Selasa, 23 April 2013

Pelayan Masyarakat Macam Apa?!

Tulisan ini tidak bermaksud menyudutkan pihak aparat kepolisian dan semua anggota instansi terkait. Mohon dijadikan bahan saran dan kritik dari masyarakat yang butuh keamanan dan kenyamanan setiap kali berurusan dengan pihak kepolisian, terlepas dari tindak kriminal.

Walaupun sudah agak kadaluarsa cerita ini tak tak apalah. ingin berbagi informasi aja, pengalaman tak mengenakkan yang didapat dari yang -katanya- pelayan masyarakat di instansi kepolisian tepatnya Rabu, 17 April 2013 lalu. 

Waktu itu saya sudah sangat bersemangat mau mengurus SKCK untuk keperluan bekerja. Informasi saya tak banyak tapi saya berpikir datang langsung dapat memberikan informasi akurat mengenai apa saja yang perlu saya persiapkan untuk memperoleh SKCK. 

Pagi harinya saya sudah beres mendapatkan surat pengantar dari tingkat RT sampai polsek kecamatan tempat saya tinggal. Sekitar pukul 10.30 WIB saya ke Polres Pare-Kediri (saya minta maaf kalau saya sebutkan instansinya karena saya benar2 kecewa dengan apa yang saya alami) langsung menuju bagian pengurus SKCK. Bertemu orang pertama cukup ramah seorang ibu2. Saya diberi informasi berkas apa saja yang perlu saya persiapkan. Pergilah saya meng-copy berkas yang diperlukan. 

Usai itu saya menemui pihak kedua pengurusan SKCK. Bertemu bapak2 menyerahkan sebuah formulir yang wajib saya isi. Nah, kecerobohan saya terjadi. Saya tak melihat bahwa ada kolom2 atau pernyataan yang harus diisi di balik halaman pertama. Jadi, saya mendapat 2 formulir. Formulir satu yang ukurannya lebih besar ternyata terdiri dari 2 halaman, saya lupa mengisi halaman kedua dan saya pede masuk kembali ke ruangan bapak2 tadi. Kali itu saya berhadapan dengan bapak2 berbeda yang berkumis bak pak raden. Saya serahkan tapi... -di sinilah mood bagus saya diuji- saya segera menyadari kekeliruan saya yang tak mengisi halaman kedua ketika formulir itu ada di atas tangan2 bapak2 berkumis pak raden itu. Lah... saya ngomongnya "maaf belum diisi," bapaknya melempar kertas ke arah saya! keluar lagi saya (pengisian formulir dipersilakan di laur ruangan). Setelah melengkapi 2 lembar formulir saya masuk lagi, belum sempat masuk, bapak2 berkumis pak raden itu sudah ada di ambang pintu, menerima berkas saya. Masalah kedua muncul, -kembali mood jelek disulut- dengan bicara nada suara agak tinggi beliau mempertanyakan keperluan saya memperoleh SKCK apa? Saya jawab "Melamar Pekerjaan". "Kerja apa? Dimana?". Setelah bicara seperti itu saya sadari kekeliruan saya, tapi tiba2 saja bapak2 berkumis pak raden itu menutup paksa pintu di hadapan muka saya. Oke, saya mundur, membenahi tulisan itu. Saya lengkapi lagi keterangan, "Melamar pekerjaan di perusahaan di Surabaya". Ini mungkin kekeliruan murni saya. saya pikir pembuatan SKCK di Polres, Pare-Kediri itu boleh secara global keterangannya, ternyata tidak, calon penerima SKCK harus menyebutkan dengan jelas misal mau melamar pekerjaan di PT X atau apa. Karena menurut keterangan teman saya di Kabupaten tetangga, pembuatan SKCK boleh secara umum hanya "Melamar Pekerjaan Swasta atau BUMN" jadi SKCK masih digunakan jaga2 dulu karena maklum masih fresh graduate belum tahu pasti ke BUMN atau swasta. Well, saya terima alasan itu tapi yang saya tidak terima bapak2 berkumis pak raden itu kembali melontarkan kata2 bernada tinggi tepat di wajah saya seolah sedang marah2. Dan nampak sekali, pada saat itu beliau tidak sedang dalam kondisi perasaan yang bagus karena seperti ogah-ogahan melayani calon penerima SKCK -entah apa istilahnya-, maksudnya kami yang mau cari SKCK. 

