Jumat, 07 Februari 2014

Hati-Hati Jatuh Hati Sama Sahabat Sejati

credit: google pict


Judul              : Antologi Rasa (AR)
Penulis            : Ika Natassa
Penerbit          : PT Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit : 2011
Tebal/ Jumlah Halaman: 344 halaman

Aslinya, gue mah telat banget baca buku ini dan mereviewnya tapi tak apa, ya? Gatel nih, tangan gue nulisnya.
Jadi, begini...
Baca judulnya gue kira ini kumcer (kumpulan cerita), seperti yang banyak orang mulanya pikir. Antologi + Rasa= Antologi Rasa. Oh, ternyata novel. Biasa aja. Apalagi baca sinopsisnya di belakang kaver. Tambah biasa. Gue nggak suka baca cinta-cintaan sama sahabat sendiri. Makanya, gue udah tiga kali menunda beli novel ini. Ragu sama ceritanya. Tapi akhirnya beli karena di mana-mana heboh sama tokoh namanya Harris Risjad yang hot, katanya.
Oke, masuk ke pembahasan.
Novel ini ceritanya 4 sahabat diwarnai (atau bahkan diracuni?) yang namanya “bumbu” CINTA. Tapi pada nggak ngerasa semuanya dicintai sama sahabatnya alias nggak berbalas semua. Jadi, 4 tokoh ini orang metropolis yang kerjanya di bidang yang sama (perbankan) dan mereka pernah sekolah di luar negeri semua (eh, Harris juga ga, ya? Ah, lupa :p). Mereka ketemuan dan jadi best friend in the end semenjak masih masa training gitulah. Terus tumbuh deh, benih-benih cinta yang gila-ya-bertahun-tahun-betah-banget-nggak-diomongin-ke-orangnya. Tokoh Harris suka Keara. Keara suka Ruly. Ruly cinta abadi sama Denise sampai dia bersuami. Nah, bisa nangkep maksudnya antologi rasa? Kumpulan perasaan dari 4 tokoh ini.
Alurnya dimulai dari Keara (cewek player dan metropolis parah) yang mellow sama kisah cinta diam-diam dan tak berbalasnya sama Ruly yang alim, anteng dan ganteng. Nah... sedangkan si Rully pakai kaca mata kuda hanya buat melihat Denise melulu. Dan lebih kasihannya si Harris, si PK (Penjahat Kelamin) cinta mati sama Keara. Tapi apalah daya karena alasan persahabatan akhirnya ya sudahlah, Harris milih jadi banci aja alias nutupin perasaannya. Gedek nggak tuh!
Jalan ceritanya enak dibaca, mengalir. Tapi dengan PoV yang beralih-alih dari satu tokoh ke tokoh lain. Ini disebut apa, ya? Orang ketiga pertama? Jadi, penulis tahu semua isi otak tokoh dengan menulis “aku” untuk masing-masing tokoh. Dan... dan... karena pakai “aku” itu, jadinya rasanya perasaan ini juga dikoyak-koyak. Bbahh! Keren kali aku bicaranya “dikoyak-koyak”. Ya habis, setiap “aku” meratapi cintanya ke “dia” padahal “aku” ada di sini sedangkan “dia” memuji-menangis-memfrustasikan diri demi “dia” yang lain. Alamakkk...  nggak sakit gimana? Yah, cobalah kita berempati, kalau kita sendiri yang merasa. Tapii.... sayang endingnya ngetwist. Tapi bagus juga sih, ketimbang siapa sama siapa akhirnya (bisa jadi) bikin kecewa.
Gue suka novel ini karena menunjukkan kehidupan metropolis parah. Dan setiap orang yang baca ini kudu open minded dengan label “metropolis” ini. Rentetan nama alkohol, pola hidup konsumtif, deretan merek baju + tas + sepatu atau apalah, gaya relasi be-basnya (grepe-grepe dan atau kissing dengan semangatnya), dan beberapa wawasan nama-nama restoran dan makanan asing (tapi nggak semuanya, sih), nama-nama penyanyi jazz atau para pembalap F1 yang gue (jujur) cengok dibuatnya. Tapi dari novel ini, kita bisa tahu kehidupan orang kita di kota kayak apa dan bisa ambil tuh, mana positif sama mana yang enggak. Karena ada bagian manis dan heart-warming banget. Ketika Keara inget tentang ayahnya yang meninggal akibat kecelakaan pesawat dan betapa Ruly kagum dan nggak sangka-sangka Keara bisa bermanis-manis sama nenek-nenek penjual kerupuk juga sama pedagang pasar di Bali. Terus ada juga yang mencolok banget. Ya, kisah cinta nggak berbalas Harris dan Keara. Mereka “rusak” tapi kalau sudah cinta, ya cuma sama satu orang aja. Emang beneran ada? Entahlah. Tapi salutnya, di sini disisipin sisi humanisnya. It’s mean, orang kota yang katanya liberal + kapitalis + hedonis, nggak semuanya keblinger. Masih punya hati nurani.
