My
Love, From Fat To Slim
Carla menarik nafas
dalam dan segera menenggak segelas besar air es di meja makan. Dia pusing
mendadak dan jantung berdebar. Belum apa-apa dia sudah rugi. Hari ini hari
pertama dia mengambil stok barang ke temannya yang sudah mengepakkan sayapnya
lebar-lebar di dunia bisnis handy craft seharga ratusan ribu. Carla ternyata
tidak mempersiapkan segala macam bentuk resiko yang harus ditanggung. Di pikirannya
kalau pun ia rugi bisnis handy craft mungkin
hanya karena tak laku tapi kecelakaan lalu membuat barangnya hancur di hari
pertama dan belum sempat ia perdagangkan? Oh... noooo! Tapi semua sudah terjadi.
“Gue nggak boleh nyerah. Ini masih belum
apa-apa. Siapa tahu, rugi di awal, untung di akhir. Bismillah... pasti bisa!” ucapnya sendiri.
“Tapi... gue nggak bisa kalau selapar ini. Kenapa
tadi gue nggak beli fast food aja coba? Tapi kan, gue sudah berkomitmen
makan fast food sebulan sekali.
Minggu lalu gue barusan makan di fast
food dekat food court. Yap! Gue
harus konsisten kalo pengen kurus!” celoteh Carla lagi yang berambisi ingin
kurus tapi sering gagal total.
Bel rumah berbunyi.
Carla menoleh lemas. Pasti pak pos yang setiap minggu nganter surat bank atau
semacamnya langganan kakaknya, Renatha. Ini kan, hari Rabu. Pak pos rutin ngasih
hari Rabu. Carla berjalan lempeng membuka pintu rumahnya lalu pagar rumahnya.
“Iya, Pak, mana
pulpennya?” tanya Carla seperti biasa kepada pak pos untuk menandatangani surat
tanda terima kiriman yang disampaikan pak pos.
Carla tak menyimak
baik-baik siapa datang. Ia sibuk menyingkirkan kerikil-kerikil di area pagar rumahnya. Lalu ia mendongakkan
kepalanya dan ternganga seketika.
Tuhan...
pangeran ini jatuh darimana? Di bumi yang menua ini ada ya wajah setampan ini?
“Elo! Hei!” sapa lelaki
itu.
Carla masih menganga.
Takjub.
“Renatha ada?” tanyanya
lagi. Carla masih terhipnotis, belum sadar.
Lelaki itu
mengguncang-guncangkan tubuh Carla.
“Eh, em, anu, Carla.
Nama gue Carla,” kata Carla pede mengulurkan tangan memperkenalkan diri. Lelaki
itu menyambut datar dan tersenyum kecut. Carla mengabaikan itu.
“Renatha ada?” tanya
lelaki itu sekali lagi.
“Oh, kak Rena? Kak Rena
ke Phuket kemarin lusa. Mungkin dua hari lagi baru dateng,” jawab Carla.
“Oh, begitu. Sampaikan
ke dia ya, kalo udah di sini, suruh nyamperin gue, Elang,” kata lelaki itu.
Oh,
namanya Elang. Sepadan dengan tatapan matanya yang membius. Tapi bukan seperti
Limbad! Hiii.
Lelaki itu meninggalkan
Carla dalam keterpukauannya sendiri. Tanpa pamit, tanpa basa-basi, begitu saja
masuk ke mobil mewahnya lalu pergi. Carla tetap tak mencatat itu sebagai sebuah
keburukan.
@@@
Semenjak pertemuan
pertama dengan lelaki bermata Elang dan memang bernama Elang, Carla jadi sering
cengar-cengir sendirian di kamar, di ruang makan, di depan tivi, di kampus, di
kantor dan dimana pun dan kapan pun termasuk ketika dia sedang berinteraksi
dengan para konsumen yang hendak membeli barang dagangannya. Suatu kali ia
terlibat percakapan dengan sahabatnya mengenai ini.
“Woii!!! Ada yang mulai
kena simptom halusinasi, nih! Ati-ati loe, bisa-bisa loe menuhi kriteria
diagnosis sakit mental kronis!” celetuk Sarah, sahabat Carla di kampus dan di
kantor. Carla tak menggubrisnya dan masih senyum-senyum sendiri.
“Wah, sinting beneran
nih, anak!” kata Sarah lalu usik memencet hidung Carla sampai Carla
tersengal-sengal nafasnya.
“Eh, eh, apaan, nih?!
Mentang-mentang hidung gue pesek!” suara Carla aneh. Sarah melepasnya dengan
tertawa.
“Abis elo sih, nyengir
kuda begitu! Sendirian lagi! Kesambet zombie mana loe di siang bolong begini,
hah?” tanya Sarah.
“Waduh, zombie... eh,
tapi sempet baca di koran ada film romantis tentang zombie. Mirip-mirip gitu
deh, sama Twilight tapi ini zombie
bukan vampir. Pemerannya ganteng, lho. Tapi gue juga lupa apa judulnya,” Carla
masih sempat berbagi info.
