Senin, 24 Februari 2014

Samudra Telah Purna

credit

Alta sibuk dengan data-data karyawan perusahaan penggilingan gandum. Kepalanya pusing merekap keseluruhan data payroll: presensi seluruh karyawan dan pengecekan ulang ketimpangan data miliknya dengan data departemen keuangan, sungguh menguras energi. Akibatnya, selain kepalanya serasa dihantam paku godam bertubi-tubi, rasa lapar dan lelah tak dapat ditolaknya.
Sementara waktu menunjukkan jam tiga sore, seharusnya Alta bersemangat pulang tapi tidak untuk hari ini. Ia harus lembur untuk menuntaskan deadline pekerjaannya esok hari. Alta makin stres dibuatnya.
Akhirnya Alta sudah tidak mampu berpikir jernih lagi, dadanya sesak dan merasa gelisah. Ia harus segera mencari udara segar tapi mengingat ruang kerjanya di lantai lima, pasti akan membuang waktu kalau harus turun ke bawah dan keluar gedung menghirup oksigen di luar sana. Maka, ia hanya memutar kursi putarnya 180 derajat dari semula ia menghadap. Kini, tepat di depannya sejauh matanya memandang terhampar laut beserta perahu besi besar yang berjejeran yang baru datang atau sedang menunggu giliran mengangkut atau menaruh kebutuhan pokok pembuatan tepung.
Langit Surabaya hari ini mendung pertama di awal Oktober. Warna kelabu terlihat jelas menembus kaca sebagai dinding-dinding ruang kantor Alta. Alih-alih merasa mendung adalah representasi kemuraman, justru Alta merasakan efek teduh. Ia juga perlahan menghirup oksigen untuk melegakan kesesakannya tadi. Matanya yang sempat tertutup ketika menyedot udara kembali terbuka dan memuaskan diri menyapukan pandangan dari ujung ke ujung hamparan pemandangan di hadapannya, pemandangan khas pelabuhan. Ia tak lupa merenggangkan keseluruhan otot tubuhnya sampai berbunyi cetak-cetuk di beberapa bagian tubuhnya, pertanda ia amat lelah dan butuh penyegaran. Kemudian ia menenggak air isotonik yang ada di meja sebelah kanan tubuhnya berdiri. Segar dan lega rasanya.
Alta menarik napas dalam, semakin melegakan. Alta pun menarik kedua ujung bibirnya ke atas.
Beberapa menit kemudian Alta mendapati ponselnya bergetar di saku celananya. Ia segera merogohnya sembari meletakkan botol minumannya kembali ke meja.
Di layar ponselnya tertera satu pesan dari kakak angkatnya, Lila. Alta mendengus.
Pasti si Arif lagi.
>> Jgn lupa hari ini km ada janji sm Arif. Jgn kecewakan dia. <<
Alta menaikkan sebelah alisnya.
Kecewa? Hhh! Justru aku yang kecewa. Cuma dia lelaki yang menolakku. Yang benar saja, Alta Maulana ditolak lelaki?!
Alta mengetik huruf demi huruf untuk kakaknya.
>> Sepertinya aku perlu bicara lg sm Mb Lila, deh. URGENT!! <<
Alta memencet tombol send dengan sekuat tenaga dan membuang napasnya cepat.
Lila membalas pesan tersebut.
>> Kalau begitu, bsk ketemuan aja, ya? Tp mlm ini, jgn mangkir dr ajakan Arif keluar. Dia jg ingin bicara penting sm km. Plisss... <<
Alta mendesis keras. Kenapa harus dirinya yang berkorban? Kenapa dirinya yang menjadi umpan untuk mantan kekasih Lila? Apa tidak ada wanita lain? Baru kali ini Alta mengemis cinta dan sialnya ini bukan kehendaknya!
