Senin, 15 Desember 2014

Perjodohan... again and again



Judul                    : Learning to Love
Penulis                 : Eni Martini
Penerbit               : PT Gramedia Pustaka Utama
Jumlah halaman    : 184 halaman
Harga                  : - (dapet kado kuis dari mbak @RizkyMirgawati ^_^)

Amore kedua yang justru bikin terjun bebas gairah baca tema perjodohan—kalau ceritanya lempeng kayak gini. Maaf harus jujur, ekspektasi saya terlalu tinggi di sini.
Padahal beberapa waktu terakhir dicekokin drama perjodohan yang melibatkan benci jadi cinta, rasanya girang bukan kepalang. Terus baca novel ini? Sempet hore banget, sih. Tapi...
Oke, poin plus novel ini, justru memelencengkan dugaan: perjodohan tapi tidak benci jadi cinta. Hubungan Ken dan Eliz justru baik-baik saja.
Sebaik-baik saja jalan cerita novel ini dari awal sampai akhir. Maksudnya, novel ini tuh flat, gregetnya nggak ada. Padahal menurut saya, hubungan Ken dan Eliz di setiap bagian novel ini, masih bisa dieksplorasi lebih jauh sehingga bikin emosi pembaca bergejolak. Iya, memang ada konflik utama, tapi andaikan cerita novel ini sebuah garis yang lurrruuuus saja mulanya, konflik itu hanya berupa lanjutan garis yang secuil menukik ke atas kemudian lempeng lagi.
Belum lagi yang cukup mengganggu adalah ketidaksesuaian informasi cerita atau apalah istilahnya. Contohnya:
1.     Nina (sahabat Eliz) dikatakan di bab awal, memiliki anak berusia 10 tahun. Ia menikah sejak usia 27 tahun (par. 10, hal.10). Tapi di bab belakang, Nina seumuran Eliz, 33 tahun (par. 2, hal. 130). Emmm, agak aneh, ya?
2.    Ken adalah anak sulung. Ia memiliki 2 adik perempuan yang telah menikah dan memiliki anak (par. 4, hal. 26). Tapi dikatakan Ken memiliki kakak-kakak yang telah menikah dan memiliki anak di bab belakang (par. 4, hal.109)?
Lantas gangguan lain adalah terkait EYD dan typo, antara lain:
1.     Penulisan ‘per-temuan’ (par. 5, hal. 42). Padahal itu di tengah paragraf, dan bukan di posisi yang harus dipenggal. Biasanya kalau kena batas layout kudu dipenggal bukan, ya? Bener nggak? Berlaku juga untuk kata ‘melun-cur’ (par. 1, hal. 44)
2.    Penulisan tanda baca titik (.) yang diketik ganda (par. teratas, hal. 47)
3.    Penulisan tanda petik dua penutup dialog (”) dibubuhkan bukan untuk menunjukkan dialog, melainkan paragraf narasi. Jelas itu narasi, sebab di awal tidak ada tanda petik dua pembuka dialog (“). (par. 3, hal. 47)
4.   Penulisan tanda baca koma (,) yang diketik ganda (par. 5, hal. 47)
5.    Yang ini typo atau sengaja, ya? à “Ini efek mahasiswi psikolog masuk ke distribusi kali, ya?” gerutunya.  Setahu saya, psikolog itu profesi, masa’ mahasiswa/ mahasiswi? Kalau psikologi, itu baru ilmunya. Dan sepertinya maksud dialog Eliz kepada Nina itu, mengacu ke maksud ilmunya, psikologi. Jadi, mahasiswi psikologi (par. 6, hal. 53)
6.   Typo ‘menujukkan’ (par. 5, hal. 91), harusnya menunjukkan
7.    Penggunaan kata depan (preposisi) ‘di’ dan ‘pada’ yang kurang tepat. Setahu saya, ‘di’ itu digunakan untuk menunjukkan tempat atau lokasi, sedangkan ‘pada’ untuk menunjukkan waktu. Di novel ini kurang tepat penggunaannya, seperti ‘di umur 27 tahun’ (par. 10, hal. 10) seharusnya ‘pada umur 27 tahun’ dan ‘di Senin sore’ (par. 7, hal. 43) seharusnya ‘pada Senin sore’. Betul, nggak?

Ya memang, nggak ada gading yang nggak retak. Masalah ketidaksesuaian informasi cerita, typo, atau problem EYD, saya juga payah, hehehe. Hanya sebatas tahu setelah membaca beberapa novel dari penerbit yang sama.
Overall, novel ini bisa terbangun secara utuh sebagai sebuah cerita. Tapi entah, rasanya kecewa karena:
1.        Melihat packaging-nya kok tipis (tapi masih berharap ceritanya cetar karena mengusung tema perjodohan)
2.      Setelah baca, ternyata tidak ada kejutan sama sekali. Oke, mungkin dari blurb hampir bisa ditebak atau dipastikan kedua tokoh berjodoh. Kalau sudah begini, apa yang mau diharapkan pembaca yang (mungkin sudah) bisa menduga ending-nya, kalau bukan ‘letupan-letupan’ yang menghiasi jalan cerita tokoh utama?

Saya gemes kenapa Ken dan Eliz nggak dikasih kesempatan beromantis ria? Kurang mengoyak emosi. Padahal sudah kebayang perjodohan yang akan dibumbui konflik-konflik cetar, dan ah... maaf, saya kasih bintang 2.5 saja. Kalau novel ini ditulis ulang (dieksplorasi lagi konflik-konfliknya yang bikin emosi jiwa), saya akan menaikkan jumlah bintangnya sampai 5. Serius! Tapi salut untuk penulis yang sudah mengemas cerita perjodohan antimainstream (bukan benci jadi cinta, tapi hubungan baik jadi cinta) ini, hehehe. ^_^
Terakhir, saya suka quote-nya Indra (teman baik Ken), nih:

“Bukannya dalam berumah tangga itu seperti menanam bibit dari pohon yang kita cintai, yang ktia inginkan untuk tumbuh, berbunga, dan berbuah? Jadi, kupikir menikah atau berumah tangga itu proses seumur hidup untuk terus mencintai.” (par. 5, hal. 150)