihnya... jangan tanya gue! Gue menikmati cerita Entrok. Simbol ketangguhan wanita. Entrok kan bikin aset wanita jadi lebih kenyal, montok dan memesona, kan? Hahaha, skip this, guys J.






[1] Saudara
[2] Bergelantung
[3] Penari Tayub