Semua berawal dari kisah yang nyaris terjalin -kembali- dan terlarang di antara Lila dan mantan kekasihnya, Arif. Lelaki tampan khas Indonesia yang wajahnya bisa hampir disamakan dengan Donny Alamsyah, dan kini menjabat sebagai kepala departemen flour blending, departemen yang bertugas mencampur tepung dengan bahan-bahan lain sesuai dengan permintaan customer perusahaan.
Lila dan Arif berpacaran ketika kuliah namun kemudian putus karena Arif yang ternyata suka “terbang” bak lebah yang hinggap ke sana-ke mari dari satu gadis ke gadis lain. Gadis mana yang mau diperlakukan seperti itu? Tak terkecuali Lila. Lila jelas patah hati dibuatnya. Tapi lambat laun, Lila bisa menghalau rasa sakitnya itu dan kini menjalin bingkai rumah tangga romantis dengan lelaki pilihannya dengan dua orang anak berusia empat tahun dan dua tahun.
Tapi setahun lalu setelah lebih dari lima tahun tak pernah lagi bersua dengan kondisi hubungan pasca putus yang tak baik, Lila dan Arif kembali dipertemukan di tempat kerja yang sama. Arif melamar menjadi kepala departemen tempat Lila bekerja. Dan seakan kebetulan sekali, Arif menggantikan posisi Lila yang dimutasi ke departemen lain. Sungguh dunia begitu sempit. Ada saja hal yang menghubungkan kita pada sesuatu yang pernah kita temui tanpa diduga.
Sebuah fakta yang tak bisa dielakkan oleh kedua pribadi yang pernah dimabuk asmara itu adalah keduanya mulai saling tertarik -kembali- seiring hubungan profesional dan personal yang mencair. Tapi keduanya masih waras untuk tidak membiarkan kuncup perasaan terlarang itu bersemi bahkan merekah sempurna. Mulanya mereka bisa, bahkan Lila yakin sekali bahwa apa yang terjadi beberapa waktu lalu dengan Arif hanya sebuah perasaan sesaat karena terbawa kenangan masa lalu. Tapi ternyata Arif gagal. Ia tetap memikirkan Lila walau sudah disepakati bersama antara dirinya dan Lila bahwa mereka hanya akan menjadi teman biasa. Lalu, sekalipun sudah beda departemen, hati kecilnya tetap mendorongnya untuk mencari-cari alasan agar bisa bertemu dengan Lila. Hal ini membuat Lila cukup frustrasi. Ia jadi tak suka dengan kehadiran lelaki masa lalunya itu.
Rasa frustrasi Lila membuatnya memunculkan ide “gila”. Menurutnya itu ide cemerlang. Entah karena ia terlalu pintar atau bagaimana, yang pasti adiknya, Alta dibuatnya menganga tak percaya. Bahkan suaminya tercinta turut mendukung ide konyol itu.
Suatu hari Lila dan Galang menyampaikan ide itu.
“Buat dia jatuh cinta sama kamu, dek!” celetuk Lila.
“Masa’ kamu mau rumah tangga kami berantakan karena lelaki itu? Mbakmu ini milikku, selamanya. Jodohku hidup-mati. Kamu sajalah yang masih menjomblo sama dia. Aku yakin dia nggak akan menolakmu,” sahut Galang menegaskan.
Alta serasa disambar geledek di siang hari bolong. Selama ini lelaki yang mengejarnya, bukan dia!
Alta sempat menolak tapi setelah tahu rupa lelaki itu seperti lelaki impiannya, Alta makin tertantang menaklukkannya. Namun setelah turun ke lapangan menjalankan aksinya merayu Arif bertekuk lutut, Alta lelah juga rasanya. Arif merupakan lelaki yang konsisten mengejar keinginannya dan Lila adalah satu dari sekian banyak keinginannya.  Lelaki sinting!, pikir Alta.
Pikiran Alta buyar tentang permintaan “gila” kakaknya dan suaminya ketika ponselnya berdering keras. Nama “Mbak Lila” tertera di layar ponselnya. Alta menerima panggilan Lila.