Dan, ah... penulis, Ika Natassa ini memang sadis kalau bikin narasi bahkan pendialogan. To the point, meaningfull dan sarkastis nggak lupa (dan begitu juga novel satunya yang udah gue baca, “A Very Yuppy Wedding” (AVYW)). Ya, coba aja gue coba inget-inget ya, kata apa aja yang diulang: f*ck, monyet (untuk manggil nama sohib), bastard, MILF (ini silakan gooling sendiri, yah?). Well, tapi itu justru “menyelamatkan” novel ini dari aturan orang Indonesia kebanyakan. Maksudnya, kalau misal itu dibahasakan dalam bahasa Indonesia, udah kena sensor di mana-mana kali. Mungkin. Dan bikin pembaca polos (kayak gue? hwehehe) menganga lebar. Tapi, seriously,  gue suka banget-parah-sekali sama gaya ceritanya orang pinter satu ini. Iya, dia pinter, dia banker sukses, pelukis, pengelola LitBox (company yang bergerak di bidang literasi, bisa cek ke @ikanatassa) dan ini yang selalu gue kagum sama orang yang pernah hidup di luar negeri tapi nggak lupa sama Indonesianya, makanya nulis novelnya juga bahasanya campur-campur rujak begitu. Meskipun campuran banget bahasanya (maksa gue ngecek kamus sesekali, secara kemampuan bahasa inggris gue cetek) tapi gaya ceritanya lincah dan nggak bermenye-menye ala penyair gitu.
Oh, iya, penulis juga selalu pinter ngebangun karakter tokohnya. Totalitas. “Rusak” sekalian rusak. Kasar sekalian kasar tapi... tetep pada batas yang ditolerir, menyesuaikan sama lokalitas budaya Indonesia. Cuma ya... rasanya udah dua kali baca bukunya Ika tapi hasrat untuk jatuh hati sama tokoh (cowok)nya nggak setergila-gila buku lain (yang pernah gue baca. Misal: John Hayden di trilogi Abandon-Meg Cabot, Adit di Eiffel... I’m in Love-Rachmania Arunita, Reva di Dil3ma-Mia Arsjad –tapi jatuh hati buat nonjokin mukanya Reva yang kurang ajar-). Atau karena gue suka tipe cowok jutek bin dingin bin perhatian bin akan bertekuk lutut sama satu cewek saja? Bukan cowok yang ramah kayak Adjie (AVYW) atau Ruly atau flamboyan Harris? Ini mah, selera ya. Hehehe. Terus konfliknya sih, merakyat banget, merakyat versi orang metropolis maksudnya.
Novel ini juga nggak ada romantis-romantisnya -menurut gue- tapi ada part yang emang menyentuh emosi (sedih maupun lucunya) dan tentu saja bisa diambil apa yang bisa kamu ambil. Toh menurut gue, novel ini (jelas) bukan ditulis cuma untuk slogan “just for fun”. Dan catet! Bisa buat mengatasi rasa jengkel kamu ke orang lain karena banyak kata-kata yang bisa buat varian kata kamu mengumpat orang yang kamu benci itu. Kamu jadinya bebas mencaci-maki dalam hati.
Inget juga, AR ini bacaan untuk usia 18+ ya. Hihihi. Memang nggak ada adegan ranjangnya tapii... kata-katanya nggak begitu cocok untuk yang di bawah umur. Hehehe.
Overall... gue tetep suka karena khusus novel ini, gue bisa ngerasain cinta bertepuk sebelah tangan kayak masing-masing tokoh. Rasanya kacau. Apalagi sama sahabat sendiri, bikin tambah nggak nyaman. Salah-salah kita disangka menodai arti persahabatan.
But, enjoy your reading. Gue nggak bermaksud meracuni otakmu yang niat baca AR. Asli asik, guys.  ^_^*

*@agustin_sudjono



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ditunggu kritik dan saran membangun yah :)