Saya nyatakan saya kecewa berat dengan sikap seperti itu. Mungkin saya memang orang yang sensitif tapi saya yakin pada saat itu ada yang tak beres dengan bapak2 itu. Entah karakter orangnya yang meledak-ledak, bicara lantang atau saat itu suasana hati sedang tidak bagus? Saya tak mau tahu. Mungkin saya egois. Beliau pelayan masyarakat, harusnya bisa memberikan pelayanan terbaik. Bukan ogah-ogahan dan bersikap seenaknya begitu. Abdi negara atau abdi masyarakat macam apa itu??!! Mentang-mentang jadi ujung tombak yang dibutuhkan masyarakat kemudian seenaknya saja memperlakukan tidak baik? 

Saya berpikir, mungkin kita tidak lepas berurusan dengan pihak kepolisian tapi ya kalau bisa diregenerasi bapak2 itu yang sudah tak ramah, terkesan ogah-ogahan melayani masyarakat, regenerasi saja ke pribadi2 muda yang lebih ramah dan melayani masyarakat. Soalnya sudah expired juga kalau mau ditraining pembentukan karakter yang ramah, sabar dan melayani masyarakat. Upppss...

Ya begitulah... dan mohon untuk pihak kepolisian -terutama Polres Pare-Kediri-, pegawai2 sipilnya juga diperhatikan biar kepercayaan masyarakat terhadap aparat bisa lebih meningkat. Dan silakan buat forum penampung saran dan kritik masyarakat yang up to date, lancar, langsung dan akurat. Jangan pakai birokrasi bertele-tele dan bermenye-menye. Masyarakat jengah sudah dengan birokrasi ruwet kayak bolah ruwet.

Sekian.





Selasa, 09 April 2013

Thanks Giving for Odapus (Orang dengan Lupus)




            Kembali menulis tapi kali ini menulisnya sudah dimulai awal tahun lalu (untuk jurnal) bahkan memulai berkas aslinya (skripsi) sudah 1,5 tahun lalu. Tulisan ini merupakan tulisan ilmiah pertama saya untuk dapat memperoleh gelar S1 Psikologi. 
Kebanggaan tersendiri untuk saya. Bangga karena saya akhirnya bisa mengatasi rasa malas dan godaan kanan dan kiri dan bisa mempersembahkan bacaan informatif -semoga- ini kepada para sahabat odapus (orang dengan lupus).
Alasan kenapa saya mengambil tema Lupus tergerak ketika saya membaa artikel di sebuah koran nasional beberapa tahun lalu ketika saya SMA (saya lupa waktu itu kelas berapa, atau mungkin saya sudah tidak SMA kala itu). Penyakit Lupus ini penyakit langka dan punya seribu wajah, demikian artikel itu berisi. Namanya unik seperti tokoh komik atau drama serial itu "LUPUS". Kemudian lupa, lupa, lupa akhirnya ketika semester akhir kuliah dihadapkan pada tugas untuk mengambil tema skripsi. Mantab sudah. Saya pilih LUPUS. Kajian psikologi kesehatan untuk penyakit fisik seperti diabetes, kanker, sudah jamak. Lupus berbeda. Pasti penelitian saya unik. Pede :D
"Tualang" berjalan. Saya cari informasi semua tentang Lupus. Termasuk langsung turun lapangan pedekate dengan para sahabat odapus di "kantong-kantong" komunitas odapus di Surabaya, Malang, Jakarta baik melalui media jejaring sosial atau bertandang langsung. Dan, saya takjub, saya dianggap keluarga baru oleh mereka. Sahabat odapus begitu welcome pada saya. Sampai saya ingat namanya ibu MRTS, odapus yang bekerja sebaga staf administrasi di kecamatan Lawang, Malang, menganggap saya seperti anaknya sendiri. (Ah, ibu, jika membaca ini, maaf saya belum bisa bersilaturahim ke sana lagi :( ). Termasuk pada partisipan skripsi saya yang sudah membuka tangan mereka lebar-lebar menerima saya, ibu NA, DA, dan RS. Dan akhirnya, walau tak tahu banyak Lupus secara medis setidaknya saya tahu info dasarnya. Anda ingin tahu, silakan klik link di bawah ini. Mudah-mudahan menjawan rasa penasaran Anda apa itu penyakit Lupus.


