Kamis, 05 September 2013

Cinta Tak Lari Ke Mana



Cinta Tak Lari Ke Mana


Sandra berdiri mematung dengan perasaan getir yang menelusup tepat ke jantung hatinya.
Andra memang bukan apa-apanya, belum dan mau karena “kompetisi” ini belum usai.
Ya, “kompetisi” mendapatkan hati Andra dan berhak bersanding di pelaminan dengan Andra bila saatnya tiba dan bila Andra memang menjatuhkan keputusannya memilih Sandra, bukan wanita-wanita lainnya sebelum masa pemilu daerah berlangsung.
Sandra memang tak yakin benar bisa mendapatkan hati Andra. Tapi sejauh ini dia sudah memberikan usaha terbaiknya untuk bisa memenangkan hati Andra, lelaki 28 tahun nan tampan, ahli waris urutan pertama pengusaha tambang batu bara tersohor di negeri ini, calon wakil wali kota yang pemilihannya akan bergulir setengah tahun lagi. Jika ditelusuri dari bibit, bebet dan bobotnya jelas Andra lelaki tanpa cela.
Tapi malam ini kenyataannya Andra lelaki dengan cela. Sandra sungguh tak mengira Andra ternyata sungguh hina-dina. Tepat di ruang kerjanya di rumah pribadinya, ia bercumbu mesra nun “panas” dengan wanita yang juga ikut dalam “kompetisi” perebutan status nyonya Andra Witjaksono.
Sandra tak hanya merasa getir tapi juga jijik setengah mati.
Sandra merasakan air sudah memenuhi matanya dan panas yang semula berasal dari kedua matanya telah menjalar ke keseluruhan kepalanya.
Demi Tuhan, perjalanannya dalam “kompetisi” ini cukup sampai di sini! Sandra segera melangkah menjauh. Dalam hatinya ada rasa syukur yang terselip.
Untung aku belum sejauh itu. Aku nggak akan pernah melakukan hal hina untuk mendapatkan lelaki.
“Tunggu!” suara seorang lelaki yang tak asing bagi Sandra.
Sandra menghentikan langkahnya dan menoleh segera.
“Jones?” balas Sandra tak menyangka lelaki itu ada di sana. Mereka sudah dua bulan tak berjumpa. Dikiranya Jones tak lagi kembali.
Sandra sangat bersyukur jika faktanya begitu. Karena Jones selalu muncul tanpa diduga seolah meneror dirinya dengan cara menggodanya sejak pertama berjumpa. Sementara Sandra tak suka digoda.
Lelaki yang Sandra sebut Jones tersenyum. “Ya. You looks like see a ghost, Honey!”
Sandra menelan ludah. Lelaki itu masih berani-beraninya memanggilnya “Honey”. Mungkin bagi orang barat itu biasa tapi bagi Sandra, makna “Honey” itu luar biasa, sebutan manis dari orang terkasih. Dan Jones bukan orang terkasih. Begitu percaya dirinya Jones mengucapkan sebutan itu.
“Jangan menggangguku, Jones! Aku malas bertengkar kali ini!” sergah Sandra.
“Ya, ya, ya. Kamu masih tetap judes seperti biasa, Honey. Kenapa, sih? Kenapa kita tak berdamai, ha?” tanya Jones. “Tapi... no! No! No! I miss you so much, Honey. Aku rindu kita bertengkar dan kamu selalu kalah, hahaha...” kelakar Jones.
Sandra tersenyum kecut. “Simpan rayuanmu!”
I’m serious. Aku selalu memikirkanmu selama aku mengurus pekerjaanku di Texas. Dan aku mengirimimu banyak pesan tapi tak pernah sekalipun aku mendapat balasannya,”
Jantung Sandra mendadak berdegup cepat. Ia memang mengabaikan puluhan email Jones. Belum lagi pesan melalui Whatsapp. Hal ini disebabkan Sandra muak dibuatnya. Pesan-pesan itu pesan-pesan menggombal ciptaan Jones. Sandra tak suka diberi rayuan gombal. Konyol!
Sandra juga tak suka dikejar lelaki. Ia sukanya mengejar lelaki. Itulah yang selama ini ia lakukan dan selalu gagal, mungkin termasuk yang baru saja ia alami barusan dengan Andra.
No reason?” Jones memecah keheningan. Sandra menatap Jones sembari menaikkan sebelah alisnya.
“Aku baca emailmu, pesenmu tapi aku nggak sempet bales,”
Jones tak percaya tapi ia tak mau mendebat gadis yang sudah “merenggut” separuh nafasnya.
Gelora asmara memang sudah terpercik di hati Jones saat jumpa kali pertama, kala gadis bernama Sandra itu hadir menjadi salah satu kandidat tiga besar calon istri Andra. Jones mendampingi Andra kala itu. Tapi Jones tak mampu mengelak pesona gadis manis khas Indonesia, seperti mendiang ibunya. Pikir Jones.
Jones tahu Sandra sedang berusaha sekuat tenaga meraih kursi pelaminan dengan sahabatnya sejak kecil, Andra. Tapi perasaan Jones terlalu kuat. Ia pun yakin Andra bukanlah lelaki baik dan tepat untuk Sandra. Sandra terlalu baik untuk lelaki flamboyan seperti Andra meskipun penampilan Andra menunjukkan reputasi tanpa cela. Ia yakin dirinyalah yang justru terlihat flamboyan tapi sebenarnya ia hanya akan memilih satu wanita yang benar-benar menggetarkan hatinya dan menjadikannya nyonya Jones. Dan itu Sandra.
“Akan aku antar kamu pulang,” usul Jones. Sandra menggeleng.
“Perasaanmu sedang kacau karena kejadian di dalam, kan? Aku tak mengizinkanmu pulang sendirian. Terlebih ini sudah malam. Kejahatan mengintai siapapun. Let me, please!”
“Kali ini aku harus nyerah lagi?” sahut Sandra mencoba mengingat sejumlah kekalahan dirinya ketika berdebat atau sekedar bicara biasa dengan Jones sampai detik ini. Jones segera mengangguk.
Jones menggiring Sandra ke dalam mobilnya dan segera melajukannya meninggalkan pelataran rumah Andra.
Di tengah perjalanan Jones justru membelokkan mobilnya di bibir laut di pinggiran Surabaya. Sandra menatapnya bingung. Jones justru menyuruh Sandra mengenakan jaket super tebal, begitu pula dirinya.
“Aku mau cari angin,”
“Ya, di sini memang tempatnya angin super kencang,” ejek Sandra.
“Jaket itu berguna melindungimu dari anginnya, Honey,”
Sandra mengikuti Jones turun dari mobil dan berjalan mendekati bibir laut, duduk di bebatuan pembatas daratan dan lautan.
“Mau ngapain?” tanya Sandra.
Jones menatap Sandra beberapa detik dan tersenyum.
Sandra merasakan jantungnya mau mencelos keluar. Senyuman Jones sungguh manis. Nabi Yusuf kah yang sedang menatapnya? Ah, tapi Nabi Yusuf pasti punya wajah Arab sementara Jones adalah keturunan Amerika-Indonesia. Wajahnya tampan orisinal tak ada yang menyamai. Mata coklat walau tersamarkan cahaya lampu yang merancukan sebuah warna, hidung mancung, garis wajah kuat, jambang sebagai tanda kemaskulinannya, rambut lurus coklat gelap yang sesekali terjurai menutupi dahinya. Sungguh, Sandra terpesona.
“Menangislah,” suara Jones membuyarkan kekaguman Sandra.
Sandra mengernyit, tak mengerti.
“Kamu patah hati karena Andra, kan? Menangislah! Di sini tak akan ada yang mendengar kamu menangis meraung-raung bahkan,”
Sandra menimpuk lengan Jones kemudian menggeleng kuat. “Aku nggak bisa nangis di depan orang,”
“Kenapa?”
“Nggak tahu. Dari dulu ketika mengalami peristiwa sedih, aku nggak  bisa nangis saat itu juga tapi pas sudah sendiri di kamar, semuanya bisa lepas. Nangis di kamar sendirian,”
“Kamu malu aku melihatmu menangis?”
“Enggak tapi emang nggak bisa nangis di depan orang lain bahkan di depan orangtuaku juga nggak bisa,”
“Aneh,”
“Justru kamu yang aneh. Nyuruh orang nangis,”
“Aku lebih baik melihatmu menangis di depanku dan aku bisa melapangkan dadaku untukmu bersandar,” Jones mulai menggoda lagi.
Sandra memberikan lirikan tajamnya.
Slow down, Honey... aku tak bermaksud kurang ajar tapi I’m swear, if you feel sad come to me. Aku akan menghiburmu, membuatmu tersenyum,”
Sandra mengubah posisi duduknya menghadap Jones.
“Bisa nggak sekali saja kamu nggak ngegombal? Maksudku merayuku. Aku nggak biasa dirayu,”
“Justru itu. Aku akan membuatmu menjadi biasa,”
“Aku muak dengan lelaki tukang gombal!”
“Oh, ya? Lalu kamu lebih suka lelaki yang suka mengambil keuntungan dari wanita? Lelaki yang baik di luarnya tapi penuh trik untuk mencapai semua kemauannya? Lelaki yang mencoba meraih perhatianmu dengan pesona cukup dinginnya lalu membuangmu setelah kamu ada di tangannya?” Jones menyeloroh dengan nada suara meninggi. “Wake up, Sandra! Dunia ini bukan dongeng romantis seperti novel-novel koleksimu itu, maaf, aku tahu ketika aku ada di rumahmu bersama Andra. Aku masuk ke ruang bacamu. Kamu mengoleksi banyak novel romantis dan semua itu fiktif, Honey! Maksudku, kamu hidup di dunia nyata. Lelaki angkuh tetapi baik dan jatuh cinta padamu itu tak pernah terjadi padamu. Andra bukan lelaki seperti itu. Dia menjalankan peran sesungguhnya di dunia nyata ini. Aku tak bermaksud menjelek-jelekkannya tapi sungguh Sandra, akulah lelaki yang tepat untukmu. I’m crazy on you!” tegas Jones.
Sandra membelalak, tenggorokannya tercekat.
“A-aku kira kamu cuma main-main, Jones,”
Jones mendekati Sandra. Tangannya menangkup wajah Sandra.
“Aku tak main-main, Honey. I call you Honey because I love you,” ucap Jones menatap mata Sandra lekat-lekat.
Sandra terpaku pada tatapan Jones. Ia tak menyangka Jones benar-benar mencintainya.
Sandra kalut. Ia baru saja sakit hati karena Andra dan sekarang Jones yang terlihat mempermainkannya dengan gaya flamboyannya menyatakan kesungguhan hati mencintainya. Haruskah Sandra mensyukuri semuanya? Haruskah ia menerima cinta Jones?
Sandra angkat suara.
“Aku... aku...” tampaknya Sandra masih tak tahu hendak berkata apa.
Jones masih menatapnya lembut dan penuh harapan atas jawaban Sandra.
Sandra menampik tangan Jones lembut.
“Jangan main-main. Jangan memancing pertengkaran lagi,”
“Aku serius,” sahut Jones. “Tinggalkan Andra, hiduplah bersamaku!” pinta Jones. Kini giliran Sandra yang menatap kuat Jones.
Suasana hening. Lalu terdengar suara Sandra mendesah.
“Tanpa kamu suruh, aku berhenti mengejar status menjadi nyonya Andra. Kamu pikir aku sehina itu mengemis cinta lelaki seperti dia,” sahut Sandra mencoba melumerkan suasana yang hening bin kikuk rasanya.  “Dan kamu, berusahalah lebih keras lagi membuatku jatuh cinta. Usahamu selama ini nggak ada apa-apanya. Jangan kira aku akan terima cinta kamu seketika setelah aku patah hati. No! Butuh waktu,” lanjut Sandra.
Keduanya terdiam.
Well, salah satu usahamu dimulai dari sekarang! Aku kedinginan sekarang. Apa kamu mau aku mati kedinginan di sini? Kamu memang sukanya makan angin, aku enggak. Ayo pulang!” cerocos Sandra sambil mengambil langkah terlebih dulu dari Jones.
Senyum Jones merekah, suasana mencair. Ia memang belum puas dengan jawaban Sandra. Tapi Sandra sudah menunjukkan penerimaan kehadiran dirinya mulai detik ini.
Jones mencoba meyakini, jika Sandra memang jodohnya, cinta tak akan lari ke mana. Tapi yakin tak hanya yakin, harus ada pembuktian. Artinya, ia harus mengubah strategi mendapatkan cinta Sandra, agar tak lari ke mana-mana.
Sandra membalikkan badan sesampainya di dekat pintu mobil. Ia memonyongkan bibirnya, tanda kesal karena Jones tak segera menghampirinya. Justru berjalan santai sambil tersenyum padanya.
“Ayo! Kenapa jalanmu kayak bekicot, sih??!! Tahu bekicot nggak?? Dasar!” omel Sandra.
Jones segera mengambil langkah lebih cepat.

-end-



Minggu, 01 September 2013

Yang Cantik Yang Menarik

Fatin gembira memasuki pintu gerbang sekolah. Pasalnya nanti sepulang sekolah, ia akan bertemu Baldi, kakak kelasnya yang populer, tampan, kaya, kapten basket, baik hati dan murah senyum.
Well, Fatin memang terbius oleh semua yang melekat pada diri Baldi. Dan betapa beruntungnya Fatin kali ini! Bermula dari ketidaksengajaan Baldi kemarin mendapati Fatin tengah bersusah payah berlatih basket usai bubaran sekolah di lapangan.
Siang itu Fatin putus asa, permainan bola basketnya sangat parah padahal ujian olahraga dua minggu lagi. Tiba-tiba saja Baldi yang sudah sejak tadi memperhatikan permainan payah Fatin muncul dan menawarkan diri untuk membantu latihan basket besoknya sepulang sekolah. Hari ini.
Fatin menyambut riang tawaran itu. Ketika memikirkan latihan nanti, senyum Fatin merekah tanpa ia sadari. Baginya, sepanas apapun lapangan nanti kalau bersama idola sekolah, tak akan berasa lagi di padang Arafah. Saking senangnya, Fatin tak menyadari di depannya berdiri cowok yang sedang mengobrol dengan temannya. BRUUKK!! Fatin menubruk cowok itu dari belakang.
“Aduuh!” Fatin terpental tapi untung ia tak hilang keseimbangan. Tapi hidungnya betulan sakit.
Kemudian cowok itu menoleh dan terdiam memandangi Fatin dengan sorotan tajamnya. Hanya menatap tanpa bereaksi.
“Eh, Ka, jangan dipelototin aja. Bantuin, dong!” salah seorang teman cowok yang tadi ditabrak Fatin menatap Fatin dengan geli. “Jangan ngelamun kalau jalan, dek.”
“I... iya, Mas. Maaf!” Fatin meminta maaf lalu pamit pergi. Cowok yang ditabraknya masih memandanginya dengan sorot dingin. Cukup menakutkan. Mending disemprot daripada cuma dipelototin.
Lalu Tika muncul dari belakangnya, merepet ke arahnya.
“Eh, mas Azka merhatiin kamu terus, tuh! Ih, senengnya dilirik ketua OSIS, duileehhh!”.
Fatin mengernyitkan dahi, tanda tak mengerti. “Azka?”
“Yang tadi kamu tabrak, aku tahu dari jauh,”
“Itu ketua OSIS kita? Adeeeuh, dia mah bukan merhatiin tapi melototin aku! Tadi aku nggak sengaja nabrak dia dari belakang karena aku bengong. Aku minta maaf eh, dia malah melototin aku. Nakutin!”
“Hahaha,” tawa Tika pecah. “Fatin, Fatin... salah kamu juga sih, jalan meleng aja. Eh, emang matanya mas Azka itu mata elang, tajem. Tapi dia baik kali. Terus masa kamu nggak tahu dia ketua OSIS[1]? Kita di sini sudah dua bulan dan bukannya pas MOS[2] dia udah dikenalin sebagai ketua OSIS?”
“Sori, pas MOS aku pernah nggak masuk atau kalau enggak, aku pas masuk tapi nggak fokus. Lagian ngapain fokus sama orang menakutkan begitu?”
“Hati-hati kalo ngomong... nanti suka loh, hahaha.”
Fatin mendesah. “Mending Baldi kemana-mana.”
“Ah, mas Baldi memang cakep tapi soal karakter, aku jamin mas Azka meroket jauh ke angkasa. Kalau nggak, mana mungkin dia jadi ketua OSIS?”
“Baldi kapten basket.”
“Kapten basket cuma ngatur hal-hal berbau basket, sementara ketua OSIS? Tanggung jawabnya besar dan banyak, Tin.”
“Kayaknya yang punya benih cinta kamu deh, Tik, bukan aku.” ledek Fatin tersenyum nakal pada Tika. Tika mesem.
***
Fatin dan Baldi saling menepati janji untuk berlatih basket bersama. Baldi dengan suka hati membantu Fatin untuk bisa mempraktekkan beberapa teknik permainan bola basket demi bisa mengatasi ujian yang diberikan bu Dina, guru olahraga kelas sepuluh.  
Dribble-nya jangan kaku! