Senin, 16 Desember 2013

Bersyukur


bersyukurlah kamu yg nggak pernah ada di bawah, karena kamu nggak akan susah payah melakukan pembuktian pembandingan di bawah dan di atas karena kursimu tak pernah tergoyahkan bahkan tertumbangkan. 

dan bersyukurlah kamu yang bisa merasakan di bawah tapi belum bisa membandingkan gimana rasanya di atas dan di bawah karena (katanya) Tuhan sedang tersenyum kamu sering mendekatiNya

dan tetap bersyukurlah kamu yang sudah bisa membandingkan gimana rasanya di bawah dan di atas karena Tuhan tahu saat yang indah kamu pantas menerima semuanya

dan kamu harus tetap bersyukur ketika dunia tidak kau genggam, tapi siapa tahu akhirat sudah di tangan

wallahu a'lam



----------------------------------------------------------


Senin, 02 Desember 2013

Immortal Love

credit


Tuhan pun tahu...  jikalau aku mencintai dirimu tak musnah oleh waktu
Hingga maut datang menjemputku, ku tetap menunggu kamu di lain waktu
(Immortal Love- Mahadewa Band)

Ada rasa yang tak bisa diakalsehatkan. Sudah tahu kamu tak pernah menaruh minat padaku tapi aku tetap berdiri di sini menunggumu tanpa rasa malu dan dosa yang tertanggung. Diam, memerhatikanmu lekat, menyalurkan energi cintaku, terkagum sendiri, menelan kepahitan sendiri, tersenyum getir, tersenyum bahagia, menangis dan sesekali tertawa. Banyak hal yang telah kulakukan sendirian di sudut ini. Kamu pun melihatku tapi hanya sepintas lalu. Pilu yang menyayat kalbu kembali membaur. Dirimu... jangan minta aku mundur walau barang sejengkal pun! Aku cinta mati padamu. Entah sampai kapan pun itu.
“Non Ela, ini obatnya,” suara Mbok Parti membuyarkan lamunanku.
Aku menoleh. “Oh iya, Mbok. Terima kasih, ya?” ujarku sambil menerima sepiring kecil berisikan sejumlah pil dan kapsul di atasnya dan disertai segelas air putih.
Aku sengaja meminta Mbok Parti menyimpan obat-obat itu untuknya. Sebab, jika ia  sendiri yang menyimpannya, sudah pasti akan masuk ke tong sampah atau lebih parah ke dalam kloset. Dasar keras kepala! Bagaimana dia  bisa begitu? Bukannya bersemangat sembuh, justru sibuk menyiksa diri dengan membuang semua obat dan malas terapi. Mana semangatnya yang selama ini berkobar-kobar? Mana ketegasan, kealotan dan disiplin diri pribadinya selama ini yang lebih sering disangka diktator oleh semua orang? Mana? Manaaaa??? Aku lelah melihatnya merusak dirinya sendiri.
Aku bangkit dari kursi goyang di dekat kolam renang di rumahnya. Melangkah ke ruang kerja pribadinya.
Aku mengetuk pintu terlebih dulu sebelum masuk. Aku tak mau mengulangi tindakan yang membuatnya mengomel seharian. Dia memang terlampau kaku. Melanggar satu saja peraturannya, kita akan melihat urat-urat lehernya menonjol keluar. Hih!
“Masuk!” terdengar suara singkat dari dalam.
Aku membuka pintu dan mengatakan, “Permisi,”
Dia hanya berdeham.
“Waktunya minum obat. Kata Mbok Parti, kamu sudah makan baru saja,”
Dia diam saja membolak-balik kertas-kertas berserakan di meja kerjanya.
Aku menghela nafas. Bagaimana dia bisa lebih mementingkan pekerjaan ketimbang kesehatannya sendiri?
“Kalau kamu mau tender pembangunan hotel bintang lima itu kamu menangkan, minumlah obat! Dan terapi lah sore ini!”
Dia menghentikan aktivitasnya segera. Siap-siap saja aku akan dihajar kalimat-kalimat super tajamnya.
“Berhentilah berkhotbah! Aku tahu mana yang harus kulakukan dan mana yang tidak,” sahutnya tegas dengan sorotan mata setajam mata sang Elang. Mata ini yang membuatku ketakutan tapi sekaligus takjub dan terbuai. “Tak ada sangkut pautnya antara minum obat atau terapi dengan kemenangan tender. Aku yakin aku akan memenangkan tender itu!”
“Tentu saja ada,”
Dia kembali menghujamkan tatapan padaku.
“Kalau kondisi tubuhmu fit, sudah pasti kamu akan lebih percaya diri melakukan presentasi nantinya. Dan menunjang keberhasilanmu,”
“Tunggu,” sahutnya sejenak. “Kamu kan, psikolog. Bukannya psikolog itu percaya bahwa kekuatan pikiran atau semacam kesehatan psikologis itu yang akan menentukan kondisi fisik yang maksimal?”
Aku mengangguk.
“Bisa jadi berkebalikan dengan prinsip orang Sparta yang bilang men sana in corpore sano, kan?”
“Ya,”
“Lalu kenapa kamu cerewet menuntutku untuk memedulikan fisikku? Meskipun sekarang aku cacat, tapi otakku tak pernah mati. Catat itu!”
Aku menghelas nafas mencoba bersabar. “Aku tahu. Tapi fisik dan psikologis itu saling berkaitan. Saling mempengaruhi satu sama lain. Jadi, aku tak sepenuhnya setuju dengan pernyataanmu itu. Kamu tetap harus minum obat dan terapi. Semuanya akan maksimal jika fisik dan psikologismu dalam kondisi yang bagus. Kamu bisa kembali secermerlang dulu. Apa kamu tidak mau kembali seperti Temmy yang dulu?”
Dia menggeleng. “Untuk apa? Toh apa yang hilang semenjak kakiku cacat tidak akan pernah kembali,”
Aku tahu maksud pembicaraannya. Pasti perempuan itu lagi. Huh!
“Kalau ternyata keajaiban memberimu kesempatan kedua untuk memilikinya lagi, bagaimana?” Aku berpura-pura menguatkannya.
“Mustahil,”
“Apapun bisa saja terjadi. Asal kamu kembali ke Temmy yang dulu, punya faith yang tak tertumbangkan,”
Tampaknya Temmy terkesiap mendengar perkataanku. Dia memperhatikanku.
“Jangan berusaha menghiburku! Aku tetap Temmy yang dulu tapi biarkan aku seperti ini,”
Aku sudah tak tahu harus berbuat apa lagi. Temmy hendak bertahan dalam kondisi mengenaskan, menurutku. Terpuruk karena cinta. Tapi untunglah ia tak menyerah pada kehidupan. Walau itu hanya berurusan dengan pekerjaannya. Bukan terhadap dirinya sendiri, sampai-sampai ia tak mau kondisinya seperti sedia kala. Tampan, gagah, kaya, dikagumi banyak wanita, cerdas, dermawan dan tampak tanpa cela. Gagahnya itu yang tak mau lagi diperlihatkan. Ini semua karena perempuan itu. Perempuan yang banyak menghabiskan masa sekolahnya denganku, sahabatku. Pacar Temmy lima tahun terakhir. Dan berubah status menjadi mantan kekasih semenjak Temmy terkena fitnah penggelapan uang setengah tahun lalu. Membuat Temmy begitu frustasi sampai membahayakan diri di atas mesin roda empatnya yang berkekuatan super cepat dan menghantam pagar besi lalu koma lah ia untuk beberapa hari. Kemudian terancam kehilangan kaki.
“Terserah kamu lah. Aku bingung apa maumu. Kamu dikatakan depresi juga tidak untuk sekarang ini. Karena kamu masih sangat lincah mengatur strategi memenangkan tender. Ya, seperti orang sehat. Tapi di sisi lain kamu tidak bisa melepas masa lalumu yang sudah jelas-jelas mengkhianatimu. Bahkan mengenaskan sekali dirimu tidak mau memulihkan kesehatanmu. Aku rasa, kamu terlalu kekanak-kanakan. Manja! Kamu mengemis perhatian. Hanya saja tamengnya adalah pencitraanmu untuk disangka tegar itu,” celotehku. “Ini obatnya, terserah kamu mau minum atau tidak. Dan urusan dengan Lutfi untuk terapi sore ini atau besok-besok itu terserah kamu. Kamu yang punya kaki. Kamu yang punya badan. Dan kamu sudah teramat tua untuk bijak mengambil keputusan yang sehat dan masuk akal. Aku pulang. Masih ada urusan di rumah,” imbuhku sudah tampak seperti orang putus asa. Tapi aku hanya lelah terus memberikan perhatian padanya tapi dia sendiri tidak peduli dengan diri sendiri.
Aku memang sudah merawatnya selama sebulan terakhir semenjak kecelakaan hebat itu. Bahkan ketika dia masih di ruang ICU, aku yang rutin jaga di rumah sakit. Orangtuanya sudah lama meninggal. Tak ada sanak-keluarga di sini. Hanya seorang kawan lama yang istrinya sekantor denganku. Semasa remaja ia ikut pamannya di Amerika. Pamannya itulah yang jauh-jauh terbang ke sini menjenguknya tapi kemudian kembali ke Amerika setelah dua minggu di sini. Pamannya mempercayakannya padaku. Ah, apalah arti seorang aku sampai ia percaya padaku?
“Kamu gadis yang baik, Ela. Tolong jaga Temmy untuk Om. Dia butuh penopang. Tolong! Om tak bisa berlama-lama di sini. Tante mulai cerewet Om di sini lama-lama hanya untuk bocah tua begundal seperti dia. Itu kata tante. Tante memang tidak suka pada Temmy semenjak dulu. Temmy dulu memang sempat menjadi bad boy. Keluyuran malam, minum, tawuran. Tapi, dia tetap keponakan Om satu-satunya dari kakak lelaki satu-satunya juga. Dan Om bangga dia bisa sukses di sini,”
Aku tersenyum saja. Aha, aku tahu kuncian pria yang lebih cocok jadi kakakku itu. Usia kami berbeda tujuh tahun. Ya, dia seumuran dengan kakak tertuaku.
Aku iyakan saja permintaan Om Soni. Lagi pula aku sedang dilanda rasa girang tiada terkira karena bisa kembali dekat dengan Temmy. Sekalipun dalam kondisi yang tidak “sempurna” lagi.
Ketika aku berjalan meninggalkan pintu ruang kerjanya, dengan jelas aku mendengar suara barang berjatuhan. Dia pasti merusak tatanan meja kerjanya lagi. Sudah biasa.
Aku menghampiri Mbok Parti di taman, sedang merapikan tanaman kaktus koleksi Temmy.
“Mbok, tolong rapikan kembali meja Temmy, ya? Jangan bosan-bosan ya, Mbok. Kalau dia marah-marah lagi sama Mbok, bilang saya. Tapi jangan paksa dia minum obat! Lakukan saja semua perintahnya mulai sekarang!”
Mbok Parti mengangguk dan tersenyum simpul.
Aku memang kasihan kalau melihat perempuan tua seibuku itu dibentak-bentak oleh Temmy. Tapi aku tahu, dia bukan pribadi beringas yang keji pada sesama. Tidak. Dia bukan orang seperti itu walau dia juga bukan orang yang dapat dikategorikan sebagai pribadi gampang tersentuh dan berwelas asih.
Aku mengakhiri perhatian ekstraku padanya hari itu.
#
Sebulan terakhir aku sibuk menjadi assessor hasil rekrutmen beberapa perusahaan, ada feedmill, perbankan, lembaga pemerintahan dan lainnya. Tapi ketika jam istirahat datang, aku selalu menyempatkan untuk makan dan istirahat sejenak. Benar-benar untuk mengisi ulang energiku. Tidur lima belas menit di sofa biru tosca di ruang kerjaku, tak peduli rekan-rekanku yang lain berlalu-lalang di sana. Tapi mereka semua sering keluar makan siang di restoran seberang jalan kantor kami pada saat jam istirahat kantor.
“Ela menduduki singgasanaaaa....” seloroh Leni setengah berteriak. Dia memang paling tahu kebiasaanku ketika jam istirahat datang.
Aku tertawa lebar. “Iya lah. Tidur lebih enak. Nikmat mana yang kau dustakan wahai manusia, ketika tidur bisa melepas penatmu, hah? Hahahah,”
“Dasar!” timpal Leni. “Nggak makan siang dulu?”
“Nanti saja habis tidur. Tadi sempet nyemil roti sobek soalnya,”
Leni mengangguk kemudian berlalu bersama tiga orang rekan seruanganku yang terdiri dari dua perempuan dan satu lelaki. Semuanya psikolog.
Aku kembali merebahkan diri di sofa, satu tanganku terangkat menindih keningku. Tapi baru saja hendak melelapkan diri, suara pintu diketuk. Kemudian pintu itu terbuka. Muncul kepala dengan wajah yang tak asing bagiku.
“Mbak Ambar,” seruku. “Ada apa? Masuk, Mbak.” Aku berbasa-basi. Aku menyesal dalam hati. Kenapa waktu tidurku yang sudah singkat makin tersita lagi?
Aku beringsut dari posisi tidurku.
Mbak Ambar meringis sambil meminta maaf telah menggangguku. Dia manajer di departemen rekrutmen.
Setelah duduk nyaman di sampingku barulah Mbak Ambar bercerita.
“Ini... soal... Temmy, La,”
Aku mengangkat sebelah alisku. “Kenapa lagi dia?”
“Kenapa kamu tak pernah lagi ke sana? Dia bingung sendiri menjalani aktivitasnya,”
“Memangnya aku ini apanya? Pengasuhnya? Pembantu? Fisioterapis saja bukan. Di sana ada Mbok Parti dan Lutfi yang memberinya terapi pagi dan sore nyaris setiap hari,”
“Lebih dari itu yang dia butuhkan, La,”
Aku menegakkan posisi tubuhku. Penasaran dengan ucapan Mbak Ambar. “Maksud Mbak?”
“Dia butuh kamu karena dia cinta sama kamu, La. Sedikitpun tak sadar kamu?”
Aku melengos kemudian pecahlah tawaku. Kemudian aku menggeleng tanda mengelak.
“Lucu tahu, Mbak. Dia sama sekali tak membutuhkanku. Dia sendiri yang mau mengenang Karen begitu. Sudah tahu Karen sekarang istri orang. Dia sendiri yang mau terpuruk, mengeram di kursi rodanya. Apa itu salahku? Bukan. Bukan salahku itu. Salah dia sendiri. Dulu membuangku dan kini kelimpungan mencariku, hahaha, lucu. Sungguh lucu. Kenapa dia tak menghubungiku sendiri? Memintaku sendiri ke sana? Kenapa harus Mbak yang bilang? Apa nyalinya makin kerdil semenjak kecelakaan itu? Ahahahaha, Temmy, Temmy... lucu, ah,”
Aku terbahak kembali tapi ternyata ada rasa getir menelusup kalbuku.
“Tapi bukannya kamu pernah menyukainya?”
Aku terdiam seketika. Tudingan Mbak Ambar tepat sasaran.
“Ya, sampai sekarang pun masih. Tapi aku tak sebodoh itu, Mbak. Dimaki-makinya, dilawannya, dikonfrontasi dan selalu menjadi pihak yang kalah dan salah. Aku memang cinta sama dia tapi aku tak suka pribadinya. Dan sekarang makin gila saja dia itu.” Aku menghela nafas panjang. Lalu bersandar pada punggung sofa, menatap ke luar jendela, menembus kaca, jauh menatap ke angkasa.
“Aku heran kenapa dia datang padaku setelah semua ini terjadi? Aku kecewa karena seolah Tuhan membuangnya padaku setelah manis yang dirasakan Karen. Tapi... aku juga bahagia aku bisa lebih dekat dengannya. Memberikan pengaruh padanya setiap hari meskipun dia tak menggubrisku sepenuhnya. Bahkan aku harus sering merasa tak tahu malu ketika memperjuangkan agar ia sembuh kembali. Dia sering meremehkanku dan membandingkanku dengan Karen. Hih! Dasar lelaki bodoh! Aku tak sebandinglah dengan Karen. Tapi aku Ela, wanita yang cukup punya power dalam banyak hal. Hanya saja masalah percintaan aku memang selalu sial. Itu bukan masalah. Asal aku kaya raya. Maka dari itu, kenapa aku mau mendampingi Temmy itu bukan karena hartanya atau status sosialnya. Aku ini wanita mandiri yang bisa memenuhi kebutuhan materi dan prestisku sendiri. Aku mau dia sebagai Temmy. Dirinya utuh dari ujung rambut sampai ujung kaki juga hatinya. Kalau saja memang begitu adanya.”