“... Iya, nanti aku temuin dia. Tapi tolong jangan berharap lebih, Mbak. Aku sudah mengerahkan semua usahaku tapi dianya ngotot suka sama Mbak. Aku mau apa? Lagian dipikir-pikir harga diriku ditaruh mana, Mbak? Malu aku Mbak, dikatain anak-anak ngemis cinta. Ya, walaupun dia lelaki yang aku pengen tapi nggak segitunya juga,” cerocos Alta.
Usai bicara dengan Lila di telepon, Alta mematikan teleponnya dan kembali ke meja kerjanya. Otaknya kembali “segar”, badannya terasa lebih enteng tapi perasaannya agak terganggu. Kenapa urusan Arif masuk ke dalam hidupnya? Menambah PR hidupnya saja.
***
Pukul tujuh lebih lima belas menit, Alta keluar kantor dengan kemejanya yang kusut. Kakinya kini beralaskan sandal ala kadarnya tapi membuatnya nyaman setelah seharian mengenakan stiletto.
Ia memanggil taksi dan segera meluncur ke “Cafe Sofas”, cafe dengan ciri khas sofa-sofa aneka bentuk dan rupa yang memenuhi setiap sudut cafe tersebut.
“Dari sekian banyak cafe, kenapa cafe ini, sih? Apanya yang move on? Ngajak cewek baru ke tempat favorit bersama mantan itu namanya nggak move on kali, Mas. Aduh, kenapa sih, aku menyanggupi permainan konyol Mbak Lila? Aku ini korban!” dumel Alta berjalan menuju pintu masuk cafe tersebut.
Kalau kamu nggak suka, putuskan segera malam ini, Al. Kamu bisa mencari lelaki lain yang kamu suka.
Seolah ada suara yang menelusup ke dalam telinga kanan Alta.
Masalahnya Alta, sekarang nggak ada lelaki yang kamu suka dari sekian banyak lelaki yang mengejarmu. Dan semua orang tahu bahwa sekarang kamu mengejar bos Arif. Dunia tahu bahwa kamu menyukainya setengah mati.
Ada suara lain di telinga kiri Alta.
Tapi kan, kamu cuma pura-pura menyukainya, Alta. Kamu nggak serius menyukainya. Ini cuma tipu daya mengalihkan fokus hati bos Arif dari Lila selamanya. Kalau bos Arif benar jatuh cinta padamu, kamu mau apa? Padahal kamu nggak suka.
Suara pertama kembali hadir.
Sampai kapan kamu menjomblo, Alta? Kamu butuh bahu dan dada untuk bersandar mengistirahatkan sejenak egomu mengejar status wanita mandiri. Bagaimanapun kamu membutuhkan lelaki yang melindungimu. Bos Arif adalah lelaki yang tepat. Ingatlah semua usahamu ditolak mentah-mentah olehnya tapi dia tak benar-benar mengabaikanmu setiap kali kamu butuh bantuan. Apakah itu kebetulan? Tidak. Bahkan dia pernah menyelamatkanmu dari kecelakaan maut. Dia menggendongmu yang berlumuran darah. Dan kamu dalam setengah sadarmu mendengar dia berteriak panik bahkan pipimu merasa air matanya menetes begitu saja di pipimu yang berdarah. Keringatnya dan darahmu pernah menyatu.
Suara dua menyeloroh.
Alta menepuk-nepuk kedua telinganya. Halusinasi suara! Rasanya dirinyalah yang gila, bukan Lila dan Galang.
“Kenapa berdiri di sini?” Sebuah suara mengusir suara-suara tak bertuan tadi.
“Mas Arif?” Alta kaget Arif berdiri di depannya.
“Aku sudah nungguin dari tadi? Ayo,” Arif langsung menggandeng tangan Alta yang sempat berdiri mematung di ambang pintu masuk cafe.
Alta memprotes Arif yang cukup kasar menggandengnya dan mendudukkannya paksa di sofa cafe, berhadapan dengan Arif.
“Mas, baru kali ini aku diperlakukan seperti ini.”
