Rabu, 20 Februari 2013

Bertemu Pengantri Kematian



Bertemu pengantri kematian

Pembaca, ini tulisan kedua gue pada hari Senin, 18 Februari 2013. Gue tulis ini karena gue pengen cerita perihal kematian. Kenapa tiba-tiba ngomongin kematian? Kematian bukan topik tabu atau langka karena sesungguhnya kematian lekat dengan setiap pribadi yang hidup. Ada hidup, pasti ada mati. Itu cerita klasik. Karena itulah hukum Tuhan yang berlaku.
Oke, to the point. Jadi, pagi tadi sekitar pukul ... pukul berapa ya.. ya katakan rentang setengah enam pagi sampai jam tujuh kurang. Gue lupa. Pas itu gue ada di depan toko milik bude gue, entah mau nyapu atau sekedar sepintas lalu aja. Fokus mata gue ke arah tukang becak yang rumahnya depan toko bude gue pas dan sering mangkal di pos jaga deket toko gue pas. Beliau nampak buru-buru banget dan seolah memanggil orang jauh di belakang gue. Gue fokus tapi gue cuek. Alah palingan pelanggan biasa. Tapi lalu fokus mata gue kembali ke tukang becak itu dan kali ini penumpang di atasnya. Gue fokus karena penumpangnya sedang dalam kondisi mengaduh-aduh lemas bersandarkan bantal yang ada di belakang kepalanya yang nyandar ke becak. Kenapa orang itu? Maksud gue sakit apa ya orang itu? Parah mungkin ya. Okeii.. padahal semalem itu atau kemarin malemnya lagi gue tahu beliau masih jalan-jalan dan duduk-duduk di tetangga bude gue. Malah sempet nyamperin tukang jualan tahu tek-tek keliling. Nah, kemudian beliau naik becak dianter istrinya naik becak itu tadi. Lalu... ya sudahlah... gue prihatin. Kasihan sakit. Sudah itu saja fokusku.
Beberapa jam berlalu... sekarang 11.14 WIB. Mungkin sekitar sejam yang lalu gue baru balik ngajak jalan-jalan keponakan gue yang cowok, adiknya Jasmine, Ero namanya. –profesi serabutan gue sekarang adalah pengasuh anak-anak, tepatnya keponakan gue sendiri. Lumayan... belajar jadi ibu, hahahaii- kemudian gue tahu banyak ibu-ibu yang bawa nampan plus kain penutup. Itu tandanya mereka habis ta’ziyah dong... dan alamakjaannn... –ala tulang togu di sinetron haji sulam tukang bubur naik haji- itu bener. Gue perhatikan arah mereka jalan. Gue sih, nggak tahu pasti ya apa kaitannya arah mereka jalan, ta’ziyah trus tiba-tiba kepikiran bapak-bapak yang jadi topik paragraf sebelumnya. Cuman setelah usut punya usut tanya ke bude, iyaaappp... bapak-bapak berinisial H yang gue sebut di paragraf di atas lah yang meninggal dunia! Innalillahi wainnaillaihi roji’un. Otak gue nggak habis pikir. Kematian. memang bener-bener lekat di diri manusia. Entah seberapa dekat. Mungkin ibarat kematian itu sebuah benarng tajam yang begitu melekat di urat nadi manusia, ia siap “beraksi” begitu saja dengan menekan atau menggores benang itu di urat nadi ketika waktunya tiba. MasyaAllah.
Hal semacam ini bukan pertama kalinya gue alami. Baru ketemu orangnya beberapa waktu lalu, tiba-tiba sudah dipanggil Tuhan itu bukan hal langka tapi yang bener-bener beda beberapa jam sebelum meninggal, masih mengaduh-aduh lalu beberapa jam kemudian meninggal,... Allahu akbar... baru kali ini. Mungkin pas gue tahu beliau mengaduh-aduh tadi di becak, kasat mata gue nggak mampu melihat bahwa malaikat pencabut nyawa sudah mendampingi beliau. Gue nggak kenal beliau. Tapi untuk beliau, ya Rabbi... ampunilah dosa-dosa beliau, terimalah amal-ibadah beliau. Untuk keluarga yang ditinggalkan, semoga sabar dan kuat. Kuatkanlah iman, islam dan ihsan mereka jika mereka bertauhid tapi jika belum berikan mereka hidayah ya, Rabbi.
Kejadian di atas aslinya ngingetin gue pribadi untuk banyak ingat kematian dan segera memperbaiki diri karena kematian amat sangat begitu dekat dengan gue. Padahal gue sering meminta kematian sama Tuhan karena saking gue pernah dalam kondisi di bawah yang bikin gue ngrasa nggak tahan ngejalani hidup. Tapi ternyata Tuhan berkata lain, sampai detik ini gue masih hidup, gue dikasih segala yang gue butuhkan walau nggak semua keinginan gue diberikan. Gue masih bisa memeluk ibu dan ayah gue, masih bisa ngelus kepala adik-adik gue. Masih bisa berinteraksi sama sahabat-sahabat gue. Dan mereka semua sering gue sakiti tapi gue nggak sanggup jika mereka-mereka pergi. Begitu juga dengan Tuhan dan kematian. Gue sering minta kematian datang ke gue padahal gue juga nggak sanggup nanggung kesendirian di alam kubur sendirian. Gue nggak sanggup nanggung kesakitan di sana. Pengab, sendirian, sesak, gelap. Dan tak ada kesempatan memperbaiki diri. Dan tak ada yang bisa jadi tempat gue mengadu menangis lagi.
Gue, dan Anda, Anda, Anda juga Anda, dan mereka yang masih menghirup oksigen sungguh merupakan pengantri kematian yang setia, baik dikehendaki maupun tidak, suka maupun tidak. Bapak-bapak itu tadi pengantri entah nomor ke berapa dalam antrian kematian. Namanya sudah tertulis jelas di daftar buku kematian makhluk Tuhan di dunia ini. Gue dan siapapun yang masih hidup, namanya masih samar-samar di daftar buku kematian itu, tinggal menunggu titah Sang Khaliq terhadap malaikat pencabut nyawa.
Ini refleksi diri untuk diri pribadi gue, semoga lebih dekat sama Sang Khaliq. Belajar ikhlas dan taat beribadah. Meninggalkan yang munkar, mengabdikan diri pada Illahi Rabbi. Kami mohon petunjukMu ya, Rabbi... ampuni kami.

Seni jadi seorang “ibu”



Oke, pembaca.. (duilleehhh, kasep pisan gue memanggil viewer atau bahkan reader blog ini dg panggilan begitu.. pengennya sih, ada panggilan kesayangan buat Anda semua tapi kok, bingung mau menyebut Anda apa? any idea? ^^) selamat pagiii... semangat pagi!!! Ini gue tulis (belum gue post) pada pukul 05.43 waktu setempat laptop gue.
Gue pengen berbagi soal judul di atas. SENI JADI SEORANG IBU, kata ibu dalam tanda kutib. Why? Dan kenapa harus seni? Jawabannya: gue bingung. Gue nggak ngeh sama makna seni sejatinya. Yang gue tahu adalah mereka yang suka nyanyi, nari, melukis dan sebangsanya. Lalu ibu. Yang gue tahu sih, sejauh ini sosok ibu ya mereka yang melahirkan kita, mengasuh kita, atau mereka-mereka yang sudah menikah, punya anak dan pantas dipanggil ibu. Lalu, letak permasalahannya dimana? Oh, bukan permasalahan sih, istilahnya. Apa ya... emm... jadi begini... sudah 4 malem semalam itu gue hidup nomaden. sedari pagi sampai sore di rumah bude, malem sampai subuh hari di rumah sepupu gue. ngapain? Itu karena keponakan gue cewek satu-satunya, panggil dia Jasmine, minta tolong ditemenin tidur. Ah... seneng gue, gue bisa “dipercaya” sama anak kecil.
Gue suka anak kecil juga tapi terkadang gue takut terhadap penolakan yang mungkin terjadi dari mereka. contohnya, sepupu gue yang masih 2 tahunan, namanya Avi, setiaaaaappppp kali gue godain selalu spontan mewek, cenger!!!! Lah, gue yang kegemukan kayak monster apa gimana? Perasaan nih, ya jujur sedalam-dalamnya dan senyatanya gue nggak pernah lho, bikin track record “kriminal” sama anak kecil, kecuali sama adik gue dulu pas mereka masih kecil, gue masih kecil, gue “bully”ing mereka. eiitttsss... tapi paling gue marah-marahin, gue cubit, itu karena gue dulu masih nakal dan saking gemesnya. Tapi aslinya gue sayang kok, sama mereka. lah, apalagi sudah segede gini, gue mana mungkin nge-bully anak-anak lucu begitu. Jangan sampai! Gue juga nggak mau anak-anak gue dibully  orang. dan gue juga nggak berpikiran mendidik mereka dengan gaya otoriter yang sempet diajarin ayah dulu pas gue masih kecil.oke balik ke sepupu gue. heran minta ampun kenapa ya, dia kayak ketakutan sama gue, sementara keponakan gue dari sepupu gue dengan usia yang sama tapi cowok sih, biasa aja tuh, sama gue.
Nah, ke poin pembicaraan berdasarkan judul di atas. Selama 4 malem tidur bareng keponakan gue cewek yang masih TK –bentar lagi masuk SD- gue jadi belajar. Belajar tentang...
Pertama, bangun pagi. Hahahha... gue ketawa dulu yee... :p begimana enggak, soalnya kalo tidur di rumah bude gue, gue sering molor lagi sehabis subuh sampai jam setengah 7 pagi. Hahaha. itu ya, kebiasaan yang agak sulit diubah, secara gue kalo tidur selalu jam 12 malem atau lebih. Aslinya jam-jam 9 atau 10 malem udah tidur tapi karena kalo di rumah bude gue ada gadget satu ni, “dark bluish” alias laptop gue yang bisa ngasih gue hiburan macam apapun, akhirnya gue berkutat dengannya. Apalagi semenjak “Reddish” alias ponsel gue hilang pertengahan Januari lalu. cuman laptop ini kesayangan gue satu-satunya. Kalo tidur sama keponakan gue, gue ikut ritme tidurnya dia, tidur awal. Ya sudah, insting ngantuk gue apda awal jam 9 atua 10 terpenuhi langsung, deh. ^^ Nah, itu himkah pertama gue tidur bareng kepokan gue.
Kedua, gue jadi sering terjaga. Namanya anak kecil ya, bisa aja dan kemungkinan besar bangun di tengah-tengah malam itu ada banget. Mulai dari minta susu, ngompol atau sekedar minta garukin punggung atau dipuk-puk atau apalah, dielus-elus lah bahasa lazimnya. Ya, gue merasa “bertanggungjawab” sama keponakan gue karena gue tidur sama dia, so kalo ada apa-apa ya gue. Gue nggak keberatan, serius! Gue justru seneng karena akhirnya gue belajar jadi “ibu”. Nah, ini poinnya. Jadi “ibu”. Minimal ini pelajaran berharga buat gue jadi seorang ibu kelak. Gue nggak bisa ngebayangin ya kalo jadi ibu beneran apalagi dnegan anak bayi, mungkin hampir setiap jam malamnya terkuras untuk ngurus bayinya. Gue kepikiran sepupu gue di Kediri sana yang bayinya baru menginjak 5 bulan. Ya Rabbi... pantesan ya ibu itu dimuliakan banget, dari hamil 9 bulan dibawa kemana-mana bayinya tanpa ada rasa kesal dan sesal lalu melahirkan, merawat, mengasuh, mendidik, kemudian nanti kalau dewasa mencarikan atau minimal mendoakan supaya lancar sekolah, kerja dan jodohnya lalu kalau sudah menikah ibu dan ayah juga ngemong cucu –anaknya kita- masyaallah... ibu ya... bener-bener profesi maha wow!!! Pantesan penguji skripsi gue bernama bu Hamidah, mengkritik pedas tulisan skripsi gue yang menulis “ibu rumah tangga biasa”. Menurut beliau, profesi “ibu rumah tangga” itu nggak biasa lho! Catet! Bener sih. Menurut kenalan gue seorang penderita Lupus –skripsi gue mengkaji wanita dewasa awal berstatus menikah atau ibu-ibu usia 18-40 tahun yang terkena Lupus- bahwa pekerjaan ibu rumah tangga sebenarnya lebih banyak menguras energi ketimbang ibu sebagai wanita karir. (gue nulis ini lepas dari permasalahan opsi jadi ibu rumah tangga atau wanita karir lho, ya ^^). Intinya, baik jadi ibu rumah tangga maupun ibu rumah tangga yang bekerja di luar, statusnya sama, mereka atau sama-sama jadi seorang ibu bagi anak-anak mereka dan mereka wajib memenuhi tanggungjawabnya. Ini jadi pelajaran buat gue yang masih single supaya siap mental jadi seorang ibu dan segala hak dan kewajibannya kelak walaupun nggak sepenuhnya ya.
Ketiga,yang ini mungkin bukan hikmah sih, karena gue jadi sering terjaga juga gara-gara faktor ini. lampu menyala! Oh, Tuhan... jujur gue nggak suka tidur dalam kondisi lampu menyala. Dilihat dari segi kesehatan juga nggak bagus. Dan beberapa waktu terakhir ini, konsep tidur malem gue itu lingkungan gue harus ruangan yang bener-bener disebut k.a.m.a.r, harus gelap atau sedikit pencahayaan, pintu terkunci atau minimal selambu. Itu wajib! Lainnya semacam guling, itu tambahan. Selimut juga, yang penting ada sandaran buat kepala lebih tinggi. Cukup. Tapi tidur bersama Jasmine... dia ogah dimatikan lampunya. Tapi kamarnya kalo dimatikan lampunya emang gelap gulita, sih, agak horor. Soalnya kalo bener-bener gelap, gue juga agak sesak napas tiba-tiba. Tapi, baik gelap maupun enggak, gue belajar untuk saling berbagi, ikhlas nerima kondisi yang harus mengesampingkan ego gue buat orang lain, apalagi sama anak kecil. Kan, nggak mungkin gue adu argumen sama anak kecil. Yang gede yang ngalah. Belajr juga, janga-jangan pasangan gue nanti juga suka berseberangan sama gue nanti untuk hal sepele.
Ketiga hal itu emang nampaknya remeh temeh tapi aslinya nggak ada kesia-siaan kok setiap yang terjadi pada kita. pasti ada hikmahnya. Gue sih, belajar untuk ngambil hikmahnya. Emang kalau dipikirkan dengan seksama memang begitu, segalanya terjadi karena suatu alasan. Itu cara Tuhan memberikan pemahaman untuk hambaNya. Happy Monday, pembaca... semoga rezeki Anda dan saya dan kita semuanya selalu lancar dunia-akhirat. ^__^

Senin, 11 Februari 2013

cerpen: My Love, From Fat To Slim


My Love, From Fat To Slim

Carla menarik nafas dalam dan segera menenggak segelas besar air es di meja makan. Dia pusing mendadak dan jantung berdebar. Belum apa-apa dia sudah rugi. Hari ini hari pertama dia mengambil stok barang ke temannya yang sudah mengepakkan sayapnya lebar-lebar di dunia bisnis handy craft seharga ratusan ribu. Carla ternyata tidak mempersiapkan segala macam bentuk resiko yang harus ditanggung. Di pikirannya kalau pun ia rugi bisnis handy craft mungkin hanya karena tak laku tapi kecelakaan lalu membuat barangnya hancur di hari pertama dan belum sempat ia perdagangkan? Oh... noooo! Tapi semua sudah terjadi.
“Gue nggak boleh nyerah. Ini masih belum apa-apa. Siapa tahu, rugi di awal, untung di akhir. Bismillah... pasti bisa!” ucapnya sendiri.
“Tapi... gue nggak bisa kalau selapar ini. Kenapa tadi gue nggak beli fast food aja coba? Tapi kan, gue sudah berkomitmen makan fast food sebulan sekali. Minggu lalu gue barusan makan di fast food dekat food court. Yap! Gue harus konsisten kalo pengen kurus!” celoteh Carla lagi yang berambisi ingin kurus tapi sering gagal total.
Bel rumah berbunyi. Carla menoleh lemas. Pasti pak pos yang setiap minggu nganter surat bank atau semacamnya langganan kakaknya, Renatha. Ini kan, hari Rabu. Pak pos rutin ngasih hari Rabu. Carla berjalan lempeng membuka pintu rumahnya lalu pagar rumahnya.
“Iya, Pak, mana pulpennya?” tanya Carla seperti biasa kepada pak pos untuk menandatangani surat tanda terima kiriman yang disampaikan pak pos.
Carla tak menyimak baik-baik siapa datang. Ia sibuk menyingkirkan kerikil-kerikil di area  pagar rumahnya. Lalu ia mendongakkan kepalanya dan ternganga seketika.
Tuhan... pangeran ini jatuh darimana? Di bumi yang menua ini ada ya wajah setampan ini?
“Elo! Hei!” sapa lelaki itu.
Carla masih menganga. Takjub.
“Renatha ada?” tanyanya lagi. Carla masih terhipnotis, belum sadar.
Lelaki itu mengguncang-guncangkan tubuh Carla.
“Eh, em, anu, Carla. Nama gue Carla,” kata Carla pede mengulurkan tangan memperkenalkan diri. Lelaki itu menyambut datar dan tersenyum kecut. Carla mengabaikan itu.
“Renatha ada?” tanya lelaki itu sekali lagi.
“Oh, kak Rena? Kak Rena ke Phuket kemarin lusa. Mungkin dua hari lagi baru dateng,” jawab Carla.
“Oh, begitu. Sampaikan ke dia ya, kalo udah di sini, suruh nyamperin gue, Elang,” kata lelaki itu.
Oh, namanya Elang. Sepadan dengan tatapan matanya yang membius. Tapi bukan seperti Limbad! Hiii.
Lelaki itu meninggalkan Carla dalam keterpukauannya sendiri. Tanpa pamit, tanpa basa-basi, begitu saja masuk ke mobil mewahnya lalu pergi. Carla tetap tak mencatat itu sebagai sebuah keburukan.
@@@
Semenjak pertemuan pertama dengan lelaki bermata Elang dan memang bernama Elang, Carla jadi sering cengar-cengir sendirian di kamar, di ruang makan, di depan tivi, di kampus, di kantor dan dimana pun dan kapan pun termasuk ketika dia sedang berinteraksi dengan para konsumen yang hendak membeli barang dagangannya. Suatu kali ia terlibat percakapan dengan sahabatnya mengenai ini.
“Woii!!! Ada yang mulai kena simptom halusinasi, nih! Ati-ati loe, bisa-bisa loe menuhi kriteria diagnosis sakit mental kronis!” celetuk Sarah, sahabat Carla di kampus dan di kantor. Carla tak menggubrisnya dan masih  senyum-senyum sendiri.
“Wah, sinting beneran nih, anak!” kata Sarah lalu usik memencet hidung Carla sampai Carla tersengal-sengal nafasnya.
“Eh, eh, apaan, nih?! Mentang-mentang hidung gue pesek!” suara Carla aneh. Sarah melepasnya dengan tertawa.
“Abis elo sih, nyengir kuda begitu! Sendirian lagi! Kesambet zombie mana loe di siang bolong begini, hah?” tanya Sarah.
“Waduh, zombie... eh, tapi sempet baca di koran ada film romantis tentang zombie. Mirip-mirip gitu deh, sama Twilight tapi ini zombie bukan vampir. Pemerannya ganteng, lho. Tapi gue juga lupa apa judulnya,” Carla masih sempat berbagi info.
“Aduh, selera elo tuh, syaiton ganteng, ya? Sekalipun ganteng kalo itu dari dimensi lain itu nggak boleh, La! Kita sudah diciptakan dengan bangsa kita sendiri, jodoh pun dari bangsa sendiri. Elo ngerti kan, maksud gue ayat tentang itu,”
“Tahu, tahu, Nyai. Tapi, gue juga nggak sehoror itu lah! Itu cuman felem. You know? Gue masih normal. Doyan lelaki dari bangsa manusia,”
“Oke dokey. Eh, ceritain dong, lelaki tampan yang elo twit beberapa waktu lalu ke gue! Siapa dia?” tanya Sarah penuh rasa penasaran.
Carla berpikir sejenak. Emang pernah dia memberitahukan lelaki tampan ke Sarah?
“Itu lho, yang matanya kayak elang,”
“Oh, Elang! Iya, Sar... dia gantengnya minta ampuuunnn.... haduh. Artis beken mana pun lewat!”
“Denny Sumargo!”
“Lewat,”
“Anjasmara?”
Carla menggeleng.
“Darius Sinathrya?”
Carla mengibaskan telapak tangannya tanda tak sepadan.
“Primus Yustisio?”
“Sarah! Selera lu bapak-bapak, ya? Haduh, capek deh,”
“Ngaco bapak-bapak. Om-om tahu. Mereka masih muda. Yang pertama gue sebut juga masih ngejomblo, tuh!”
What ever lah, ya, yang pasti elu suka yang se-cohort sama kakak gue. Kakak gue sudah tiga lima, hahaha... tapi betewe jauh juga ya, sama gue? Gue sekarang dua tiga,”
“Ah, tapi lelaki emang makin berumur makin keren gila tahu, La!”
“Ya, ya, itu selera elo. Gue seleranya sedeng-sedengan aja yah, nggak muda, nggak tua. Sepantaran is oke. Tapi kalo boleh tua sedikit, ya maksimal lima tahun, deh,”
“Itu harga mati?”
Carla mengangguk.
“Jodoh emang harga mati tapi soal siapa, gimana-gimananya dia kan, nggak ada yang tahu. Siapa tahu elo dapet brondong tujuh tahun di bawah elo atau malah meroket bertahun-tahun di atas elo. Di atas om-om ganteng yang gue sebut tadi, hahaha....” ejek Sarah. Carla spontan mengucap naudzubillah mindaliq dan istighfar banyak-banyak.
“Elu, Sar, mulut lu pedes! Pedesan elu ketimbang gue,” omel Carla kesal. Sarah hanya tertawa.
Lalu mereka kembali menyeruput jus yang mereka pesan di sebuah food court mall dan menikmati donat yang baru mereka beli di lantai paling bawah tadi.
Sejenak berlalu, Sarah menyenggol lengan Carla.
“La, itu baru lelaki kece badai, tuh!” ucap Sarah.
“Mana? Mana?” Carla ingin tahu.
Carla mendadak melotot.
“Itu, Sar! Itu!” Carla heboh sendiri membuat orang di sekitar mereka menoleh seketika ke arah mereka.
“Yee, hebohnya jangan nunjuk-nunjuk gitu! Malu tahu...” protes Sarah sambil menurunkan tangan Carla yang menunjuk-nunjuk ke arah lelaki yang dimaksud Sarah itu.
“Elang!” seru Carla agak lantang. Kali ini membuat si empunya nama juga ikutan menoleh. Carla dan Sarah melotot. Sigap mereka berdua membalikkan badan dan membuang muka ke arah lain dan menutupi wajah mereka dengan tangan mereka.
“Elo malu-maluin banget, sih, Carla! Habis gini gue bawa loe ke dokter biar disuntik penenang biar kehorean elo itu bisa berkurang,”
Carla menyikut Sarah kesal, ia tak sengaja spontan seperti tadi. Lalu Sarah menyeretnya pergi dengan paksa. Mereka mengambil langkah seribu. Lalu menuruni eskalator secepat kilat. Mereka tiba juga di lantai paling bawah. Mereka mengambil nafas lega. Terasa jantung mau copot abis dikejar satpol PP atau bahkan hantu. Tapi di tengah keramaian mall begini? Dikejar satpam karena ketahuan ngutil itu lebih tepat. Tapi ini bukan. Untungnya bukan.
“Gila lo, ya, La!”
“Ya, sori Sar, gue spontan tadi. Gue kaget banget itu orang di sana,”
“Jadi, itu Elang?”
“Iyes!”
“Tapi... nggak ganteng amat, sih,”
 “Orang serupawan tak terbantahkan begitu? Masih level tiarap menurut elo? Setinggi apa selera elu, Sar? Atau karena dia bukan bapak-bapak muda?”
“Ye... ngaco! Stigma elo tuh, jangan kelewatan sama gue! Gue emang suka lelaki dewasa kali tapi gue bukan perusak hubungan orang,” Sarah sewot.
“Sori, sori. Gue nggak maksud begitu. Tapi, wah, parah lu, bilang dia level rata-rata,”
“Serius. Masih ada yang lebih kece dari itu aslinya. Banyak malah di kota metropolis begini, La,”
Carla mengiyakan pernyataan Sarah. Sarah memang sangat tahu pergaulan dan gaya hidup orang kota masa kini. Jauh di atasnya.
“Tapi, tadi dia sama siapa ya, La? Berdua sama cewek. Wah, jangan-jangan itu istrinya. Wah, elu beneran suka sama om-om. Selevel sama gue,” kata Sarah.
“Ngaco! Tapi, ah, masa sih, dia beristri. Kayaknya dia nggak jauh-jauh amat dari kita. Gue sih, nggak terlalu merhatiin cewek tadi. Masa’ istrinya? Yah, ogah ah.. masa gue suka lelaki beristri. No way!”
“La, pulang yuk, gue lebelet pup, nih!”
“Sarah... elu tuh, ya... haduh, hobi elu selalu begitu kalo lagi asyik jalan. Lama-lama lu bawa we-ce berjalan aja, deh!”
Sarah nyengir kuda.
@@@
Carla menikmati susu coklat hangat bikinannya. Ini ritual rutin yang ia lakukan menjelang tidur. Obat ampuh untuk membuatnya segera tidur dan segera mengosongkan perutnya esok pagi. Sirkulasi pencernaannya berjalan lancar untuk esok pagi.
Ia membawa secangkir besar susu coklat menuju kamarnya. Tapi ketika ia melewati kamar kakaknya, Carla berhenti sejenak. Ia samar-samar mendengar suara lantang kakaknya yang sepertinya nampak marah-marah.
“Gue nggak mau tahu lagi. Itu urusan elu lah! Gue nggak ada hubungan apa-apa lagi sama Romi,”
Sejenak diam, Carla tak mendengar apapun suara di seberang telpon sana.
“Romi itu sudah ngrusak rumah tangga gue sama Iqbal. Mau apalagi dia?”
Carla ikut terenyuh mendengar kalimat kakaknya. Iqbal. Mantan kakak iparnya. Kakaknya dan lelaki bernama Iqbal menikah baru tiga tahun, belum punya anak kemudian rumah tangga mereka diterpa badai besar. Romi. Lelaki itu datang dengan pesonanya yang menghipnotis Renatha ketika mereka berdua terlibat tour ke Wakatobi. Lelaki borju yang punya segala-galanya itu menarik simpati Renatha hingga ke jantung hatinya kala Renatha sedang ada masalah tentang keturunan dengan Iqbal dan mertuanya, orangtua Iqbal. Waktu berjalan, Renatha hanyut dalam romansa dengan Romi dan Iqbal makin menjauh. Hingga tepat setahun lalu, hakim memutuskan Renatha dan Iqbal bercerai.
Renatha jelas akhirnya kecewa karena aslinya cintanya hanya untuk Iqbal dan Romi hanya cinta sesaat. Bulan-bulan pertama pasca sidang perceraian diputuskan, Renatha masih merasa pilu. Romi datang menawarkan obat pilu itu. Tapi, isi otak Renatha hanya untuk Iqbal. Sampai waktu menjawab semuanya. Iqbal sudah berpindah ke lain hati begitu cepat. Renatha tak habis pikir. Pilunya semakin menjadi. Akhirnya hatinya tak terbuka untuk siapapun, lelaki manapun. Tapi di sisi lain, Romi menunggunya tulus.
Suara pintu terbuka. Carla kaget.
“Ngapain kamu berdiri di sini, La? Kakak berharap kamu nggak denger apapun itu!” ujar Renatha.
“Oh, enggak kok, Kak. Aku cuman lewat aja, dari dapur mau ngamar langsung,” sahut Carla lalu segera pergi ke kamarnya.
Carla mengunci pintu kamarnya rapat-rapat. Dia merenung. Kakaknya itu ternyata wanita kuat. Ia tak patah arang walaupun sudah dikecewakan lelaki yang dicintainya. Kakaknya itu juga wanita rapuh kadang kala, ia mudah terbujuk rayuan lelaki lebih “wow”. Tapi dia juga segera kembali dalam keadaan sadar meninggalkan lelaki itu. Kakaknya itu cantik, cerdas, prestasinya bergaris linear lurus selalu cemerlang semenjak di bangku sekolah sampai kerja bahkan secermelang kisah romantisnya yang selalu beruntung, terkecuali peristiwa setahun lalu yang menyakitkan. Menurut catatan Carla secara tidak tertulis, Renatha itu banyak dikagumi para lelaki tampan. Banyak yang berusaha meminangnya tapi Renatha sering menolak karena ia masih mengejar karirnya di bidang pariwisata. Hingga ia benar-benar jatuh cinta pada lelaki tampan dari kalangan biasa, fotografer yang pernah ikut proyek dengannya. Di usia ke tiga puluh satu Renatha melepas masa lajang dengan bahagia tapi ternyata jalannya tak mulus. Walhasil gerbang perceraian dilaluinya.
Agak beda dengan Carla. Sekalipun saudara kandung penampilannya casual biasa saja. Ia tak banyak bergincu. Palingan pelembab, bedak dan lip balm yang menghiasi wajahnya sehari-hari baik di kampus, di kantor, dimana pun. List daftar pacar juga tak ada. Satu pun! List lelaki penembak juga tak ada! Kosong mlompong! Ada yang salah? Carla sempat stres memikirkan itu. Nampaknya ada yang salah tapi ia tak bisa melihat itu. Bicara tampang, ia tak jelek-jelek amat. Mpok Omas bisa juga berjodoh. Bicara berat badan, Oki lukman bisa berpacaran. Masalah materi? Anak-anak SMP yang masih minta uang jajan mamanya juga sudah punya pacar. Apa dong? Hingga suatu titik Carla jenuh stres sendiri, ia mengabaikan segalanya. Tapi hasratnya untuk menikmati ketampanan para kaum Adam tak pernah luntur. Tapi ya itu, ternyata hanya sepintas lalu. Cuci mata. Tak pernah turun ke hati lagi.
@@@
Carla sedang mendaftar barang-barang yang hendak ia jual setelah ia pulang lembur di kantor semalam. Ia masih tampak ngantuk padahal jam sepuluh nanti ada kuliah. Kemudian konsentrasinya pecah ketika bel rumah berbunyi berulang kali. Carla nampak kesal. Sekali dua kali pencet saja sudah cukup.
“Cari siapa?” tanya Carla lalu kembali ia ternganga pada posisi pertama kali ia bertemu lelaki menakjubkan. Elang kembali.
“Gue cari Rena. Ada kan? Di kantor nggak ada. Pasti di rumah,” kata Elang langsung menerobos masuk rumah Carla. Spontan Carla menarik ujung leher jas Elang dari belakang dengan susah payah karena postur tubuh Elang jauh lebih tinggi ketimbang dia.
“Apaan, sih? Nggak sopan!” protes Elang berusaha melepaskan diri dari Carla.
“Emangnya situ tahu sopan santun, hah? Lu kira ini rumah siapa, seenaknya masuk! Cakep-cakep bad attitude, ya,”
“Jangan sembarang ngomong lu ya! Lu siapa, sih? Ini rumah Renatha kan, wanita penggoda itu!” ujar Elang menohok hati Carla.
“PLAKKK!!!”
“Ini elu ngatain kakak gue wanita penggoda dan ini...”
“PLAKKK!!!”
“Elu sudah nggak sopan masuk rumah orang tanpa permisi,”
Astaga gue nampar orang. Lelaki tampan pula.
Elang mendekati Carla dekat, menatapnya tajam. Carla nyaris hilang keseimbangan tapi dia bertahan.
“Seumur hidup baru kali ini gue ditampar cewek. Level elu lagi! Penghinaan ini nggak akan gue lupain,”
Saat suasana tegang melingkupi Elang dan Carla, Renatha muncul dari dalam rumah.
“Lang, elu apain adik gue?” tanya Renatha sewot.
Elang menoleh sambil merapikan diri.
“Oh, dia adik elu, Ren? Kok, beda?” kata Elang mengandung unsur diskriminatif.
“Beda apanya? Muka kita tuh, mirip. Cuman kulit gue aja yang eksotis, tubuh gue yang subur ketimbang kakak gue. Ngomong jangan ngasal ya! Elu kayaknya perlu sekolah kepribadian deh, biar lebih rapi dalam bersikap dan bertutur kata. Huh!” omel Carla lalu dia masuk dengan hati dongkol bukan main. Elang memandangnya sinis tapi setengah takjub pula. Cewek itu bicara super pede mantab.
Carla benar-benar dongkol selalu dibanding-bandingkan dengan kakaknya yang serba lebih ketimbang dirinya dari ujung kaki hingga ujung rambut.
“Tuhan... kutukan apa ini? Kenapa aku jelek, kakakku cantik?? Memang. Ini bukan pertama kalinya gue denger perkataan menyakitkan begitu tapi oh nooooo... ini diskriminasi namanya!!! Inikah yang dirasakan ras kulit hitam dibedakan dari ras kulit putih?” keluh Carla.
“Carla Marissa. Nama itu nggak cocok sama gue. Mama sama papa salah kasih nama, nih. Atau Tuhan salah kasih bentuk sama aku? Ouucchh... astaghfirullah... sudah sudah sudah, La... ini ujian hidup naik derajat. Semua yang nempel di elu tuh masih wajar, di luar sana banyak yang lebih merana ketimbang elu. Jernihkan otak lu dari pikiran negatif! Oke, kalau begitu... mulai detik ini gue harus diet, harus perawatan dari rambut sampai kaki! Tapi... itu artinya gue harus merogoh kocek gue dalem-dalem padahal gue ngidam tablet keluaran terbaru,” celoteh Carla di depan cermin sambil memegang bagian-bagian tubuhnya yang menyimpan timbunan lemak.
@@@
Suatu pagi yang jauh berlalu dari hari cercaan Elang keluar. Carla bangung melihat dirinya di cermin. Ia mengeluh kenapa tubuhnya masih begitu gendut. Ia langsung menyabet baju olah raga yang tergantung di balik pintu kamarnya. Ia bergegas mengenakan sepatu jogging lalu ia pergi jogging keliling kompleks rumahnya. Saat ia jogging ia bertemu teman SD-nya dulu yang juga tetangganya agak jauh.
“Eh, ada Carla... jogging neng, pagi-pagi,” sapa lelaki itu. Namanya Eza.
“Eh, Za, iya nih... biar kurusan. Biar nggak lu kata kebo lagi,”
“Hehehe. Elu mah, sekarang angsa cantik, La...”
“Gombal tsunami lu, ah, Za!”
“Seriusan, La. Lo sekarang seksi, manis lagi. Cantiknya Indonesia banget,” puji Eza.
“Hyahahaha... akhirnya elu bisa berkata begitu, Za. Ah, tapi gue sih, nggak akan tergoda sama gombal elu ya, sori-sori kusei, ya, hahaha. Apa kabar lo? Udah lulus lo? Kerja dimana?”
“Weittss.. satu-satu neng, tanyanya. Sudah, barusan tapi masih job seeker,”
“Oh. Eh, betewe Za, temen SMP lu si Edgar gimana kabarnya? Masih jomblo?”
“Edgar? Elu masih demen sama dia? Dia sekarang kebalikan elu kali, La. Dia makin tambun setelah berbini,”
Hwhaattt?? Bini?!!”
Eza mengangguk.
“Berani mati ya, seumur dia kawin,”
“Kenapa memangnya? Banyak kok lelaki nikah muda. Gue aja mau nikah muda, apalagi sama elu, La...”
Carla menimpuk Eza menggunakan handuk kecil yang ia kenakan mengusap keringatnya.
“Ogah ah, ntar kalo lu lihat yang lebih bening dari gue, elu kabur lagi,” tungkas Carla. “Gue lanjut dulu ya, Za. Kapan-kapan main lu ke rumah, ada jambu biji merah tuh! Lu kan demen jambu itu,”
“Oke deh, kapan-kapan gue ngapelin elu deh, La. Eh, betewe jangan kenceng-kenceng larinya nanti elu kesamber angin, terbang lu. Badan kurus ceking begitu masih lari-lari,”
“Ngigo mulu lu, Za... lalalala,” ucap Carla lalu seolah tak mendengar ucapan Eza. Justru bernyanyi-nyanyi tak jelas.
...
“La, sarapan dulu, ya... abis gini nemenin mama ke pasar mau belanja buat persiapan lamaran,”
Carla tersedak minum air mineral.
“Lamaran siapa? Aku kan, belum ngenalin pacarku ke mama,” ujar Carla ngasal.
“Memangnya kamu punya pacar?” tanya mamanya melirik tersenyum.
“Iya kan, mama... nggak percaya amat sih, aku bisa punya pacar seganteng Adam Levine. Plis deh, Ma, jangan pesimis begitu. Nanti ya, menantu mama nih, dari bangsa Catalonia yang prianya ganteng-ganteng itu. Percaya deh, Ma,” lanjut Carla lebih ngaco lagi.
“Mama percaya. Percaya kamu ngigau, hahaha. Lagian, bahasa inggris aja kamu nggak pecus mau bersuami bule, nanti nggak nyambung, sayang,” tungkas mamanya.
“Ah, mama pesimis mulu. Aku dilamar bule Spanyol awas lo ya! Mama harus traktir aku apaaaaa aja yang aku minta,”
Mamanya tersenyum lebih lebar lagi. Carla justru hendak pergi ke kamarnya.
Nggak sarapan dulu?” tnaya mamanya.
Enggak ah, nanti Carla gendut!” kata Carla mengheningkan suasana sejenak.
“Carla, mama pengen ngobrol,”
Carla memalingkan badannya. Mamanya mendekat dan mengajaknya duduk di teras samping rumah.
“La, kamu bisa nggak stop diet ketat? Kamu banyak mengurangi asupan karbohidratmu. Kamu olah raga ekstrim sampai nggak kenal waktu. Kamu kenapa, nak?”
“Aku? Aku nggak apa-apa, Ma. Soal diet ketat mama nggak perlu khawatir, aku tahu sampai mana batas kemampuanku,”
“Menurut mama itu berlebihan. Apalagi kamu sekarang benar-benar kurus begini. Lebih kurus ketimbang mama dulu waktu SMA yang cuman tiga lima kilo,”
“Bobotku tiga sembilan, Ma,”
“Tiga sembilan? Itu nggak cocok sama tinggi kamu. Itu sudah nggak proporsional,”
Nggak proporsional gimana, Ma? Justru menurutku ini masih kelebihan,”
“Carla... itu abnormal, sayang...”
“Ma... apanya sih yang abnormal? No problem dengan semuanya. Aku masih ngrasa kelebihan berat badan, Ma. Ini belum proporsional. Aku mau kayak model di finalis ajang pencarian bakat model itu lho, Ma. Walaupun aku juga nggak mau jadi model yang terbuka sana-sini,”
Mimik muka mama Carla berubah cemas.