Sialan! Aku tersadar mengoceh panjang lebar tak ada lelahnya. Tapi Mbak Ambar mendengarkanku dengan sabar dan seksama. Kemudian Mbak Ambar tersenyum manis dengan kedua lesung pipinya.
Dia mengelus pundakku. “Datanglah padanya! Kamu tahu sendiri, gengsinya terlalu besar untuk mengakui sesuatu,”
Aku menggeleng pelan. “Kali ini dia yang harus berinisiatif sendiri. Aku tak mau membuatnya seolah raja maha diraja. Aku juga mau menjadi seorang ratu yang dirayu,” ujarku lalu berkelakarlah aku.
#
Suatu hari seusainya aku bekerja. Aku mengambil langkah santai menuju pintu keluar kantor sambil merapikan kemejaku yang kusut di sana-sini. Edward menungguku di parkiran. Kami akan pergi berkencan malam ini. Kencan pertama sepulang kerja. Entahlah akan jadi apa suasana nanti. Lucu juga rasanya kencan pertama dengan kawan lama yang sekantor tapi beda departemen.
Edward berani mengajakku pergi dinner kali ini setelah ia mengutarakan perasaannya padaku minggu lalu di sebuah acara jamuan makan malam salah seorang bos. Dia lelaki yang manis dengan wajah tampan khas Indonesianya dan logat Balinya. Lelaki yang santun pula. Apa salahnya mencoba memulai menjalin relasi dengan pria yang sudah cukup kutahu seluk-beluknya. Temmy? Lupakan! Eh, tapi tunggu... ada rasa berat melupakannya walau barang sejam atau dua jam untuk pergi bersama lelaki lain. Tapi bagaimanapun harga diriku tetap harus kujaga. Aku tak mau mengemis cintanya. Entah, dia tahu atau tidak aku mencintainya. Aku rasa, cintaku selama ini hanyalah cinta diam-diam yang perlahan mengabadi. Buktinya ketika hendak pergi bersama Edward, hatiku merasa biasa saja dan selalu fokus pada Temmy. Namun... mendadak langkahku terhenti ketika aku mendapati sosok tegap dengan kulit coklat tuanya, berkemeja abu-abu muda longgar keluar tak beraturan dari himpitan sabuk celananya, ber-jeans biru muda dan kruk di tangan kanannya. Ia tampak berusaha keras melempar senyum padaku.
Aku membuang pandanganku sejenak ke arah lain dan tersenyum kecut. Mau apa dia datang kemari?
Tapi, ternyata ada rasa bahagia terselip melihatnya sudah ada kemajuan, “meninggalkan” kursi roda.
Aku menghampirinya.
“Di sini?” tanyaku.
Temmy tersenyum persis seperti orang sedang ikut sekolah kepribadian, belajar tersenyum selebar-lebarnya, semanis-manisnya dan berusaha setulus-tulusnya.
“Buru-buru?”
Aku mengangguk.
“Langsung pulang?”
Aku menggeleng.
“Oh, naik apa?”
Aku penasaran kenapa dia melempar pertanyaan secara kredit seperti itu.
“Mobil,”
“Kamu sudah bawa mobil sendiri?”
Aku mengambil nafas dalam. “Bukan. Mobil Edward,”
“Edward?” Temmy mengernyitkan dahi.
Aku menggerakkan kepalaku menunjuk ke arah Edward berdiri dan melambaikan tangan padaku.
“Kalian berkencan?” Ekspresi wajah Temmy kali ini berubah drastis menjadi mengerikan.
Aku manggut-manggut.
“Batalkan!” titahnya.
 Aku terenyak. “Enak saja! Apa hakmu melarangku berkencan dengannya?”
Dia terdiam sesaat, seperti mengumpulkan kekuatan untuk berkoar-koar padaku.
“Aku ke sini mau mengajakmu berkencan,”
Aku melongo.
“Aku mau mengencanimu malam ini. Besok dan besok lagi, seterusnya,” ulangnya.
“Tak usah melucu kamu, Tem!” selorohku.
“Apa perasaanku bagimu itu sebuah lelucon?!” Nada suaranya meninggi penuh penekanan.
Aku tak mengerti maksudnya. “Perasaan apa?”
“Kamu psikolog tapi tak paham tanda-tanda orang gila karena ditinggal orang yang selama ini membuatnya nyaman,”
Otakku kali ini bekerja terlampau cepat menyimpulkan bahwa Temmy mencintaiku tapi kalimatnya itu masih mengandung rasa gengsi dan berputar-putar tak jelas.
Aku kerjai saja dia sampai dia mau mengaku cinta padaku malam ini juga. Aku abaikan Edward di sana. Adrenalinku terpacu untuk Temmy detik ini juga.
“Rasa nyaman itu membuatmu kecanduan? Tapi itu tak cukup untuk menjadi alasan dua orang berkencan. Tak perlu berkencan, kalau nyaman ya nyaman saja,”
“Katakan padaku, kamu akan membatalkan kencanmu malam ini dengan lelaki berwajah mesum itu!”
Aku mendelik, tak terima Edward yang super baik itu dikata mesum.
“Hei, jangan asal bicara!”
“Itu benar. Aku pernah melihatnya menatapmu dari ujung rambut sampai ujung kaki seolah ingin melumatmu di pesta perkawinan emas mertua Ambar. Aku tahu betul lelaki seperti apa dia walau aku tak mengenalnya. Batalkan saja!”
Aku tak sangka Temmy memperhatikanku.
“Jadi kamu mau memperebutkan aku dengan Edward?” tanyaku penuh percaya diri.
“Dia bukan tandinganku sekalipun aku berjalan dengan kaki pincang,”
Itu benar. Dibandingkan dengan Temmy, Edward memang kalah jauh dalam segala aspek. Tapi Edward itu benar-benar lelaki yang baik -sepanjang yang aku tahu-.
Aku menatap mata Temmy dengan segala keberanian yang aku bangun mendadak.
“Apa kamu mulai bisa melihatku sekarang?”
“Aku selalu melihatmu. Itu sebabnya aku sering mengoreksimu agar kamu tampil sempurna. Aku menyukai kesempurnaan,”
Aku terkekeh. “Mana ada manusia sempurna?”
“Aku yang membuatmu sempurna. Kalau saja aku tak mengoreksimu, mana bisa kamu menjadi sepercaya diri ini? Berbalik mengguruiku, mempengaruhiku? Mana bisa kamu tanpa aku?” ucap Temmy yang merupakan sebuah kebenaran mutlak. Aku yang dulu pribadi tidak percaya diri berubah total atas saran dan kritikan Temmy yang kuanggap sebagai peremehannya atas kemampuanku. Kala itu dia masih kekasih Karen.
“Tapi aku bukan manusia sempurna. Aku juga tidak mau berada di bawah pengawasanmu terus. Aku mau kita bisa equal, seimbang, menjadi teman yang saling menopang. Bukan selalu disudutkan.” Suaraku mendadak parau. Air mataku mau tumpah saja rasanya.
Temmy maju dengan tertatih-tatih mendekat ke arahku. Meraihku dan menjatuhkanku ke dalam dekapan dadanya yang lapang.
“Maafkan aku yang diktator. Sungguh, aku melihatmu selama ini. Tapi bagaimana mungkin, aku masih mencintai Karen. Tapi aku kini sadar, cinta menggebu bisa saja melapuk sementara rasa nyaman dengan seorang kawan tak pernah bisa terkalahkan. Dan cinta bisa tumbuh seiring dengan itu,”
Tanganku bergerak untuk membalas dekapan Temmy.
“Terima kasih untuk kejutan terindah ini. Aku jamin ini tak akan terlupakan sepanjang sisa usiaku,” sahutku kemudian melepaskan diri dari pelukannya. “Jadi sekarang kita teman?” tanyaku tersenyum lebar.
“Kekasih lebih tepatnya,”
Aku tergelak.
“Aku bicara dulu dengan Edward.” Aku meminta izin. Bukannya aku ingin menyakiti Edward tapi aku sendiri juga belum mengiyakan aku menerima cintanya. Dia hanya mengutarakan cinta, bukan memintaku menjadi kekasihnya. Dan rencananya malam ini kami akan makan malam tapi terpaksa batal karena aku sudah memutuskan suatu hal terbesar dalam hidupku.
“Pastikan dia tak patah hati,” tukasnya tersenyum.
Aku mengerlingkan sebelah mataku pada Temmy.
-selesai-

