Minggu, 23 Juni 2013

Pangeranku (tak) Oedipus Complex

Pangeranku (tak) Oedipus Complex

Bel rumah Citra berdentang berulang kali. Citra mendengar itu dari kamar mandi tapi ia jelas tak akan merelakan momen pembuangan “sampah-sampah” perutnya berakhir begitu saja. Momen itu adalah momen “ternikmat” dimana id seseorang menuntut untuk dipenuhi dan ketika id dipenuhi memang ada kepuasaan tersendiri. Setidaknya begitulah yang dikatakan Sigmund Freud[1], tokoh psikologi yang merupakan founder aliran psikoanalisa dikutip oleh Candra, kakak lelaki Citra sang calon psikolog. Dibiarkannya saja bel itu berbunyi berulang-ulang.
Usai membuang hajat, Citra bergegas melihat siapa tamu yang datang di siang hari bolong, waktu dimana orang menuju istirahat siangnya di hari Minggu.
“Cari siapa, Mas?” celetuk Citra keluar dari pintu garasi rumahnya. Sosok itu membalikkan diri.
Well, persis adegan sinetron atau film-film romantis, seolah bumi berhenti berputar, jam berhenti berdetak, daun-daun yang berjatuhan tertahan lebih dulu melayang di udara, angin juga berkonspirasi untuk mengabadikan momen pertemuan muda dan mudi ini. Hanya beberapa detik, alam kembali ke posisi semula. Semua tahu, ini hanya hiperbola saja. Tapi tidak untuk Citra. Dia memang takjub, terkesima, merasa bertemu pangeran entah turun dari mana. Bohong besar jika turun dari khahyangan. Tapi Citra tak jua menemukan jawaban dalam waktu yang begitu singkat, mengapa ada cowok tampan seperti itu di hadapannya?
Citra hanyut dalam keterpukauannya. Cukup. Maksudnya cukup berkali-kali cowok itu mencoba “membangunkan” Citra dari itu.
“Oh, iya, Mas, cari siapa?” Citra mengulang lagi tanya tanpa melenyapkan rasa kagumnya.
“Pak Sigit ada?” tanya cowok itu balik.
“Ayah? Ayah lagi keluar sama mama keluar kota. Nanti malem baru sampai mungkin. Ada perlu apa, Mas? Mungkin bisa nanti aku sampaikan,” jawab Citra.
“Oh, enggak usah. Besok lagi aja kalau ketemu di GOR. Makasih, ya,” cowok itu mengucap dengan menyunggingkan senyumnya.
@@@
Matahari terus muncul dan menghilang menjalankan tugasnya menyinari belahan bumi Citra berada dan kemudian berganti belahan bumi lainnya. Berulang kali. Entah sudah ke berapa kali semenjak perjumpaan pertama Citra dengan cowok itu sampai ia bertemu lagi suatu kali. Selama itu pula perasaan Citra nampaknya semakin hari semakin berbahagia. Arus lalu lintas sketsa cowok itu tak pernah berhenti di otaknya, dua puluh empat jam non-stop dan terus berulang, seolah tak akan pernah soak jika diibaratkan roll film.
Cowok itu ternyata bernama Ragil, siswa kelas tiga SMA 2 Pagi paling berprestasi di bidang taekwondo. Namanya sudah masuk jajaran atlet taekwondo tingkat nasional untuk atlet seusianya. Ayah Citra adalah pelatihnya semenjak Ragil masih duduk di bangku kelas enam SD. Hanya beberapa bulan terakhir ini ketika ayah Citra sibuk mengurusi sekolah S-3 nya di PTN terkemuka di Surabaya, Ragil dilatih oleh asisten ayah Citra, Diana.
@@@
Citra menemani ayahnya yang melatih anak didiknya ketika sang surya sudah tergelincir dari puncak tertingginya. Citra menyelipkan maksud terbesarnya datang menemani ayahnya. Tentu saja si Ragil. Maka dari itu semenjak di rumah ia sudah menyiapkan kamera digital canggihnya yang berharga jutaan rupiah kado ayahnya untuk ulang tahunnya ke tujuh belas dua bulan lalu. Ia akan sepuasnya membidik berbagai momen Ragil berpose.
Duduk tak jauh dari mereka yang berlatih, Citra sudah belasan kali membidikkan lensa kameranya ke arah Ragil. Tentu saja berkamuflase seolah memotret kegiatan latihan secara keseluruhan. Bohong besar dilakukan Citra.  Di sisi lain, Ragil tersenyum sendiri. Citra tak tahu. Dan hal ini sudah berkali-kali terjadi, tak hanya kali ini.
Usai latihan Citra hendak pulang bersama ayahnya. Sebelum pulang ia hendak memberanikan diri menyapa Ragil. Tapi no! Mendadak kakinya berat melangkah menghampiri Ragil yang mengambil langkah cepat menuju parkiran motornya. Entah penggambaran fisiologis macam apa yang mewakili kondisi Citra, intinya ia tak berani menyapa Ragil. Ia urungkan saja niat itu lalu mengikuti langkah ayahnya menuju mobil mereka diparkir tepat di depan seberang pintu GOR. Tapi ia sempat melirikkan matanya ke arah Ragil. Di sana tak hanya Ragil yang akan menunggangi motornya. Seorang cewek. Tak asing bagi Citra. Diana. Agak kecewa. Ada hubungan apa mereka berdua? Citra tak bisa berhenti bertanya-tanya tapi akhirnya dia lupa sendiri.
@@@
Jam dinding kamar Citra menunjukkan pukul setengah delapan malam. Citra terpekur memperhatikan layar laptopnya. Di sana puluhan foto Ragil berseragam taekwondo dalam berbagai pose sudah terkumpul dalam satu folder berformat rar. berjudul “Pangeran”. Folder itu ia sembunyikan di balik folder-folder berlapis-lapis dan memberikan kata kunci untuk membukanya.
“JEGREKK!” suara pintu kamar Citra terbuka. Citra gelagapan tak keruan. Ia segera menutup semua file foto Ragil dan setengah menutup laptopnya.
“Mas Candra... ketuk pintu dulu, dong!” protes Citra.
“Sori, sori, aku buru-buru. Pinjem modem dong, dek! Pulsa modemku abis,”
Citra segera mengambilkan modem miliknya di laci di bawah meja di hadapannya.
Candra melangkah keluar kamar usai itu. Citra merasa aman untuk membuka kembali foto-foto Ragil. Tapi tiba-tiba...
“Dek, sejak kapan kamu pasang aturan harus ketuk pintu dulu? Aku kok nggak pernah tahu, ya?” ujar Candra melongok dari balik pintu.
Citra menoleh dan jantungnya berdebar cepat. Seketika ia memegangi laptopnya setengah menutupnya lagi.
“Sejak... sejak hari ini,” sahutnya salah tingkah.
“Oh begitu. Gara-gara yang di foto itu ya? Hehehe,” kata Candra sambil mengangkat kedua alisnya bersamaan.
Citra memberikan kode agar kakaknya segera enyah dari balik pintu kamarnya dengan menendang-nendangkan kakinya ke udara. Candra justru tertawa lebar sembari meninggalkan kamar Citra.
Citra mengembalikan laptopnya pada posisi semula. Ia mengambil nafas lega. Tapi uppsss... foto Ragil terpampang jelas di layar. Pantas saja kakaknya langsung menggodanya. Rasanya tadi Citra sudah menutup semua foto Ragil. Tapi kenapa bisa begini?
