credit |
Alta sibuk
dengan data-data karyawan perusahaan penggilingan gandum. Kepalanya pusing merekap
keseluruhan data payroll: presensi
seluruh karyawan dan pengecekan ulang ketimpangan data miliknya dengan data
departemen keuangan, sungguh menguras energi. Akibatnya, selain kepalanya
serasa dihantam paku godam bertubi-tubi, rasa lapar dan lelah tak dapat
ditolaknya.
Sementara waktu
menunjukkan jam tiga sore, seharusnya Alta bersemangat pulang tapi tidak untuk
hari ini. Ia harus lembur untuk menuntaskan deadline
pekerjaannya esok hari. Alta makin stres dibuatnya.
Akhirnya Alta
sudah tidak mampu berpikir jernih lagi, dadanya sesak dan merasa gelisah. Ia
harus segera mencari udara segar tapi mengingat ruang kerjanya di lantai lima,
pasti akan membuang waktu kalau harus turun ke bawah dan keluar gedung
menghirup oksigen di luar sana. Maka, ia hanya memutar kursi putarnya 180
derajat dari semula ia menghadap. Kini, tepat di depannya sejauh matanya
memandang terhampar laut beserta perahu besi besar yang berjejeran yang baru
datang atau sedang menunggu giliran mengangkut atau menaruh kebutuhan pokok
pembuatan tepung.
Langit Surabaya
hari ini mendung pertama di awal Oktober. Warna kelabu terlihat jelas menembus
kaca sebagai dinding-dinding ruang kantor Alta. Alih-alih merasa mendung adalah
representasi kemuraman, justru Alta merasakan efek teduh. Ia juga perlahan
menghirup oksigen untuk melegakan kesesakannya tadi. Matanya yang sempat
tertutup ketika menyedot udara kembali terbuka dan memuaskan diri menyapukan pandangan
dari ujung ke ujung hamparan pemandangan di hadapannya, pemandangan khas
pelabuhan. Ia tak lupa merenggangkan keseluruhan otot tubuhnya sampai berbunyi
cetak-cetuk di beberapa bagian tubuhnya, pertanda ia amat lelah dan butuh
penyegaran. Kemudian ia menenggak air isotonik yang ada di meja sebelah kanan
tubuhnya berdiri. Segar dan lega rasanya.
Alta menarik napas
dalam, semakin melegakan. Alta pun menarik kedua ujung bibirnya ke atas.
Beberapa menit
kemudian Alta mendapati ponselnya bergetar di saku celananya. Ia segera
merogohnya sembari meletakkan botol minumannya kembali ke meja.
Di layar
ponselnya tertera satu pesan dari kakak angkatnya, Lila. Alta mendengus.
Pasti si Arif
lagi.
>> Jgn lupa hari ini km ada janji sm Arif. Jgn
kecewakan dia. <<
Alta menaikkan
sebelah alisnya.
Kecewa? Hhh! Justru aku yang kecewa. Cuma dia lelaki
yang menolakku. Yang benar saja, Alta Maulana ditolak lelaki?!
Alta mengetik
huruf demi huruf untuk kakaknya.
>> Sepertinya aku perlu bicara lg sm Mb Lila,
deh. URGENT!! <<
Alta memencet
tombol send dengan sekuat tenaga dan
membuang napasnya cepat.
Lila membalas
pesan tersebut.
>> Kalau begitu, bsk ketemuan aja, ya? Tp mlm
ini, jgn mangkir dr ajakan Arif keluar. Dia jg ingin bicara penting sm km. Plisss...
<<
Alta mendesis
keras. Kenapa harus dirinya yang berkorban? Kenapa dirinya yang menjadi umpan
untuk mantan kekasih Lila? Apa tidak ada wanita lain? Baru kali ini Alta
mengemis cinta dan sialnya ini bukan kehendaknya!
Semua berawal
dari kisah yang nyaris terjalin -kembali- dan terlarang di antara Lila dan
mantan kekasihnya, Arif. Lelaki tampan khas Indonesia yang wajahnya bisa hampir
disamakan dengan Donny Alamsyah, dan kini menjabat sebagai kepala departemen flour
blending,
departemen yang bertugas mencampur tepung dengan bahan-bahan lain sesuai dengan
permintaan customer perusahaan.