“Aduh, selera elo tuh,
syaiton ganteng, ya? Sekalipun ganteng kalo itu dari dimensi lain itu nggak boleh, La! Kita sudah diciptakan
dengan bangsa kita sendiri, jodoh pun dari bangsa sendiri. Elo ngerti kan,
maksud gue ayat tentang itu,”
“Tahu, tahu, Nyai. Tapi,
gue juga nggak sehoror itu lah! Itu
cuman felem. You know? Gue masih
normal. Doyan lelaki dari bangsa manusia,”
“Oke dokey. Eh, ceritain
dong, lelaki tampan yang elo twit beberapa waktu lalu ke gue! Siapa dia?” tanya
Sarah penuh rasa penasaran.
Carla berpikir sejenak.
Emang pernah dia memberitahukan lelaki tampan ke Sarah?
“Itu lho, yang matanya
kayak elang,”
“Oh, Elang! Iya, Sar...
dia gantengnya minta ampuuunnn.... haduh. Artis beken mana pun lewat!”
“Denny Sumargo!”
“Lewat,”
“Anjasmara?”
Carla menggeleng.
“Darius Sinathrya?”
Carla mengibaskan telapak
tangannya tanda tak sepadan.
“Primus Yustisio?”
“Sarah! Selera lu
bapak-bapak, ya? Haduh, capek deh,”
“Ngaco bapak-bapak.
Om-om tahu. Mereka masih muda. Yang pertama gue sebut juga masih ngejomblo,
tuh!”
“What ever lah, ya, yang pasti elu suka yang se-cohort sama kakak gue. Kakak gue sudah tiga lima, hahaha... tapi
betewe jauh juga ya, sama gue? Gue sekarang dua tiga,”
“Ah, tapi lelaki emang
makin berumur makin keren gila tahu, La!”
“Ya, ya, itu selera elo.
Gue seleranya sedeng-sedengan aja yah, nggak
muda, nggak tua. Sepantaran is oke. Tapi kalo boleh tua sedikit, ya
maksimal lima tahun, deh,”
“Itu harga mati?”
Carla mengangguk.
“Jodoh emang harga mati
tapi soal siapa, gimana-gimananya dia kan, nggak
ada yang tahu. Siapa tahu elo dapet brondong tujuh tahun di bawah elo atau
malah meroket bertahun-tahun di atas elo. Di atas om-om ganteng yang gue sebut
tadi, hahaha....” ejek Sarah. Carla spontan mengucap naudzubillah mindaliq dan istighfar banyak-banyak.
“Elu, Sar, mulut lu
pedes! Pedesan elu ketimbang gue,” omel Carla kesal. Sarah hanya tertawa.
Lalu mereka kembali
menyeruput jus yang mereka pesan di sebuah food
court mall dan menikmati donat yang baru mereka beli di lantai paling bawah
tadi.
Sejenak berlalu, Sarah
menyenggol lengan Carla.
“La, itu baru lelaki
kece badai, tuh!” ucap Sarah.
“Mana? Mana?” Carla
ingin tahu.
Carla mendadak melotot.
“Itu, Sar! Itu!” Carla
heboh sendiri membuat orang di sekitar mereka menoleh seketika ke arah mereka.
“Yee, hebohnya jangan
nunjuk-nunjuk gitu! Malu tahu...” protes Sarah sambil menurunkan tangan Carla
yang menunjuk-nunjuk ke arah lelaki yang dimaksud Sarah itu.
“Elang!” seru Carla
agak lantang. Kali ini membuat si empunya nama juga ikutan menoleh. Carla dan
Sarah melotot. Sigap mereka berdua membalikkan badan dan membuang muka ke arah
lain dan menutupi wajah mereka dengan tangan mereka.
“Elo malu-maluin
banget, sih, Carla! Habis gini gue bawa loe ke dokter biar disuntik penenang
biar kehorean elo itu bisa berkurang,”
Carla menyikut Sarah
kesal, ia tak sengaja spontan seperti tadi. Lalu Sarah menyeretnya pergi dengan
paksa. Mereka mengambil langkah seribu. Lalu menuruni eskalator secepat kilat.
Mereka tiba juga di lantai paling bawah. Mereka mengambil nafas lega. Terasa
jantung mau copot abis dikejar satpol PP atau bahkan hantu. Tapi di tengah
keramaian mall begini? Dikejar satpam karena ketahuan ngutil itu lebih tepat.
Tapi ini bukan. Untungnya bukan.
“Gila lo, ya, La!”
“Ya, sori Sar, gue
spontan tadi. Gue kaget banget itu orang di sana,”
“Jadi, itu Elang?”
“Iyes!”
“Tapi... nggak ganteng amat, sih,”
“Orang serupawan tak terbantahkan begitu?
Masih level tiarap menurut elo? Setinggi apa selera elu, Sar? Atau karena dia
bukan bapak-bapak muda?”
“Ye... ngaco! Stigma elo
tuh, jangan kelewatan sama gue! Gue emang suka lelaki dewasa kali tapi gue
bukan perusak hubungan orang,” Sarah sewot.
“Sori, sori. Gue nggak maksud begitu. Tapi, wah, parah
lu, bilang dia level rata-rata,”
“Serius. Masih ada yang
lebih kece dari itu aslinya. Banyak malah di kota metropolis begini, La,”
Carla mengiyakan
pernyataan Sarah. Sarah memang sangat tahu pergaulan dan gaya hidup orang kota
masa kini. Jauh di atasnya.
“Tapi, tadi dia sama
siapa ya, La? Berdua sama cewek. Wah, jangan-jangan itu istrinya. Wah, elu
beneran suka sama om-om. Selevel sama gue,” kata Sarah.
“Ngaco! Tapi, ah, masa
sih, dia beristri. Kayaknya dia nggak jauh-jauh
amat dari kita. Gue sih, nggak
terlalu merhatiin cewek tadi. Masa’ istrinya? Yah, ogah ah.. masa gue suka
lelaki beristri. No way!”
“La, pulang yuk, gue
lebelet pup, nih!”
“Sarah... elu tuh,
ya... haduh, hobi elu selalu begitu kalo lagi asyik jalan. Lama-lama lu bawa we-ce
berjalan aja, deh!”
Sarah nyengir kuda.
@@@
Carla menikmati susu
coklat hangat bikinannya. Ini ritual rutin yang ia lakukan menjelang tidur.
Obat ampuh untuk membuatnya segera tidur dan segera mengosongkan perutnya esok
pagi. Sirkulasi pencernaannya berjalan lancar untuk esok pagi.
Ia membawa secangkir
besar susu coklat menuju kamarnya. Tapi ketika ia melewati kamar kakaknya,
Carla berhenti sejenak. Ia samar-samar mendengar suara lantang kakaknya yang
sepertinya nampak marah-marah.
“Gue nggak mau tahu lagi. Itu urusan elu lah!
Gue nggak ada hubungan apa-apa lagi
sama Romi,”
Sejenak diam, Carla tak
mendengar apapun suara di seberang telpon sana.
“Romi itu sudah ngrusak
rumah tangga gue sama Iqbal. Mau apalagi dia?”
Carla ikut terenyuh
mendengar kalimat kakaknya. Iqbal. Mantan kakak iparnya. Kakaknya dan lelaki
bernama Iqbal menikah baru tiga tahun, belum punya anak kemudian rumah tangga
mereka diterpa badai besar. Romi. Lelaki itu datang dengan pesonanya yang
menghipnotis Renatha ketika mereka berdua terlibat tour ke Wakatobi. Lelaki borju yang punya segala-galanya itu
menarik simpati Renatha hingga ke jantung hatinya kala Renatha sedang ada
masalah tentang keturunan dengan Iqbal dan mertuanya, orangtua Iqbal. Waktu
berjalan, Renatha hanyut dalam romansa dengan Romi dan Iqbal makin menjauh.
Hingga tepat setahun lalu, hakim memutuskan Renatha dan Iqbal bercerai.
Renatha jelas akhirnya
kecewa karena aslinya cintanya hanya untuk Iqbal dan Romi hanya cinta sesaat.
Bulan-bulan pertama pasca sidang perceraian diputuskan, Renatha masih merasa
pilu. Romi datang menawarkan obat pilu itu. Tapi, isi otak Renatha hanya untuk
Iqbal. Sampai waktu menjawab semuanya. Iqbal sudah berpindah ke lain hati
begitu cepat. Renatha tak habis pikir. Pilunya semakin menjadi. Akhirnya
hatinya tak terbuka untuk siapapun, lelaki manapun. Tapi di sisi lain, Romi
menunggunya tulus.
Suara pintu terbuka.
Carla kaget.
“Ngapain kamu berdiri
di sini, La? Kakak berharap kamu nggak
denger apapun itu!” ujar Renatha.
“Oh, enggak kok, Kak. Aku cuman lewat aja,
dari dapur mau ngamar langsung,” sahut Carla lalu segera pergi ke kamarnya.
Carla mengunci pintu
kamarnya rapat-rapat. Dia merenung. Kakaknya itu ternyata wanita kuat. Ia tak
patah arang walaupun sudah dikecewakan lelaki yang dicintainya. Kakaknya itu
juga wanita rapuh kadang kala, ia mudah terbujuk rayuan lelaki lebih “wow”.
Tapi dia juga segera kembali dalam keadaan sadar meninggalkan lelaki itu. Kakaknya
itu cantik, cerdas, prestasinya bergaris linear lurus selalu cemerlang semenjak
di bangku sekolah sampai kerja bahkan secermelang kisah romantisnya yang selalu
beruntung, terkecuali peristiwa setahun lalu yang menyakitkan. Menurut catatan
Carla secara tidak tertulis, Renatha itu banyak dikagumi para lelaki tampan.
Banyak yang berusaha meminangnya tapi Renatha sering menolak karena ia masih
mengejar karirnya di bidang pariwisata. Hingga ia benar-benar jatuh cinta pada
lelaki tampan dari kalangan biasa, fotografer yang pernah ikut proyek dengannya.
Di usia ke tiga puluh satu Renatha melepas masa lajang dengan bahagia tapi ternyata
jalannya tak mulus. Walhasil gerbang perceraian dilaluinya.
Agak beda dengan Carla.
Sekalipun saudara kandung penampilannya casual biasa saja. Ia tak banyak
bergincu. Palingan pelembab, bedak dan lip
balm yang menghiasi wajahnya sehari-hari baik di kampus, di kantor, dimana pun.
List daftar pacar juga tak ada. Satu pun!
List lelaki penembak juga tak ada!
Kosong mlompong! Ada yang salah? Carla sempat stres memikirkan itu. Nampaknya
ada yang salah tapi ia tak bisa melihat itu. Bicara tampang, ia tak jelek-jelek
amat. Mpok Omas bisa juga berjodoh. Bicara berat badan, Oki lukman bisa
berpacaran. Masalah materi? Anak-anak SMP yang masih minta uang jajan mamanya
juga sudah punya pacar. Apa dong? Hingga suatu titik Carla jenuh stres sendiri,
ia mengabaikan segalanya. Tapi hasratnya untuk menikmati ketampanan para kaum Adam
tak pernah luntur. Tapi ya itu, ternyata hanya sepintas lalu. Cuci mata. Tak
pernah turun ke hati lagi.
@@@
Carla sedang mendaftar barang-barang
yang hendak ia jual setelah ia pulang lembur di kantor semalam. Ia masih tampak
ngantuk padahal jam sepuluh nanti ada kuliah. Kemudian konsentrasinya pecah
ketika bel rumah berbunyi berulang kali. Carla nampak kesal. Sekali dua kali
pencet saja sudah cukup.
“Cari siapa?” tanya
Carla lalu kembali ia ternganga pada posisi pertama kali ia bertemu lelaki
menakjubkan. Elang kembali.
“Gue cari Rena. Ada
kan? Di kantor nggak ada. Pasti di
rumah,” kata Elang langsung menerobos masuk rumah Carla. Spontan Carla menarik
ujung leher jas Elang dari belakang dengan susah payah karena postur tubuh
Elang jauh lebih tinggi ketimbang dia.
“Apaan, sih? Nggak sopan!” protes Elang berusaha
melepaskan diri dari Carla.
“Emangnya situ tahu
sopan santun, hah? Lu kira ini rumah siapa, seenaknya masuk! Cakep-cakep bad attitude, ya,”
“Jangan sembarang
ngomong lu ya! Lu siapa, sih? Ini rumah Renatha kan, wanita penggoda itu!” ujar
Elang menohok hati Carla.
“PLAKKK!!!”
“Ini elu ngatain kakak
gue wanita penggoda dan ini...”
“PLAKKK!!!”
“Elu sudah nggak sopan masuk rumah orang tanpa
permisi,”
Astaga
gue nampar orang. Lelaki tampan pula.
Elang mendekati Carla
dekat, menatapnya tajam. Carla nyaris hilang keseimbangan tapi dia bertahan.
“Seumur hidup baru kali
ini gue ditampar cewek. Level elu lagi! Penghinaan ini nggak akan gue lupain,”
Saat suasana tegang
melingkupi Elang dan Carla, Renatha muncul dari dalam rumah.
“Lang, elu apain adik
gue?” tanya Renatha sewot.
Elang menoleh sambil
merapikan diri.
“Oh, dia adik elu, Ren?
Kok, beda?” kata Elang mengandung unsur diskriminatif.
“Beda apanya? Muka kita
tuh, mirip. Cuman kulit gue aja yang eksotis, tubuh gue yang subur ketimbang kakak
gue. Ngomong jangan ngasal ya! Elu kayaknya perlu sekolah kepribadian deh, biar
lebih rapi dalam bersikap dan bertutur kata. Huh!” omel Carla lalu dia masuk
dengan hati dongkol bukan main. Elang memandangnya sinis tapi setengah takjub
pula. Cewek itu bicara super pede mantab.
Carla benar-benar
dongkol selalu dibanding-bandingkan dengan kakaknya yang serba lebih ketimbang
dirinya dari ujung kaki hingga ujung rambut.
“Tuhan... kutukan apa
ini? Kenapa aku jelek, kakakku cantik?? Memang. Ini bukan pertama kalinya gue
denger perkataan menyakitkan begitu tapi oh nooooo...
ini diskriminasi namanya!!! Inikah yang dirasakan ras kulit hitam dibedakan
dari ras kulit putih?” keluh Carla.
“Carla Marissa. Nama
itu nggak cocok sama gue. Mama sama
papa salah kasih nama, nih. Atau Tuhan salah kasih bentuk sama aku? Ouucchh... astaghfirullah... sudah sudah sudah,
La... ini ujian hidup naik derajat. Semua yang nempel di elu tuh masih wajar,
di luar sana banyak yang lebih merana ketimbang elu. Jernihkan otak lu dari
pikiran negatif! Oke, kalau begitu... mulai detik ini gue harus diet, harus perawatan
dari rambut sampai kaki! Tapi... itu artinya gue harus merogoh kocek gue
dalem-dalem padahal gue ngidam tablet keluaran terbaru,” celoteh Carla di depan
cermin sambil memegang bagian-bagian tubuhnya yang menyimpan timbunan lemak.
@@@
Suatu pagi yang jauh
berlalu dari hari cercaan Elang keluar. Carla bangung melihat dirinya di
cermin. Ia mengeluh kenapa tubuhnya masih begitu gendut. Ia langsung menyabet
baju olah raga yang tergantung di balik pintu kamarnya. Ia bergegas mengenakan
sepatu jogging lalu ia pergi jogging keliling kompleks rumahnya. Saat
ia jogging ia bertemu teman SD-nya
dulu yang juga tetangganya agak jauh.
“Eh, ada Carla... jogging neng, pagi-pagi,” sapa lelaki
itu. Namanya Eza.
“Eh, Za, iya nih...
biar kurusan. Biar nggak lu kata kebo
lagi,”
“Hehehe. Elu mah,
sekarang angsa cantik, La...”
“Gombal tsunami lu, ah,
Za!”
“Seriusan, La. Lo
sekarang seksi, manis lagi. Cantiknya Indonesia banget,” puji Eza.
“Hyahahaha... akhirnya
elu bisa berkata begitu, Za. Ah, tapi gue sih, nggak akan tergoda sama gombal elu ya, sori-sori kusei, ya, hahaha.
Apa kabar lo? Udah lulus lo? Kerja dimana?”
“Weittss.. satu-satu
neng, tanyanya. Sudah, barusan tapi masih job
seeker,”
“Oh. Eh, betewe Za,
temen SMP lu si Edgar gimana kabarnya? Masih jomblo?”
“Edgar? Elu masih demen
sama dia? Dia sekarang kebalikan elu kali, La. Dia makin tambun setelah
berbini,”
“Hwhaattt?? Bini?!!”
Eza mengangguk.
“Berani mati ya, seumur
dia kawin,”
“Kenapa memangnya?
Banyak kok lelaki nikah muda. Gue aja mau nikah muda, apalagi sama elu, La...”
Carla menimpuk Eza
menggunakan handuk kecil yang ia kenakan mengusap keringatnya.
“Ogah ah, ntar kalo lu
lihat yang lebih bening dari gue, elu kabur lagi,” tungkas Carla. “Gue lanjut
dulu ya, Za. Kapan-kapan main lu ke rumah, ada jambu biji merah tuh! Lu kan
demen jambu itu,”
“Oke deh, kapan-kapan
gue ngapelin elu deh, La. Eh, betewe jangan kenceng-kenceng larinya nanti elu
kesamber angin, terbang lu. Badan kurus ceking begitu masih lari-lari,”
“Ngigo mulu lu, Za...
lalalala,” ucap Carla lalu seolah tak mendengar ucapan Eza. Justru
bernyanyi-nyanyi tak jelas.
...
“La, sarapan dulu,
ya... abis gini nemenin mama ke pasar mau belanja buat persiapan lamaran,”
Carla tersedak minum
air mineral.
“Lamaran siapa? Aku kan,
belum ngenalin pacarku ke mama,” ujar Carla ngasal.
“Memangnya kamu punya
pacar?” tanya mamanya melirik tersenyum.
“Iya kan, mama... nggak percaya amat sih, aku bisa punya
pacar seganteng Adam Levine. Plis deh, Ma, jangan pesimis begitu. Nanti ya,
menantu mama nih, dari bangsa Catalonia yang prianya ganteng-ganteng itu. Percaya
deh, Ma,” lanjut Carla lebih ngaco lagi.
“Mama percaya. Percaya
kamu ngigau, hahaha. Lagian, bahasa inggris aja kamu nggak pecus mau bersuami bule, nanti nggak nyambung, sayang,” tungkas mamanya.
“Ah, mama pesimis mulu.
Aku dilamar bule Spanyol awas lo ya! Mama harus traktir aku apaaaaa aja yang
aku minta,”
Mamanya tersenyum lebih
lebar lagi. Carla justru hendak pergi ke kamarnya.
“Nggak sarapan dulu?” tnaya mamanya.
“Enggak ah, nanti Carla gendut!” kata Carla mengheningkan suasana
sejenak.
“Carla, mama pengen
ngobrol,”
Carla memalingkan
badannya. Mamanya mendekat dan mengajaknya duduk di teras samping rumah.
“La, kamu bisa nggak stop diet ketat? Kamu banyak
mengurangi asupan karbohidratmu. Kamu olah raga ekstrim sampai nggak kenal waktu. Kamu kenapa, nak?”