@@@
Perasaan Citra kian hari kian bertumbuh semenjak Ragil  sering bertandang ke rumahnya menemui ayahnya. Alasannya banyak, untuk urusan taekwondo yang akan menjalani turnamen, alasan pesanan orangtua ayah Ragil, alasan mengambil berkas ini dan itu dan alasan-alasan lain. Tapi sekalipun sering bertamu, Citra jarang bertatap muka langsung dengan Ragil. Ia hanya bisa mengendap-endap memperhatikan Ragil dari balik kaca, dari balik tirai, dari “persembunyian”nya.
Citra menyadari pertumbuhan perasaannya makin tak bisa dibendung lagi. Ia harus bicara. Tapi menurut Della, sahabatnya, cewek tak boleh mengutarakan cintanya terlebih dahulu. Tapi menurut Candra, cinta itu untuk dibagi, maka utarakan rasa itu pada orang yang disayangi. Nah... dilema, Citra yang rasakan saat ini.
Suatu hari di GOR. Citra membawa semangat yang selalu berkobar setiap kali pergi ke tempat Ragil berada. Di dalam GOR semua orang sibuk berlatih, termasuk ayahnya yang sedang melatih. Citra menuju tempat ia sering duduk memperhatikan Ragil. Kali ini ia tak akan membidik pose-pose Ragil. Esok hari saja ketika Ragil mewakili Jawa Timur menghadapi perwakilan provinsi Jawa Tengah. Hanya lensa mata Citra saja yang jeli merekam semua aksi Ragil dan menyimpannya di memori otaknya.
Citra terus menenggak air mineral selama ia menunggui para atlet seusianya berlatih sampai-sampai kandung kemihnya memberikan sinyal sudah tak muat lagi. Kemudian ia bergegas ke toilet.
Usai dari toilet ia hendak kembali ke arena berlatih tapi langkah kakinya terhenti pada suatu titik dan matanya seolah diarahkan ke suatu sudut tepat di depan ruang ganti atlet yang hendak ia lewati. Citra menyembunyikan diri segera di balik tembok. Samar-samar ia mendengarkan percakapan dua sosok yang tak asing baginya.
“Jangan sekarang, Gil,” ujar seorang cewek. Citra mengenali suara itu.
“Kalau bukan sekarang kapan lagi, Di? Aku butuh kejelasan hubungan kita,”
Citra membuka telinga lebar-lebar agar informasi yang masuk utuh ia dapatkan.
 “Ragil...” suara cewek itu memanggil lengkap nama cowok itu. Citra membelalak spontan.
Ragil??!!
“... beri aku waktu lagi. Setidaknya kita tunggu waktu yang tepat meyakinkan orang-orang di sekelilingku, tentu juga di sekelilingmu. Beri aku waktu! Tolong!” sambung cewek itu.
“Diana, aku akan bersabar. Akan aku buktikan aku sabar menunggumu,”
Kepala Citra seketika cenut-cenut. Ia tak salah dengar dan tak salah lihat. Dua sosok itu mengutarakan perasaan. Sakit di kepala Citra merambat ke hati Citra yang terasa seolah dicabik-cabik kuku macan. Citra merasa matanya lalu berkunang-kunang, sekelilingnya memburam. Tubuhnya mulai hilang keseimbangan dan terhuyung ke belakang. Tapi ada seseorang yang sigap menangkap tubuh Citra.
Ragil?
Ia tak yakin itu Ragil tapi ia tak lupa bagaimana sketsa wajah Ragil.
@@@
Citra bangun dari pingsannya. Di hadapannya wajah Ragil terpampang jelas. Citra langsung merasa hatinya pilu. Cowok di hadapannya, Ragil yang tadi mengungkapkan rasa cinta pada Diana, cewek yang jauh lebih tua.
“Kamu tadi pingsan. Gimana rasanya sekarang?” sahut Ragil mencondongkan tubuhnya ke arah Citra dan memijakkan kedua tangannya di pinggir tempat tidur.
“Sakit,” kata itu meluncur begitu saja dari mulut Citra.
“Bagian mana yang sakit?” tanya Ragil segera.
Citra menatap Ragil. Citra menggeleng dan justru spontan bangkit duduk. Ia memegangi kepalanya yang terasa sakit.
“Pelan-pelan,” saran Ragil.
“Aku mau pulang. Ayah mana?”
“Pak Sigit tadi buru-buru ke kampus. Kamu diserahin ke aku. Jadi, nanti aku yang antar kamu pulang,”
 “Nggak perlu, aku pulang sendiri saja,”
Citra beranjak dari tempat tidur. Ia berjalan terseok-seok menuju keluar. Citra berjalan makin tak seimbang dan nyaris ambruk. Kembali Ragil menahannya. Kemudian keduanya segera berdiri sendiri-sendiri. Citra hendak melanjutkan jalannya tapi tangan Ragil menahannya.
“Cit, tunggu!”
Citra menoleh dengan malas.
“Sejujurnya aku suka sama kamu, Cit,” lanjut Ragil.
Citra memasang wajah heran.
“Bagaimana bisa kamu mengutarakan cinta pada dua cewek dalam sehari? Aku nggak ngerti jalan pikiranmu,”
“Kamu sudah salah paham, Cit. Yang kamu lihat itu tadi keliru,”
“Keliru bagaimana?”
“Itu bukan Ragil aku, tapi Ragil kembaranku. Nama kami bernama depan Ragil. Dia Ragil Atmajaya dan aku Ragil Wijaya,”
Citra bengong. Yakin tak yakin. Ayahnya juga tak pernah cerita Ragil punya kembaran.
“Lalu yang selama ini yang aku --”
“Jelas aku. Ragil Wijaya. Yang sering jahil ke kamu pas SD itu aku, yang kamu temui pertama kali di balik pagar besi rumah kamu setelah sekian lama kita tidak bertemu karena kamu ikut nenekmu di Pekanbaru itu aku, yang sering bertandang ke rumahmu itu aku dengan berbagai alasan, yang sering kamu foto itu aku dan mungkin juga yang sering membuatmu tak bisa tidur beberapa waktu terakhir itu juga aku,” jelas Ragil teersenyum menggoda.
“Aku nggak percaya! Mana mungkin?” sahut Citra segera.
Ragil menyambung lagi ceritanya tentang ia dan kembarannya. Menurutnya, Citra jelas tak tertukar selama ini. Citra membidik sosok yang benar. Dirinya jelas. Citra juga menjatuhkan perasaan yang tepat kepada dirinya. Dirinya yang memang seorang atlet taekwondo semenjak kecil karena ketidaktertarikannya terhadap pelajaran akademis. Hal ini karena dirinya didiagnosa mengalami disleksia. Ia tak pernah bisa mengingat pelajaran. Memandang tatanan huruf saja ia sering merasa huruf-huruf itu melayang-layang tak beraturan dan sering tertukar-tukar. Semenjak itu Ragil benci sekolah. Bahkan ketika SMP ia pernah tak naik kelas. Hal ini berbeda dengan saudara kembarnya. Saudara kembarnya berotak genius. Sekolahnya saja mengambil jalur akselerasi. Tak heran di usianya ke sembilan belas ia sudah semester tujuh jurusan kedokteran di PTN ternama di Surabaya dan sedang merintis tugas akhir menuju sarjana kedokteran. Hingga akhirnya keduanya terdiferensiasi. Ragil Atmajaya cenderung ke akademis, Ragil Wijaya cenderung ke ketrampilan olah tubuh.
Citra menyimak cerita Ragil dan mencerna kata demi kata Ragil. Ia paham dan ia merasa lega.  Kemudian berselang beberapa menit terdengar suara memanggil nama Ragil yang ada di samping Citra. “Wija,” Ternyata suara cowok yang wajahnya memang sangat mirip dengan Ragil. Namanya juga Ragil. Panggilannya Atma, menurut apa yang didengar Citra dari Wija tadi.
Citra menganga. Ia baru percaya seratus persen.
“Aku buru-buru ke kampus. Ini kunci mobilnya, aku bareng Diana aja,” terang Atma.