Lila dan Arif
berpacaran ketika kuliah namun kemudian putus karena Arif yang ternyata suka
“terbang” bak lebah yang hinggap ke sana-ke mari dari satu gadis ke gadis lain.
Gadis mana yang mau diperlakukan seperti itu? Tak terkecuali Lila. Lila jelas
patah hati dibuatnya. Tapi lambat laun, Lila bisa menghalau rasa sakitnya itu
dan kini menjalin bingkai rumah tangga romantis dengan lelaki pilihannya dengan
dua orang anak berusia empat tahun dan dua tahun.
Tapi setahun
lalu setelah lebih dari lima tahun tak pernah lagi bersua dengan kondisi
hubungan pasca putus yang tak baik, Lila dan Arif kembali dipertemukan di
tempat kerja yang sama. Arif melamar menjadi kepala departemen tempat Lila bekerja.
Dan seakan kebetulan sekali, Arif menggantikan posisi Lila yang dimutasi ke
departemen lain. Sungguh dunia begitu sempit. Ada saja hal yang menghubungkan
kita pada sesuatu yang pernah kita temui tanpa diduga.
Sebuah fakta
yang tak bisa dielakkan oleh kedua pribadi yang pernah dimabuk asmara itu
adalah keduanya mulai saling tertarik -kembali- seiring hubungan profesional
dan personal yang mencair. Tapi keduanya masih waras untuk tidak membiarkan
kuncup perasaan terlarang itu bersemi bahkan merekah sempurna. Mulanya mereka
bisa, bahkan Lila yakin sekali bahwa apa yang terjadi beberapa waktu lalu
dengan Arif hanya sebuah perasaan sesaat karena terbawa kenangan masa lalu.
Tapi ternyata Arif gagal. Ia tetap memikirkan Lila walau sudah disepakati
bersama antara dirinya dan Lila bahwa mereka hanya akan menjadi teman biasa.
Lalu, sekalipun sudah beda departemen, hati kecilnya tetap mendorongnya untuk
mencari-cari alasan agar bisa bertemu dengan Lila. Hal ini membuat Lila cukup frustrasi.
Ia jadi tak suka dengan kehadiran lelaki masa lalunya itu.
Rasa frustrasi
Lila membuatnya memunculkan ide “gila”. Menurutnya itu ide cemerlang. Entah
karena ia terlalu pintar atau bagaimana, yang pasti adiknya, Alta dibuatnya
menganga tak percaya. Bahkan suaminya tercinta turut mendukung ide konyol itu.
Suatu hari Lila
dan Galang menyampaikan ide itu.
“Buat dia jatuh
cinta sama kamu, dek!” celetuk Lila.
“Masa’ kamu mau
rumah tangga kami berantakan karena lelaki itu? Mbakmu ini milikku, selamanya.
Jodohku hidup-mati. Kamu sajalah yang masih menjomblo sama dia. Aku yakin dia
nggak akan menolakmu,” sahut Galang menegaskan.
Alta serasa
disambar geledek di siang hari bolong. Selama ini lelaki yang mengejarnya,
bukan dia!
Alta sempat
menolak tapi setelah tahu rupa lelaki itu seperti lelaki impiannya, Alta makin
tertantang menaklukkannya. Namun setelah turun ke lapangan menjalankan aksinya
merayu Arif bertekuk lutut, Alta lelah juga rasanya. Arif merupakan lelaki yang
konsisten mengejar keinginannya dan Lila adalah satu dari sekian banyak keinginannya.
Lelaki
sinting!, pikir Alta.
Pikiran Alta buyar
tentang permintaan “gila” kakaknya dan suaminya ketika ponselnya berdering
keras. Nama “Mbak Lila” tertera di layar ponselnya. Alta menerima panggilan
Lila.
