Rabu, 20 Februari 2013

Seni jadi seorang “ibu”



Oke, pembaca.. (duilleehhh, kasep pisan gue memanggil viewer atau bahkan reader blog ini dg panggilan begitu.. pengennya sih, ada panggilan kesayangan buat Anda semua tapi kok, bingung mau menyebut Anda apa? any idea? ^^) selamat pagiii... semangat pagi!!! Ini gue tulis (belum gue post) pada pukul 05.43 waktu setempat laptop gue.
Gue pengen berbagi soal judul di atas. SENI JADI SEORANG IBU, kata ibu dalam tanda kutib. Why? Dan kenapa harus seni? Jawabannya: gue bingung. Gue nggak ngeh sama makna seni sejatinya. Yang gue tahu adalah mereka yang suka nyanyi, nari, melukis dan sebangsanya. Lalu ibu. Yang gue tahu sih, sejauh ini sosok ibu ya mereka yang melahirkan kita, mengasuh kita, atau mereka-mereka yang sudah menikah, punya anak dan pantas dipanggil ibu. Lalu, letak permasalahannya dimana? Oh, bukan permasalahan sih, istilahnya. Apa ya... emm... jadi begini... sudah 4 malem semalam itu gue hidup nomaden. sedari pagi sampai sore di rumah bude, malem sampai subuh hari di rumah sepupu gue. ngapain? Itu karena keponakan gue cewek satu-satunya, panggil dia Jasmine, minta tolong ditemenin tidur. Ah... seneng gue, gue bisa “dipercaya” sama anak kecil.
Gue suka anak kecil juga tapi terkadang gue takut terhadap penolakan yang mungkin terjadi dari mereka. contohnya, sepupu gue yang masih 2 tahunan, namanya Avi, setiaaaaappppp kali gue godain selalu spontan mewek, cenger!!!! Lah, gue yang kegemukan kayak monster apa gimana? Perasaan nih, ya jujur sedalam-dalamnya dan senyatanya gue nggak pernah lho, bikin track record “kriminal” sama anak kecil, kecuali sama adik gue dulu pas mereka masih kecil, gue masih kecil, gue “bully”ing mereka. eiitttsss... tapi paling gue marah-marahin, gue cubit, itu karena gue dulu masih nakal dan saking gemesnya. Tapi aslinya gue sayang kok, sama mereka. lah, apalagi sudah segede gini, gue mana mungkin nge-bully anak-anak lucu begitu. Jangan sampai! Gue juga nggak mau anak-anak gue dibully  orang. dan gue juga nggak berpikiran mendidik mereka dengan gaya otoriter yang sempet diajarin ayah dulu pas gue masih kecil.oke balik ke sepupu gue. heran minta ampun kenapa ya, dia kayak ketakutan sama gue, sementara keponakan gue dari sepupu gue dengan usia yang sama tapi cowok sih, biasa aja tuh, sama gue.
Nah, ke poin pembicaraan berdasarkan judul di atas. Selama 4 malem tidur bareng keponakan gue cewek yang masih TK –bentar lagi masuk SD- gue jadi belajar. Belajar tentang...
Pertama, bangun pagi. Hahahha... gue ketawa dulu yee... :p begimana enggak, soalnya kalo tidur di rumah bude gue, gue sering molor lagi sehabis subuh sampai jam setengah 7 pagi. Hahaha. itu ya, kebiasaan yang agak sulit diubah, secara gue kalo tidur selalu jam 12 malem atau lebih. Aslinya jam-jam 9 atau 10 malem udah tidur tapi karena kalo di rumah bude gue ada gadget satu ni, “dark bluish” alias laptop gue yang bisa ngasih gue hiburan macam apapun, akhirnya gue berkutat dengannya. Apalagi semenjak “Reddish” alias ponsel gue hilang pertengahan Januari lalu. cuman laptop ini kesayangan gue satu-satunya. Kalo tidur sama keponakan gue, gue ikut ritme tidurnya dia, tidur awal. Ya sudah, insting ngantuk gue apda awal jam 9 atua 10 terpenuhi langsung, deh. ^^ Nah, itu himkah pertama gue tidur bareng kepokan gue.
Kedua, gue jadi sering terjaga. Namanya anak kecil ya, bisa aja dan kemungkinan besar bangun di tengah-tengah malam itu ada banget. Mulai dari minta susu, ngompol atau sekedar minta garukin punggung atau dipuk-puk atau apalah, dielus-elus lah bahasa lazimnya. Ya, gue merasa “bertanggungjawab” sama keponakan gue karena gue tidur sama dia, so kalo ada apa-apa ya gue. Gue nggak keberatan, serius! Gue justru seneng karena akhirnya gue belajar jadi “ibu”. Nah, ini poinnya. Jadi “ibu”. Minimal ini pelajaran berharga buat gue jadi seorang ibu kelak. Gue nggak bisa ngebayangin ya kalo jadi ibu beneran apalagi dnegan anak bayi, mungkin hampir setiap jam malamnya terkuras untuk ngurus bayinya. Gue kepikiran sepupu gue di Kediri sana yang bayinya baru menginjak 5 bulan. Ya Rabbi... pantesan ya ibu itu dimuliakan banget, dari hamil 9 bulan dibawa kemana-mana bayinya tanpa ada rasa kesal dan sesal lalu melahirkan, merawat, mengasuh, mendidik, kemudian nanti kalau dewasa mencarikan atau minimal mendoakan supaya lancar sekolah, kerja dan jodohnya lalu kalau sudah menikah ibu dan ayah juga ngemong cucu –anaknya kita- masyaallah... ibu ya... bener-bener profesi maha wow!!! Pantesan penguji skripsi gue bernama bu Hamidah, mengkritik pedas tulisan skripsi gue yang menulis “ibu rumah tangga biasa”. Menurut beliau, profesi “ibu rumah tangga” itu nggak biasa lho! Catet! Bener sih. Menurut kenalan gue seorang penderita Lupus –skripsi gue mengkaji wanita dewasa awal berstatus menikah atau ibu-ibu usia 18-40 tahun yang terkena Lupus- bahwa pekerjaan ibu rumah tangga sebenarnya lebih banyak menguras energi ketimbang ibu sebagai wanita karir. (gue nulis ini lepas dari permasalahan opsi jadi ibu rumah tangga atau wanita karir lho, ya ^^). Intinya, baik jadi ibu rumah tangga maupun ibu rumah tangga yang bekerja di luar, statusnya sama, mereka atau sama-sama jadi seorang ibu bagi anak-anak mereka dan mereka wajib memenuhi tanggungjawabnya. Ini jadi pelajaran buat gue yang masih single supaya siap mental jadi seorang ibu dan segala hak dan kewajibannya kelak walaupun nggak sepenuhnya ya.
Ketiga,yang ini mungkin bukan hikmah sih, karena gue jadi sering terjaga juga gara-gara faktor ini. lampu menyala! Oh, Tuhan... jujur gue nggak suka tidur dalam kondisi lampu menyala. Dilihat dari segi kesehatan juga nggak bagus. Dan beberapa waktu terakhir ini, konsep tidur malem gue itu lingkungan gue harus ruangan yang bener-bener disebut k.a.m.a.r, harus gelap atau sedikit pencahayaan, pintu terkunci atau minimal selambu. Itu wajib! Lainnya semacam guling, itu tambahan. Selimut juga, yang penting ada sandaran buat kepala lebih tinggi. Cukup. Tapi tidur bersama Jasmine... dia ogah dimatikan lampunya. Tapi kamarnya kalo dimatikan lampunya emang gelap gulita, sih, agak horor. Soalnya kalo bener-bener gelap, gue juga agak sesak napas tiba-tiba. Tapi, baik gelap maupun enggak, gue belajar untuk saling berbagi, ikhlas nerima kondisi yang harus mengesampingkan ego gue buat orang lain, apalagi sama anak kecil. Kan, nggak mungkin gue adu argumen sama anak kecil. Yang gede yang ngalah. Belajr juga, janga-jangan pasangan gue nanti juga suka berseberangan sama gue nanti untuk hal sepele.
Ketiga hal itu emang nampaknya remeh temeh tapi aslinya nggak ada kesia-siaan kok setiap yang terjadi pada kita. pasti ada hikmahnya. Gue sih, belajar untuk ngambil hikmahnya. Emang kalau dipikirkan dengan seksama memang begitu, segalanya terjadi karena suatu alasan. Itu cara Tuhan memberikan pemahaman untuk hambaNya. Happy Monday, pembaca... semoga rezeki Anda dan saya dan kita semuanya selalu lancar dunia-akhirat. ^__^

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ditunggu kritik dan saran membangun yah :)