“Sudah baikan ceritanya?” sahut Wija.
“Yah, begitulah...” sahut Atma tersenyum.
Citra melongo sambil menggerak-gerakkan kedua bola matanya ke kanan dan ke kiri memperhatikan dua kembaran di depannya. Persis. Pinang dibelah dua. Ayahnya cerdas bisa membedakannya keduanya.
Atma bergegas pergi menghampiri Diana yang sudah menunggu di parkiran. Diana melambaikan tangan ke arah Citra dan Wija. Wija membalasnya dengan lambaian tangan sementara Citra tersenyum sekilas.
“Hei, sampai kapan kita berdiri di sini? Aku ogah menggendongmu lagi, berat,” celetuk Wija. Citra melengos seketika ke arah Wija dan berekspresi manyun.
“Siapa suruh gendong. Sudah tahu berat,”
“Ya masa’ aku biarin kamu pingsan di tempat. Ayok cabut!” Wija memegang telapak tangan Citra seketika dan langsung menariknya.
“Eittss... kemana kita?” tanya Citra tak mengerti.
“Kencan perdana,” sahut Wija singkat pada dan jelas.
Senyum Citra merekah segera.
@@@





[1] Sigmund Freud merupakan tokoh psikologi yang memperkenalkan teori psikoanalisa yang menitikberatkan masa lalu dan ketidaksadaran. Id merupakan salah satu struktur kepribadian bagian dari teori psikoanalisanya (selain ego dan super ego). Id dimiliki seseorang sejak lahir yang punya prinsip kesenangan hasil pemenuhan terhadap kebutuhan. Jika kebutuhan ini tidak segera dipenuhi maka akan muncul kecemasan dan ketegangan. Contoh lain selain pembuangan air besar sebagai kebutuhan yang harus segera dipenuhi adalah kebutuhan rasa haus atau rasa lapar yang sudah ada sejak manusia masih bayi.

Sabtu, 22 Juni 2013

Perkara Waktu, Jam Tangan dan Cinta

Matahari sudah di ufuk barat, sebentar lagi bersiap menjemput senja. Egi sudah mengecek menit per menit bahkan detik per detik jarum jam elegan maskulin di tangan kirinya. Dia berdecak lidah berulang kali sembari melongok ke kanan, ke kiri, ke depan juga ke belakang.
“Selalu telat,” desis Egi mulai bermuka masam.
Sekitar lima menit kemudian dari kejauhan, di ujung depan matanya seorang cewek berlari tergopoh-gopoh membawa tas yang digamit di lengan kanannya, tas laptop yang menggantung di lengan tangan sebelah kiri dan kedua telapak tangannya mendekap tas berisi kumpulan berkas-berkas yang ia usahakan tak jatuh.
“Astaga...” gumam Egi ketika cewek itu semakin dekat berjalan ke arahnya.
“Halo!” sapa cewek itu tersenyum lebar.
Egi menggelengkan kepala pelan lalu memberi kode menunjukkan jarinya ke jam tangannya.
“Sori, telat. Baru selesai meeting,” sambung cewek itu tersenyum. “Aku duduk, ya?” tanya cewek itu langsung duduk di samping Egi. Egi menggeser posisinya beberapa senti.
“Jam kamu kemana?” cetus Egi setelah mereka berdua nyaman duduk bersama.
“Ng?” Cewek itu menoleh pada Egi. “Oh, jamku ketinggalan,” sahutnya.
“Rosa....” seru Egi setelah sebelumnya dengan sengaja giginya saling bergesekan atas dan bawah. “Sudah berapa kali aku bilang, jangan pernah lupa pakai jam! Kamu tahu aku ini amat sangat benci orang terlambat, nggak tahu waktu, nggak menghargai waktu! Kamu tahu apa akibatnya ada kata terlambat? Pasien rumah sakit bisa meninggal karena dokternya telat, rumah bisa kebakaran kalau orang telat sedikit sadar lupa matiin kompor, bahkan sistem perekonomian kita jauh tertinggal karena up date info bursa efek ketinggalan dari waktu seharusnya. Dan kamu tahu kan, pepatah lama bahwa kalau kita telat bangun, ayam jago yang matuk rejeki kita duluan, tahu kamu?!” suara Egi berentetan dan nadanya naik satu level lebih tinggi.
Rosa mengambil nafas panjang, melirik Egi yang ngos-ngosan mengomelinya. Ini bukan pertama kali buatnya. Rosa sudah tak mau ambil pusing. Dia memang harus sabar dengan tipe orang seperti Egi yang no santai, bawel dan mister sempurna. Berulang kali Rosa mengelus dada, menepok jidat, menggaruk kepala, dia tak akan berusaha mengubah perangai kekasihnya. Itu khas Egi. Kalau diubah rasanya Egi tak akan jadi lelaki yang menarik lagi. Walau dulunya Rosa tak menyangka Egi seperti itu tapi itulah alasan Rosa cinta mati pada Egi semenjak dulu sampai kapan pun.
“Maaf... kan, yang penting aku sudah di sini, menuhi janjiku. Lagi pula cuma telat lima belas menit,”
Egi sontak berdiri lalu menyergah,“Lima belas menit katamu?! Lima belas menit itu waktu yang pentingnya krusial banget bagi mereka yang sedang berbisnis dengan klien. Meleset sedikit, klien ogah. Bahkan sistem  pengganda uang di internet yang sekarang marak itu, meleset sedetik, kamu hilang uang ratusan juta bahkan milyaran! Ngerti kamu?!” Nafas Egi agak tersengal-sengal.
“Kamu itu terlalu santai! Disiplinlah sedikit! Disiplin dimana pun kamu ada! Itu salah satu faktor kamu akan dihargai, dipercaya! Nggak heran setelah dua tahun kerja kamu belum dipromosikan!” Egi meloloskan kata-kata yang mujarab itu, menghunus ke jantung Rosa. Egi mendadak tubuhnya kaku. Ia melirik ke arah Rosa yang ada di belakangnya. Ia ingin memastikan reaksi wajah Rosa tapi ia masih menunggu timing yang tepat.
Kekhawatiran Egi benar, Rosa melotot ke arah Egi yang sekarang ngomel-ngomel sambil berdiri membelakanginya. Rasanya dadanya dihantam batu godam. Masalah pekerjaan adalah masalah yang sensitif bagi Rosa. Ia sempat bekerja “kutu loncat” hinggap di satu perusahaan ke perusahaan lain tak lebih dari lima bulan dan perusahaannya sekarang adalah perusahaan yang dia incar selama ini. Asisten produksi di perusahaan pertelevisian paling bergengsi dan kreatif di negeri ini adalah pekerjaan yang amat ia idamkan walau tak sejalan lurus dengan bidang ilmu yang selama ini ia tekuni. Tiga kali Rosa berusaha menembus lowongan pekerjaan di sana, baru yang ketiga kali ia lolos dan bertahan sampai dua tahun.
Setelah dadanya seolah dihantam benda keras, Rosa kembali berusaha berdamai dengan keadaan, dirinya dan Egi, tentunya. Dia bukan bodoh terus menuruti kemauan Egi. Ini juga bukan disebut menuruti kemauan Egi tapi lebih tepatnya berdamai di jalan tengah dengan Egi.
Egi. Lelaki itu sudah memberikan cukup banyak hal untuk dirinya. Ingatan delapan tahun lalu menyeruak keluar secara mendadak di pikiran Rosa. Pertama kali ia bertemu Egi. Kala itu Rosa terjebak di antara kerumunan mahasiswa yang berdemo secara destruktif di depan kantor pemerintah kota. Rosa nyaris saja dihantam kayu pentungan tapi segera Egi beraksi heroik menyeret Rosa keluar dari hiruk-pikuk yang mengancam keselamatannya. Tanpa ba bi bu apalagi sesi perkenalan, Egi meninggalkan Rosa di sebuah warung di sebuah jalan kecil yang cukup aman dari jangkauan para demonstran.
