Cinta
(Tak) Perlu Alasan
Sofi menghadiri launching novel kelima milik sahabatnya
di sebuah café tersohor. Sementara sahabatnya duduk di muka para hadirin, ia
duduk di sofa di suatu sudut café itu.
Ada beberapa anak muda –pastinya lebih muda ketimbang dirinya- di kiri
dan kanannya tapi ia tak banyak bercakap-cakap dengan mereka. Seolah sendiri di
tengah keramaian.
Beberapa menit berlalu
keterkesimaan Sofi pada sahabatnya yang sukses menelurkan lima buah novel yang
nyaris kesemuanya laris manis –tampaknya novel kelima juga akan begitu-
terpecah oleh kehadiran seseorang yang tak disangka-sangkanya. Erwin Permana
Liem.
“Nggak nyangka bisa
ketemu di sini,” celetuk Erwin.
“Aku juga nggak
nyangka,” sahut Sofi cepat.
“Kok, kamu gugup gitu,
sih?” Sofi seketika tertohok. Tepat sekali yang dituduhkan Erwin. “Maksudku
nggak kayak dulu kita terlibat pembicaraan setelah pertengkaran profesional
itu,” imbuh Erwin.
Sofi terpaksa
mengobrak-abrik memorinya sejenak. Pertengkaran profesional. Hem, mungkin
maksudnya ketika Sofi menjadi konsultan perusahaan multimedia milik Erwin. Ya,
kala itu mereka berdua terlibat sebuah persoalan yang menjadikan Sofi sebagai
“tersangka”. Problem cukup serius ia timbulkan karena salah mengonsep “nyawa”
organisasi perusahaan itu. Akibatnya, Erwin murka dan meminta Sofi
bertanggungjawab untuk mengajukan konsep ulang. Tapi yang terjadi tiga kali Sofi
merevisi, tiga kali itu Erwin menolaknya mentah-mentah. Orang itu terlalu
menuntut kesempurnaan atau bagaimana? Sementara para pimpinan direksi lainnya
sudah setuju, pun untuk ketiga kali Sofi memresentasikan konsepnya. Hingga
akhirnya entah apa sebabnya konsep keempat diterima Erwin. Tapi tampaknya
lelaki berwajah oriental itu tak menunjukkan rasa lega bahkan ucapan terima
kasih tak sekali pun ia lontarkan untuk Sofi. Ada apa dengan lelaki itu?
Urusan pertengkaran
profesional –demikian Erwin menyebutkan- itu pun akhirnya usai beberapa minggu
kemudian. Setelah itu Erwin muncul -lagi- di hadapan Sofi, menunjukkan sikap
yang tak berkenan bagi Sofi. Beberapa kali muncul di hadapan Sofi di kantor, Sofi
jelas tak bisa melarang Erwin mondar-mandir di tempatnya bekerja karena
ternyata si empunya kantor adalah kakak tertua mama Erwin, setidaknya itulah
yang didengar Sofi dari beberapa rekan kantornya. Tapi muncul di tempat Sofi
sering jajan, sebuah café yang gedungnya jadi satu dengan sebuah toko buku plus
perpustakaan mini, Sofi curiga itu bukan suatu kebetulan atau ada semacam
hubungan keluarga antara Erwin dan pemilik café atau toko buku itu. Ah, kenapa
orang semacam itu punya cabang kenalan dimana-mana? Apakah superioritas mereka begitu
meraksasa di negeri ini?
Sofi bukan benci pada
lelaki dari golongan kuning langsat, justru Sofi sangat mengagumi mereka. Sofi
pencinta lelaki berwajah oriental, sebut saja Daniel Mananta yang saling mirip
dengan Joe Taslim atau artis Korea seperti Lee Min Ho, si tembam Lee Seung Gi
atau T.O.P anggota boyband BigBang
yang punya mata misterius, menggoda, menghipnotis terangkum jadi satu. Hanya
saja dengan lelaki satu ini, Erwin, ada kesebalan yang menelusup di hati Sofi.
Jengkel setengah mampus! Mungkin sih, gara-gara pertengkaran profesional itu.
Dan... pertemuan yang tampaknya
memang tengah direncanakan oleh Erwin –itulah dugaan Sofi atau Sofi malah terlanjur
super percaya diri- semakin hari terasa semakin
sering terjadi. Kemudian akhirnya dugaan demi dugaan yang ditujukan Sofi pada
Erwin akhirnya terjawab.
Suatu kali Erwin muncul
dan berusaha menjalin percakapan dengan Sofi –sebelumnya setiap kali bertemu,
Erwin hanya diam dari kejauhan dan menyiratkan keangkuhan dari sorot matanya
yang sipit tapi tajam itu. Dan sial! Sofi sadar dan harus mengakui bahwa mata itulah yang membuatnya juga jatuh hati
pada T.O.P!! Ouucchhh!-. Sayang, awal percakapan itu diwarnai aura ketegangan
dan amarah yang sudah di ubun-ubun untuk Sofi, tapi tidak demikian bagi
Erwin. Seolah-olah membuat Sofi
marah-marah adalah hobi yang sekarang Erwin tekuni –pikir Sofi-.
“Kenapa sih, Anda
selalu ada di depan mata saya?” tanya Sofi menggerutu saat Erwin tiba-tiba saja duduk di hadapannya
tanpa permisi.
“Memangnya nggak boleh?
Ini kan, tempat umum. Semua orang berhak di café ini, kan?” tungkas Erwin
santai dengan tatapan yang selalu fokus memandang Sofi. Sofi merasakan itu
sekalipun matanya “menjelajah” kemana-mana.
“Sebelumnya kan, Anda
nggak pernah muncul di sini!” sambung Sofi mencoba menyerang Erwin.
“Betul. Lalu kenapa
kalau sekarang aku sering kemari, salah?”
“Jelas enggak tapi
aneh!”
“Aneh?” tanya Erwin.
“Apanya yang aneh? Kopi di sini enak. Aku juga bisa memanfaatkan buku-buku di café
ini. Beberapa waktu terakhir aku memang sangat butuh informasi multimedia, di
sini katanya lengkap,”
Dugaan Sofi yang
membabi-buta tak berlandasan kuat akhirnya terjawab tapi ia masih gusar. “Oh,
begitu,” sahut Sofi.
Sofi permisi pergi
setelah tahu alasan Erwin sebenarnya tapi Erwin mencegah.
“Kemana? Duduklah di
sini! Temani aku ngopi sebentar,”
Sofi tertegun. Untuk
alasan apa bos muda yang terkenal bermulut pedas dan penampilan penuh congkak
itu tiba-tiba mengajaknya, seorang karyawan biasa di perusahaan pamannya itu,
duduk bersamanya?
Sofi duduk kembali dan
berkata, “Hanya menemani. Sambil saya melanjutkan bacaan saya,” Sofi menyetujui
permintaan –atau perintah?- dari Erwin. Sedetik kemudian Sofi merasa dirinya
bodoh karena melakukan itu. Sofi membuka buku di tangannya, terlihat tak tulus
ia fokus membacanya.
“Iya,” Erwin
mengiyakan. “Memangnya kamu mau lebih dari sekedar teman ngopi? Teman hidup
misalkan? Atau teman tidur?”
Sofi menghujamkan
pelototannya ke arah Erwin yang justru tersenyum simpul. Sialan! Batin Sofi. Orang ini
sudah sering membuatku malu, tak berdaya seolah aku ini manusia terbodoh di dunia dan sekarang
menghinaku!
Sofi berusaha membalas
ucapan itu dengan tenang, ini tempat umum, ia tak akan meledak-ledak. “Kalau
maksudnya begitu, Anda jelas salah sasaran, Pak Erwin Permana Liem!” tegas Sofi.
“Kamu sudah hafal nama
lengkapku bahkan nama margaku, ya? Bagus, dong,” timpal Erwin.
Ih,
orang ini semakin dibalas malah makin menjengkelkan! Dasar tipe lelaki
penggoda! Nah, Sofi sudah menambahkan embel-embel “penggoda”
untuk Erwin. Merasakah dia digoda oleh Erwin?
“Kalau begitu saya
permisi pergi,” Sofi memutuskan enyah dari hadapan Erwin yang sudah dua kali
lipat lebih menjengkelkan. Kemarin memaki-maki, menjatuhkan reputasinya,
sekarang genit dan dua kali menjatuhkan harga dirinya sebagai seorang wanita.
Wanita! Sofi tak terima.
“Aku serius!” Erwin
sekali lagi sukses menahan langkah Sofi. Tapi Sofi masih ragu benar-benar
berhenti melangkah. Belum jauh ia melangkah, Erwin melanjutkan kalimatnya, “Aku
serius menjadikanmu teman tidur!”
DEG! Di café itu bukan
hanya lima, enam, tujuh orang, melainkan lebih! Seisi café mendengar kata Erwin
baru saja. Sofi malu bukan main hingga wajahnya merah padam, kedua tangannya
mengepal. Ia masih belum memutuskan untuk berbalik arah mencaci Erwin atau
bahkan menamparnya atau justru dia akan berlari sekuat tenaga dan tak akan
kembali ke café itu lagi demi harga dirinya.