*Ditulis untuk event #ceritanada oleh @septantya :)














Minggu, 01 Desember 2013

Aku dan Dia yang Tersekat Benteng Raksasa


credit
Namanya Ro...
Dia cowok tampan -menurutku- menyebalkan kala itu. Iya, ketika aku masih duduk di bangku SMA kelas X (sepuluh).
Aku tahu dirinya sebagai siswa superior semenjak di bangku SMP. Ya, kami satu sekolah SMP dan SMA. Pertama aku tahu dia bersama gengnya semasa SMP, aku tahu betul dia itu dari kalangan parlente. Ternyata benar. Keluarganya donatur di sekolah kami, baik SMP maupun SMA. Tapi ketika SMP aku tak menggubrisnya. Aku menyudutkan sebelah mataku padanya. Dia tak ada menariknya sama sekali!
Tapi...
Berbeda kala aku masuk SMA. Kami satu kelas di sebuah kelas majemuk suku, budaya, dan agama. Di sana aku mengenalnya “lebih dekat”. Dia jadi lebih kurus ketimbang SMP, penampilannya so stylish dengan barang-barang branded dari ujung rambut hingga kaki. Tapi... pun begitu, dia tak sepopuler teman dekatnya di kalangan wanita. Kasihan dia, mengejar satu wanita saja harus “cerai bangku” sama teman dekatnya. Setahuku juga, tak banyak cewek yang mengidolakannya. Sebab, yang kutahu dari seorang kawan yang juga punya “pengaruh” di sekolah, Ro merupakan pribadi bossy bin resek. Aku akui memang begitu. Tapi entah, aku tak memandang itu sebagai keburukan. Ya, positif saja mikirnya, dia dermawan. Titik. Tapi yang menyebalkan sekaligus mendebarkanku adalah ketika dia usil menjodohkanku dengan seorang kawannya. Heboh sekali. Aku jadi tersanjung tapi juga minder. Apa pantas aku dijodoh-jodohkan dengan kawannya itu? -melihatku yang amat standar dalam penampilan dan “warisan” lahiriahku-. Well, alih-alih aku menyukai kawan Ro, aku justru lebih dekat dengan Ro dengan dalih menanyakan kabar si kawannya. Aku senaaanng bukan main bila bercengkerama dengan Ro. Menatap mata dan ekspresi wajahnya saja selalu suka. Entah, dia tersenyum, mengejek, membisu, jengkel, marah, aku suka! Sampai aku tersadar... jantungku makin lama makin tak bisa dikontrol untuk tidak berdebar kencang. Selalu terasa digedor-gedor palu paku bumi! Ya, aku jatuh cinta padanya.
Menyadari aku mencintainya, aku mulai menghindarinya bahkan ketika berpapasan di jalan aku berusaha mengalihkan ruteku walau lebih panjang lagi untuk sampai ke tempat tujuan. Kenapa? Aku tak kuasa berhadapan dengannya. Aku takut ia tahu I’m so paralyzed ketika bertemu dengannya. Takut dia mengejekku.
Waktu semakin maju, meninggalkan masa lalu. Semenjak kuliah aku tak pernah bertemu dengannya bahkan sampai detik ini, meskipun kami satu kota. Tapi menghirup udara yang sama dan berpijak di tanah yang sama membuatku nyaman. Tak peduli dia sedang bersama siapa. Sebab aku selalu memikirnya dan alam bawah sadarku berkonspirasi untuk menyimpannya di sebuah kotak ajaib. Ya, Ro selalu ada dalam kotak ajaib alam bawah sadarku, menyesak ke setiap dindingnya dan “terealisasi” dalam mimpi. Ya, mimpi. Hanya itu. Menyedihkan bukan? Mencintai seseorang tapi hanya bisa menatapnya di dalam mimpi. Tapi, meskipun begitu aku pernah memberanikan diri untuk menghubunginya lewat pesan singkat. Aku girang bukan main ketika dia membalas pesanku walau itu hanya basa-basi. Pesan yang paling aku ingat adalah pesan darinya yang tak sengaja menginformasikan bahwa dirinya selama ini pacaran tiga kali dan semuanya, dialah pihak yang “tersakiti” alias diputusin duluan. Ya, ampun... dalam hati aku berkata “Aku di sini untukmu,”. Sempat ingin menangis aku kala itu. Mencintai orang yang sama sekali tak bisa diraih bahkan hanya “melirik” kita barang hanya satu “lirikan” saja.
Ya,tak bisa diraih...
Kami berbeda dalam banyak hal. Tapi perbedaan paling mendasar yang aku sendiri sadar tidak mungkin aku meneruskan perasaanku padanya adalah perbedaan keyakinan. Aku sih, tak peduli kami dari etnis yang berbeda, justru itu yang aku cari dari calon suamiku nanti! Tapi untuk keyakinan, maaf. Itu prinsip sampai mati.
Sampai akhirnya cinta gila sepihakku semasa SMA “menjinak” seiring berjalannya waktu. Sekarang. Dan keberanianku muncul untuk mengutarakan apa yang pernah kurasakan padanya.
Sekitar, dua bulan lalu aku mengungkapkan cintaku padanya lewat sebuah pesan singkat untuk Ro yang sedang menuntut ilmu di negeri seberang.
 Sungguh aku terharu dan lega. Akhirnya setelah tujuh tahun...
Terharu karena melalui pesan singkatnya, aku menangkap  bahwa ia begitu welcome dengan perasaanku.
Lega sebab aku tak menanggung beban perasaan lagi. Tidak penasaran lagi bagaimana reaksinya dan reaksiku sendiri.
Ya, dia telah berubah jadi lebih baik. Tampaknya. Aku kira dia akan mengejekku. Aku memang tak tahu bagaimana ekspresi wajahnya tapi dari bahasa tulisannya kala itu, aku tahu dia tulus walau tetap tak  pernah –dan tak akan pernah- tersirat dia memiliki minat padaku.
Bukan masalah. Hidupku lebih enteng kini. Dan terus berlanjut menyongsong hari esok lebih cerah. Lebih bisa move on.
Tapi harus kuakui, hanya Ro yang mengakar kuat di dinding alam bawah sadarku.
Hhhh.. lucu. Cinta sepihak yang tak akan pernah aku amnesia dibuatnya.
Suatu hari, mungkin ada yang menggantikan atau menindih memori-memori Ro dan lebih kuat mengurat akar di alam bawah sadarku. Semoga.
Untuk Ro, jika suatu hari ada keajaiban membuatmu membaca ini dan kamu paham tulisanku ini... terima kasih, secara tidak langsung kamu memberiku pembelajaran sendiri.
Tentang cinta lintas etnis
Perbedaan prinsip
Cinta diam-diam
Cinta bertepuk sebelah tangan
Ketulusan menerima perasaan orang yang mencintai kita walau kita tidak cinta
Dan semuanya...
Terima kasih
Semoga hidupmu bahagia.
Aku ingin berjalan kembali, melanjutkan hidupku yang yah... selama ini sudah selalu berjalan walau harus menahan cinta sepihakku.

-selesai-





 *Ditulis untuk event Moment to Remember #MTR2013 oleh Bety dan Momo dengan tema "Love"



Kamis, 28 November 2013

Jayabaya dan Dewi Sara 2013

credit

Seorang gadis manis bergaya casual sibuk menenteng kamera SLR-nya. Sesekali ia membidikkan kamera canggihnya ke sembarang sudut, mencoba mendapatkan objek eksotis dari penyelenggaraan sebuah tradisi “bersih desa” di sebuah Punden atau tempat yang dikeramatkan di desa Gadungan. Sebuah desa yang menjadi bagian dari pemerintahan kecamatan Puncu, kabupaten Kediri, Jawa Timur.
Sepengetahuan gadis itu berdasar cerita almarhum kakeknya, dulu desa ini bernama desa “Negoro Marumi” yang dipimpin oleh Soetowidjojo lalu diserahkan sementara kepada anak sulungnya, Djoko Begadung karena ia pergi bertapa di gunung Songgoriti mencari ilham untuk kelestarian negaranya. Djoko Begadung di sisa hidupnya “dikutuk” menjadi seekor Harimau. Hal ini disebabkan oleh sabda sang ayah yang kesal mendengar seseorang mandi di sebuah sendang. Kala itu, Djoko Begadung hendak menyusul ayahnya yang bertapa di gunung Songgoriti. Djoko Begadung menyempatkan diri mandi di sebuah sendang sebelum sampai di gunung Songgoriti. Ia mandi dengan suka ria yang berlebihan sehingga ayahnya menyebut sikap orang itu seperti binatang saja. Ayahnya tak tahu ternyata itu adalah anak sulungnya, Djoko Begadung. Ayahnya menyesal. Kemudian mereka kembali ke negoro Marumi melanjutkan pemerintahan.
Harimau jelmaan Djoko Begadung memiliki sebuah pusaka bernama Pusaka Bondan, hasil rampasan dari dua bersaudara Kebo Lelono dan Kebo Kusumo dari negoro Bali yang datang meminang adiknya bernama Dewi Soetiyem. Tapi Djoko Begadung menolaknya karena kesombongan keduanya. Sehingga Djoko Begadung mengusir mereka setelah mereka mabuk akibat memakan daging kerbau sajian Djoko Begadung yang bercampur santan dari Gadung (sejenis umbi-umbian) secara berlebihan. Djoko Begadung juga menolak pinangan mereka. Akibatnya, mereka berdua marah dan menyerang negoro Marumi tapi mereka berdua kalah. Kemudian mereka berdua bertemu kembali dengan Djoko Begadung dan ayahnya saat perjalanan kembali ke negoro Marumi dari Songgoriti. Terjadilah peperangan kembali, Djoko Begadung lagi-lagi menjadi pemenangnya dan membunuh kedua kebo itu dengan Pusaka Bondan milik mereka sendiri. Selanjutnya, Pusaka Bondan ditancapkan Djoko Begadung di bawah sebuah pohon Beringin. Di sanalah Djoko Begadung -yang sudah menjadi Harimau- hidup bersama sang adik, Dewi Soetiyem atau dikenal dengan Melati Putih. Sementara saudara bungsu mereka, Clontang Koesumo, diminta ayahnya pergi ke daerah Lodoyo.
Beratus-ratus tahun berikutnya, sekitar setelah tahun 1763 Masehi, negoro Marumi yang sudah berganti nama dengan “Negoro Gadungan” oleh Soetowidjojo dipimpin oleh dua lelaki bersaudara dari Jawa Tengah, Adi Soewarno (Kedud) dan Mangku Kusumo (Trunoredjo). Tapi di bawah kepemimpinan sang adik, Trunoredjo, desa Gadungan bisa aman, tentram dan sejahtera. Terlebih ketika muncul sumber mata air hasil Trunoredjo mencabut Pusaka Bondan yang ditanam oleh Djoko Begadung dahulu. Sumber mata air itu diberi nama “Sumber Bedji”.
Hingga kini masyarakat Gadungan menghormati para leluhur yang membabat tanah desa itu dengan melakukan “bersih desa” berupa kegiatan selamatan dan ziarah di Punden Bah Kud (Bakud), tempat pemakaman keluarga sang kakak, Kedud lalu berlanjut ke Punden  Sumber Bedji, tempat sang adik.  Ketika acara “bersih desa” di Sumber Bedji, Pusaka Bondan selalu dikeluarkan kemudian diletakkan di atas Bokor dan dikelilingi oleh masyarakat Gadungan yang hadir, diiringi gending Landrangan kemudian Pusaka Bondan dipakai oleh kepala desa untuk Bekso (Tayuban/ tari Tayub). Begitulah singkat cerita tentang desa tanah kelahiran gadis tadi.
Acara “bersih desa” yang diadakan setiap satu Suro di Punden Bakud itu bukan hal baru bagi gadis itu tapi kali ini menjadi amat menarik baginya karena sudah setahun ia tak pulang ke tanah kelahirannya. Hiruk pikuk ibu kota menenggelamkannya ke dalam kesibukan yang seolah tiada henti. Kini gadis itu melepas kerinduan terhadap ayah, ibu dan adiknya dan tentu saja terhadap desanya, desa Gadungan yang konon dari dulu merupakan desa penghasil tanaman Gadung yang sering dibuat untuk keripik Gadung. Kini desa ini terkenal penghasil kerajinan genteng dan batu-bata (yang sudah ada sejak zaman Belanda) dan pemasok ternak ayam petelur terbesar tingkat regional dan seluruh kawasan Kediri Raya. Hasil pertaniannya berupa tebu, jagung, pepaya, nanas dan cabe yang cukup melimpah setiap musimnya.
Gadis itu Sarah. Bekerja sebagai salah seorang anggota tim kreatif sebuah acara fenomenal di sebuah stasiun televisi swasta di negeri ini. Maka dari itu, ia tidak bisa sering pulang kampung sehingga ia merapel hari cuti kerjanya untuk berkumpul bersama keluarga tercinta.
Kali ini untuk melipur kerinduannya, ia menyempatkan diri menghadiri “bersih desa” itu sendiri karena adiknya sedang sekolah. Sayang ia tak bisa turut bergabung dengan warga karena ia tak membawa berkat (makanan dengan bermacam lauk-pauk dengan lauk utama ayam panggang sebagai wujud syukur kepada Tuhan Yang Esa atas limpahan rezeki) untuk selamatan. Nantinya berkat ini akan dido’akan bersama lalu dibagi dengan tetangga atau orang yang duduk di sebelah kiri atau kanan kita ketika berdo’a bersama, sisanya dibawa pulang untuk dimakan bersama keluarga.
Sarah tidak membawa berkat karena sudah tujuh tahun terakhir sepeninggal kakeknya -seorang muslim kejawen-, keluarganya tidak lagi mengikuti tradisi “bersih desa” ini. Ayahnya seorang muslim taat melarang keras istri dan anak-anaknya melakukan hal tersebut karena tidak sesuai dengan apa yang diyakininya. Hanya saja semasa mendiang kakek Sarah hidup, ayahnya menghormati sang kakek dengan terus menjalankan tradisi satu Suro itu. Setelah masa duka tersebut, Sarah tak serta merta mengikuti perintah ayahnya, ia tetap rutin menghadiri acara itu setiap tahun walau hanya di pelataran Punden. Bukan untuk ikut berdo’a bersama dengan membawa berkat, melainkan makan gulali yang dijual di setiap acara-acara yang diselenggarakan oleh pihak pemerintahan desa. Hal ini ia lakukan semenjak ia sekolah bahkan ketika ia masih sering diajak mendiang kakeknya datang ke Punden tersebut semasa kecilnya. Kini setelah ia dewasa, ia ingin kenangan bersama kakeknya terus hidup. Hubungan keduanya amatlah rekat karena Sarah merupakan cucu pertama di keluarganya dari pihak ibu sehingga ia menjadi cucu kesayangan dan kebanggaan sang kakek.
Sarah kini berdiri mematung di pelataran Punden menatap jauh ke bagian dalam Punden.