“Aku? Aku nggak apa-apa, Ma. Soal diet ketat mama nggak perlu khawatir, aku tahu sampai
mana batas kemampuanku,”
“Menurut mama itu
berlebihan. Apalagi kamu sekarang benar-benar kurus begini. Lebih kurus
ketimbang mama dulu waktu SMA yang cuman tiga lima kilo,”
“Bobotku tiga sembilan,
Ma,”
“Tiga sembilan? Itu nggak cocok sama tinggi kamu. Itu sudah nggak proporsional,”
“Nggak proporsional gimana, Ma? Justru menurutku ini masih
kelebihan,”
“Carla... itu abnormal,
sayang...”
“Ma... apanya sih yang
abnormal? No problem dengan semuanya.
Aku masih ngrasa kelebihan berat badan, Ma. Ini belum proporsional. Aku mau
kayak model di finalis ajang pencarian bakat model itu lho, Ma. Walaupun aku
juga nggak mau jadi model yang
terbuka sana-sini,”
Mimik muka mama Carla
berubah cemas.
“Kalau sudah nggak ada yang dibicarakan aku permisi
istirahat bentar trus siap-siap nganter Mama, ya?” kata Carla beranjak dari
kursi.
“Mama tahu kamu jarang
makan nasi bahkan pernah stop karbohidrat, terlebih pas sakit kamu nggak
mau makan sama sekali. Kamu sering menahan lapar,”
Carla menahan nafas
sejenak. Ia kaget dengan pernyataan mamanya. Gimana mamanya tahu? Selama ini
tak satupun orang tahu di menahan lapar bahkan membuang makanannya. Ia hanya
berpura-pura membawa bekal dari rumah padahal seringnya ia membuang makanan
bahkan jika ia sayang membuang, ia berikan pada security kantor atau kampusnya.
“Carla baik-baik aja
kok, Ma. Carla cuman merasa perlu diet biar kurus. Itu saja,”
“Itu abnormal. Kamu sudah
kurus kering begitu kamu bilang gemuk. Nanti sore kita ke tante Lina,”
Tante
Lina? Beliau kan, psikolog? Mampus. Disangka gue kelainan jiwa apa?
“Terserah mama,” kata
Carla sebenarnya tak rela. Ia akan memikirkan cara menghindar nanti sore.
@@@
Seminggu berlalu. Carla
tak bisa mengelak ajakan mamanya minggu lalu. Ia datang ke di psikolog dan di
sana ia positif anorexia nervosa.
Carla kaget bukan main tapi ia tak bisa menolak fakta yang dia alami, pikiran
yang tak rasional dan tindakan-tindakan ekstrim. Rasanya bumi berhenti berputar.
Lalu ia merasa terkungkung di dalamnya. Ia harus memulai terapi pikiran dan
perilaku untuk mengubah kebiasaannya yang sudah berjalan lima bulan terakhir.
Stres berat dialami Carla padahal ia harus tampil prima untuk acara lamaran
kakaknya Renatha dan mantan selingkuhannya, Romi.
“Ma, Carla boleh main
dulu ke tempat tante Lina?” tanya Carla.
“Bukannya mama melarang
La, tapi tante Lina nanti juga ke sini, ke lamaran kakakmu. Kamu di sana sama
siapa? Lagian kalau di rumah, mama bisa mengontrol semua yang kamu lakukan biar
nggak nyuri-nyuri kesempatan
melakukan yang sudah-sudah,”
“Mama, Carla sumpeg di
rumah,”
“Sayang, ini lamaran
kakak kamu. Masa kamu mau melewatkan begitu saja,”
“Kalau begitu,
dokumentasi jangan aku ya, Ma? Serahin di Dipta ya? Aku di kamar aja,”
“Kalau itu maumu, ya
sudah. Tapi jangan kemana-mana, ya?”
Carla mengangguk.
...
Acara lamaran
berlangsung khidmat dan lancar. Dua insan yang pernah merajut asmara lalu
bekonflik itu kini kembali bersatu. Semoga lebih awet ketimbang sebelumnya. Tapi
bagaimana Carla? Dia mendekam di kamar. Oh tidak. Ia mencoba mengurangi
kecemasannya atas impulsivitas yang ditekannya karena ingin mencoba treadmill ekstrim di teras
rumah dengan mendengarkan musik klasik insrumental di teras kamarnya.
Perlahan Carla hanyut
dalam ketenangan. Damai. Tapi, mendadak kacau dan itu karena lelaki.
Parfum maskulin merek
mahal didengus oleh Carla. Sangat menusuk hidung. Carla membuka matanya
kemudian ia terbelalak.
*Kiss
pertama*
Kecupan mendarat
mendadak di bibir seksi Carla. Carla siap mencakar muka di depannya dan
ponselnya berisi lantunan musik klasik jatuh begitu saja.
“Lelaki kur...”
*Kiss
kedua*
“Sinting lu, ya! Lu
kira gue cewek apaan?!!” omel Carla.