Beberapa hari kemudian Rosa tahu siapa Egi melalui koran kampus, Warta Kampus.
Pahlawan Lini Terdepan, Egi Arizki, Berdarah-darah Melawan Pemerintahan Bobrok
Egi Arizki, Presiden BEM....

Demikian judul berita sekaligus kalimat pembuka yang tertulis di halaman pertama kampusnya dan Egi. Rosa seketika merasa tubuhnya kaku. Bergegaslah ia ke rumah sakit menjenguk Egi, sang super hero yang sudah menyelamatkannya dari kebrutalan demo kenaikan BBM kala itu.
Rosa memberanikan diri menjenguk Egi dengan sebuah bingkisan buah-buahan di tangannya. Sesampainya di ujung koridor Bougenvill, koridor yang salah satunya terdapat kamar Egi dirawat inap, Rosa mendapati banyak orang di sana, tampaknya sama-sama mahasiswa seperti dirinya. Mungkin itu teman-teman Egi sesama aktivis. Rosa menghentikan langkahnya, ia jadi ragu.
Beberapa menit kemudian orang-orang yang terdiri dari lelaki dan perempuan itu berhamburan pelan keluar kamar Egi, Rosa menyembunyikan diri, di balik tanaman pot yang berdiri cukup menjulang di sampingnya. Ketika Rosa sudah mendapati semua orang itu pergi, Rosa mengumpulkan lagi keberaniannya untuk menjenguk Egi. Langkah demi langkah ia imbangi dengan nafas yang sengaja ia atur sedemikian rupa dengan harapan semoga Egi tak lupa siapa dirinya.
Oke, kini Rosa lolos melewati garis pintu kamar Egi, berjalan mendekati Egi dan menaruh bingkisannya di meja.
“Halo,” sapa Rosa melempar senyum. Egi justru menatapnya heran.
Rosa menunjuk dirinya sendiri seraya berkata, “Yang kemarin lusa Mas seret ke warung dari kerumunan pendemo,”
Egi masih mengerutkan keningnya, tanda tak mengerti. Kemudian ia menggeleng.
“Masa’ lupa, sih?” tanya Rosa tak percaya, harapannya tak terwujud. “Okelah nggak apa. Aku Rosa, Psikologi angkatan baru. Aku turut prihatin atas kecelakaan ini. Makanya aku ke sini ingin tahu gimana kondisi Mas Egi? Bener kan, Mas Egi?” Egi mengangguk. “Dan aku bawakan sedikit buah. Kalau begitu aku langsung pamit, ya,”
Rosa menghilang dari pandangan Egi begitu saja. Semenjak itu hari terus berlalu tanpa memberikan kesempatan rasa ingin tahu Rosa terhadap sosok Egi terpenuhi sepuasnya, secuilnya saja tidak. Setiap kali Rosa hendak mendekati Egi selalu saja ada halangan sampai tak ada lagi waktu untuk berbasa-basi bagi Rosa tahu segalanya tentang super heronya itu. Rosa semakin sibuk dengan kuliah dan magangnya, Egi makin sibuk untuk meraih gelar sarjana ilmu sosial dan politiknya dan tiada lagi ingatan tentang siapa itu “Rosa”. Sepertinya Rosa hanya seperti bus antarkota yang melintas begitu saja di depannya yang entah akan ia temukan kembali atau tidak karena saking banyaknya bus antarkota tujuan jarak jauh.
Memori demi memori tentangnya dan Egi terus berdesak-desakan ingin keluar dari tempatnya. Rosa tersenyum. Ia lagi-lagi tak bisa marah pada Egi.
“Marahnya ditunda dulu, ya?” usul Rosa ramah. Egi mendengus sebal begitu saja dan melirik Rosa yang meringis. Lagi-lagi Egi tak bisa lebih dari ini. Ia tak bisa marah dengan begitu murka pada pemilik wajah teduh yang selama tiga tahun terakhir selalu ada untuknya.
“Sudah adzan maghrib, kita sholat di masjid deket gapura sana, ya?” lanjut Rosa beranjak dari duduknya memungut tiga tas yang membuat jalannya sempoyongan.
“Sini, aku bawain satu,” tawar Egi langsung menyahut tas laptop Rosa.
“Makasih ya, Sayang...” sahut Rosa melirik Egi dan menyunggingkan senyuman di bibirnya.
Rosa sudah pada rukun sholat yang terakhir. Kembali rangkaian memori tentangnya dan Egi muncul di otaknya.
Memori Rosa menerobos ulang lorong waktu ke masa lalu kala itu. Usai menapaki labirin-labirin kehidupan yang seolah seperti tiada berujung, Rosa yang sudah berjuang keras meraih gelar sarjana kini harus menghadapi labirin kehidupan yang baru, dunia kerja. Hutan yang sebenarnya. Ternyata labirin ini memertemukannya dengan super heronya.
Rosa harus menghadiri jadwal interview pekerjaan yang dilamarnya. Ia berusaha keras bisa datang tepat waktu. Tapi hari itu Rosa memang harus berjuang amat sangat keras. Naik bus kota penuh sesak dan bau, oper naik angkot yang jalannya menyendat-nyendat bahkan mogok, oper angkot lain tapi tak sampai tepat depan kantor kemudian oper lagi naik becak dan oke finally kantor yang ia tuju di depan mata. Rosa mengecek note kecil di tasnya. Lantai 5. Hem, Rosa bertekad kuat! Tapi sesampainya di depan lift, ia disambut tempelan kertas bertuliskan “MAAF LIFT SEDANG DALAM PERBAIKAN”. Rosa secepat kilat menghampiri tangga dan terus berjuang sampai titik darah penghabisan. Tapi... belum juga itu terwujud dan baru dua lantai berhasil ia taklukkan, tiba-tiba saja sebuah tabrakan tak bisa terelakkan. Seketika kertas-kertas HVS berhamburan di depannya. Lelaki yang ditabraknya ngedumel tidak jelas. Ketika Rosa sibuk meminta maaf dan membantu memunguti kertas-kertas itu, Rosa tak salah dengar ketika si lelaki mengeluh keringat tangannya mengenai lembaran-lembaran HVS yang sudah penuh dengan tinta bernama dokumen itu.
”Aduh, luntur! Ah, ini tangan nggak bisa dibuat kerja sama!”
Rosa segera merogoh tasnya mencoba mencari sapu tangan di sana. Sapu tangan hijau muda itu ia serahkan pada lelaki itu. “Ini, Mas! Mungkin bisa membantu,”.
Dan akhirnya mata mereka bertemu pandang.
“Terim---” Lelaki itu terputus bicara. “Mas Egi!” seru Rosa. Lelaki itu justru mengernyitkan dahi.
“Rosa yang dulu Mas seret pas rusuh demo kenaikan BBM, lima tahun lalu!” imbuh Rosa, tampak ia tak pernah lelah mencoba membuat Egi ingat siapa dirinya, terlebih sudah bertahun-tahun tak bersua.
Lelaki itu tak mau ambil pusing. Ia segera memunguti kertas-kertasnya dan memegang erat sapu tangan Rosa.
Terima kasih, ya? Sapu tanganmu saya bawa dulu. Oh, ya saya di bagian humas, ya? Maaf, saya buru-buru,”. Lelaki itu langsung pergi.
Ya, lelaki itu Egi. Dia tidak membantah Rosa menyebut Egi tapi kenapa dia masih tak ingat siapa Rosa. Rosa yang semula sumringah bertemu lagi tiba-tiba bermuram durja. Apa mungkin amnesia selama itu? Kalau sudah sembuh dari amnesia, apa Egi tidak menganggapnya apa-apa setelah waktu itu? Setidaknya ingat wajah yang pernah dia tolong.
Rosa jadi menekuk-nekuk wajahnya dan pertemuannya dengan Egi memberikan efek pada nasib Rosa sebagai pelamar. Dia harus berusaha menaklukkan anak tangga dari lantai tiga ke lantai lima dan ini membuatnya kehilangan cukup banyak menit. Ia terlambat sepuluh menit kurang semenit. Interviewer yang juga manajer langsung divisi yang ia lamar sudah out dari ruangan dan bersiap meeting di tempat lain. Tiada lagi kesempatan. Perusahaan itu dan terlebih manajer bersangkutan merupakan orang yang amat patuh terhadap waktu. No toleransi terhadap keterlambatan, apa lagi untuk pelamar baru. Ini perusahaan trading yang butuh kecepatan dan ketepatan, meminimalisasi human error kecuali kecelakaan dan bencana alam. Titik.
Well, harapan Rosa pupus untuk perusahaan itu tapi tidak untuk yang lain. Ia mengadu nasib ke tempat lain. Ia juga harus “melambaikan tangan” untuk Egi. Biarkan sapu tangan itu untuk Egi. Atau setidaknya itu alasan untuknya kembali bertemu Egi suatu saat, entah kapan.
Rosa mendapat tempat mengadu nasib yang baru. Lumayan ketimbang dirinya menganggur di rumah. Tapi karir Rosa tak berhenti sampai di situ. Ia masih ingin bertualang. Cita-cita besarnya adalah masuk perusahaan pertelevisian ternama di negeri ini. Sayang, ia sering tak beruntung. Akhirnya ia harus memendam keinginan itu untuk sementara waktu dan kembali fokus pada dunia yang sedang dihadapinya. Ia kerjakan dengan setulus hati semua tanggungjawab pekerjaannya. Seiring dengan itu waktu jua yang memertemukannya dengan Egi dan juga karir yang diidam-idamkannya.
Kisah di setiap pertemuan mereka klasik sih, tapi itulah yang terjadi. Kali ini di pusat perbelanjaan. Egi tak sadar kartu debitnya sudah habis masa aktifnya. Ia tak bawa uang cash. Rosa muncul dan jadi “pahlawan”nya.
“Sapu tanganmu saja belum aku kembalikan. Sekarang kamu bayarin belanjaanku,” ujar Egi ketika mereka berjalan keluar gedung supermarket.
“Tenang saja, Mas! Ini bukan apa-apa ketimbang penyelamatan nyawa bertahun-tahun lalu,” tungkas Rosa. Lalu ia mengambil secarik kertas dan bulpen. Ia mencoret-coret di sana. “Ini nomor teleponku. Kalau mau balikin sapu tangan dan bayar hutang, telepon ke sini,” imbuh Rosa sambil menyodorkan kertas bertuliskan nomor tak bernama itu pada Egi. Lalu Rosa melangkah pergi.
“Kamu tinggal dimana? Bisa aku antar Rosalina Sari Dewi?” suara Egi agak meninggi karena Rosa sudah cukup jauh darinya.
Rosa menghentikan langkahnya segera. Nama itu nama lengkapnya. Rosa menelan ludah. Ia memutar drastis ke belakang.
“Kok... kok tahu nama lengkapku?” tanya Rosa gelagepan.
“Mantan jurnalis Warta Kampus yang ngeliput demo kenaikan BBM beberapa tahun lalu, kan? Orang yang sering ngirim buah dan bunga ke Bougenville 15 atas nama Egi Arizki? Mantan pelamar staff HRD perusahaan trading Cakra Buana Logistic? Pemilik sapu tangan dengan tulisan @RosaSD? Dan tentunya pemilik e-KTP ini?” Egi bicara tanpa jeda dan semuanya tepat sasaran sampai sebuah kartu menggantung di depan wajahnya dan depan wajah Rosa.
“Hehehe, iya...” Rosa tampak malu-malu, tak sangka Egi begitu tahu siapa dirinya aslinya. Lalu tangannya mencoba meraih e-KTP miliknya.
“Eittss, tunggu!” potong Egi. “Aku antar kamu pulang, baru kamu dapetin semua yang kamu mau. Lebih afdhol ketemu dan bicara langsung dong, daripada di telepon?” Egi tersenyum manis memberikan penawaran yang tidak ada pilihan kedua. Sungguh ini bukan sihir atau sulap, senyuman Egi memang meluluhkan hati Rosa.
Finally, semenjak saat itu keduanya meniti kehidupan bersama. Bermula dari pendekatan, lebih dekat... lalu dekat... kemudian dekat... dan akhirnya serius menjadi pasangan kekasih.
Egi dan Rosa saling bersinergi satu sama lain untuk bisa memberikan motivasi demi cita-cita yang ingin mereka capai. Egi selalu ada untuk Rosa, Rosa selalu siap menjadi penopang Egi. Jika diibaratkan jari-jemari tangan kanan dan kiri, mereka berdua seperti jari-jemari yang saling tersemat untuk menghasilkan energi yang lebih dahsyat dibandingkan dengan kepalan sebelah tangan saja.
Memori-memori itu kembali masuk ke tempatnya. Anteng di sana setelah Rosa mengucap sebuah untaian kata penuh harap pada Sang Illahi Rabbi.
“Kami sudah sejauh ini, Tuhan. Perkokohlah benteng cinta di antara kami setelah janji suci itu kami ucapkan di hadapanMu. Izinkan kami saling mencintai sampai mati hanya karena Diri-Mu semata.” Rosa meraupkan kedua telapak tangannya ke wajahnya. Kemudian ia segera beres-beres menyusul Egi yang sudah menunggu di luar masjid.
“Sudah?” tanya Egi. Rosa mengangguk tersenyum.
“Rosa... tanganmu kenapa?” Mata Egi mendelik fokus ke tangan Rosa. Rosa lupa tak mengembalikan singsingan lengan panjang kemejanya ke posisi semula. Mereka berdua bicara sambil melangkah keluar dari area masjid, menuju taman kota kembali yang hanya beberapa langkah dari pintu gerbang masjid.
“Bukan hal serius gimana?!”
“Mas, ini bukan apa-apa, kok,” Rosa berdusta.
“Coba lihat.” Egi meraih tangan kekasihnya. Lalu dia menatap Rosa tajam. “Kenapa sih, ini?”
“Itu... itu alergi karena... karena jam tangan sejak SMP, sampai sekarang belum juga hilang. Tapi itu sudah mendingan ketimbang dulu. Sudah agak memudar tompel-tompelnya itu, hehehe, ” terang Rosa takut-takut. Ia takut Egi marah karena tak jujur soal itu dan tentunya soal kenapa ia tak pernah mengenakan jam tangan pemberian Egi selama ini.
“Ya Rabbi... Sayang... kenapa kamu nggak pernah bilang, sih? Dan tololnya aku juga selama ini nggak tahu kamu alergi pakai jam tangan,”
“Nggak Mas... ini bukan hal penting diributkan. Alergiku sudah nggak apa-apa. hanya saja aku nggak mau pakai jam tangan lagi, apa pun bahannya. Entah, kulitku ini dipakai’in karet nggak bisa, stainless juga nggak bisa. Sekali pun jam tangan bisa aku pakai di atas deker rasanya masih risih. Serasa gatal-gatal. Satu hal juga yang perlu kamu tahu, dari kecil aku nggak bisa pakai perhiasan emas-emasan. Ya, jadi gatal-gatal gitu. Ya, mungkin sugestiku sendiri, sih,” Rosa bicara panjang lebar. “Maaf ya, nggak cerita-cerita. Aku kira jam di hape sudah cukup untuk menyesuaikan jadwal kita bertemu, kan? Hehehe, maaf, ya? Jangan marah lagi!” lanjut Rosa mengusap-usap lengan kekasihnya dan berwajah merajuk seperti itu.
Egi tak tahan kalau Rosa sudah bermanja-manja seperti itu.
“Kalau begitu, mas kawin kita pakai perhiasan manik-manik aja, ya?” goda Egi. Rosa menyubit lengan Egi yang tadi dielusnya hingga Egi mengaduh kesakitan.  Kemudian mereka berdua saling melirik dan tertawa.
“Cepetan jalannya, aku lapar! Sebentar lagi jam tujuh, kita nggak boleh telat makan malam,” celetuk Egi sedikit menjauh beberapa langkah di depan Rosa.
“Mas manajer... sekali saja jangan risaukan waktu! Bersantailah sejenak...!” sahut Rosa berusaha mengimbangi langkah Egi yang semakin cepat.
Lampu taman kota sudah berbinar terang menghiasi taman di setiap sudutnya. Mereka berdua melenggang seperti dunia milik berdua. Tangan Egi melingkar di sekitar bahu Rosa.

***

Kamis, 06 Juni 2013

Cinta (tak) Perlu Alasan

Cinta (Tak) Perlu Alasan

Sofi menghadiri launching novel kelima milik sahabatnya di sebuah café tersohor. Sementara sahabatnya duduk di muka para hadirin, ia duduk di sofa di suatu sudut café itu.  Ada beberapa anak muda –pastinya lebih muda ketimbang dirinya- di kiri dan kanannya tapi ia tak banyak bercakap-cakap dengan mereka. Seolah sendiri di tengah keramaian.
Beberapa menit berlalu keterkesimaan Sofi pada sahabatnya yang sukses menelurkan lima buah novel yang nyaris kesemuanya laris manis –tampaknya novel kelima juga akan begitu- terpecah oleh kehadiran seseorang yang tak disangka-sangkanya. Erwin Permana Liem.
“Nggak nyangka bisa ketemu di sini,” celetuk Erwin.
“Aku juga nggak nyangka,” sahut Sofi cepat.
“Kok, kamu gugup gitu, sih?” Sofi seketika tertohok. Tepat sekali yang dituduhkan Erwin. “Maksudku nggak kayak dulu kita terlibat pembicaraan setelah pertengkaran profesional itu,” imbuh Erwin.
Sofi terpaksa mengobrak-abrik memorinya sejenak. Pertengkaran profesional. Hem, mungkin maksudnya ketika Sofi menjadi konsultan perusahaan multimedia milik Erwin. Ya, kala itu mereka berdua terlibat sebuah persoalan yang menjadikan Sofi sebagai “tersangka”. Problem cukup serius ia timbulkan karena salah mengonsep “nyawa” organisasi perusahaan itu. Akibatnya, Erwin murka dan meminta Sofi bertanggungjawab untuk mengajukan konsep ulang. Tapi yang terjadi tiga kali Sofi merevisi, tiga kali itu Erwin menolaknya mentah-mentah. Orang itu terlalu menuntut kesempurnaan atau bagaimana? Sementara para pimpinan direksi lainnya sudah setuju, pun untuk ketiga kali Sofi memresentasikan konsepnya. Hingga akhirnya entah apa sebabnya konsep keempat diterima Erwin. Tapi tampaknya lelaki berwajah oriental itu tak menunjukkan rasa lega bahkan ucapan terima kasih tak sekali pun ia lontarkan untuk Sofi. Ada apa dengan lelaki itu?
Urusan pertengkaran profesional –demikian Erwin menyebutkan- itu pun akhirnya usai beberapa minggu kemudian. Setelah itu Erwin muncul -lagi- di hadapan Sofi, menunjukkan sikap yang tak berkenan bagi Sofi. Beberapa kali muncul di hadapan Sofi di kantor, Sofi jelas tak bisa melarang Erwin mondar-mandir di tempatnya bekerja karena ternyata si empunya kantor adalah kakak tertua mama Erwin, setidaknya itulah yang didengar Sofi dari beberapa rekan kantornya. Tapi muncul di tempat Sofi sering jajan, sebuah café yang gedungnya jadi satu dengan sebuah toko buku plus perpustakaan mini, Sofi curiga itu bukan suatu kebetulan atau ada semacam hubungan keluarga antara Erwin dan pemilik café atau toko buku itu. Ah, kenapa orang semacam itu punya cabang kenalan dimana-mana? Apakah superioritas mereka begitu meraksasa di negeri ini?
Sofi bukan benci pada lelaki dari golongan kuning langsat, justru Sofi sangat mengagumi mereka. Sofi pencinta lelaki berwajah oriental, sebut saja Daniel Mananta yang saling mirip dengan Joe Taslim atau artis Korea seperti Lee Min Ho, si tembam Lee Seung Gi atau T.O.P anggota boyband BigBang yang punya mata misterius, menggoda, menghipnotis terangkum jadi satu. Hanya saja dengan lelaki satu ini, Erwin, ada kesebalan yang menelusup di hati Sofi. Jengkel setengah mampus! Mungkin sih, gara-gara pertengkaran profesional itu.
Dan... pertemuan yang tampaknya memang tengah direncanakan oleh Erwin –itulah dugaan Sofi atau Sofi malah terlanjur super percaya diri-  semakin hari terasa semakin sering terjadi. Kemudian akhirnya dugaan demi dugaan yang ditujukan Sofi pada Erwin akhirnya terjawab.
Suatu kali Erwin muncul dan berusaha menjalin percakapan dengan Sofi –sebelumnya setiap kali bertemu, Erwin hanya diam dari kejauhan dan menyiratkan keangkuhan dari sorot matanya yang sipit tapi tajam itu. Dan sial! Sofi sadar dan harus mengakui bahwa mata itulah yang membuatnya juga jatuh hati pada T.O.P!! Ouucchhh!-. Sayang, awal percakapan itu diwarnai aura ketegangan dan amarah yang sudah di ubun-ubun untuk Sofi, tapi tidak demikian bagi Erwin.  Seolah-olah membuat Sofi marah-marah adalah hobi yang sekarang Erwin tekuni –pikir Sofi-.
“Kenapa sih, Anda selalu ada di depan mata saya?” tanya Sofi menggerutu  saat Erwin tiba-tiba saja duduk di hadapannya tanpa permisi.
“Memangnya nggak boleh? Ini kan, tempat umum. Semua orang berhak di café ini, kan?” tungkas Erwin santai dengan tatapan yang selalu fokus memandang Sofi. Sofi merasakan itu sekalipun matanya “menjelajah” kemana-mana.
“Sebelumnya kan, Anda nggak pernah muncul di sini!” sambung Sofi mencoba menyerang Erwin.
“Betul. Lalu kenapa kalau sekarang aku sering kemari, salah?”
“Jelas enggak tapi aneh!”
“Aneh?” tanya Erwin. “Apanya yang aneh? Kopi di sini enak. Aku juga bisa memanfaatkan buku-buku di café ini. Beberapa waktu terakhir aku memang sangat butuh informasi multimedia, di sini katanya lengkap,”
Dugaan Sofi yang membabi-buta tak berlandasan kuat akhirnya terjawab tapi ia masih gusar. “Oh, begitu,” sahut Sofi.
Sofi permisi pergi setelah tahu alasan Erwin sebenarnya tapi Erwin mencegah.
“Kemana? Duduklah di sini! Temani aku ngopi sebentar,”
Sofi tertegun. Untuk alasan apa bos muda yang terkenal bermulut pedas dan penampilan penuh congkak itu tiba-tiba mengajaknya, seorang karyawan biasa di perusahaan pamannya itu, duduk bersamanya?
