Selasa, 28 Juli 2009

cerpen "Cinderella Kesiangan"


Cinderella Kesiangan

Jam di tangan Mira menunjuk pukul sembilan malam. Larut memang, tapi Mira masih berada di perjalanan menuju pulang ke rumah. Ia baru saja pulang memberi les privat pada seorang siswa SMP.
Mira pulang jalan kaki menuju kostnya. Membutuhkan waktu dua puluh menit untuk sampai kostnya. Ketika sedang santai berjalan, tiba-tiba ada segerombolan orang yang berlari-lari menuju ke arahnya sambil berteriak,”COPET! COPET!”. Dan salah satu dari mereka yang ada di barisan paling depan -nampaknya orang itu yang menjadi sasaran pengejaran- menabrak Mira dan menyerahkan sebuah dompet dengan paksa padanya. Mira bingung. Si pencopet lolos, Mira yang jadi tersangka.
Sekuat tenaga Mira mengelak tapi orang-orang tak percaya. Hingga Mira digiring ke pos satpam terdekat.
”Maling mana ada yang mau ngaku?!” seru si empunya dompet.
“Mas ganteng, harusnya mas dan semua yang ada di sini jeli dan inget gimana ciri-ciri pencopetnya. Dan harusnya mikir pakai otak, mustahil dong, kalau saya pencopetnya terus ketangkep basah mau nyerah gitu aja. Tolol itu namanya!” jelas Mira membela diri.
Suasana riuh menuduh Mira bersilat lidah. Kemudian pak satpam meminta Mira menunjukkan kartu identitasnya. Dikeluarkanlah Kartu Tanda Mahasiswanya.
“Mbak ini kan, mahasiswa universitas ternama, jadi ngaku sajalah kalau berbuat salah. Kita bisa bertindak halus kalau mbak mau ngaku, tapi kalau nggak urusannya tambah ribet,” kata si satpam.
“SAYA BUKAN PENCOPET!!!” teriak Mira.
“Ehm…gini pak, kita selesaikan dengan cara damai. Saya juga nggak punya banyak waktu ngurusin hal kayak gini. Biarin pencopet kelas teri ini lepas, yang penting dompet saya balik,” tutur si empunya dompet berubah pikiran yang awalnya ngeyel pengen Mira diadili secara hukum sekarang ‘melepaskan’ Mira begitu saja.
“Saya bukan copet! Budeg ya?!” cela Mira.
Akhirnya perkara selesai. Mira pulang dengan muka sebal. Pengen nangis rasanya karena baru sekali ini dalam seumur hidup dia dituduh mencopet padahal bukan dia pelakunya.
ÿÿÿ
“Kenapa muka kamu ditekuk-tekuk gitu?” tanya Ony, sahabat Mira yang juga teman satu kostnya.
“Sial bener nasibku tadi malam. Masa’ aku dituduh mencopet?” dumel Mira.
“HAH?! Gimana ceritanya?” tanya Ony penasaran. Dan Mira pun mulai bercerita panjang lebar tentang kejadian semalam.
“Hehehe…lagi apes aja kamu, Mira! O, iya, lusa jangan lupa ketemu direktur operator seluler ‘Sinyal Lancar Terus’ buat ngajuin proposal dana acara festival pendidikan dan kebudayaan kita dua bulan lagi,” jelas Ony.
“Kok, aku?”
“Kan, ketua kamu terkapar di rumah sakit. Jadi, kamu sebagai wakil yang harus mewakili. So, jangan banyak bicara!”
“Iya,” sahut Mira berat hati.
Usai mengisi perut yang tak diisinya sejak pagi, Mira dan Ony siap mengikuti kuliah Asas-asas Manajemen atau Asmen. Saat asyik ngobrol dengan Ony, datanglah dosen baru yang beberapa hari terakhir banyak diperbincangkan para mahasiswi, m-a-h-a-s-i-s-w-i. Kenapa? Karena menurut kasak-kusuk yang beredar, dosen muda baru ini, kerennya minta ampun. Vino G Sebastian lewat.
Si dosen masuk dengan menebar senyum pada seluruh penghuni kelas dan saat pandangannya jatuh pada satu orang di kelas itu, senyumnya spontan musnah.
“Selamat siang, Saudara-saudara?” sapa si dosen.
“Siang…” sahut seisi kelas termasuk Mira yang ikut bersuara dengan malas, padahal mahasiswi yang lain terkagum-kagum melihat dosen itu.
Dia sibuk membenahi tali sepatunya dan saat kembali ke posisi duduk semula, Mira ternganga melihat siapa dosen barunya.
“Mampus riwayat gue,” gumam Mira.
“Kenapa?” tanya Ony sambil menyenggol Mira.
“Ah, nggak apa,” jawab Mira nyengir kuda.
Si dosen mulai memperkenalkan diri kemudian mengabsen satu persatu mahasiswa yang ada. Dan tibalah Mira dipanggil.
“Mira Arumitasari,” panggil si dosen yang bernama Wendha.
“Iya, saya!” sahut Mira tak ramah. Wendha hanya tersenyum sinis.
ÿÿÿ
Mira telah menunggu selama lebih dari dua jam untuk bertemu direktur utama sebuah operator seluler ternama di Indonesia. Mira nyaris menyerah tapi justru di puncak keputusasaannya itu yang bersangkutan datang dari meetingnya di luar kota. Kemudian Mira bergegas menemui orang tersebut tapi sial, ternyata orang yang harus dihadapinya adalah orang yang bermasalah dengan dirinya beberapa hari terakhir ini. Mulanya Mira berniat undur diri saja tapi mana sopan. Akhirnya dengan berat hati, Mira memasang tampang ramah di depan dirut perusahaan operator selular yang tajir itu.