Pekuburan di dalam Punden itu adalah makam leluhurmu, Nduk[1]. Jangan lupakan mereka. Nggak ada mereka, nggak ada desa Gadungan,nggak ada kita sekarang. Mereka juga pahlawan. Pahlawan yang babat desa ini. Sama seperti Gajah Mada, babat nusantara kita. Sama seperti Bung Karno, Bung Hatta dan pahlawan yang diajarin di sekolah. Hanya saja mereka yang ada di Punden ini tidak masuk buku sejarah sekolahmu, Nduk. Tapi tansah elingo. Elingo nang para leluhur[2]. Dari mereka kamu ada.” Suara ini terasa begitu nyata di telinga Sarah.
Mendo’akan orang yang sudah meninggal itu keharusan. Biar kita selalu eling terhadap kematian. Kita nanti juga mati. Tapi sungguh anugerah kita bisa dikenang dalam kebaikan setelah kita mati. Seperti mereka yang ada di dalam sana, mereka mendirikan desa ini. Kamu mau mati dikenang dalam kebaikan, kan?” Sarah masih terpaku menatap ke dalam Punden, ke arah makam-makam melalui sela-sela pagar bercelah lebar.
Jika orang mengatakan ini kesyirikan karena berdo’a di Punden dengan makam di dalamnya, wallahu a’lam. Kita nggak minta apa-apa ke leluhurmu. Kita mendo’akan mereka kepada Gusti Allah supaya mereka diberi tempat yang indah dan berterima kasih atas jasa mereka mengadakan desa ini. Sunan Kali Jaga saja, menyebarkan agama Islam dengan budaya. Jadi... ojok digatekno omongane ayahmu sing kaku[3],” Suara ini memicu rasa tidak nyaman di dada Sarah. Suara kesenggangan antara ayahnya dan kakeknya. Ya... itu tadi suara kakeknya. Terasa nyata.
Mendadak tubuh Sarah berguncang hebat, membuatnya nyaris tersungkur ke tanah. Dia mendengus sebal kemudian menoleh.
Sarah terpaku sekejap usai kembali tegap berdiri. Di depannya  sudah berdiri menjulang sosok gagah dan tampan dengan wajah internasional, mata abu-abu, rambut pirang gelap, hidung mancung, garis wajah kuat dengan jambang di dagunya dan... Sarah menyapukan pandangan matanya dari kepala ke kaki, dari kaki ke kepala sosok itu, sempurna! Lelaki di depannya very, very, very handsome! Sarah memekik di dalam hati. Ia tak sadar ia menyunggingkan senyuman tapi sedetik kemudian ia langsung mengubah senyuman itu menjadi mulut yang monyong.
“Kalau jalan pakai mata, Bung!” seru Sarah spontan tak peduli harus bicara dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris.
“Maaf, nggak sengaja,”
Sarah kaget bule itu fasih ngomong Indonesia.
“Kamu nggak kenapa-kenapa, kan? Untung nggak nyosor ke tanah. Baguslah...” sambung lelaki itu.
Sarah mengangkat sebelah alisnya lalu berwajah a la angry bird. Menyebalkan sekali omongan bule ini!
“Oh, tentu, aku nggak apa-apa. Tapi lain kali pakai tuh, mata dengan benar!” omel Sarah sembari menunjuk dua jarinya ke arah mata lelaki itu.
“Kenapa mataku?” Lelaki itu mencondongkan tubuhnya ke arah Sarah sambil mengerjap-ngerjapkan kedua kelopak matanya. Sarah terpaksa memundurkan tubuhnya. “Aku sudah menggunakannya dengan benar.” Lelaki itu menunjukkan bahwa tak ada masalah dengan matanya seperti yang dikatakan Sarah.
Baru saja Sarah hendak mengonfrontasi lelaki itu, tiba-tiba ada suara yang memanggil namanya. Ternyata buleknya yang menjabat sebagai kepala desa Gadungan yang baru, tahun 2013 ini.
“Ngapain di sini? Ayo masuk!” ajak buleknya. “Tapi kameranya jangan dinyalakan, ya? Bukan apa-apa, menghormati kekhidmatan orang yang berdo’a di dalam, biar khusyuk. Ayo,”
“Nggak apa aku masuk, Bulek? Aku nggak bawa berkat, lho,”
Ora popo. Nanti pasti dapat. Bulek bawa dua ekor ayam panggang, nanti aku kasih,” seringai buleknya bercanda.
Sarah tersenyum lebar.
Buleknya  menyadari kehadiran bule itu di tengah mereka.
“Eh, Mas yang cucunya mbah Soemoredjo, ya?” tanya bulek. Bule itu tersenyum mengangguk. “Anaknya pak Sumadi?” Bule itu manggut-manggut. “Oalah, kapan datang dari Barcelona? Bu Sumadi pie kabare?”
Kali ini Sarah tercekat lehernya. Ia sungguh tak percaya.
Barcelona? Bule ini dari Barcelona? Dan punya darah Indonesia? Pantesan bahasa Indonesianya fasih. Eh, tapi bisa bahasa Jawa nggak, ya? Pasti lucu kalau ngomong Jawa. Hihihi. Sarah tersenyum-senyum sendiri.
Kala wingi, Bu. Mami pawartose sae. Sakniki mami pun pindah mriki saklawase,[4]” ujar bule itu lancar berbahasa Jawa.
Sarah mendelik bahkan merasa tubuhnya terpental seketika. Ia berbahasa Jawa saja sering keseleo lidah –maklum ayahnya asli Sunda-, sementara bule ini lancar jaya.
Setelah berbasa-basi sebentar, mereka bertiga masuk ke dalam Punden. Mereka duduk di sebuah gazebo. Sarah sendiri duduk bersandingan dengan bule itu. Dan jelas saja semua mata menuju bule itu karena paling “aneh” dari semuanya. Aneh tapi ganteng, sih.
Kemudian semuanya hening dan khidmat berdo’a bersama karena setelah ini mereka akan menuju ke Sumber Bedji, melanjutkan acara “bersih desa” bersama Bupati Kediri dan masyarakat Gadungan yang lainnya.
***
Hari merangkak semakin larut. Alunan gending Jawa mengiringi tari Tayub di area Pundan Sumber Bedji. Para tledhek (penari wanita tari Tayub) begitu indah dalam  menggerakkan keseluruhan tubuhnya dan menyerasikannya dengan alunan gending. Para pengunjung, terutama lelaki diajak oleh mereka maju ke arena tari untuk menari bersama. Para tledhek  itu mengalungkan selendang atau sampur ke leher tamu yang diajaknya menari.
Tari Tayub ini menyebar di sebagian besar wilayah Pulau Jawa, dari Jawa Barat sampai Jawa Timur dengan cara penyajian dan istilah yang berbeda di masing-masing daerah. Tari ini merupakan tari pergaulan masyarakat yang kini sering dipertunjukkan di acara-acara seperti pernikahan, khitanan atau acara kebesaran atau peringatan tertentu, misalnya acara Agustusan atau “bersih desa” seperti yang sering diselenggarakan desa Gadungan.
Tari Tayub sering mendapatkan pandangan miring oleh kalangan tertentu karena selama pertunjukan, pengunjung disajikan minuman keras ditambah dengan pemberian uang saweran yang dilakukan oleh pengibing (pengunjung yang diajak menari) di sela-sela belahan dada tledhek sehingga menimbulkan persaingan dengan pengibing lain.
Sarah bersandar di sebuah dinding setinggi perutnya tak jauh dari para penari Tayub yang sedang menari bersama para tetamu. Ia larut dalam hiruk-pikuk tradisi turun-temurun tersebut dengan mengemut gulali favoritnya yang ia beli dari seorang pedagang gulali yang “parkir” di pinggiran pelataran Punden. Sementara gulali ada di mulutnya, kedua tangannya sibuk memencet-mencet tombol kameranya. Ia menggulir layarnya pelan-pelan. Ia tersenyum dengan hasil potretannya. Namun ia dikagetkan dengan selendang yang tiba-tiba saja terkalung di lehernya. Seorang lelaki separuh baya berkumis tebal bak pak Raden dan tambun mengerlingkan sebelah matanya pada Sarah. Berikutnya, bapak itu menjawil dagu Sarah.
“Mbak, sini nari sama aku,”