“Kalau sudah nggak ada yang dibicarakan aku permisi istirahat bentar trus siap-siap nganter Mama, ya?” kata Carla beranjak dari kursi.
“Mama tahu kamu jarang makan nasi bahkan pernah stop karbohidrat, terlebih pas sakit kamu  nggak mau makan sama sekali. Kamu sering menahan lapar,”
Carla menahan nafas sejenak. Ia kaget dengan pernyataan mamanya. Gimana mamanya tahu? Selama ini tak satupun orang tahu di menahan lapar bahkan membuang makanannya. Ia hanya berpura-pura membawa bekal dari rumah padahal seringnya ia membuang makanan bahkan jika ia sayang membuang, ia berikan pada security kantor atau kampusnya.
“Carla baik-baik aja kok, Ma. Carla cuman merasa perlu diet biar kurus. Itu saja,”
“Itu abnormal. Kamu sudah kurus kering begitu kamu bilang gemuk. Nanti sore kita ke tante Lina,”
Tante Lina? Beliau kan, psikolog? Mampus. Disangka gue kelainan jiwa apa?
“Terserah mama,” kata Carla sebenarnya tak rela. Ia akan memikirkan cara menghindar nanti sore.
@@@
Seminggu berlalu. Carla tak bisa mengelak ajakan mamanya minggu lalu. Ia datang ke di psikolog dan di sana ia positif anorexia nervosa. Carla kaget bukan main tapi ia tak bisa menolak fakta yang dia alami, pikiran yang tak rasional dan tindakan-tindakan ekstrim. Rasanya bumi berhenti berputar. Lalu ia merasa terkungkung di dalamnya. Ia harus memulai terapi pikiran dan perilaku untuk mengubah kebiasaannya yang sudah berjalan lima bulan terakhir. Stres berat dialami Carla padahal ia harus tampil prima untuk acara lamaran kakaknya Renatha dan mantan selingkuhannya, Romi.
“Ma, Carla boleh main dulu ke tempat tante Lina?” tanya Carla.
“Bukannya mama melarang La, tapi tante Lina nanti juga ke sini, ke lamaran kakakmu. Kamu di sana sama siapa? Lagian kalau di rumah, mama bisa mengontrol semua yang kamu lakukan biar nggak nyuri-nyuri kesempatan melakukan yang sudah-sudah,”
“Mama, Carla sumpeg di rumah,”
“Sayang, ini lamaran kakak kamu. Masa kamu mau melewatkan begitu saja,”
“Kalau begitu, dokumentasi jangan aku ya, Ma? Serahin di Dipta ya? Aku di kamar aja,”
“Kalau itu maumu, ya sudah. Tapi jangan kemana-mana, ya?”
Carla mengangguk.
...
Acara lamaran berlangsung khidmat dan lancar. Dua insan yang pernah merajut asmara lalu bekonflik itu kini kembali bersatu. Semoga lebih awet ketimbang sebelumnya. Tapi bagaimana Carla? Dia mendekam di kamar. Oh tidak. Ia mencoba mengurangi kecemasannya atas impulsivitas yang ditekannya karena ingin mencoba treadmill ekstrim di teras rumah dengan mendengarkan musik klasik insrumental di teras kamarnya.
Perlahan Carla hanyut dalam ketenangan. Damai. Tapi, mendadak kacau dan itu karena lelaki.
Parfum maskulin merek mahal didengus oleh Carla. Sangat menusuk hidung. Carla membuka matanya kemudian ia terbelalak.
*Kiss pertama*
Kecupan mendarat mendadak di bibir seksi Carla. Carla siap mencakar muka di depannya dan ponselnya berisi lantunan musik klasik jatuh begitu saja.
“Lelaki kur...”
*Kiss kedua*
“Sinting lu, ya! Lu kira gue cewek apaan?!!” omel Carla.
“Cewek penggoda macem elu itu harus dikasih imbalan setimpal,” uajar lelaki itu.
“Kapan gue ngegoda elu?!! Sekali lagi lu bilang gue wanita penggoda, gue sumpel lu sama ikan mas koki,” Carla menunjuk ikan di kolam depan teras kamarnya.
“Tegang amat sih? Biasa aja kali. Bibir elu masih perawan, ya? Kayak kecolongan gitu,”
“Ya, iyalah. Semua di diri gue itu aset berharga buat suami gue nanti,”
“Oh, ya? Terus gimana dong, kalau sudah dicolong orang lain?”
Carla geram tapi ia menahan diri. Ia juga malu. Maka dari itu dia bergegas masuk ke kamar tapi lelaki itu mencegahnya.
“Tunggu! Gue nggak akan berbuat lebih, kok. Sebatas colong bibir aja. Kita ngobrol bentar yuk!” ajak lelaki itu.
“Ogah! Ngobrol sama lelaki bad attitude kayak elu cuman bikin muntah!”
Carla bergegas masuk ke kamar dan mengunci pintu kamarnya rapat-rapat. Lelaki itu tak beranjak dari sana. Ia malah duduk di teras kamar Carla. Malah dia berusaha mengajak Carla bicara.
“La, gue mau bilang sesuatu, nih. Gue minta maaf, ya, perlakuan gue beberapa bulan lalu bikin sebel elu. Gue emag salah ngatain elu begitu. Habis, Renatha juga nggak pernah cerita dia punya adik. Gue sadar sih, perkataan gue waktu itu kasar tapi itu spontan. Bukan dari hati gue terdalam. Gue minta maaf,”
“Terserah ya, elu bilang apa. Kata-kata elu itu jelas mencerminkan elu lelaki seperti apa. Lelaki borju berkelas yang hanya bernafsu sama wanita seksi berbaju super ketat, minimal elegan kayak kakak gue, kan? Ah... lelaki buaya!” sahut Carla dari dalam.
“Kata siapa? Gue nafsu sama elu,”
“Gue sumpel mulut loe sama keset lama-lama, Lang!”
“Serius. Eh, maksud gue bukan nafsu begituan. Maksud gue itu gue bukan lelaki buaya yang doyan wanita megumbar aurat sana-sini. Serius. Ya, walo gue kadang tergoda sih,...eh tapi gue nggak terjerat, kok.”
“Sama aja!”
“La, maafin gue, ya? Sungguh gue minta maaf. Aslinya gue kangen sama elu, La,” ucap Elang membuat Carla tak percaya melayang seketika. Lelaki tampan itu merindukannya.
“Elu kalo mau ngegombal, lu ngegombal aja sama domba belakang rumah sono! Di sini bukan sampah buat ngegombal!”
“La, kita bicara kayak dipenjara luar negeri gini, La? Ini lebih parah elu ngunci kamar trus gue nggak bisa lihatin elu. Gue kayak bicara sama hantu, La...”