“Siang, Pak!”
“Siang. Silakan duduk! Ada perlu apa?” tanya si dirut secara beruntut. Ternyata dirut itu adalah Wendha, dosen barunya. Mira pun mulai menjelaskan maksudnya bertandang ke kantor Wendha.
Sejenak setelah membaca proposal dari Mira….
“Proposal macam apa ini??!! Anggaran dananya saja nggak rasional! Nama saya saja salah ketik. Becus nggak sih, kalian kerja? Niat nggak??!!” bentak Wendha sembari melemparkan proposal ke arah Mira.
Mira memendam amarah yang tak kalah hebat. Dengan berat hati, kata maaf meluncur dari mulut Mira. Kemudian Mira pamit pulang.
ÿÿÿ
Hidup Mira terasa di neraka saat kuliah semenjak Wendha mengajar di kelasnya. Nyaris setiap hari ia bertemu dengan Wendha dengan segala triknya untuk bisa menjatuhkan Mira. Semuanya membuat Mira stress, belum lagi persoalan tugas kuliah yang kian hari kian menumpuk. Alhasil, asmanya kambuh dan terpaksa ia dirawat di rumah sakit. Saat terbaring lemah di rumah sakit, datanglah Wendha dengan tampang sok perhatian.
“Ngapain bapak ke sini?” tanya Mira ketus.
“Ternyata wonderwoman bisa sakit juga,” sahut Wendha.
Wonderwoman bisa sakit kalau dipukul tangan besi!” timpal Mira dengan menyebut panggilannya untuk Wendha.
“Sudah jadi kewajiban saya sebagai dosen mengarahkan mahasiswa saya menjadi lebih disiplin. Terserah kamu, stay di kelas saya atau keluar. Mudah kan?” jelas Wendha.
Mudah apanya? Sama-sama nggak menguntungkan buat gue!
“Ke poinnya aja deh, Pak! Bapak mau apa ke sini? Bapak tuh, kerjaannya selain jadi dosen dan dirut perusahaan ternyata suka bikin apes saya!” tuduh Mira.
“Saya nggak bikin kamu apes!” elak Wendha.
“Kamu aja ke-geer-an!” tambah Wendha.
“APA??!! Saya geer sama bapak? Untungngnya nggak ada,”
“Nilai Asas Manajemenmu E!”
Mira diam sejenak ingin merengek agar Wendha tak melakukan itu tapi gengsi dong.
“Barusan bapak bikin saya apes! Bapak itu maunya apa, sih? Masalah dompet tempo hari? Saya sudah bilang kan, saya bukan pencopet. Atau masalah proposal yang nggak bener? Iya, itu memang salah saya. Atau masalah baju bapak saya tumpahi kuah bakso lusa kemarin? Itu salah bapak sendiri, jalan nggak pakai mata!” todong Mira dengan berbagai pertanyaan.
“Kamu nggak pernah berubah, ya dari dulu. Tetap Mira yang mudah marah dan volume suara yang nggak bisa pelan. Cinderella kesiangan,” kata Wendha mengagetkan Mira. Mira mengobrak-abrik memori otaknya dengan paksa, segera. Hanya Arman, masa lalunya yang memanggilnya begitu.
“Kenapa, cinderella kesiangan?” tanya Wendha sekali lagi yang menyadari Mira tengah bengong.
Jangan-jangan dia mas Arman gembulku dulu.
“Nih!” kata Arman memerlihatkan bekas luka akibat pecahan kaca di leher bagian belakang.
“Mas Arman??!!” seru Mira bahagia lalu memeluk Wendha alias Arman.
“Aku kangen sama mas Arman,” tambah Mira.
“Apalagi aku,” sahut Wendha.
Keduanya melepas rindu dan saling berbagi cerita setelah nyaris lima belas tahun berpisah begitu saja. Dan mereka menghabiskan waktu berdua untuk selanjutnya.
ÿÿÿ
“Jangan capek-capek!” nasihat Wendha saat Mira sibuk menjadi panitia festival pendidikan dan kebudayaan.
“Siipp,” sahut Mira mengacungkan jempolnya.
Keromantisan mereka semakin terlihat saat Wendha bersama band yang beranggotakan dosen-dosen muda yang lain menyanyikan lagu milik Numata yang berjudul Pesona. Lagu itu jelas-jelas ditujukan pada Mira, membuat Mira malu setengah mati di hadapan teman dan para dosennya yang lain. Semenjak itu, kisah cinta mereka berdua bak dongeng di dunia Cinderella bersepatu kaca. Tapi…Cinderella kesiangan!
“BYYUUURRRR….!!!” suara guyuran air membasahi tubuh Mira yang tengah pulas tidur.
“HUAAAA….!!” Teriak Mira bangun kelabakan.
“Ony, tega banget, sih?” keluh Mira.
“Gimana nggak tega kalau kamu setengah jam lagi harus konsultasi proposal penelitian sama pak Wendha! Molor mulu!” omel Ony.
“Aduuh, kenapa sih, gue selalu berurusan sama dosen baru sialan itu? Nggak kuliah, nggak permintaan dana festival, nggak proposal penelitian. Adeuh…bisa-bisa asma gue kambuh karena kelakuannya yang aneh-aneh. Hhhrrrggghhh….,” omel Mira.
Ternyata cuma mimpi. Dia bukan mas Arman.
Ony memercikkan air ke muka Mira karena ia menyadari Mira tengah melamun.
“Mandi, cepetan!” suruh Ony.
“Iya, iya, mandi!” sahut Mira sambil beranjak dari tempat tidur.
ÿÿÿ