Sarah yang spontan eneg mencoba untuk ramah. “Ngapunten[5], Pak. Saya kan, bukan penari. Mbak-mbak penarinya itu, tuh!” tunjuk Sarah ke belakang bapak itu lalu menarik selendang di lehernya dan diberikannya pada si bapak.
“Aku maunya sama kamu, Mbak. Ayu tenan  kowe,” tukas bapak itu kembali menjawil dagu Sarah.
Sarah segera menampik tangan bapak itu dan mengomel sejadi-jadinya.
Huh, dijak seneng-seneng ora gelem! Ora usah jual mahal kowe, cah ayu! Rene![6]” paksa bapak itu dengan kasar menarik tangan Sarah. Sarah kesakitan dan meronta tapi suaranya lebur di tengah keramaian suasana.
Langkah Sarah dan bapak itu berhenti seketika saat sebuah tangan besar dan kekar menahan tangan bapak itu.
Ngapunten, Pak,” suara jantan seorang lelaki. Si bule tadi siang ternyata.
“Weeh.. Londo[7] iso boso Jowo. Lapo?!” sentak bapak itu.
Niki rakyat kulo, Pak,[8]” lanjut bule itu.
“Heh?” Bapak itu tampak terkaget-kaget. “Oalah Mas Londo... makanya dijaga punya istri cantik begitu! sambung bapak itu sembari hendak menyentuh dagu Sarah kembali tapi ditepis secepat kilat oleh bule itu.
“Maaf, Pak. Jangan macam-macam sama istri orang!” sentak bule itu dengan cengkeraman tangan yang amat kuat pada tangan bapak itu.
Sarah kaget mendengar kalimat bule itu. Kemudian lelaki tambun itu pergi dengan omelan berentet dan sesekali menunjukkan ekspresi ketakutan ketika menoleh ke arah bule tadi.
“Hei, kamu baik-baik saja?” tanya bule itu.
Sarah mengangguk. “Thanks, ya sudah nolongin,”
Bule itu mengangguk cepat. “Makanya kalau ke sini jangan sendirian. Oknum-oknum jahil kayak bapak-bapak tadi kemungkinan besar berkeliaran di saat acara seperti ini, walau nggak sering. Tapi pasti ada yang nakal dalam tanda kutib,”
Sarah mencerna baik-baik nasehat bule itu.
“Eh, tapi aku nggak terima kamu sebut istrimu,” protes Sarah.
Bule itu tersenyum kecut, membuat Sarah kembali gondok.
“Aku juga nggak suka dengan ekspresimu yang memuakkan itu, seolah menghina sekali,” lanjut Sarah.
“Kalau aku nggak bilang kamu istriku, apa kamu mau hal-hal buruk terjadi sama kamu?” Bule itu mengarahkan jari telunjukkan ke samping matanya. “Berpikirlah, Nona Manis. I’m your hero tonight. So... berterima kasihlah dengan cara yang baik. Jangan setelah berterima kasih memprotes begitu,”
Sarah manyun tapi tak bisa membantah. Bule itu memang telah menyelamatkannya.
“Terus mau kamu apa sebagai balas budi?”
Nothing. Hanya saja, bersikaplah manis padaku,” ujar bule itu mengerdipkan sebelah matanya pada Sarah. Sarah menampakkan wajah muaknya.
“BOOKKK!!” suara tangan Sarah mendarat paksa dan keras di lengan bule itu. Bule itu spontan mengaduh. “Genit!” seru Sarah. “Kamu harus periksakan matamu ke dokter supaya nggak kurang ajar seperti bapak tadi,”
Bule itu justru terkekeh mendengar Sarah mengoceh memarahinya.
Beberapa menit kemudian.
“Loh...” suara Sarah tiba-tiba seperti orang bingung sambil matanya menyusuri tanah yang dipijaknya.
“Kenapa?”
“Gulaliku mana? Wah, pasti jatuh karena bapak tadi. Hemmm... padahal masih banyak. Sayang banget kebuang gitu aja,” rengek Sarah.
“Lalu? Kamu mau mungut dari tanah gitu?” tanya si bule. “Sini!” Bule itu menarik tangan Sarah kuat tapi tak kasar.
Mereka berdua menuju penjual gulali.
“Wah... apa-apaan ini? Kamu pengen membuat aku merasa berhutang padamu berkali-kali lipat? Ogah!” tolak Sarah ketika si tukang penjual gulali menyodorkan gulali tersebut.
“Susah ya berurusan sama orang yang selalu negative thinking. Sepertinya kamu yang perlu periksa ke dokter untuk brainwash supaya nggak mudah negative thinking,” oceh bule itu. “Aku berniat baik, just it!” Bule itu mengambil gulali dari tangan si penjual dan menyerahkan uang dua ribu rupiah. “Kalau kamu nggak mau, aku makan,”
“Ah, a, a... sini, aku mau. Aku sudah ngidam lama. Di Jakarta nggak ada gulali seenak ini,” sahut Sarah merebut gulali itu dari tangan si bule.
Sarah mulai mengemut gulali itu. Ekspresinya seperti anak kecil yang teramat menikmati jajannya. Si bule tersenyum manis melihat Sarah. Ia sungguh tak percaya, gadis galak yang baru ia temui tadi siang ternyata memiliki sisi yang lucu dan manis. Sementara Sarah juga tak menyangka, bule yang terkesan menyebalkan itu punya hati yang baik, berjiwa pengayom. Naiklah satu level kekaguman Sarah padanya selain alasan fisik. Tapi rasa dongkolnya tak serta-merta terhapus begitu saja.
***
Pagi-pagi Sarah sudah ada di pemakaman kakeknya setelah lari pagi. Ia berdo’a di sana dan melepas rindu. Ia juga bercerita seolah kakeknya ada tepat di hadapannya. Ia bercerita  dirinya baru saja mengikuti acara bersih desa di Punden Bakud lalu ke Sumber Bedji. Ternyata tradisinya masih sama. Bahkan Sarah juga sempat memotret ketika acara berlangsung, minus do’a bersama untuk menghormati prosesi berdo’a. Tak lupa Sarah juga bercerita bahwa ia bertemu lelaki super tampan di Punden yang telah menolongnya dari oknum jahat ketika di Sumber Bedji.
“Ganteng banget, Mbah. Bule. Kata bulek Sri sih, mbahnya asli sini dan dulu sempat memangku jabatan penting di pemerintahan desa. Mbah kenal mbahnya? Kalau nggak salah namanya mbah Soemoredjo? Wah, Mbah, coba Mbah masih hidup, jodohkan aku lah Mbah sama cucu orang itu, hehehe. Mbah, besok aku ke petilasan Jayabaya ya, Mbah? Aku pengen ambil foto terus sama mengenang kebersamaan kita dulu, Mbah,” celoteh Sarah manja mengingat kebiasaannya dengan sang kakek yang sering berkunjung ke tempat bersejarah dan sakral. “Ah, Mbah, aku kangen. Untung gelangku ini nggak ilang Mbah, pas aku ikut outbond ke Lembang beberapa bulan lalu. Padahal ini kan, hadiah dari Mbah satu-satunya pas aku umur 12 tahun,” lanjut Sarah sendu memegangi gelang manik-manik di tangan kirinya.
Usai “bercengkerama” dengan kakeknya dan tak lupa ia “menyapa” neneknya dan beberapa saudara yang dimakamkan di area yang sama, Sarah kembali pulang.
Siang harinya Sarah berangkat ke desa Menang (Pagu-Kediri), tempat petilasan pamuksan (muksa/ menghilang) Sri Aji Jayabaya. Beliau adalah raja Kediri yang termasyhur pada tahun 1135-1157 dengan buku ramalan Jangka Jayabaya yang meramalkan nasib Nusantara bertahun-tahun bahkan beratus-ratus tahun sampai saat ini dan ke depannya. Jayabaya adalah raja yang berhasil mengalahkan kerajaan Janggala dan menyatukannya kembali dengan Kadiri (kini Kediri). Jayabaya juga merupakan raja yang arif dan bijaksana yang mewarisi darah keluarga Pandawa. Ayahnya bernama Gendrayana, putra Yudayana, putra Parikesit, putra Abimanyu dari ayah bernama Arjuna, salah seorang Pandawa Lima.
Sarah berhati riang ketika menginjakkan kaki di petilasan pamuksan Jayabaya. Sebentar lagi memori manis dengan kakeknya akan kembali hadir. Namun, keriangan itu buyar ketika seseorang mendorong motornya dari belakang hingga terpaksa Sarah dan motornya maju dua meter ke depan mendadak, praktis membuatnya oleng walau tak sampai terjatuh.
