Kamis, 06 Juni 2013

Cinta (tak) Perlu Alasan

Cinta (Tak) Perlu Alasan

Sofi menghadiri launching novel kelima milik sahabatnya di sebuah café tersohor. Sementara sahabatnya duduk di muka para hadirin, ia duduk di sofa di suatu sudut café itu.  Ada beberapa anak muda –pastinya lebih muda ketimbang dirinya- di kiri dan kanannya tapi ia tak banyak bercakap-cakap dengan mereka. Seolah sendiri di tengah keramaian.
Beberapa menit berlalu keterkesimaan Sofi pada sahabatnya yang sukses menelurkan lima buah novel yang nyaris kesemuanya laris manis –tampaknya novel kelima juga akan begitu- terpecah oleh kehadiran seseorang yang tak disangka-sangkanya. Erwin Permana Liem.
“Nggak nyangka bisa ketemu di sini,” celetuk Erwin.
“Aku juga nggak nyangka,” sahut Sofi cepat.
“Kok, kamu gugup gitu, sih?” Sofi seketika tertohok. Tepat sekali yang dituduhkan Erwin. “Maksudku nggak kayak dulu kita terlibat pembicaraan setelah pertengkaran profesional itu,” imbuh Erwin.
Sofi terpaksa mengobrak-abrik memorinya sejenak. Pertengkaran profesional. Hem, mungkin maksudnya ketika Sofi menjadi konsultan perusahaan multimedia milik Erwin. Ya, kala itu mereka berdua terlibat sebuah persoalan yang menjadikan Sofi sebagai “tersangka”. Problem cukup serius ia timbulkan karena salah mengonsep “nyawa” organisasi perusahaan itu. Akibatnya, Erwin murka dan meminta Sofi bertanggungjawab untuk mengajukan konsep ulang. Tapi yang terjadi tiga kali Sofi merevisi, tiga kali itu Erwin menolaknya mentah-mentah. Orang itu terlalu menuntut kesempurnaan atau bagaimana? Sementara para pimpinan direksi lainnya sudah setuju, pun untuk ketiga kali Sofi memresentasikan konsepnya. Hingga akhirnya entah apa sebabnya konsep keempat diterima Erwin. Tapi tampaknya lelaki berwajah oriental itu tak menunjukkan rasa lega bahkan ucapan terima kasih tak sekali pun ia lontarkan untuk Sofi. Ada apa dengan lelaki itu?
Urusan pertengkaran profesional –demikian Erwin menyebutkan- itu pun akhirnya usai beberapa minggu kemudian. Setelah itu Erwin muncul -lagi- di hadapan Sofi, menunjukkan sikap yang tak berkenan bagi Sofi. Beberapa kali muncul di hadapan Sofi di kantor, Sofi jelas tak bisa melarang Erwin mondar-mandir di tempatnya bekerja karena ternyata si empunya kantor adalah kakak tertua mama Erwin, setidaknya itulah yang didengar Sofi dari beberapa rekan kantornya. Tapi muncul di tempat Sofi sering jajan, sebuah café yang gedungnya jadi satu dengan sebuah toko buku plus perpustakaan mini, Sofi curiga itu bukan suatu kebetulan atau ada semacam hubungan keluarga antara Erwin dan pemilik café atau toko buku itu. Ah, kenapa orang semacam itu punya cabang kenalan dimana-mana? Apakah superioritas mereka begitu meraksasa di negeri ini?
Sofi bukan benci pada lelaki dari golongan kuning langsat, justru Sofi sangat mengagumi mereka. Sofi pencinta lelaki berwajah oriental, sebut saja Daniel Mananta yang saling mirip dengan Joe Taslim atau artis Korea seperti Lee Min Ho, si tembam Lee Seung Gi atau T.O.P anggota boyband BigBang yang punya mata misterius, menggoda, menghipnotis terangkum jadi satu. Hanya saja dengan lelaki satu ini, Erwin, ada kesebalan yang menelusup di hati Sofi. Jengkel setengah mampus! Mungkin sih, gara-gara pertengkaran profesional itu.
Dan... pertemuan yang tampaknya memang tengah direncanakan oleh Erwin –itulah dugaan Sofi atau Sofi malah terlanjur super percaya diri-  semakin hari terasa semakin sering terjadi. Kemudian akhirnya dugaan demi dugaan yang ditujukan Sofi pada Erwin akhirnya terjawab.