“... Iya, nanti
aku temuin dia. Tapi tolong jangan berharap lebih, Mbak. Aku sudah mengerahkan
semua usahaku tapi dianya ngotot suka sama Mbak. Aku mau apa? Lagian dipikir-pikir
harga diriku ditaruh mana, Mbak? Malu aku Mbak, dikatain anak-anak ngemis
cinta. Ya, walaupun dia lelaki yang aku pengen tapi nggak segitunya juga,”
cerocos Alta.
Usai bicara
dengan Lila di telepon, Alta mematikan teleponnya dan kembali ke meja kerjanya.
Otaknya kembali “segar”, badannya terasa lebih enteng tapi perasaannya agak
terganggu. Kenapa urusan Arif masuk ke dalam hidupnya? Menambah PR hidupnya
saja.
***
Pukul tujuh
lebih lima belas menit, Alta keluar kantor dengan kemejanya yang kusut. Kakinya
kini beralaskan sandal ala kadarnya tapi membuatnya nyaman setelah seharian mengenakan
stiletto.
Ia memanggil
taksi dan segera meluncur ke “Cafe Sofas”, cafe dengan ciri khas sofa-sofa aneka bentuk dan rupa
yang memenuhi setiap sudut cafe tersebut.
“Dari sekian
banyak cafe, kenapa cafe ini, sih? Apanya yang move on? Ngajak cewek baru ke tempat favorit bersama mantan itu namanya
nggak move on kali, Mas. Aduh, kenapa
sih, aku menyanggupi permainan konyol Mbak Lila? Aku ini korban!” dumel Alta
berjalan menuju pintu masuk cafe tersebut.
Kalau kamu nggak suka, putuskan segera malam ini,
Al. Kamu bisa mencari lelaki lain yang kamu suka.
Seolah ada suara
yang menelusup ke dalam telinga kanan Alta.
Masalahnya Alta, sekarang nggak ada lelaki yang kamu
suka dari sekian banyak lelaki yang mengejarmu. Dan semua orang tahu bahwa
sekarang kamu mengejar bos Arif. Dunia tahu bahwa kamu menyukainya setengah
mati.
Ada suara lain
di telinga kiri Alta.
Tapi kan, kamu cuma pura-pura menyukainya, Alta.
Kamu nggak serius menyukainya. Ini cuma tipu daya mengalihkan fokus hati bos
Arif dari Lila selamanya. Kalau bos Arif benar jatuh cinta padamu, kamu mau
apa? Padahal kamu nggak suka.
Suara pertama
kembali hadir.
Sampai kapan kamu menjomblo, Alta? Kamu butuh bahu
dan dada untuk bersandar mengistirahatkan sejenak egomu mengejar status wanita
mandiri. Bagaimanapun
kamu membutuhkan lelaki yang melindungimu. Bos Arif adalah lelaki yang tepat.
Ingatlah semua usahamu ditolak mentah-mentah olehnya tapi dia tak benar-benar mengabaikanmu
setiap kali kamu butuh bantuan. Apakah itu kebetulan? Tidak. Bahkan dia pernah menyelamatkanmu
dari kecelakaan maut. Dia menggendongmu yang berlumuran darah. Dan kamu dalam
setengah sadarmu mendengar dia berteriak panik bahkan pipimu merasa air matanya
menetes begitu saja di pipimu yang berdarah. Keringatnya dan darahmu pernah
menyatu.
Suara dua
menyeloroh.
Alta menepuk-nepuk
kedua telinganya. Halusinasi suara! Rasanya dirinyalah yang gila, bukan Lila
dan Galang.
“Kenapa berdiri
di sini?” Sebuah suara mengusir suara-suara tak bertuan tadi.
“Mas Arif?” Alta
kaget Arif berdiri di depannya.
“Aku sudah
nungguin dari tadi? Ayo,” Arif langsung menggandeng tangan Alta yang sempat
berdiri mematung di ambang pintu masuk cafe.
Alta memprotes
Arif yang cukup kasar menggandengnya dan mendudukkannya paksa di sofa cafe,
berhadapan dengan Arif.
“Mas, baru kali
ini aku diperlakukan seperti ini.”
“Aku tahu. Semua
yang ada padaku, perlakuanku ke kamu, semuanya adalah hal pertama buatmu, kan?
Aku tahu. Aku heran kenapa kamu beda sekali sama Lila, ya? Ketus.”
Alta mendelik ke
arah Arif. “Jangan mencoba membandingkan aku sama Mbak Lila! Sekalipun aku
menyayanginya walau dia bukan kakak kandungku tapi aku tetap nggak mau
dibanding-bandingkan! Aku tahu aku nggak bisa menjadi wanita paket lengkap
seperti Mbak Lila. Dia ngerti teknik tapi pinter masak dan bersolek sekali
waktu. Dia bisa pasang lampu sendiri tapi dia nggak ngeluh pakai kebaya. Dia
pimpinan yang tegas tapi dia manis sama anak-anaknya bahkan bisa beromantis ria
dengan puisi-puisinya. Iya, puisi-puisi syahdu kalian semasa pacaran. Aku tahu.”
“Apa?” tanya
Arif mencondongkan tubuh ke arah Alta.
“Kenapa? Kaget?
Aku tahu. Karena dia dulu sering menunjukkannya padaku. Bahkan ada beberapa
yang dimuat di koran mingguan. Mas tahu? Dan sekarang puisi-puisi itu tersimpan
rapi dan sungguh anugerah Mas Galang nggak marah akan semua itu. Nah,
seharusnya Mas bisa merelakan bahwa Mbak Lila itu sudah punya kehidupan sendiri
dengan suami tercintanya. Berpikir sehatlah sedikit, Mas! Jangan bertingkah Mas
masih pacarnya atau hanya sekedar mencuri pandang pada Mbak Lila. Dosa Mas, dosa!
Jangan membebani Mbak Lila dengan rasa bersalah pada Mas Galang. Buatlah
hidupmu bermanfaat untuk orang lain. Salah satunya dengan tidak membebani istri
orang,” sergah Alta berapi-api tanpa jeda.
Arif justru
menyodorkan air mineral untuk Alta.
Alta melirik
botol itu sekejap. “Kamu pikir lucu?”
“Enggak. Aku cuma
lihat kamu kehausan ngomong panjang lebar,”
Alta salah
tingkah. Apa lagi ya, yang harus dikatakannya untuk benar-benar menghentikan
langkah Arif yang selalu tegap lurus
menuju ke arah Lila?
Alta merasa
malam ini ia harus menuntaskan semuanya. Ia sudah tidak tahan terus
berpura-pura. Lelaki di depannya tampaknya tak akan pernah mundur dari niatnya.
Lelaki di depannya memang sinting dan Alta tak punya alasan lagi mencegah orang
sinting terus melaju. Alta lelah. Di luar sana banyak lelaki menunggu cintanya,
kenapa ia berkutat dalam kebohongan dengan lelaki di depannya?
“Alta, aku ingin
bicara sesuatu.”
“Ya!” potong
Alta segera.
“Aku tahu
kedatanganmu bukan kebetulan. Aku juga tahu kedatanganmu akhirnya menjadi
sebuah rencana untukku. Rencana Lila untuk menghentikan langkahku memilikinya.
Samudra sepertiku memang nggak akan pernah puas hanya dengan satu atau dua
bahtera tapi aku sadar bahtera seperti Lila menguras konsentrasiku untuk terus
mengajaknya bertualang sekalipun dia sudah terpancang pada sebuah dermaga...”
belum usai Arif bicara, Alta kembali memotong.
“Dermaga,
samudra, bahtera. Aku sudah pernah membacanya dari buku kumpulan puisi Mbak Lila.
Bicaralah secara gamblang Mas, aku nggak suka berpuisi. Ingat, aku bukan Mbak Lila.
Aku Alta Maulana!” tegas Alta.
“Tapi kamu
membacanya, kan?”
“Aku nggak
sengaja.”
“Oke, lupakan
itu. Izinkan aku bicara sampai tuntas.”
Alta terdiam,
tanda ia mengabulkan permintaan Arif.