“Maksudku, teman hidup
kan, juga menjadi teman tidur, istri maksudnya.” Erwin memerjelas maksudnya.
Sungguh, tingkat percaya diri Erwin tak ada yang bisa mengalahkan. Lelaki itu
sungguh-sungguh overdosis meminum obat percaya diri –kalau memang ada suplemen
percaya diri-.
Sofi sudah menurunkan
kadar amarahnya tapi ia semakin terjungkal kaget. Istri? Konyol! Erwin konyol melamarnya di keramaian dengan cara
seperti itu. Lebih konyol lagi strata sosial mereka jauh berbeda. Sofi sudah
memikirkan hal itu di saat seperti ini.
Sofi berjalan ke arah
Erwin dan memintanya untuk membicarakannya di tempat yang lebih “aman” dari
sorotan banyak mata. Mereka berdua ke
area parkir. Erwin meminta Sofi masuk ke mobilnya. Mereka terlibat pembicaraan
di dalamnya.
“Sebegitu teganya Anda
memermalukan saya seperti tadi? Anda sudah gila, hah?!” sergah Sofi yang sudah
berlinang air mata, sesenggukan.
“Maafkan, aku,” Erwin tampak
menyesali perbuatannya.
Maaf. Erwin tak pernah
berucap terima kasih padanya dan sekarang minta maaf? Tuluskah?
“Saya nggak akan banyak
bicara. Anda jelas salah sasaran meminang saya. Lebih baik Anda pertimbangkan
lagi,”
“Berapa kalipun aku
memertimbangkannya, keputusannya sama. Aku melamarmu,”
“Ini nggak mungkin.
Siapa Anda? Siapa saya? Jauh!”
“Apanya yang jauh? Kita
sama-sama manusia, aku berhak juga jatuh cinta,”
“Tapi hak itu terbatasi
oleh hak saya untuk melarang Anda mencintai saya,”
“Tuhan nggak melarang
aku jatuh cinta sama kamu,”
“Tapi kenapa saya?
Kenapa?”
“Ya, aku nggak ngerti
kenapa. Dan aku ngrasa memang nggak perlu sebuah alasan atau beribu alasan
untuk jatuh cinta, dong. Kamu cantik, kamu pintar, kamu apa, itu akan dibalik
pernyataannya ke aku bahwa yang cantik, pintar, kaya dari golongan etnisku juga
banyak. Tapi aku nggak bisa. Dan faktanya sekarang aku jatuh cinta sama kamu
dan pingin kamu menerima pinanganku. Ya, walau tadi caraku salah. Terkadang aku
terlalu percaya diri,”
“Anda memang sering
super percaya diri,” potong Sofi.
“Tampaknya kamu sudah
tahu banyak tentangku. Lalu apa lagi? Itu artinya kamu sudah sering memikirkanku
di bawah sadarmu, kan? Apa lagi? Terimalah aku! Aku ganteng seperti model ketampanan,
mapan dan aku yakin aku setia mewarisi karakter almarhum papaku yang setia
menemani mamaku sampai hembusan terakhir nafasnya akibat kanker rahim dan
papaku tak menikah lagi sampai setahun lalu di usianya ketujuh puluh meninggal
dunia. Tak ada catatan perselingkuhan dalam keluargaku,”
“Itu wujud percaya
dirimu yang lain,”
“Nah, apa kubilang,
kamu sudah memerhatikanku begitu banyak dan dalam, mungkin,”
Sofi melirik tajam
kepada Erwin dan hatinya sedikit meluruh atas kegigihan Erwin mencintainya tapi
apakah beberapa bulan perkenalan yang tak begitu mendalam bisa membuahkan cinta
yang serius dan ingin dibawa ke jenjang lebih serius, mulia dan sakral?
“Anda jelas, jelas dan
jelas salah sasaran, Pak. Mungkin perbedaan itu tidak berarti banyak tapi
sungguh ini tak masuk akal. Anda salah kalau bicara bahwa saya memerhatikan Anda lama dan
mendalam. Sedikit pun tidak. Pikirkan baik-baik,”
“Kamu juga harus
memikirkan ulang penolakanmu. Aku yang sudah superior ini rela memermalukan
diri, bahkan dirimu, ya hanya untuk kamu. Mohon dipikirkan lagi, Sofia Agustin,
itu kan nama lengkapmu? Ya, aku sudah memelajari profilmu semenjak kamu sering
kutolak mentah-mentah di kantorku. Dan aku harap kamu akan me-re-state-ment kata-katamu tadi. Diubah
jadi perkataan yang bisa menyenangkanku, oke?”
Sofi tak tahu harus
berkata apa, melakukan semacam perlawanan pada Erwin juga tampaknya sudah tiada
guna. Karena sekuat apa pun ia menolak, sekuat itu pula Erwin akan berupaya
meruntuhkannya, membuat Sofi salah tingkah sendiri. Dan lagi-lagi tatapan mata
Erwin... oh, mata T.O.P seolah menatapnya! Tentunya dengan wajah berbeda.
Menuju maju ke dua
tahun setelah percakapan di café dan mobil Erwin malam itu.
Sekarang... Erwin hadir
kembali di hadapan Sofi. Tak banyak perubahan terjadi pada penampilannya. Tampaknya
apa pun tak ada yang berubah dari diri Erwin. Dan Erwin menegaskan itu.
Erwin berpindah posisi
duduk lebih dekat dengan Sofi. Teramat dekat sampai Sofi seolah tak diberi
ruang untuk sekedar bergerak membenahi posisinya karena di sisi lain terbatasi
tangan sofa yang mereka duduki.
“Tolong geser sedikit,
dong!” pinta Sofi. Erwin menolak.
“Sesek, nih!” tambah
Sofi.
“Kenapa memangnya? Kamu
nggak kangen sama aku selama dua tahun nggak ketemu? Gimana rasanya
kutinggalkan selama itu ke Macau? Aku punya banyak oleh-oleh untukmu. Ada di
rumah, sih. Kalau nggak keberatan kamu bisa mengambilnya di rumah, gimana?”
Sofi melipat-lipat
kulit dahinya, mengerutkannya keningnya. Ia juga sedikit malu dengan apa yang
sekarang Erwin lakukan.
Orang
ini bos tapi nggak tahu malu! Dimana rasa menjaga gengsinya dulu?
Sofi mengumpat-umpat
sembari ia lupa bahwa Erwin memang sudah menanggalkan gengsinya dua tahun lalu
semenjak meminangnya dengan cara tak romantis tapi justru memermalukannya di
khalayak umum.
Sofi menyikut perut
Erwin. Erwin justru membalasnya dengan perlakuan yang melipatgandakan rasa malu
Sofi di depan umum bahkan sahabatnya yang kini bergabung dengannya.
“Auuww!” keluh Erwin.
Beberapa orang di sekitar mereka bertanya-tanya, termasuk sahabat Sofi, Laura
yang ternyata adalah kekasih seorang rekan dekat Erwin. Oh, dunia ini begitu
sempit untuk dua orang yang -mungkin- ditakdirkan untuk berjodoh.
“Ini loh, temen kamu, Ra,
genit juga ya? Gayanya saja yang jual mahal tapi aslinya...” Erwin
menaik-turunkan kedua alisnya pada Laura.
“Ekspresimu itu dua
kali lipat lebih genit, Win! Kalian saling kenal?” tanya Laura.
“Tentu,” Erwin segera
menjawab sementara Sofi hanya menganga lalu mengatupkan bibirnya karena gagal
memberikan penjelasan. “Bahkan aku sudah melamarnya dua tahun lalu,” sambung
Erwin membuat Sofi sontak menggerak-gerakkan tangannya ke kanan dan ke kiri.
“Enggak!” sangkal Sofi.
“WOW! Sofi, kamu nggak
pernah cerita soal Erwin. Padahal aku juga kenal dia. Kalau katanya dua
tahun... aku mengenal kancrut ini tiga tahun! Selama aku pacaran sama Hendri.
Gila kamu Sof, kita sahabatan berapa lama? Kamu kenal Hendri juga lama, kan,
walau kalian nggak satu kantor? Bisa-bisanya kamu nggak pernah cerita? Dilamar
lagi. Berita super wow, deh! Dunia memang amat sempit buat yang berjodoh!
Hehe,” Sofi terlihat kaget sekaligus riang mendengar berita ini.
“Apa? Jodoh? Kamu
kecepetan ambil kesimpulan nona novelis! Aku mem---”
Erwin spontan merangkul
pundak Sofi dan menyambung pembicaraan Sofi. Sofi tertahan untuk bicara dan
kaget bukan main. “Jelas kita berjodoh, dua tahun lalu aku melamarnya di depan
umum membuktikan aku serius justru ditolaknya lalu aku pergi ke Macau memberikan
waktu untuknya untuk mengubah penolakannya menjadi jawaban iya terus kami hari
ini bertemu nggak sengaja, tentu nggak disengaja karena aku nggak tahu dia
teman dekatmu. Baru saja Hendri memberitahuku di sini. Pastilah kami berjodoh!