“Cewek penggoda macem
elu itu harus dikasih imbalan setimpal,” uajar lelaki itu.
“Kapan gue ngegoda
elu?!! Sekali lagi lu bilang gue wanita penggoda, gue sumpel lu sama ikan mas
koki,” Carla menunjuk ikan di kolam depan teras kamarnya.
“Tegang amat sih? Biasa
aja kali. Bibir elu masih perawan, ya? Kayak kecolongan gitu,”
“Ya, iyalah. Semua di
diri gue itu aset berharga buat suami gue nanti,”
“Oh, ya? Terus gimana
dong, kalau sudah dicolong orang lain?”
Carla geram tapi ia
menahan diri. Ia juga malu. Maka dari itu dia bergegas masuk ke kamar tapi
lelaki itu mencegahnya.
“Tunggu! Gue nggak akan berbuat lebih, kok. Sebatas
colong bibir aja. Kita ngobrol bentar yuk!” ajak lelaki itu.
“Ogah! Ngobrol sama
lelaki bad attitude kayak elu cuman
bikin muntah!”
Carla bergegas masuk ke
kamar dan mengunci pintu kamarnya rapat-rapat. Lelaki itu tak beranjak dari
sana. Ia malah duduk di teras kamar Carla. Malah dia berusaha mengajak Carla bicara.
“La, gue mau bilang
sesuatu, nih. Gue minta maaf, ya, perlakuan gue beberapa bulan lalu bikin sebel
elu. Gue emag salah ngatain elu begitu. Habis, Renatha juga nggak pernah cerita dia punya adik. Gue
sadar sih, perkataan gue waktu itu kasar tapi itu spontan. Bukan dari hati gue
terdalam. Gue minta maaf,”
“Terserah ya, elu
bilang apa. Kata-kata elu itu jelas mencerminkan elu lelaki seperti apa. Lelaki
borju berkelas yang hanya bernafsu sama wanita seksi berbaju super ketat,
minimal elegan kayak kakak gue, kan? Ah... lelaki buaya!” sahut Carla dari
dalam.
“Kata siapa? Gue nafsu
sama elu,”
“Gue sumpel mulut loe
sama keset lama-lama, Lang!”
“Serius. Eh, maksud gue
bukan nafsu begituan. Maksud gue itu gue bukan lelaki buaya yang doyan wanita
megumbar aurat sana-sini. Serius. Ya, walo gue kadang tergoda sih,...eh tapi
gue nggak terjerat, kok.”
“Sama aja!”
“La, maafin gue, ya? Sungguh
gue minta maaf. Aslinya gue kangen sama elu, La,” ucap Elang membuat Carla tak
percaya melayang seketika. Lelaki tampan itu merindukannya.
“Elu kalo mau ngegombal,
lu ngegombal aja sama domba belakang rumah sono! Di sini bukan sampah buat ngegombal!”
“La, kita bicara kayak
dipenjara luar negeri gini, La? Ini lebih parah elu ngunci kamar trus gue nggak bisa lihatin elu. Gue kayak bicara
sama hantu, La...”
“Hahhaha... lucu! Basi
tahu nggak? Udah deh, pergi sono loe!
Ngapain di sini? gangguin orang aja!”
“Lah, elu sendiri
kenapa ngurung diri di kamar padahal kakak elu lagi seneng?”
Carla mencari lakban
dan mengguntingnya seukuran mulut Elang yang hendak ia bungkam. Lalu ia membuka
pintunya. Elang memasang wajah sumringah. Carla segera mendekat dan menutup
mulut Elang dengan lakban. Elang kemudian menggenggam tangan Carla yang hampir
berhasil membungkam mulutnya. Elang cepat melepas lakban yang hampir terpasang
penuh di mulutnya.
“La, gue cinta sama
elu. Serius,”
Carla diam. Lalu
kembali ke kesadaran semula.
“Elu sekarang suka gue
karena gue sudah kurusan, kan? Gue sudah cantik, kan? Elu sama brengseknya sama
Iqbal. Baik di luar, busuk di dalam,” serang Carla.
“La, elu sekarang lebih
buruk dari yang gue temui pertama kali. Dulu elu seger buger, elu cantik, elu
hidup normal tapi sekarang? Elu kurus begini. Elu bilang elu sekarang cantik?
Cantikan dulu, La. Serius,”
“Elu pasti kongsian
sama mama atau Renatha, kan? Sudah gue bilang, ini tanpa perlu dipaksa. Gue
bakal ngejalani semua terapi itu, kok. Gue itu nggak lagi sakit jiwa! Gue sadar gue nglakuin apa aja.
Terapi-terapi segala. Oke, gue bakal nglakuin semua yang dibilang mama!”
celoteh Carla kesal.
Carla melepaskan diri
dari Elang dengan paksa. Ia memalingkan diri dari Elang.