Sofi duduk kembali dan berkata, “Hanya menemani. Sambil saya melanjutkan bacaan saya,” Sofi menyetujui permintaan –atau perintah?- dari Erwin. Sedetik kemudian Sofi merasa dirinya bodoh karena melakukan itu. Sofi membuka buku di tangannya, terlihat tak tulus ia fokus membacanya.
“Iya,” Erwin mengiyakan. “Memangnya kamu mau lebih dari sekedar teman ngopi? Teman hidup misalkan? Atau teman tidur?”
Sofi menghujamkan pelototannya ke arah Erwin yang justru tersenyum simpul. Sialan! Batin Sofi. Orang ini sudah sering membuatku malu, tak berdaya seolah  aku ini manusia terbodoh di dunia dan sekarang menghinaku!
Sofi berusaha membalas ucapan itu dengan tenang, ini tempat umum, ia tak akan meledak-ledak. “Kalau maksudnya begitu, Anda jelas salah sasaran, Pak Erwin Permana Liem!” tegas Sofi.
“Kamu sudah hafal nama lengkapku bahkan nama margaku, ya? Bagus, dong,” timpal Erwin.
Ih, orang ini semakin dibalas malah makin menjengkelkan! Dasar tipe lelaki penggoda! Nah, Sofi sudah menambahkan embel-embel “penggoda” untuk Erwin. Merasakah dia digoda oleh Erwin?
“Kalau begitu saya permisi pergi,” Sofi memutuskan enyah dari hadapan Erwin yang sudah dua kali lipat lebih menjengkelkan. Kemarin memaki-maki, menjatuhkan reputasinya, sekarang genit dan dua kali menjatuhkan harga dirinya sebagai seorang wanita. Wanita! Sofi tak terima.
“Aku serius!” Erwin sekali lagi sukses menahan langkah Sofi. Tapi Sofi masih ragu benar-benar berhenti melangkah. Belum jauh ia melangkah, Erwin melanjutkan kalimatnya, “Aku serius menjadikanmu teman tidur!”
DEG! Di café itu bukan hanya lima, enam, tujuh orang, melainkan lebih! Seisi café mendengar kata Erwin baru saja. Sofi malu bukan main hingga wajahnya merah padam, kedua tangannya mengepal. Ia masih belum memutuskan untuk berbalik arah mencaci Erwin atau bahkan menamparnya atau justru dia akan berlari sekuat tenaga dan tak akan kembali ke café itu lagi demi harga dirinya.
“Maksudku, teman hidup kan, juga menjadi teman tidur, istri maksudnya.” Erwin memerjelas maksudnya. Sungguh, tingkat percaya diri Erwin tak ada yang bisa mengalahkan. Lelaki itu sungguh-sungguh overdosis meminum obat percaya diri –kalau memang ada suplemen percaya diri-.
Sofi sudah menurunkan kadar amarahnya tapi ia semakin terjungkal kaget. Istri? Konyol! Erwin konyol melamarnya di keramaian dengan cara seperti itu. Lebih konyol lagi strata sosial mereka jauh berbeda. Sofi sudah memikirkan hal itu di saat seperti ini.
Sofi berjalan ke arah Erwin dan memintanya untuk membicarakannya di tempat yang lebih “aman” dari sorotan banyak mata. Mereka berdua ke area parkir. Erwin meminta Sofi masuk ke mobilnya. Mereka terlibat pembicaraan di dalamnya.
“Sebegitu teganya Anda memermalukan saya seperti tadi? Anda sudah gila, hah?!” sergah Sofi yang sudah berlinang air mata, sesenggukan.
“Maafkan, aku,” Erwin tampak menyesali perbuatannya.
Maaf. Erwin tak pernah berucap terima kasih padanya dan sekarang minta maaf? Tuluskah?
“Saya nggak akan banyak bicara. Anda jelas salah sasaran meminang saya. Lebih baik Anda pertimbangkan lagi,”
“Berapa kalipun aku memertimbangkannya, keputusannya sama. Aku melamarmu,”
“Ini nggak mungkin. Siapa Anda? Siapa saya? Jauh!”
“Apanya yang jauh? Kita sama-sama manusia, aku berhak juga jatuh cinta,”
“Tapi hak itu terbatasi oleh hak saya untuk melarang Anda mencintai saya,”
“Tuhan nggak melarang aku jatuh cinta sama kamu,”
“Tapi kenapa saya? Kenapa?”
“Ya, aku nggak ngerti kenapa. Dan aku ngrasa memang nggak perlu sebuah alasan atau beribu alasan untuk jatuh cinta, dong. Kamu cantik, kamu pintar, kamu apa, itu akan dibalik pernyataannya ke aku bahwa yang cantik, pintar, kaya dari golongan etnisku juga banyak. Tapi aku nggak bisa. Dan faktanya sekarang aku jatuh cinta sama kamu dan pingin kamu menerima pinanganku. Ya, walau tadi caraku salah. Terkadang aku terlalu percaya diri,”
“Anda memang sering super percaya diri,” potong Sofi.
“Tampaknya kamu sudah tahu banyak tentangku. Lalu apa lagi? Itu artinya kamu sudah sering memikirkanku di bawah sadarmu, kan? Apa lagi? Terimalah aku! Aku ganteng seperti model ketampanan, mapan dan aku yakin aku setia mewarisi karakter almarhum papaku yang setia menemani mamaku sampai hembusan terakhir nafasnya akibat kanker rahim dan papaku tak menikah lagi sampai setahun lalu di usianya ketujuh puluh meninggal dunia. Tak ada catatan perselingkuhan dalam keluargaku,”
“Itu wujud percaya dirimu yang lain,”
“Nah, apa kubilang, kamu sudah memerhatikanku begitu banyak dan dalam, mungkin,”
Sofi melirik tajam kepada Erwin dan hatinya sedikit meluruh atas kegigihan Erwin mencintainya tapi apakah beberapa bulan perkenalan yang tak begitu mendalam bisa membuahkan cinta yang serius dan ingin dibawa ke jenjang lebih serius, mulia dan sakral?
“Anda jelas, jelas dan jelas salah sasaran, Pak. Mungkin perbedaan itu tidak berarti banyak tapi sungguh ini tak masuk akal. Anda salah kalau bicara  bahwa saya memerhatikan Anda lama dan mendalam. Sedikit pun tidak. Pikirkan baik-baik,”
“Kamu juga harus memikirkan ulang penolakanmu. Aku yang sudah superior ini rela memermalukan diri, bahkan dirimu, ya hanya untuk kamu. Mohon dipikirkan lagi, Sofia Agustin, itu kan nama lengkapmu? Ya, aku sudah memelajari profilmu semenjak kamu sering kutolak mentah-mentah di kantorku. Dan aku harap kamu akan me-re-state-ment kata-katamu tadi. Diubah jadi perkataan yang bisa menyenangkanku, oke?”
Sofi tak tahu harus berkata apa, melakukan semacam perlawanan pada Erwin juga tampaknya sudah tiada guna. Karena sekuat apa pun ia menolak, sekuat itu pula Erwin akan berupaya meruntuhkannya, membuat Sofi salah tingkah sendiri. Dan lagi-lagi tatapan mata Erwin... oh, mata T.O.P seolah menatapnya! Tentunya dengan wajah berbeda.
Menuju maju ke dua tahun setelah percakapan di café dan mobil Erwin malam itu.
Sekarang... Erwin hadir kembali di hadapan Sofi. Tak banyak perubahan terjadi pada penampilannya. Tampaknya apa pun tak ada yang berubah dari diri Erwin. Dan Erwin menegaskan itu.
Erwin berpindah posisi duduk lebih dekat dengan Sofi. Teramat dekat sampai Sofi seolah tak diberi ruang untuk sekedar bergerak membenahi posisinya karena di sisi lain terbatasi tangan sofa yang mereka duduki.
