Oke, pembaca.. (duilleehhh, kasep
pisan gue memanggil viewer atau bahkan reader blog ini dg panggilan begitu..
pengennya sih, ada panggilan kesayangan buat Anda semua tapi kok, bingung mau
menyebut Anda apa? any idea? ^^)
selamat pagiii... semangat pagi!!! Ini gue tulis (belum gue post) pada pukul
05.43 waktu setempat laptop gue.
Gue pengen berbagi soal judul di atas.
SENI JADI SEORANG IBU, kata ibu dalam
tanda kutib. Why? Dan kenapa harus seni? Jawabannya: gue bingung. Gue nggak
ngeh sama makna seni sejatinya. Yang
gue tahu adalah mereka yang suka nyanyi, nari, melukis dan sebangsanya. Lalu ibu. Yang gue tahu sih, sejauh ini sosok
ibu ya mereka yang melahirkan kita, mengasuh kita, atau mereka-mereka yang
sudah menikah, punya anak dan pantas dipanggil ibu. Lalu, letak permasalahannya
dimana? Oh, bukan permasalahan sih, istilahnya. Apa ya... emm... jadi begini...
sudah 4 malem semalam itu gue hidup nomaden. sedari pagi sampai sore di rumah
bude, malem sampai subuh hari di rumah sepupu gue. ngapain? Itu karena
keponakan gue cewek satu-satunya, panggil dia Jasmine, minta tolong ditemenin
tidur. Ah... seneng gue, gue bisa “dipercaya” sama anak kecil.
Gue suka anak kecil juga tapi
terkadang gue takut terhadap penolakan yang mungkin terjadi dari mereka.
contohnya, sepupu gue yang masih 2 tahunan, namanya Avi, setiaaaaappppp kali
gue godain selalu spontan mewek, cenger!!!! Lah, gue yang kegemukan kayak
monster apa gimana? Perasaan nih, ya jujur sedalam-dalamnya dan senyatanya gue
nggak pernah lho, bikin track record
“kriminal” sama anak kecil, kecuali sama adik gue dulu pas mereka masih kecil,
gue masih kecil, gue “bully”ing mereka. eiitttsss... tapi paling gue
marah-marahin, gue cubit, itu karena gue dulu masih nakal dan saking gemesnya.
Tapi aslinya gue sayang kok, sama mereka. lah, apalagi sudah segede gini, gue
mana mungkin nge-bully anak-anak lucu
begitu. Jangan sampai! Gue juga nggak mau anak-anak gue dibully orang. dan gue juga
nggak berpikiran mendidik mereka dengan gaya otoriter yang sempet diajarin ayah
dulu pas gue masih kecil.oke balik ke sepupu gue. heran minta ampun kenapa ya,
dia kayak ketakutan sama gue, sementara keponakan gue dari sepupu gue dengan
usia yang sama tapi cowok sih, biasa aja tuh, sama gue.
Nah, ke poin pembicaraan berdasarkan
judul di atas. Selama 4 malem tidur bareng keponakan gue cewek yang masih TK
–bentar lagi masuk SD- gue jadi belajar. Belajar tentang...
Pertama, bangun pagi.
Hahahha... gue ketawa dulu yee... :p begimana enggak, soalnya kalo tidur di
rumah bude gue, gue sering molor lagi sehabis subuh sampai jam setengah 7 pagi.
Hahaha. itu ya, kebiasaan yang agak sulit diubah, secara gue kalo tidur selalu
jam 12 malem atau lebih. Aslinya jam-jam 9 atau 10 malem udah tidur tapi karena
kalo di rumah bude gue ada gadget satu ni, “dark bluish” alias laptop gue yang
bisa ngasih gue hiburan macam apapun, akhirnya gue berkutat dengannya. Apalagi
semenjak “Reddish” alias ponsel gue hilang pertengahan Januari lalu. cuman
laptop ini kesayangan gue satu-satunya. Kalo tidur sama keponakan gue, gue ikut
ritme tidurnya dia, tidur awal. Ya sudah, insting ngantuk gue apda awal jam 9
atua 10 terpenuhi langsung, deh. ^^ Nah, itu himkah pertama gue tidur bareng
kepokan gue.