Poin pentingnya adalah 
1. Saya berterima kasih kepada semua pihak yang telah membantu (dalam bentuk apapun) saya merangkum bacaan informatif ini, antara lain
a)   Partisipan skripsi saya ibu NA, mbak DA dan mbak RS yg telah menerima saya dengan suka cita, amin.
b)   Ibu Karin dan mbak Rossi dari pengurus Yayasan Lupus Indonesia Surabaya, Jatim, yang memberikan banyak informasi.
c)    Mbak ... (maaf saya lupa yang berdomisili di Tuban sebagai guru di sebuah SMA atau STM ya, yang aslinya Plosoklaten Kediri), Mbak RN (Sidoarjo), Bu MRTS (Lawang, Malang) yang bersedia berbagi cerita 
d)   Mbak Ron Azzahra dan mbak Nur Hidayati yang meminjamkan buku-bukunya yang terbilang langka :)
e)   Beberapa odapus yang domisilinya jauh tapi menawarkan diri untuk menjadi partisipan tapi saya tidak sanggup menjangkau karena jarak, heheh :)
f)     Pihak-pihak akademisi seperti dosen pembimbing, Bu Endang lalu dosen Bu Wiwin, Bu Ike, Mbak Amel, dosen penguji Bu Retha, Bu Hamidah... salam hormat saya untuk Anda semua
g)   Sahabat-sahabat dekat yg bersedia membantu seperti Amira (psikologi Unair 2009), Syailendra (psikologi Unair 2008), Altami (IPB 2008), Citra (psikologi Unair 2008), Ratu Lensi (psikologi Unair 2008) dan semua teman-teman yg tidak bisa disebutkan satu per satu dan semua pihak yah... maaf kalau ada yang kelupaan saya ucapkan TERIMA KASIH BANYAK SEBESAR-BESARNYA, semoga Tuhan selalu merahmati Anda semua dan saya. amin.

2. Saya mohon maaf sebesar-besarnya jika ada kekurangan dan kesalahan yang telah saya perbuat selama ini.
3. Saya berdoa semoga tulisan sederhana ini bermanfaat.