“Tolong geser sedikit, dong!” pinta Sofi. Erwin menolak.
“Sesek, nih!” tambah Sofi.
“Kenapa memangnya? Kamu nggak kangen sama aku selama dua tahun nggak ketemu? Gimana rasanya kutinggalkan selama itu ke Macau? Aku punya banyak oleh-oleh untukmu. Ada di rumah, sih. Kalau nggak keberatan kamu bisa mengambilnya di rumah, gimana?”
Sofi melipat-lipat kulit dahinya, mengerutkannya keningnya. Ia juga sedikit malu dengan apa yang sekarang Erwin lakukan.
Orang ini bos tapi nggak tahu malu! Dimana rasa menjaga gengsinya dulu?
Sofi mengumpat-umpat sembari ia lupa bahwa Erwin memang sudah menanggalkan gengsinya dua tahun lalu semenjak meminangnya dengan cara tak romantis tapi justru memermalukannya di khalayak umum.
Sofi menyikut perut Erwin. Erwin justru membalasnya dengan perlakuan yang melipatgandakan rasa malu Sofi di depan umum bahkan sahabatnya yang kini bergabung dengannya.
“Auuww!” keluh Erwin. Beberapa orang di sekitar mereka bertanya-tanya, termasuk sahabat Sofi, Laura yang ternyata adalah kekasih seorang rekan dekat Erwin. Oh, dunia ini begitu sempit untuk dua orang yang -mungkin- ditakdirkan untuk berjodoh.
“Ini loh, temen kamu, Ra, genit juga ya? Gayanya saja yang jual mahal tapi aslinya...” Erwin menaik-turunkan kedua alisnya pada Laura.
“Ekspresimu itu dua kali lipat lebih genit, Win! Kalian saling kenal?” tanya Laura.
“Tentu,” Erwin segera menjawab sementara Sofi hanya menganga lalu mengatupkan bibirnya karena gagal memberikan penjelasan. “Bahkan aku sudah melamarnya dua tahun lalu,” sambung Erwin membuat Sofi sontak menggerak-gerakkan tangannya ke kanan dan ke kiri.
“Enggak!” sangkal Sofi.
“WOW! Sofi, kamu nggak pernah cerita soal Erwin. Padahal aku juga kenal dia. Kalau katanya dua tahun... aku mengenal kancrut ini tiga tahun! Selama aku pacaran sama Hendri. Gila kamu Sof, kita sahabatan berapa lama? Kamu kenal Hendri juga lama, kan, walau kalian nggak satu kantor? Bisa-bisanya kamu nggak pernah cerita? Dilamar lagi. Berita super wow, deh! Dunia memang amat sempit buat yang berjodoh! Hehe,” Sofi terlihat kaget sekaligus riang mendengar berita ini.
“Apa? Jodoh? Kamu kecepetan ambil kesimpulan nona novelis! Aku mem---”
Erwin spontan merangkul pundak Sofi dan menyambung pembicaraan Sofi. Sofi tertahan untuk bicara dan kaget bukan main. “Jelas kita berjodoh, dua tahun lalu aku melamarnya di depan umum membuktikan aku serius justru ditolaknya lalu aku pergi ke Macau memberikan waktu untuknya untuk mengubah penolakannya menjadi jawaban iya terus kami hari ini bertemu nggak sengaja, tentu nggak disengaja karena aku nggak tahu dia teman dekatmu. Baru saja Hendri memberitahuku di sini. Pastilah kami berjodoh! Tenang Ra, kami berdua bakalan mendahuluimu sebar undangan,” Erwin berceloteh super pede. Inilah yang disebut bahwa tak ada yang berubah dari Erwin walau dua tahun tak bertemu. Laura begitu pula Hendri yang baru saja datang bergabung setelah dari toilet tergelak tawa dan mengamini. Sementara Sofi berusaha sekuat tenaga untuk memberikan penjelasan tapi Erwin selalu sukses menggagalkannya tanpa melepaskan rangkulannya. Sampai akhirnya Sofi menyerah tapi bukan berarti kalah. Dia biarkan Erwin bertingkah sesuka hati hingga nantinya tiba waktunya ia akan mencaci maki bahkan mencakar-cakar Erwin yang selalu membuatnya tak berkutik menahan rasa malu di depan umum.
Waktu berlalu sampai acara launching buku dengan author Laura Lau usai. Jam di tangan Sofi menunjukkan pukul sepuluh malam. Dirinya dan Laura memutuskan berpisah. Sofi akan pulang sendiri. Tapi.... tapi Erwin menyela tanpa izin melarangnya. Erwin akan mengantarkan wanita yang nyaris jadi calon istrinya, kalau saja Sofi tak menolak kala itu. Laura dan Hendri justru dengan senang hati ada yang menjaga Sofi sampai rumah.
“Mereka bisa saja memberikan izin, tapi aku enggak. Aku sudah memesan taksi,” celetuk Sofi.
“Iya, tahu. Tapi bapak sopirnya sudah aku suruh pergi, tuh! Gimana dong?”
Sofi melotot, lancang sekali Erwin.
“Bisa nggak kelebaran mata kamu diperkecil? Aku tak nyaman setiap kali kamu melotot. Mengerikan walaupun itu juga menambah kadar daya tarikmu. Aku suka kamu marah-marah,” kata Erwin membuat Sofi berdenyut-denyut lebih kuat karena amarahnya kembali tersulut di kala waktu semalam itu. Waktu dimana seharusnya denyut-denyut itu bersantai istirahat bukan justru diperkuat. “Itu artinya aku sukses menyita perhatianmu, kan?” Erwin serius sedang menggoda Sofi.
“Apa pun bicaramu, bicara sesukamu lah!” Sofi kepalang jengkel ia mengabaikan Erwin begitu saja, melangkah pergi. Kali ini ketahuan siapa yang mengalami perubahan. Sofi tak lagi menyebut kata “Anda” dan “Saya” kepada Erwin.
Erwin bergegas menyusul Sofi setengah berlari lalu menarik Sofi kuat dan seketika itu juga menjatuhkan Sofi ke dalam pelukannya.
“Jangan tolak aku lagi! Aku tahu, kamu sedang berpura-pura. Semenjak tadi di dalam, pertama kita bertemu setelah dua tahun berpisah, aku tahu kamu sedang berusaha menyembunyikan sesuatu. Aku harap itu perasaanmu sesungguhnya. Kamu gugup. Kamu berusaha menyangkal kamu mulai memikirkanku selama ini dan tentunya... tentunya... mencintaiku. Jujurlah! Aku tak pernah berubah bahkan dengan alasanku. Tak ada alasan yang harus kuutarakan padamu demi apa aku mencintaimu. Tak satu pun. Tuhan menakdirkan kita berjodoh. Itu saja. Titik. Tak ada alasan-alasan bualan. Aku mohon jujurlah padaku dan pastinya pada hatimu sendiri, kamu mencintaiku,”
Ketika Erwin berhenti berkata-kata barulah Sofi angkat bicara.
“Aku...,” Sofi masih tertahan berbicara tapi ia akhirnya memantapkannya. “... mencintaimu. Aku terima pinanganmu.” Benak Sofi hanya berpikir sudah waktunya jujur seperti pinta Erwin. Kejengkelannya selama ini tanpa ia sadari sudah menyeberang jembatan tipis menuju kata yang lebih tepat, cinta.

Erwin teramat bahagia malam itu dan menambah kerekatannya memeluk Sofi, mengelus kepala Sofi dan mengecupnya. Tiada alasan untuk berlama-lama di sana, mereka segera pulang. Esok harinya mereka serius membicarakan perihal sakral. Pernikahan.