Kedua, gue jadi
sering terjaga. Namanya anak kecil ya, bisa aja dan kemungkinan besar bangun di
tengah-tengah malam itu ada banget. Mulai dari minta susu, ngompol atau sekedar
minta garukin punggung atau dipuk-puk atau apalah, dielus-elus lah bahasa
lazimnya. Ya, gue merasa “bertanggungjawab” sama keponakan gue karena gue tidur
sama dia, so kalo ada apa-apa ya gue. Gue nggak keberatan, serius! Gue justru
seneng karena akhirnya gue belajar jadi “ibu”. Nah, ini poinnya. Jadi “ibu”.
Minimal ini pelajaran berharga buat gue jadi seorang ibu kelak. Gue nggak bisa
ngebayangin ya kalo jadi ibu beneran apalagi dnegan anak bayi, mungkin hampir
setiap jam malamnya terkuras untuk ngurus bayinya. Gue kepikiran sepupu gue di
Kediri sana yang bayinya baru menginjak 5 bulan. Ya Rabbi... pantesan ya ibu
itu dimuliakan banget, dari hamil 9 bulan dibawa kemana-mana bayinya tanpa ada
rasa kesal dan sesal lalu melahirkan, merawat, mengasuh, mendidik, kemudian
nanti kalau dewasa mencarikan atau minimal mendoakan supaya lancar sekolah,
kerja dan jodohnya lalu kalau sudah menikah ibu dan ayah juga ngemong cucu
–anaknya kita- masyaallah... ibu ya... bener-bener profesi maha wow!!! Pantesan
penguji skripsi gue bernama bu Hamidah, mengkritik pedas tulisan skripsi gue
yang menulis “ibu rumah tangga biasa”. Menurut beliau, profesi “ibu rumah
tangga” itu nggak biasa lho! Catet! Bener sih. Menurut kenalan gue seorang
penderita Lupus –skripsi gue mengkaji wanita dewasa awal berstatus menikah atau
ibu-ibu usia 18-40 tahun yang terkena Lupus- bahwa pekerjaan ibu rumah tangga
sebenarnya lebih banyak menguras energi ketimbang ibu sebagai wanita karir.
(gue nulis ini lepas dari permasalahan opsi jadi ibu rumah tangga atau wanita
karir lho, ya ^^). Intinya, baik jadi ibu rumah tangga maupun ibu rumah tangga
yang bekerja di luar, statusnya sama, mereka atau sama-sama jadi seorang ibu
bagi anak-anak mereka dan mereka wajib memenuhi tanggungjawabnya. Ini jadi
pelajaran buat gue yang masih single
supaya siap mental jadi seorang ibu dan segala hak dan kewajibannya kelak
walaupun nggak sepenuhnya ya.
Ketiga,yang ini
mungkin bukan hikmah sih, karena gue jadi sering terjaga juga gara-gara faktor
ini. lampu menyala! Oh, Tuhan... jujur gue nggak suka tidur dalam kondisi lampu
menyala. Dilihat dari segi kesehatan juga nggak bagus. Dan beberapa waktu
terakhir ini, konsep tidur malem gue itu lingkungan gue harus ruangan yang
bener-bener disebut k.a.m.a.r, harus gelap atau sedikit pencahayaan, pintu
terkunci atau minimal selambu. Itu wajib! Lainnya semacam guling, itu tambahan.
Selimut juga, yang penting ada sandaran buat kepala lebih tinggi. Cukup. Tapi
tidur bersama Jasmine... dia ogah dimatikan lampunya. Tapi kamarnya kalo
dimatikan lampunya emang gelap gulita, sih, agak horor. Soalnya kalo
bener-bener gelap, gue juga agak sesak napas tiba-tiba. Tapi, baik gelap maupun
enggak, gue belajar untuk saling berbagi, ikhlas nerima kondisi yang harus
mengesampingkan ego gue buat orang lain, apalagi sama anak kecil. Kan, nggak
mungkin gue adu argumen sama anak kecil. Yang gede yang ngalah. Belajr juga,
janga-jangan pasangan gue nanti juga suka berseberangan sama gue nanti untuk
hal sepele.
Ketiga hal itu emang nampaknya remeh
temeh tapi aslinya nggak ada kesia-siaan kok setiap yang terjadi pada kita.
pasti ada hikmahnya. Gue sih, belajar untuk ngambil hikmahnya. Emang kalau dipikirkan
dengan seksama memang begitu, segalanya terjadi karena suatu alasan. Itu cara
Tuhan memberikan pemahaman untuk hambaNya. Happy Monday, pembaca... semoga
rezeki Anda dan saya dan kita semuanya selalu lancar dunia-akhirat. ^__^
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Ditunggu kritik dan saran membangun yah :)