Suatu kali Erwin muncul dan berusaha menjalin percakapan dengan Sofi –sebelumnya setiap kali bertemu, Erwin hanya diam dari kejauhan dan menyiratkan keangkuhan dari sorot matanya yang sipit tapi tajam itu. Dan sial! Sofi sadar dan harus mengakui bahwa mata itulah yang membuatnya juga jatuh hati pada T.O.P!! Ouucchhh!-. Sayang, awal percakapan itu diwarnai aura ketegangan dan amarah yang sudah di ubun-ubun untuk Sofi, tapi tidak demikian bagi Erwin.  Seolah-olah membuat Sofi marah-marah adalah hobi yang sekarang Erwin tekuni –pikir Sofi-.
“Kenapa sih, Anda selalu ada di depan mata saya?” tanya Sofi menggerutu  saat Erwin tiba-tiba saja duduk di hadapannya tanpa permisi.
“Memangnya nggak boleh? Ini kan, tempat umum. Semua orang berhak di café ini, kan?” tungkas Erwin santai dengan tatapan yang selalu fokus memandang Sofi. Sofi merasakan itu sekalipun matanya “menjelajah” kemana-mana.
“Sebelumnya kan, Anda nggak pernah muncul di sini!” sambung Sofi mencoba menyerang Erwin.
“Betul. Lalu kenapa kalau sekarang aku sering kemari, salah?”
“Jelas enggak tapi aneh!”
“Aneh?” tanya Erwin. “Apanya yang aneh? Kopi di sini enak. Aku juga bisa memanfaatkan buku-buku di café ini. Beberapa waktu terakhir aku memang sangat butuh informasi multimedia, di sini katanya lengkap,”
Dugaan Sofi yang membabi-buta tak berlandasan kuat akhirnya terjawab tapi ia masih gusar. “Oh, begitu,” sahut Sofi.
Sofi permisi pergi setelah tahu alasan Erwin sebenarnya tapi Erwin mencegah.
“Kemana? Duduklah di sini! Temani aku ngopi sebentar,”
Sofi tertegun. Untuk alasan apa bos muda yang terkenal bermulut pedas dan penampilan penuh congkak itu tiba-tiba mengajaknya, seorang karyawan biasa di perusahaan pamannya itu, duduk bersamanya?
Sofi duduk kembali dan berkata, “Hanya menemani. Sambil saya melanjutkan bacaan saya,” Sofi menyetujui permintaan –atau perintah?- dari Erwin. Sedetik kemudian Sofi merasa dirinya bodoh karena melakukan itu. Sofi membuka buku di tangannya, terlihat tak tulus ia fokus membacanya.
“Iya,” Erwin mengiyakan. “Memangnya kamu mau lebih dari sekedar teman ngopi? Teman hidup misalkan? Atau teman tidur?”
Sofi menghujamkan pelototannya ke arah Erwin yang justru tersenyum simpul. Sialan! Batin Sofi. Orang ini sudah sering membuatku malu, tak berdaya seolah  aku ini manusia terbodoh di dunia dan sekarang menghinaku!
Sofi berusaha membalas ucapan itu dengan tenang, ini tempat umum, ia tak akan meledak-ledak. “Kalau maksudnya begitu, Anda jelas salah sasaran, Pak Erwin Permana Liem!” tegas Sofi.
“Kamu sudah hafal nama lengkapku bahkan nama margaku, ya? Bagus, dong,” timpal Erwin.
Ih, orang ini semakin dibalas malah makin menjengkelkan! Dasar tipe lelaki penggoda! Nah, Sofi sudah menambahkan embel-embel “penggoda” untuk Erwin. Merasakah dia digoda oleh Erwin?
“Kalau begitu saya permisi pergi,” Sofi memutuskan enyah dari hadapan Erwin yang sudah dua kali lipat lebih menjengkelkan. Kemarin memaki-maki, menjatuhkan reputasinya, sekarang genit dan dua kali menjatuhkan harga dirinya sebagai seorang wanita. Wanita! Sofi tak terima.
“Aku serius!” Erwin sekali lagi sukses menahan langkah Sofi. Tapi Sofi masih ragu benar-benar berhenti melangkah. Belum jauh ia melangkah, Erwin melanjutkan kalimatnya, “Aku serius menjadikanmu teman tidur!”
DEG! Di café itu bukan hanya lima, enam, tujuh orang, melainkan lebih! Seisi café mendengar kata Erwin baru saja. Sofi malu bukan main hingga wajahnya merah padam, kedua tangannya mengepal. Ia masih belum memutuskan untuk berbalik arah mencaci Erwin atau bahkan menamparnya atau justru dia akan berlari sekuat tenaga dan tak akan kembali ke café itu lagi demi harga dirinya.