Sekian...
Salam sehat selalu untuk sahabat odapus J

Senin, 01 April 2013

Lelakiku Wanitaku


Lelakiku wanitaku

Dua gelas ukuran jumbo ada di hadapanku kosong menyisakan es batu saja. Isinya berupa es teh jeruk sudah aku tenggak habis. Tapi rupanya aku masih kehausan. Surabaya begitu panas beberapa hari terakhir. Minum es dua gelas jumbo tak serta merta mengusir dahagaku. Mungkin lebih baik aku berendam di kamar mandi saja atau membiarkan shower di kontrakan mengalir deras mengguyur badanku. Tapi eh, aku masih belum rela beranjak dari tempat ini walaupun kegerahan sudah kurasakan semenjak satu jam berlalu. Ada "pemandangan" menakjubkan yang tak bisa kutinggalkan begitu saja. Seseorang di suatu sudut asyik berhaha-hihi bersama gerombolannya.
   Senyumnya manis, kepalanya nyaris plontos, macho dengan tubuh atletisnya yang tak berlebihan. Tahu Vin Diesel yang bermain di Chronicle of Riddick atau yang paling tak asing adalah Fast and Furious? Yap, seperti itulah "pemandangan" yang kumaksud tadi. Bukan versi aslinya, mungkin ini versi duplikatnya dalam versi Indonesia. Aku tak jelas apa yang ia bicarakan dengan kawan-kawannya. Mereka semua nampak gagah dengan gaya rapi casual. Aku memerhatikan mereka, teristimewa lelaki duplikatnya Vin Diesel.
"Mbak mau pesen minum lagi?" tanya seorang pelayan.
Aku "bangun" dari lamunanku mengagumi ciptaan Tuhan satu itu.
"Oh, boleh, Mas. Satu gelas super jumbo lagi, ya? Sama kayak tadi, ya?," pintaku.
“Ditunggu ya, Mbak?”
Pelayan itu hendak pergi tapi aku bergegas menghadangnya.
"Iya, Mbak?"
"Mas, mau tanya," suara kulirihkan. "... lelaki itu siapa?" tanyaku begitu saja tanpa berkedip menatap lelaki di sudut sana.
"Yang mana ya, Mbak?" tanya pelayan itu.
"Itu yang plontos, kemeja garis-garis," sahutku.
"Wah, maaf Mbak, saya kurang tahu. Tapi dia memang sering kemari Mbak,"
"Oh, begitu. Oke, terima kasih. Saya tunggu esnya ya?"
Pelayan itu pergi dan aku kembali memerhatikan lelaki itu tanpa jeda. Di dalam hatiku aku mengumpat-umpat memuji-muji kesempurnaan desain Tuhan yang ada di hadapanku. Mengapa ada lelaki setampan itu?
Ketika asyik mengalunkan segala sanjung puji di dalam hati, keasyikanku musnah seketika bersambung dengan rasa tak nyaman dan akhirnya seluruh syaraf maluku bekerja membuat yah, mungkin sekarang pipiku sudah merah merona. Jantungku berdegup cepat mendadak. Gerak-gerikku tak bisa kukontrol. Aku salah tingkah. Mata tajam lelaki itu sekonyong-konyong menyorot ke arahku! Mampus! Hatiku meleleh seketika kemudian. Aku menolehkan kepalaku ke kanan, ke kiri, memutar arah bolah mataku ke atas, ke bawah, tak fokus! Aku bingung berekspresi bagaimana, melakukan apa setelah tertangkap basah memandanginya.
Sepersekian menit aku mencuri pandang lagi. Masihkah dia melihatku? Masih. Melihat tanpa ekspresi. Tuhan, apa-apaan ini? Aku kembali melempar arah pandanganku ke lain arah. Aku tak bisa berlama-lama di sini. Aku harus pergi sebelum aku semakin salah tingkah. Aku tak bisa ditatap orang begitu tajam berlama-lama. Aku mengemasi barang-barangku yang berserakan di meja dan segera pergi. Kutinggalkan pesananku dan segera ke kasir. Aku tak berani menatap ke arah lelaki itu.