“Hahhaha... lucu! Basi tahu nggak? Udah deh, pergi sono loe! Ngapain di sini? gangguin orang aja!”
“Lah, elu sendiri kenapa ngurung diri di kamar padahal kakak elu lagi seneng?”
Carla mencari lakban dan mengguntingnya seukuran mulut Elang yang hendak ia bungkam. Lalu ia membuka pintunya. Elang memasang wajah sumringah. Carla segera mendekat dan menutup mulut Elang dengan lakban. Elang kemudian menggenggam tangan Carla yang hampir berhasil membungkam mulutnya. Elang cepat melepas lakban yang hampir terpasang penuh di mulutnya.
“La, gue cinta sama elu. Serius,”
Carla diam. Lalu kembali ke kesadaran semula.
“Elu sekarang suka gue karena gue sudah kurusan, kan? Gue sudah cantik, kan? Elu sama brengseknya sama Iqbal. Baik di luar, busuk di dalam,” serang Carla.
“La, elu sekarang lebih buruk dari yang gue temui pertama kali. Dulu elu seger buger, elu cantik, elu hidup normal tapi sekarang? Elu kurus begini. Elu bilang elu sekarang cantik? Cantikan dulu, La. Serius,”
“Elu pasti kongsian sama mama atau Renatha, kan? Sudah gue bilang, ini tanpa perlu dipaksa. Gue bakal ngejalani semua terapi itu, kok. Gue itu nggak lagi sakit jiwa! Gue sadar gue nglakuin apa aja. Terapi-terapi segala. Oke, gue bakal nglakuin semua yang dibilang mama!” celoteh Carla kesal.
Carla melepaskan diri dari Elang dengan paksa. Ia memalingkan diri dari Elang.
“Demi Tuhan, ini kehendak pribadi gue. Gue sadar dengan apa yang gue lakuin barusan. Gue memang tahu beberapa waktu terakhir elu aneh soal penampilan elu dari Rena tapi sungguh, gue nggak ada niat memojokkan elu. Gue cuman mau elu semangat lagi. Ini bukan kesalahan, ini bukan aib, dosa atau apa, ini hanya soal persepsi elu yang agak kliru. Akhirnya elu terobsesi bertubuh kurus. Percaya sama gue, La, elu cantik saat kita pertama ketemu. Elu nggak kurus kering begini. Gue juga nggak mau kali punya istri sekurus ini. Melihat aspek kesehatan, sistem reproduksinya juga buruk. Lelaki mana yang mau,”
“Itu!”
“Itu apa?”
“Itu! Elu mojokin gue dengan kondisi begini. Elu seolah menghakimi gue! Pergi! Pergi! Pergi!” usir Carla.
“Salah lagi gue. Oke, sori banget. Tapi ini semata-mata gue pengen elu semangat lagi untuk hidup normal. Hidup sehat. Gue bisa bantuin elu hidup sehat. Gue begini juga nggak instan, butuh waktu setahun bisa punya badan kotak-kotak begini,”
“Emang lu manusia beton, badan kotak-kotak,”
“Salah lagi. La, bilang sama gue biar gue bisa bener di mata elu,”
Carla mendongak ke atas menatap Elang.
“Demi apa lu berusaha bener di mata gue?” tanya Carla.
“Demi jadi suami elu. Gue kalau nggak salah denger dari Renatha sih, elu suka sama gue dan mendamba lelaki tampan kayak gue jadi suami elu. Dan kalo gue nggak salah lihat sih, pertama kita ketemu dan kedua kalinya ketemu elu ternganga gitu merhatiin gue. Lalu pas di mall duluuuuu banget lu spontan teriak nama gue, seolah gue artis dari mana gitu, inget?”
What? Dia sadar tindak-tanduk gue, termasuk di mall itu. Padahal kala itu baru dua kali bertatap muka. Lah... lelaki ini...
Carla kikuk salah tingkah.
“Itu dulu,” elak Carla.
“Ah, masa sih? Kalo sekarang udah enggak, elo pasti nolak gue cium,”
“Elunya ngrampok!”
“Kalo nggak gitu, elu nggak akan tahu gue suka elu.”
“Elunya yang keburu nafsu,”
Enggak lah. Biasa aja. Udah deh, La, ketahuan banget lu suka sama gue, dulu dan sekarang. Sekarang gue baru sempet menjelaskan semuanya. Dulu sih, gue sering mengelak gue suka elu tapi mata elu itu bikin gue nggak bisa merem tiap malem. Elu punya mata terbuat dari apa, sih? Coba lihat,”
Elang mencoba memegang kepala Carla untuk melihat matanya.
“Nah, bener kan, mata ini tetep sama. Elu cinta sama gue. Tuh, pupil membesar,”
Carla terpaksa bertatap mata dengan Elang.
“Mata elu juga tetep sama, setajem elang,”
“Makanya nama gue Elang. Kalau elu kenapa namanya Carla Marissa,”
“Mama salah kasih nama,”
“Karena elu cantik, secantik namanya,”
“Gue sakit, Lang,”
“Kita bisa perbaiki bersama. Elu nggak sendirian, La. Ada gue di samping elu,”
Elang memeluk Carla. Carla membalasnya.
“Gue cinta sama elu,” ucap mereka bersamaan sembari tersenyum.
“Elu kan, benci sama kakak gue. Ke gue kok, enggak?” tanya Carla tiba-tiba.
“Mana bisa kalo tiap mau merem selalu ada mata elu. Sama Rena, semua kesalahpahaman aja. Gue kasihan sama sepupu gue, Romi yang nyaris gila gara-gara kakak lu,”
“Oh... begitu,”
“Di dalem ada orangtua gue, gue lamar elu sekalian ya?” tawar Elang.
“Jangan sekarang! Belum siap,” tolak Carla.
 “Cuman lamaran. Nikahnya bisa besok-besok. Gue nggak mau ya, gadis gue disamber orang,”
Elang mengajak Carla masuk ke dalam rumah lewat depan rumah.
Wait... kalo elo jadi suami gue, elo terima gue apa adanya, kan? Gemuk, kurus, setengah gemuk?” tanya Carla.
Elang mengangguk tersenyum manis dan tulus. Carla mempererat genggaman tangannya yang sedari tadi digenggam Elang. Dia tak ingin jauh-jauh lagi dari Elang. Cinta pandangan pertama yang ternyata -akan- menjadi jodohnya kelak selamanya. Perasaan Carla dalam kondisi sangat bahagia. Harapnya, semoga cintanya awet dari dia gendut ke kurus, siapa tahu gendut lagi, kurus lagi. Entah itu nanti. Intinya sekarang dia bahagia.
@@@