“Maksudku, teman hidup kan, juga menjadi teman tidur, istri maksudnya.” Erwin memerjelas maksudnya. Sungguh, tingkat percaya diri Erwin tak ada yang bisa mengalahkan. Lelaki itu sungguh-sungguh overdosis meminum obat percaya diri –kalau memang ada suplemen percaya diri-.
Sofi sudah menurunkan kadar amarahnya tapi ia semakin terjungkal kaget. Istri? Konyol! Erwin konyol melamarnya di keramaian dengan cara seperti itu. Lebih konyol lagi strata sosial mereka jauh berbeda. Sofi sudah memikirkan hal itu di saat seperti ini.
Sofi berjalan ke arah Erwin dan memintanya untuk membicarakannya di tempat yang lebih “aman” dari sorotan banyak mata. Mereka berdua ke area parkir. Erwin meminta Sofi masuk ke mobilnya. Mereka terlibat pembicaraan di dalamnya.
“Sebegitu teganya Anda memermalukan saya seperti tadi? Anda sudah gila, hah?!” sergah Sofi yang sudah berlinang air mata, sesenggukan.
“Maafkan, aku,” Erwin tampak menyesali perbuatannya.
Maaf. Erwin tak pernah berucap terima kasih padanya dan sekarang minta maaf? Tuluskah?
“Saya nggak akan banyak bicara. Anda jelas salah sasaran meminang saya. Lebih baik Anda pertimbangkan lagi,”
“Berapa kalipun aku memertimbangkannya, keputusannya sama. Aku melamarmu,”
“Ini nggak mungkin. Siapa Anda? Siapa saya? Jauh!”
“Apanya yang jauh? Kita sama-sama manusia, aku berhak juga jatuh cinta,”
“Tapi hak itu terbatasi oleh hak saya untuk melarang Anda mencintai saya,”
“Tuhan nggak melarang aku jatuh cinta sama kamu,”
“Tapi kenapa saya? Kenapa?”
“Ya, aku nggak ngerti kenapa. Dan aku ngrasa memang nggak perlu sebuah alasan atau beribu alasan untuk jatuh cinta, dong. Kamu cantik, kamu pintar, kamu apa, itu akan dibalik pernyataannya ke aku bahwa yang cantik, pintar, kaya dari golongan etnisku juga banyak. Tapi aku nggak bisa. Dan faktanya sekarang aku jatuh cinta sama kamu dan pingin kamu menerima pinanganku. Ya, walau tadi caraku salah. Terkadang aku terlalu percaya diri,”
“Anda memang sering super percaya diri,” potong Sofi.
“Tampaknya kamu sudah tahu banyak tentangku. Lalu apa lagi? Itu artinya kamu sudah sering memikirkanku di bawah sadarmu, kan? Apa lagi? Terimalah aku! Aku ganteng seperti model ketampanan, mapan dan aku yakin aku setia mewarisi karakter almarhum papaku yang setia menemani mamaku sampai hembusan terakhir nafasnya akibat kanker rahim dan papaku tak menikah lagi sampai setahun lalu di usianya ketujuh puluh meninggal dunia. Tak ada catatan perselingkuhan dalam keluargaku,”
“Itu wujud percaya dirimu yang lain,”
“Nah, apa kubilang, kamu sudah memerhatikanku begitu banyak dan dalam, mungkin,”
Sofi melirik tajam kepada Erwin dan hatinya sedikit meluruh atas kegigihan Erwin mencintainya tapi apakah beberapa bulan perkenalan yang tak begitu mendalam bisa membuahkan cinta yang serius dan ingin dibawa ke jenjang lebih serius, mulia dan sakral?
“Anda jelas, jelas dan jelas salah sasaran, Pak. Mungkin perbedaan itu tidak berarti banyak tapi sungguh ini tak masuk akal. Anda salah kalau bicara  bahwa saya memerhatikan Anda lama dan mendalam. Sedikit pun tidak. Pikirkan baik-baik,”
“Kamu juga harus memikirkan ulang penolakanmu. Aku yang sudah superior ini rela memermalukan diri, bahkan dirimu, ya hanya untuk kamu. Mohon dipikirkan lagi, Sofia Agustin, itu kan nama lengkapmu? Ya, aku sudah memelajari profilmu semenjak kamu sering kutolak mentah-mentah di kantorku. Dan aku harap kamu akan me-re-state-ment kata-katamu tadi. Diubah jadi perkataan yang bisa menyenangkanku, oke?”