Aku terburu-buru sampai serampangan berjalan dan akhirnya menabrak seorang wanita super bohay, lebih bohay dariku yang sudah terkenal bohay –menurut sepupu lelakiku-. Aku seketika memohon maaf. Lalu, mendadak ada suara lantang memanggil nama wanita itu. Aku menoleh juga, refleks. Lelaki itu yang memanggil wanita yang kutabrak tadi. Ia melambaikan tangan kepada wanita itu. Kepalaku tak bisa kupalingkan dari lelaki itu dan wanita tadi. Secara tiba-tiba saja aku merasa kecil hati. Ah, lelaki tampan dan gagah dengan wanita cantik seksi. Nampaknya mereka juga bukan dari kalangan proletar semacam diriku. Mereka borjuis. Ah, lupakan! Aku akhirnya memaksakan seluruh tubuhku meninggalkan tempat itu.
@@@
Seminggu berlalu. Aku kembali ke café itu. Menghabiskan jam makan siangku di sana sendiri sebelum kembali berkutat dengan para klien bunda Tantri yang sudah antri ingin konsultasi dari jauh-jauh hari.
Pekerjaanku memang hanya sebagai resepsionis di sebuah biro konsultasi psikologi ternama milik psikolog yang sudah aku anggap sebagai ibuku sendiri tapi kebosanan acapkali aku rasakan. Interaksi dengan para klien yang antri padat setiap hari kerja membuatku cukup jengah. Mendata mereka, mengatur jadwal pertemuan mereka dengan bunda Tantri atau psikolog lain, membuat mereka bersabar menunggu giliran mereka, bahkan menerima segala macam komplain dari mereka, termasuk membantu asisten bunda Tantri mengelola administrasi data-data klien yang sudah ada juga kukerjakan beberapa kali.
Bosan tak bisa kutolak. Mungkin pekerja lain juga pernah merasakan bosan. Wajar. Aku ambil sisi positifnya. Rutinitas sehari-hari itu membuatku belajar untuk bisa mengendalikan diri ketimbang masa laluku yang meloloskan semua impulsivitasku terhadap apapun yang aku kehendaki. Kesabaran sebagai resepsionis yang awalnya berat itu sudah cukup berhasil membuatku mengendalikan impulsivitasku walaupun belum seratus persen.
Kuusir kejengahanku dengan izin keluar makan siang di café seberang kantor. Sebenarnya kantorku tidak mengondisikan karyawannya yang hanya beberapa orang untuk keluar makan siang bahkan jam istirahat pun aslinya tak menentu. Istirahat siang pada pukul dua belas siang hanya aturan tak tertulis jika memang ada yang sudah bebas dari pekerjaan. Kalau masih ada klien, aku juga harus melayani mereka. Kalau mereka masuk konsultasi dan tak ada yang bisa menggantikanku, aku terpaksa makan siang di tempatku semula. Kalau ada penggantiku, aku dengan sangat senang hati pergi keluar dan hanya ingin sendirian. Bandel. Tak ada karyawan lain yang senang makan di luar sepertiku. Hanya aku yang sering nekat keluar makan siang, yang lain tetap berada di kantor. Itu karena aku bosan. Kalau bisa keluar kenapa tidak keluar cari suasana baru. Dan di café seberang kantor aku memusnahkan kejengahanku sejenak. Dan beberapa waktu terakhir hormon kesenanganku semakin banyak karena lelaki tempo hari. Ah... senangnya jika hari ini aku bisa bertemu kembali.
Belum ada satu menit aku memanjatkan doa pada Tuhan, muncul sosok itu lagi datang bersama kawanannya. Aih... detak jantungku cepat seketika. Aku meletakkan telapak tanganku di sana, merasakan benar-benar detak jantung yang makin cepat. Dan mataku terus tertuju padanya dan sialnya baru saja aku memerhatikannya dia mendadak sigap menoleh ke arahku. Aku reflek memalingkan muka. Leherku tercekat. Aku tak bisa bertindak aneh-aneh, alih-alih pergi. Aku kelaparan. Pesan makanan saja belum. Biarkan saja. Aku akan terus di sini. Makan dengan kondisi tegang, bagaimana rasanya? Entah.