“Aku tahu. Semua yang ada padaku, perlakuanku ke kamu, semuanya adalah hal pertama buatmu, kan? Aku tahu. Aku heran kenapa kamu beda sekali sama Lila, ya? Ketus.”
Alta mendelik ke arah Arif. “Jangan mencoba membandingkan aku sama Mbak Lila! Sekalipun aku menyayanginya walau dia bukan kakak kandungku tapi aku tetap nggak mau dibanding-bandingkan! Aku tahu aku nggak bisa menjadi wanita paket lengkap seperti Mbak Lila. Dia ngerti teknik tapi pinter masak dan bersolek sekali waktu. Dia bisa pasang lampu sendiri tapi dia nggak ngeluh pakai kebaya. Dia pimpinan yang tegas tapi dia manis sama anak-anaknya bahkan bisa beromantis ria dengan puisi-puisinya. Iya, puisi-puisi syahdu kalian semasa pacaran. Aku tahu.”
“Apa?” tanya Arif mencondongkan tubuh ke arah Alta.
“Kenapa? Kaget? Aku tahu. Karena dia dulu sering menunjukkannya padaku. Bahkan ada beberapa yang dimuat di koran mingguan. Mas tahu? Dan sekarang puisi-puisi itu tersimpan rapi dan sungguh anugerah Mas Galang nggak marah akan semua itu. Nah, seharusnya Mas bisa merelakan bahwa Mbak Lila itu sudah punya kehidupan sendiri dengan suami tercintanya. Berpikir sehatlah sedikit, Mas! Jangan bertingkah Mas masih pacarnya atau hanya sekedar mencuri pandang pada Mbak Lila. Dosa Mas, dosa! Jangan membebani Mbak Lila dengan rasa bersalah pada Mas Galang. Buatlah hidupmu bermanfaat untuk orang lain. Salah satunya dengan tidak membebani istri orang,” sergah Alta berapi-api tanpa jeda.
Arif justru menyodorkan air mineral untuk Alta.
Alta melirik botol itu sekejap. “Kamu pikir lucu?”
“Enggak. Aku cuma lihat kamu kehausan ngomong panjang lebar,”
Alta salah tingkah. Apa lagi ya, yang harus dikatakannya untuk benar-benar menghentikan langkah Arif yang  selalu tegap lurus menuju ke arah Lila?
Alta merasa malam ini ia harus menuntaskan semuanya. Ia sudah tidak tahan terus berpura-pura. Lelaki di depannya tampaknya tak akan pernah mundur dari niatnya. Lelaki di depannya memang sinting dan Alta tak punya alasan lagi mencegah orang sinting terus melaju. Alta lelah. Di luar sana banyak lelaki menunggu cintanya, kenapa ia berkutat dalam kebohongan dengan lelaki di depannya?
“Alta, aku ingin bicara sesuatu.”
“Ya!” potong Alta segera.
“Aku tahu kedatanganmu bukan kebetulan. Aku juga tahu kedatanganmu akhirnya menjadi sebuah rencana untukku. Rencana Lila untuk menghentikan langkahku memilikinya. Samudra sepertiku memang nggak akan pernah puas hanya dengan satu atau dua bahtera tapi aku sadar bahtera seperti Lila menguras konsentrasiku untuk terus mengajaknya bertualang sekalipun dia sudah terpancang pada sebuah dermaga...” belum usai Arif bicara, Alta kembali memotong.
“Dermaga, samudra, bahtera. Aku sudah pernah membacanya dari buku kumpulan puisi Mbak Lila. Bicaralah secara gamblang Mas, aku nggak suka berpuisi. Ingat, aku bukan Mbak Lila. Aku Alta Maulana!” tegas Alta.
“Tapi kamu membacanya, kan?”
“Aku nggak sengaja.”
“Oke, lupakan itu. Izinkan aku bicara sampai tuntas.”
Alta terdiam, tanda ia mengabulkan permintaan Arif.
“Tapi sayangnya aku ini manusia biasa, bukan samudra dalam arti sebenarnya. Dan aku juga lelah jika terus bertualang dengan banyak bahtera apalagi menguras tenaga untuk menghantam bahtera yang sudah terpancang ke dermaga sejatinya... ”
Alta melengos, bosan mendengar istilah demi istilah yang menganalogikan diri Arif dan Lila.
“Alta perhatikan aku,” pinta Arif. Alta melakukannya.
Arif memberi kode agar Alta memajukan dirinya ke arah Arif.
“Aku ingin memastikan sesuatu bahwa aku ini manusia biasa yang juga mengalami lelah dan ingin ada yang bisa mengisi ulang energiku sebagai manusia bukan sebagai samudra.”
Waktu seolah berhenti sejenak. Arif mengunci bibir Alta dengan bibirnya. Alta tertegun seketika dan akhirnya sungguh salah tingkah.
“Bagaimana rasanya? Apa ini membayar kejengkelanmu atas penolakanku?” tanya Arif sesaat setelah menarik tubuhnya dari Alta.
Alta terlonjak. Penghinaan macam apa ini? Mengejar Arif lalu ditolak adalah penghinaan apalagi dicium di depan umum juga penghinaan terlebih dengan alasan yang dilontarkan Arif. Dikiranya Alta wanita murahan?!
“Cukup, Mas! Jangan karena nggak bisa mendapatkan Mbak Lila kembali, kamu bisa memanfaatkanku. Aku memang diminta Mbak Lila membuatmu jatuh cinta padaku tapi bukan seperti ini. Menolakku lalu barusan apa?” sergah Alta. “Maaf, aku merasa kamu sudah menghinaku,” lanjutnya sambil  membereskan tasnya dan beringsut dari sofa.
Arif spontan menahannya. “Tunggu! Tolong duduk kembali. Kita luruskan semuanya,” pinta Arif. Alta kembali duduk dengan hati yang penuh amarah.
“Aku nggak bermaksud merendahkanmu. Aku hanya ingin memastikan apakah aku sudah benar-benar jatuh hati padamu. Semenjak kecelakaan itu, aku merasa jantungku sering merasa nggak karuan. Aku takut sekali kehilangan kamu, Ta. Aku nggak tahu kenapa. Tapi rasa takut menyerangku mendadak kala itu. Semenjak itu pikiranku terpecah antara kamu sama Lila. Tapi sejujurnya, usahamu yang pantang menyerah membuat hatiku goyah. Dan malam ini aku mencoba membuktikannya.”
Alta menelan ludah, kini jantungnya yang serasa melompat-lompat hendak keluar dari tempatnya.
“Lalu apa hasil uji cobamu?” tanya Alta berusaha bersuara mantab.
Arif memandang mata Alta yang belok dan jernih dengan begitu lembut tapi pasti menghujam ke jantung Alta. Buktinya Alta makin dibuat kikuk terpaku.
“Jadilah istriku,” cetus Arif.
Alta merasa jantungnya baru saja mencelos keluar.
“Aku mencintaimu. Jadilah istriku.”
“Apa kamu pensiun menjadi samudra?”
“Enggak. Sudah aku bilang, aku manusia. Samudra, dermaga, bahtera hanya  rekayasa, hanya analogiku semata. Nanti akan aku buatkan analogi romantis lainnya untuk kita berdua,” ujar Arif sembari tersenyum tapi tak sukses membuat Alta tersenyum membalasnya.
“Denganku jangan suka berpuisi! Sudah kubilang aku nggak suka puisi. Aku nggak mau berkencan hanya mendengarmu berpuisi. Sesekali aku ingin mendengarmu bernyanyi.”
Well, kita akan berkaraoke sampai puas nanti pada kencan resmi kita yang pertama,” sahut Arif mantab.
“Jadi ini bukan kencan namanya?” tanya Alta memiringkan kepalanya.
“Jadi kamu ingin menyebutnya kencan? Oke, kita berkencan.”
Keduanya terkekeh bahagia.
-SELESAI-









Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ditunggu kritik dan saran membangun yah :)