Tenang Ra, kami berdua bakalan mendahuluimu sebar undangan,” Erwin berceloteh
super pede. Inilah yang disebut bahwa tak ada yang berubah dari Erwin walau dua
tahun tak bertemu. Laura begitu pula Hendri yang baru saja datang bergabung setelah
dari toilet tergelak tawa dan mengamini. Sementara Sofi berusaha sekuat tenaga
untuk memberikan penjelasan tapi Erwin selalu sukses menggagalkannya tanpa
melepaskan rangkulannya. Sampai akhirnya Sofi menyerah tapi bukan berarti
kalah. Dia biarkan Erwin bertingkah sesuka hati hingga nantinya tiba waktunya
ia akan mencaci maki bahkan mencakar-cakar Erwin yang selalu membuatnya tak
berkutik menahan rasa malu di depan umum.
Waktu berlalu sampai
acara launching buku dengan author Laura Lau usai. Jam di tangan
Sofi menunjukkan pukul sepuluh malam. Dirinya dan Laura memutuskan berpisah.
Sofi akan pulang sendiri. Tapi.... tapi Erwin menyela tanpa izin melarangnya.
Erwin akan mengantarkan wanita yang nyaris jadi calon istrinya, kalau saja Sofi
tak menolak kala itu. Laura dan Hendri justru dengan senang hati ada yang
menjaga Sofi sampai rumah.
“Mereka bisa saja
memberikan izin, tapi aku enggak. Aku sudah memesan taksi,” celetuk Sofi.
“Iya, tahu. Tapi bapak
sopirnya sudah aku suruh pergi, tuh! Gimana dong?”
Sofi melotot, lancang
sekali Erwin.
“Bisa nggak kelebaran
mata kamu diperkecil? Aku tak nyaman setiap kali kamu melotot. Mengerikan
walaupun itu juga menambah kadar daya tarikmu. Aku suka kamu marah-marah,” kata
Erwin membuat Sofi berdenyut-denyut lebih kuat karena amarahnya kembali
tersulut di kala waktu semalam itu. Waktu dimana seharusnya denyut-denyut itu
bersantai istirahat bukan justru diperkuat. “Itu artinya aku sukses menyita perhatianmu,
kan?” Erwin serius sedang menggoda Sofi.
“Apa pun bicaramu, bicara
sesukamu lah!” Sofi kepalang jengkel ia mengabaikan Erwin begitu saja,
melangkah pergi. Kali ini ketahuan siapa yang mengalami perubahan. Sofi tak
lagi menyebut kata “Anda” dan “Saya” kepada Erwin.
Erwin bergegas menyusul
Sofi setengah berlari lalu menarik Sofi kuat dan seketika itu juga menjatuhkan
Sofi ke dalam pelukannya.
“Jangan tolak aku lagi!
Aku tahu, kamu sedang berpura-pura. Semenjak tadi di dalam, pertama kita
bertemu setelah dua tahun berpisah, aku tahu kamu sedang berusaha
menyembunyikan sesuatu. Aku harap itu perasaanmu sesungguhnya. Kamu gugup. Kamu
berusaha menyangkal kamu mulai memikirkanku selama ini dan tentunya...
tentunya... mencintaiku. Jujurlah! Aku tak pernah berubah bahkan dengan
alasanku. Tak ada alasan yang harus kuutarakan padamu demi apa aku mencintaimu.
Tak satu pun. Tuhan menakdirkan kita berjodoh. Itu saja. Titik. Tak ada
alasan-alasan bualan. Aku mohon jujurlah padaku dan pastinya pada hatimu
sendiri, kamu mencintaiku,”
Ketika Erwin berhenti
berkata-kata barulah Sofi angkat bicara.
“Aku...,” Sofi masih
tertahan berbicara tapi ia akhirnya memantapkannya. “... mencintaimu. Aku
terima pinanganmu.” Benak Sofi hanya berpikir sudah waktunya jujur seperti
pinta Erwin. Kejengkelannya selama ini tanpa ia sadari sudah menyeberang
jembatan tipis menuju kata yang lebih tepat, cinta.
Erwin teramat bahagia
malam itu dan menambah kerekatannya memeluk Sofi, mengelus kepala Sofi dan
mengecupnya. Tiada alasan untuk berlama-lama di sana, mereka segera pulang.
Esok harinya mereka serius membicarakan perihal sakral. Pernikahan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Ditunggu kritik dan saran membangun yah :)