Beberapa menit berlalu aku menikmati makananku. Tak kurasakan apapun dari makanan itu tapi perutku akhirnya mengenyang. Es di hadapanku hanya berasa dingin. Aku tak mencecap dengan baik setiap apa yang masuk ke mulutku baru saja. Saraf tegangku sedang aktif. Itu karena aku sudah dua kali tertangkap basah oleh lelaki itu. Aku yakin aku tertangkap pasti olehnya. Nyatanya aku langsung merasa seperti maling kepergok mencuri. Dan perasaanku sering tak meleset.
Rasa ini agak menyesakkan. Membuat kandung kemihku menimbulkan efek ingin ke toilet. Aku bergegas ke toilet usai menyantap makananku.
Lima menit berlalu. Aku masih berusaha mengontrol distribusi oksigen dan karbondioksidaku dan degupan jantungku. Berusaha agar nanti ketika keluar dari toilet dan melewati lelaki itu aku bisa berlaku elegan. Aku berkaca di depan cermin. Melakukan self talk bahwa aku bisa melaluinya. Aku keluar dari toilet dengan janutng berdegup cepat dan tak sangka ada peristiwa yang membuatku menganga. Seseorang menabrakku. Aku kesakitan lalu aku mulai fokus siapa itu. Mataku hendak copot. Beberapa detik aku sempat tak bernafas. Wajah itu tersenyum padaku.
“Ada yang salah dariku, Nona?” suaranya lelaki sekali.
Aku salah tingkah. “Tid-tidak,” sahutku terbata-bata.
“Lalu?”
“Lal-lalu?” tanyaku balik.
“Kenapa kamu tak berkedip memerhatikanku?” tanyanya masih tersenyum, mungkin senyum menggoda. Entah apa. Aku menggeleng.
Dia mencondongkan tubuhnya ke arahku seraya berkata,“Mata wanita yang sedang jatuh hati tak pernah berbohong,” dia berbisik di telingaku, dekat sekali. Bibirnya separuh menempel di telingaku. Kembali aku melemah tak berdaya.
Dia menegapkan diri lalu mengulurkan tangannya.
“Evan,” katanya.
Aku agak ragu menyambutnya tapi akhirnya aku memperkenalkan diri juga.
“Febri,”
“Senang berkenalan denganmu. Nanti malam ada pesta kecil di rumahku. Adikku berhasil menembus beasiswa Boston University, silakan datang! Apartemen jalan protokol dekat sini, kok. Senang jika kamu bisa datang, Nona Febri,” ujarnya nampak bersemangat.
Aku tersenyum. Lelaki ini baru saja bicara sudah menawarkan undangan. Ramah sekali pikirku.
“Pastikan kamu datang, ya? Ini PINku, hubungi aku segera jika kamu berkenan. Pastikan kamu berkenan datang, honey!
Bbhhh... maut. Baru saja berkenalan sudah dipanggil honey aku. Meleleh bukan main. Aku ingin salto di tempat. Tapi ah... ini akan menjadi hal memalukan. Benar kata sepupuku dan sahabatku, aku mudah terlena pada keindahan. Mudah tertipu. Semoga kali ini tidak.
...
Aku baru saja pulang dari kantor. Tak ada lagi yang aku kerjakan sepulang kerja. Aku teringat undangan Evan tadi siang. Tapi apakah aku pantas datang begitu saja? Aku baru saja kenal dengannya. Tapi daripada aku menganggur bosan di kontrakan. Menimbang berulang kali tawaran Evan akhirnya aku putuskan aku datang ke pesta adik Evan. Aku coba hubungi Evan untuk memastikan aku datang.
Aku sudah melewati puluhan meter jarak dari kontrakanku ke apartemen Evan. Aku sudah ada di depan pintu apartemen Evan. Aku memencet bel sekali. Sekali langsung ada yang membukakan pintu. Seorang lelaki yang tak asing bagiku. Dia sering bersama Evan di café. Dia tersenyum dan mempersilakan aku masuk.