Sofi tak tahu harus berkata apa, melakukan semacam perlawanan pada Erwin juga tampaknya sudah tiada guna. Karena sekuat apa pun ia menolak, sekuat itu pula Erwin akan berupaya meruntuhkannya, membuat Sofi salah tingkah sendiri. Dan lagi-lagi tatapan mata Erwin... oh, mata T.O.P seolah menatapnya! Tentunya dengan wajah berbeda.
Menuju maju ke dua tahun setelah percakapan di café dan mobil Erwin malam itu.
Sekarang... Erwin hadir kembali di hadapan Sofi. Tak banyak perubahan terjadi pada penampilannya. Tampaknya apa pun tak ada yang berubah dari diri Erwin. Dan Erwin menegaskan itu.
Erwin berpindah posisi duduk lebih dekat dengan Sofi. Teramat dekat sampai Sofi seolah tak diberi ruang untuk sekedar bergerak membenahi posisinya karena di sisi lain terbatasi tangan sofa yang mereka duduki.
“Tolong geser sedikit, dong!” pinta Sofi. Erwin menolak.
“Sesek, nih!” tambah Sofi.
“Kenapa memangnya? Kamu nggak kangen sama aku selama dua tahun nggak ketemu? Gimana rasanya kutinggalkan selama itu ke Macau? Aku punya banyak oleh-oleh untukmu. Ada di rumah, sih. Kalau nggak keberatan kamu bisa mengambilnya di rumah, gimana?”
Sofi melipat-lipat kulit dahinya, mengerutkannya keningnya. Ia juga sedikit malu dengan apa yang sekarang Erwin lakukan.
Orang ini bos tapi nggak tahu malu! Dimana rasa menjaga gengsinya dulu?
Sofi mengumpat-umpat sembari ia lupa bahwa Erwin memang sudah menanggalkan gengsinya dua tahun lalu semenjak meminangnya dengan cara tak romantis tapi justru memermalukannya di khalayak umum.
Sofi menyikut perut Erwin. Erwin justru membalasnya dengan perlakuan yang melipatgandakan rasa malu Sofi di depan umum bahkan sahabatnya yang kini bergabung dengannya.
“Auuww!” keluh Erwin. Beberapa orang di sekitar mereka bertanya-tanya, termasuk sahabat Sofi, Laura yang ternyata adalah kekasih seorang rekan dekat Erwin. Oh, dunia ini begitu sempit untuk dua orang yang -mungkin- ditakdirkan untuk berjodoh.
“Ini loh, temen kamu, Ra, genit juga ya? Gayanya saja yang jual mahal tapi aslinya...” Erwin menaik-turunkan kedua alisnya pada Laura.
“Ekspresimu itu dua kali lipat lebih genit, Win! Kalian saling kenal?” tanya Laura.
“Tentu,” Erwin segera menjawab sementara Sofi hanya menganga lalu mengatupkan bibirnya karena gagal memberikan penjelasan. “Bahkan aku sudah melamarnya dua tahun lalu,” sambung Erwin membuat Sofi sontak menggerak-gerakkan tangannya ke kanan dan ke kiri.
“Enggak!” sangkal Sofi.
“WOW! Sofi, kamu nggak pernah cerita soal Erwin. Padahal aku juga kenal dia. Kalau katanya dua tahun... aku mengenal kancrut ini tiga tahun! Selama aku pacaran sama Hendri. Gila kamu Sof, kita sahabatan berapa lama? Kamu kenal Hendri juga lama, kan, walau kalian nggak satu kantor? Bisa-bisanya kamu nggak pernah cerita? Dilamar lagi. Berita super wow, deh! Dunia memang amat sempit buat yang berjodoh! Hehe,” Sofi terlihat kaget sekaligus riang mendengar berita ini.
“Apa? Jodoh? Kamu kecepetan ambil kesimpulan nona novelis! Aku mem---”
Erwin spontan merangkul pundak Sofi dan menyambung pembicaraan Sofi. Sofi tertahan untuk bicara dan kaget bukan main. “Jelas kita berjodoh, dua tahun lalu aku melamarnya di depan umum membuktikan aku serius justru ditolaknya lalu aku pergi ke Macau memberikan waktu untuknya untuk mengubah penolakannya menjadi jawaban iya terus kami hari ini bertemu nggak sengaja, tentu nggak disengaja karena aku nggak tahu dia teman dekatmu. Baru saja Hendri memberitahuku di sini. Pastilah kami berjodoh! Tenang Ra, kami berdua bakalan mendahuluimu sebar undangan,” Erwin berceloteh super pede. Inilah yang disebut bahwa tak ada yang berubah dari Erwin walau dua tahun tak bertemu. Laura begitu pula Hendri yang baru saja datang bergabung setelah dari toilet tergelak tawa dan mengamini. Sementara Sofi berusaha sekuat tenaga untuk memberikan penjelasan tapi Erwin selalu sukses menggagalkannya tanpa melepaskan rangkulannya. Sampai akhirnya Sofi menyerah tapi bukan berarti kalah. Dia biarkan Erwin bertingkah sesuka hati hingga nantinya tiba waktunya ia akan mencaci maki bahkan mencakar-cakar Erwin yang selalu membuatnya tak berkutik menahan rasa malu di depan umum.
Waktu berlalu sampai acara launching buku dengan author Laura Lau usai. Jam di tangan Sofi menunjukkan pukul sepuluh malam. Dirinya dan Laura memutuskan berpisah. Sofi akan pulang sendiri. Tapi.... tapi Erwin menyela tanpa izin melarangnya. Erwin akan mengantarkan wanita yang nyaris jadi calon istrinya, kalau saja Sofi tak menolak kala itu. Laura dan Hendri justru dengan senang hati ada yang menjaga Sofi sampai rumah.
“Mereka bisa saja memberikan izin, tapi aku enggak. Aku sudah memesan taksi,” celetuk Sofi.
“Iya, tahu. Tapi bapak sopirnya sudah aku suruh pergi, tuh! Gimana dong?”
Sofi melotot, lancang sekali Erwin.
“Bisa nggak kelebaran mata kamu diperkecil? Aku tak nyaman setiap kali kamu melotot. Mengerikan walaupun itu juga menambah kadar daya tarikmu. Aku suka kamu marah-marah,” kata Erwin membuat Sofi berdenyut-denyut lebih kuat karena amarahnya kembali tersulut di kala waktu semalam itu. Waktu dimana seharusnya denyut-denyut itu bersantai istirahat bukan justru diperkuat. “Itu artinya aku sukses menyita perhatianmu, kan?” Erwin serius sedang menggoda Sofi.
“Apa pun bicaramu, bicara sesukamu lah!” Sofi kepalang jengkel ia mengabaikan Erwin begitu saja, melangkah pergi. Kali ini ketahuan siapa yang mengalami perubahan. Sofi tak lagi menyebut kata “Anda” dan “Saya” kepada Erwin.
Erwin bergegas menyusul Sofi setengah berlari lalu menarik Sofi kuat dan seketika itu juga menjatuhkan Sofi ke dalam pelukannya.
“Jangan tolak aku lagi! Aku tahu, kamu sedang berpura-pura. Semenjak tadi di dalam, pertama kita bertemu setelah dua tahun berpisah, aku tahu kamu sedang berusaha menyembunyikan sesuatu. Aku harap itu perasaanmu sesungguhnya. Kamu gugup. Kamu berusaha menyangkal kamu mulai memikirkanku selama ini dan tentunya... tentunya... mencintaiku. Jujurlah! Aku tak pernah berubah bahkan dengan alasanku. Tak ada alasan yang harus kuutarakan padamu demi apa aku mencintaimu. Tak satu pun. Tuhan menakdirkan kita berjodoh. Itu saja. Titik. Tak ada alasan-alasan bualan. Aku mohon jujurlah padaku dan pastinya pada hatimu sendiri, kamu mencintaiku,”
Ketika Erwin berhenti berkata-kata barulah Sofi angkat bicara.
“Aku...,” Sofi masih tertahan berbicara tapi ia akhirnya memantapkannya. “... mencintaimu. Aku terima pinanganmu.” Benak Sofi hanya berpikir sudah waktunya jujur seperti pinta Erwin. Kejengkelannya selama ini tanpa ia sadari sudah menyeberang jembatan tipis menuju kata yang lebih tepat, cinta.

Erwin teramat bahagia malam itu dan menambah kerekatannya memeluk Sofi, mengelus kepala Sofi dan mengecupnya. Tiada alasan untuk berlama-lama di sana, mereka segera pulang. Esok harinya mereka serius membicarakan perihal sakral. Pernikahan. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ditunggu kritik dan saran membangun yah :)