“Tapi sayangnya
aku ini manusia biasa, bukan samudra dalam arti sebenarnya. Dan aku juga lelah
jika terus bertualang dengan banyak bahtera apalagi menguras tenaga untuk
menghantam bahtera yang sudah terpancang ke dermaga sejatinya... ”
Alta melengos, bosan
mendengar istilah demi istilah yang menganalogikan diri Arif dan Lila.
“Alta perhatikan
aku,” pinta Arif. Alta melakukannya.
Arif memberi
kode agar Alta memajukan dirinya ke arah Arif.
“Aku ingin
memastikan sesuatu bahwa aku ini manusia biasa yang juga mengalami lelah dan
ingin ada yang bisa mengisi ulang energiku sebagai manusia bukan sebagai
samudra.”
Waktu seolah
berhenti sejenak. Arif mengunci bibir Alta dengan bibirnya. Alta tertegun
seketika dan akhirnya sungguh salah tingkah.
“Bagaimana
rasanya? Apa ini membayar kejengkelanmu atas penolakanku?” tanya Arif sesaat
setelah menarik tubuhnya dari Alta.
Alta terlonjak.
Penghinaan macam apa ini? Mengejar Arif lalu ditolak adalah penghinaan apalagi
dicium di depan umum juga penghinaan terlebih dengan alasan yang dilontarkan
Arif. Dikiranya Alta wanita murahan?!
“Cukup, Mas!
Jangan karena nggak bisa mendapatkan Mbak Lila kembali, kamu bisa memanfaatkanku.
Aku memang diminta Mbak Lila membuatmu jatuh cinta padaku tapi bukan seperti ini.
Menolakku lalu barusan apa?” sergah Alta. “Maaf, aku merasa kamu sudah
menghinaku,” lanjutnya sambil membereskan
tasnya dan beringsut dari sofa.
Arif spontan menahannya.
“Tunggu! Tolong duduk kembali. Kita luruskan semuanya,” pinta Arif. Alta kembali
duduk dengan hati yang penuh amarah.
“Aku nggak
bermaksud merendahkanmu. Aku hanya ingin memastikan apakah aku sudah
benar-benar jatuh hati padamu. Semenjak kecelakaan itu, aku merasa jantungku
sering merasa nggak karuan. Aku takut sekali kehilangan kamu, Ta. Aku nggak tahu
kenapa. Tapi rasa takut menyerangku mendadak kala itu. Semenjak itu pikiranku
terpecah antara kamu sama Lila. Tapi sejujurnya, usahamu yang pantang menyerah membuat
hatiku goyah. Dan malam ini aku mencoba membuktikannya.”
Alta menelan
ludah, kini jantungnya yang serasa melompat-lompat hendak keluar dari tempatnya.
“Lalu apa hasil
uji cobamu?” tanya Alta berusaha bersuara mantab.
Arif memandang
mata Alta yang belok dan jernih dengan begitu lembut tapi pasti menghujam ke
jantung Alta. Buktinya Alta makin dibuat kikuk terpaku.
“Jadilah
istriku,” cetus Arif.
Alta merasa
jantungnya baru saja mencelos keluar.
“Aku
mencintaimu. Jadilah istriku.”
“Apa kamu
pensiun menjadi samudra?”
“Enggak. Sudah
aku bilang, aku manusia. Samudra, dermaga, bahtera hanya rekayasa, hanya analogiku semata. Nanti akan
aku buatkan analogi romantis lainnya untuk kita berdua,” ujar Arif sembari
tersenyum tapi tak sukses membuat Alta tersenyum membalasnya.
“Denganku jangan
suka berpuisi! Sudah kubilang aku nggak suka puisi. Aku nggak mau berkencan
hanya mendengarmu berpuisi. Sesekali aku ingin mendengarmu bernyanyi.”
“Well, kita akan berkaraoke sampai puas
nanti pada kencan resmi kita yang pertama,” sahut Arif mantab.
“Jadi ini bukan
kencan namanya?” tanya Alta memiringkan kepalanya.
“Jadi kamu ingin
menyebutnya kencan? Oke, kita berkencan.”
Keduanya
terkekeh bahagia.
-SELESAI-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Ditunggu kritik dan saran membangun yah :)