Sarah berdecak lidah sebal. Sementara orang itu masih nangkring di atas motor  dengan helm berkaca hitam yang menutupi wajahnya.
Dengan hati super dongkol Sarah turun dari motornya, menarik penyangga motor sekenanya dengan kakinya lalu segera menghampiri orang yang baru saja menabraknya.
Sarah langsung nyerocos begitu saja di depan helm orang itu.
“Sori, nggak sengaja,” sahut santai orang itu sambil melepas helmnya.
Sarah merasa nafasnya berhenti sejenak. Bule itu!
“Kamuu....” suara Sarah menggemeretakkan deretan giginya.
“Kamu nggak kenapa-kenapa, kan? Baguslah,“
Sarah seketika naik pitam, ditinjunya lengan lelaki itu seenaknya.
“Kamu berulang kali mau bikin aku celaka dan kamu bilang segitu santainya, bagus, bagus. Bagus gundulmu! Makanya pakai mata yang bener. Otaknya juga dibikin siaga biar nggak nabrak mulu!” sergah Sarah.
Bule itu melengos sejenak lalu menatap Sarah tanpa ekspresi. Sedetik kemudian tersenyum asal.
“Kamu kalau marah terlihat hermoso[9],cantik,” cetus si bule.
Sarah terlongo disusul dengan wajahnya yang berubah semu merah. Tapi kemudian mendadak ia menghujamkan tatapan mautnya.
I’m serious. But it’s better like this...” Tangan bule itu menarik kedua ujung bibir Sarah ke atas, melengkungkan senyuman. Kemudian meninggalkan Sarah dengan kekagetannya sendiri.
Sarah dongkol di satu sisi tapi di sisi lain sungguh gede rasa bukan main.
Singkat cerita ternyata keduanya punya tujuan yang sama, rekreasi ke tempat bersejarah. Sialnya (atau beruntung?) mereka berdua selalu bersamaan ketika berjalan dari satu tempat ke tempat lain, dari tempat muksanya Jayabaya, ke tempat mahkota Jayabaya disimpan (berupa batuan berbentuk mahkota) sampai ke pemandian yang masih satu kompleks dengan petilasan pamuksan Jayabaya.
Selama perjalanan mereka saling bertengkar kecil. Bule yang jahil dan Sarah yang tak suka dijahili. Sesekali mereka dibuat keki oleh pemandu yang mendampingi mereka mengelilingi kompleks bersejarah dan menceritakan sejarahnya.
Momen terkikuk yang mereka alami adalah saat sang pemandu yang sudah sepuh[10] tapi terlihat segar-bugar dan lincah, mbah Ponco namanya, nyeletuk demikian.
“Mas namanya Jayabaya, Mbak namanya Sarah. Jodoh,”
Sarah dan bule itu melongo bersamaan.
“Kok, mekaten[11], Mbah?” tanya bule bernama lengkap Alano Jayabaya itu. Tadi ia memperkenalkan diri seperti itu dengan suara yang mantab dan jelas.
Yo, iyo, Mas. Permaisuri Maharaja Jayabaya kan, Dewi Sara.”
Mbah Ponco mengucap nama Sarah tanpa huruf “H” pada akhirannya tapi tetap terdengar “Sarah”.
“Loh, Mbah, nama lengkapku Dewi Sarah,” tukas Sarah yang tak menyangka namanya seperti istri prabu Kediri.
Mbah Ponco terkekeh. Jaya menahan tawanya supaya tidak meledak begitu saja.
Oalah yo, yo, kok ketepakan ngene[12]. Kalian berjodoh, Mas, Mbak,” ujar mbah Ponco.
Waduh! Bencana atau anugerah?
“Aamiin, deh, Mbah. Hahaha,” sahut Jaya spontan lalu pecahlah sudah tawanya.
Sarah menimpuk lengan Jaya. “Apaan, sih?!! Nggak lucu!”
Jaya masih terpingkal-pingkal sambil memegangi perutnya. Sarah masih menggerutu  sambil melipat kedua tangannya di depan dada.
“Bercanda kali, Sar. Mbah Ponco cuma guyon[13],” kata Jaya menghibur. “Ya, to, Mbah?” Jaya menatap mbah Ponco. Mbah Ponco manggut-manggut sembari tersenyum lebar.
Mereka bertiga lalu duduk di sebuah kursi bambu di bawah pohon Beringin dekat pemandian. Kemudian mbah Ponco pamit untuk beli minuman sebentar ke sebuah warung kecil yang berjualan di area pemandian.
“Kamu kelihatan bad mood, kenapa?” tanya Jaya memecah keheningan di antara keduanya.
“Gara-gara kamu, aku gagal total mengenang kembali memori bareng kakekku dulu semasa hidupnya. Kamu perusak suasana!” tuding Sarah.
“Bukan kehendakku ngerusak suasana hatimu,” Jaya membela diri. “Dan baru kali ini ada cewek bilang aku penyebab dirinya bad mood. Di luar sana banyak cewek merasa berbunga-bunga ketemu aku,” Jaya berbangga diri.
Sarah manyun mengejek.
“Jangan jaga image begitu! Kita lihat saja, ya, kalau setelah pulang ini kamu mikirin aku terus dan tiga bulan berikutnya kamu makin kangen aku, sudah pasti kamu termasuk ratusan bahkan ribuan cewek Indonesia yang suka sama aku!” ujar Jaya yang tampaknya sudah mencapai titik kenarsisan.
Sarah menyikut Jaya.
“Kalau yang ada sebaliknya?” Sarah menantang.
It’s okay. Artinya Sarah akan jadi permaisuri Jaya. You’ll be my queen. That’s the point! Nggak peduli siapa yang suka duluan. Kita ingat-ingat kata mbah Ponco tadi sebagai do’a atau bahkan sebuah ... kutukan mungkin,”
“Ih, ogah!” tukas Sarah.
We’ll see,”
Sarah mendesis. Jaya sungguh punya tingkat kepercayaan diri tinggi, segaris lurus dengan penampilannya yang nyaris perfecto dengan gaya sporty dan macho-nya itu. Sarah tersanjung diperlakukan Jaya seperti itu tapi apakah benar ia dan Jaya bisa berjodoh? Ia tak akan menampik mentah-mentah kalau memang Tuhan menjodohkan mereka berdua tapi masa’ sih? Dan apakah Jaya juga punya kekaguman padanya seperti ia kagum pada lelaki itu jauh di dalam hatinya? Sarah menggeleng-gelengkan kepalanya cepat.
Ini memang terlalu cepat. Itu tadi hanya candaan mbah Ponco dan Jaya juga tampaknya tipe lelaki penggoda. Ah... Sarah bingung. Tapi, aslinya...  Aku berharap bisa berjodoh dengan Jaya. Mendampinginya seperti Dewi Sara mendampingi Sri Aji Jayabaya. Siapa yang mau menolak lelaki setampan dan... selucu dia? Pintar melumerkan suasana walau terkadang menyebalkan. Tapi jelas dia berjiwa pahlawan.
Sarah melirik Jaya yang duduk di sampingnya. Jaya justru melempar senyum jahilnya dan mengerlingkan sebelah matanya. Sarah melengos dan menjulurkan lidahnya keluar. Tapi tanpa diketahui Jaya, Sarah tersenyum-senyum sendiri, mengamini kalimat mbah Ponco.

-selesai-


*Beberapa informasi mengenai desa Gadungan diambil seperlunya dari sumber resmi http://www.gadunganpuncu.info/home/ sementara informasi petilasan pamuksan Jayabaya diambil seperlunya dari http://wikimapia.org/4221580/id/Petilasan-Pamuksan-Sri-Aji-Joyoboyo.







[1] Panggilan untuk anak perempuan dalam budaya Jawa
[2] Tapi selalu ingatlah. Ingatlah kepada para leluhur.
[3][3] Jadi... jangan pedulikan omongan ayahmu yang kaku.
[4] Kemarin, Bu. Mami kabarnya baik. Sekarang mami sudah pindah ke sini selamanya.
[5] Maaf
[6] Huh, diajak senang-senang nggak mau! Nggak usah jual mahal kamu, anak cantik! Sini!
[7] Sebutan masyarakat Jawa untuk orang asing berkulit putih di zaman penjajahan.
[8] Ini istri saya, Pak.
[9] Cantik dalam bahasa Spanyol
[10] Tua dalam bahasa Jawa
[11] Begitu
[12] Oalah, ya, ya, kok kebetulan begini.
[13] Bercanda