“Febri?” tanyanya. “Evan masih terima telepon, tunggu di dalam, ya? Anggap aja rumah sendiri, Feb!”  lanjutnya.
Aku tersenyum dan melangkah masuk. Tak seberapa ramai, ada tiga lelaki, empat termasuk Evan di luar sana. Dan aku. Lalu mataku menjelajahi seisi ruangan apartemen itu. Nuansa interior Amrik kental di sini. Fokusku jatuh ke suatu foto yang terpajang cukup besar di dinding. Mataku fokus. Dua wanita. Salah satunya aku tahu. Iya, wanita yang kutabrak di café beberapa waktu lalu. Ingatanku memang selalu pasti, sekalipun pada hal sepintas lalu. Apa hubungan wanita ini dan Evan? Otakku masih belum menemukan titik terang pertanyaanku sendiri. Lalu, wanita di sampingnya sepertinya... sepertinya tak asing bagiku. Tapi aku juga tak tahu. Tanyaku makin banyak.
Aku melihat Evan agak samar dari balik tirai jendela. Aku tersenyum sendiri mengagumi segala tindak-tanduknya. Aku mendekatinya dari balik jendela, menyingkap tirai. Tak kupedulikan tiga lelaki yang ramai di belakangku. Kembali aku takjub. Pesona Evan  malam ini sungguh sempurna! Maskulin menonjol memukau! Kemeja dengan dua kancing atas terbuka merepresentasikan bidang tubuhnya. Kakiku hendak melangkah mendekatinya lebih dekat lagi tapi seketika terhenti. Seorang wanita berjalan menuju ke arahnya. Dari mana wanita itu berasal?
Wanita itu mendekatkan tubuhnya pada Evan yang baru saja menutup teleponnya. Semakin dekat, dekat, rapat, lekat! Wajah mereka saling mendekat, seolah ada daya magnet dari masing-masing pihak. Dekat, dekat, melekat dan akhirnya mencecap. Aku menutup mataku beberapa detik. Kubuka dan mereka masih menikmati itu. Hancur! Hatiku hancur! Lelah aku datang kemari penuh harap bisa merasakan kesenangan bertemu Evan, pemandangan laknat ini yang kutemui. Aku menarik diriku spontan tanpa kusadari di belakangku lelaki bernama Dion yang tadi membukakan pintu untukku. Aku terjatuh.
“Febri, kamu nggak apa?” serunya.
Aku menggeleng kuat. Ia membantuku berdiri.
“Febri!” suara Evan terdengar.
Evan menghampiriku bersama wanita itu. Ternyata wanita yang di foto dan kutabrak di café tempo hari.
“Kamu dari tadi?” tanya Evan.
Aku mengangguk.
“Maaf,” aku mengucap maaf begitu saja.
“Kenapa harus minta maaf?” tanya Evan.
“Aku tak sengaja melihat itu,” jawabku.
“Itu apa?” tanya Evan.
“Dia ngelihat kamu kissing sama Jane, Van!” sahut Dion.
“Oh, nggak masalah, Feb! Kita di sini sama-sama dewasa jadi bukan hal tabu lagi, kan?” tungkas Evan.
“Dia Febri yang kamu ceritakan itu?” tanya wanita bernama Jane itu.
Evan mengangguk. Jane mengulurkan tangan padaku dan mencium pipi kiri dan kananku.
“Evan sudah memerhatikanmu lama. Bodohnya dia baru menyapamu hari ini dan sekonyong-konyong mengundangmu ke sini. Ini trik dia menggoda wanita, Feb. Berhati-hatilah, Evan player,” ujar Jane. Aku tersenyum terpaksa mencoba membaur dengan suasana yang ada.  Di satu sisi aku sedikit terpana, Evan memerhatikanku? Lama? Artinya selama ini dia juga ada rasa padaku? Ah... senang!
Pesta berjalan sampai jam dinding menunjukkan pukul sebelas malam. Mereka semua teler. Hanya aku dan Evan yang masih sadar. Aku memang tak pernah sekalipun mengecap minuman beralkohol seumur hidupku. Aku juga tak suka baunya. Minuman memabukkan juga meninggalkan luka lama bagiku. Ayahku meregang nyawa setelah pesta miras di kampungku sana.