“Demi Tuhan, ini
kehendak pribadi gue. Gue sadar dengan apa yang gue lakuin barusan. Gue memang
tahu beberapa waktu terakhir elu aneh soal penampilan elu dari Rena tapi
sungguh, gue nggak ada niat memojokkan
elu. Gue cuman mau elu semangat lagi. Ini bukan kesalahan, ini bukan aib, dosa
atau apa, ini hanya soal persepsi elu yang agak kliru. Akhirnya elu terobsesi
bertubuh kurus. Percaya sama gue, La, elu cantik saat kita pertama ketemu. Elu nggak kurus kering begini. Gue juga nggak mau kali punya istri sekurus ini.
Melihat aspek kesehatan, sistem reproduksinya juga buruk. Lelaki mana yang
mau,”
“Itu!”
“Itu apa?”
“Itu! Elu mojokin gue
dengan kondisi begini. Elu seolah menghakimi gue! Pergi! Pergi! Pergi!” usir
Carla.
“Salah lagi gue. Oke,
sori banget. Tapi ini semata-mata gue pengen elu semangat lagi untuk hidup
normal. Hidup sehat. Gue bisa bantuin elu hidup sehat. Gue begini juga nggak instan, butuh waktu setahun bisa punya
badan kotak-kotak begini,”
“Emang lu manusia
beton, badan kotak-kotak,”
“Salah lagi. La, bilang
sama gue biar gue bisa bener di mata elu,”
Carla mendongak ke atas
menatap Elang.
“Demi apa lu berusaha
bener di mata gue?” tanya Carla.
“Demi jadi suami elu.
Gue kalau nggak salah denger dari
Renatha sih, elu suka sama gue dan mendamba lelaki tampan kayak gue jadi suami
elu. Dan kalo gue nggak salah lihat
sih, pertama kita ketemu dan kedua kalinya ketemu elu ternganga gitu merhatiin
gue. Lalu pas di mall duluuuuu banget lu spontan teriak nama gue, seolah gue
artis dari mana gitu, inget?”
What?
Dia sadar tindak-tanduk gue, termasuk di mall itu. Padahal kala itu baru dua
kali bertatap muka. Lah... lelaki ini...
Carla kikuk salah
tingkah.
“Itu dulu,” elak Carla.
“Ah, masa sih? Kalo
sekarang udah enggak, elo pasti nolak
gue cium,”
“Elunya ngrampok!”
“Kalo nggak gitu, elu nggak akan tahu gue suka elu.”
“Elunya yang keburu
nafsu,”
“Enggak lah. Biasa aja. Udah deh, La, ketahuan banget lu suka sama
gue, dulu dan sekarang. Sekarang gue baru sempet menjelaskan semuanya. Dulu
sih, gue sering mengelak gue suka elu tapi mata elu itu bikin gue nggak bisa merem tiap malem. Elu punya
mata terbuat dari apa, sih? Coba lihat,”
Elang mencoba memegang
kepala Carla untuk melihat matanya.
“Nah, bener kan, mata
ini tetep sama. Elu cinta sama gue. Tuh, pupil membesar,”
Carla terpaksa bertatap
mata dengan Elang.
“Mata elu juga tetep
sama, setajem elang,”
“Makanya nama gue
Elang. Kalau elu kenapa namanya Carla Marissa,”
“Mama salah kasih
nama,”
“Karena elu cantik, secantik
namanya,”
“Gue sakit, Lang,”
“Kita bisa perbaiki
bersama. Elu nggak sendirian, La. Ada
gue di samping elu,”
Elang memeluk Carla.
Carla membalasnya.
“Gue cinta sama elu,”
ucap mereka bersamaan sembari tersenyum.
“Elu kan, benci sama
kakak gue. Ke gue kok, enggak?” tanya
Carla tiba-tiba.
“Mana bisa kalo tiap
mau merem selalu ada mata elu. Sama Rena, semua kesalahpahaman aja. Gue kasihan
sama sepupu gue, Romi yang nyaris gila gara-gara kakak lu,”
“Oh... begitu,”
“Di dalem ada orangtua
gue, gue lamar elu sekalian ya?” tawar Elang.
“Jangan sekarang! Belum
siap,” tolak Carla.
“Cuman lamaran. Nikahnya bisa besok-besok. Gue
nggak mau ya, gadis gue disamber
orang,”
Elang mengajak Carla
masuk ke dalam rumah lewat depan rumah.
“Wait... kalo elo jadi suami gue, elo terima gue apa adanya, kan?
Gemuk, kurus, setengah gemuk?” tanya Carla.
Elang mengangguk
tersenyum manis dan tulus. Carla mempererat genggaman tangannya yang sedari
tadi digenggam Elang. Dia tak ingin jauh-jauh lagi dari Elang. Cinta pandangan
pertama yang ternyata -akan- menjadi jodohnya kelak selamanya. Perasaan Carla
dalam kondisi sangat bahagia. Harapnya, semoga cintanya awet dari dia gendut ke
kurus, siapa tahu gendut lagi, kurus lagi. Entah itu nanti. Intinya sekarang
dia bahagia.
@@@
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Ditunggu kritik dan saran membangun yah :)