Aku dan Evan duduk di luar menikmati malam Surabaya. Langit malam itu cerah. Berlian-berlian seperti kata Rihanna berkelip indah di sana. Kami berdua duduk dekat tak ada sekat.
“Terima kasih sudah mau datang,” celetuk Evan.
“Sama-sama. Tapi maaf aku tak membawa apa-apa. Aku tak enak pada Jane,” sahutku.
“Tenang saja. Jane tak butuh itu. Dia itu hanya ingin orang-orang yang dia sayangi ada di sekitarnya setiap saat. Itu hadiah terindah baginya,”
“Lalu bagaimana kalau dia hidup di Amrik? Dia bakal sendiri,”
“Siapa bilang? Ibunya ada di sana, kok,”
Aku mengangguk. Suasana hening sejenak. Lalu ada pertanyaan mengusik pikiranku.
“Jane itu adikmu?” tanyaku. Evan mengangguk.
“Bukan adik kandung. Aku dan dia pernah terlibat hubungan asmara ketika masih SMA,”
Deg! Asmara? Tanyaku terjawab. Hatiku sakit lagi.
“Dulu. Tapi sekarang kami sudah seperti saudara sendiri. Dia adalah wanita terhebat dan terbaik yang pernah kutemui. Dia selalu ada saat aku benar-benar jatuh dan menggenggam tanganku agar tak lepas kontrol ketika bahagia. Super women,”
Cih! Di depanku dia memuji wanita lain. Lihat aku! Aku ada rasa untukmu! Aku mengomel spontan dalam hati.
“Hebat ya, dia...” pujiku terpaksa.
Evan diam lalu menatap erat dan tajam membuatku salah tingkah lagi dan lagi.
“Bagaimana denganmu, Nona?” tanyanya.
“Ak-ak-aku? Aku bukan super women,” sahutku terbata-bata.
“Jangan! Jangan jadi wanita super! Aku ingin dirimu adanya dirimu seperti ini,”
Aku mendengar desahan nafas Evan semakin dekat di hadapanku. Mataku tak bisa beralih dari tatapan matanya yang hanya beberapa inci dari mataku.
“Jane wanita super yang pernah kupunya tak bisa aku terima karena aku tak ingin didominasi. Aku... ingin... wanita... sepertimu,” lanjutnya lalu seolah bumi berhenti berputar beberapa detik. Rasanya sempurna. Ini bukan pertama kalinya aku berciuman tapi hanya ciuman Evan yang begitu hangat menyesap kuat, bukan semata nafsu liar.
Evan membopongku ke dalam. Kami tak peduli pada mereka yang sudah tergelepar tak jelas di sofa. Evan membawaku masuk ke kamarnya. Di dalam sana sebuah aktivitas dua insan sedang terlena terjadi dan kemudian sampai pada satu titik kami berdua tercengang! Rahasiaku terbongkar! Rahasia Evan!
"Kamu??!!" ucapku dan dia bersamaan saking kagetnya.
"Ya," ucapnya.
"Ya," sahutku.
Kami berdua masih memasang wajah tercengang.
"Ternyata kita sama saja," ujarnya.
"Aku sendiri tak menyangka," sahutku.
Kami mengambil jarak duduk dengan rileks di ranjang itu.
“Sungguh di luar dugaan. Hhh. Kamu wanita bertampang lelaki,” celetukku.
“Aku juga tak menyangka kamu lelaki. Hidup ini menakjubkan! Hehe,” tungkasnya.
Kami tergelak tawa akhirnya.
“Andai kata kita masih pada kodrat kita masing-masing, apakah kita merasakan seperti ini?” tanyaku tiba-tiba.
“Mungkin,”
“Kita akan berlanjut?” tanyaku.
“Tentu. Aku ingin kita berlanjut,”
“Berlanjut seperti apa?”
“Kita jalani saja. Kita berjalan sampai menemukan ujung,” ujar Evan mantab sembari menyorotkan tatapannya padaku, kali ini hangat. Ia memberikan senyuman terindahnya lagi.
“Aku mencintaimu siapapun dirimu,” tambahnya. Tangannya merengkuh kepalaku dan mengelusnya lembut. Tak nyana semenjak malam itu dia lelakiku sekaligus wanitaku, begitu pula sebaliknya.
@@@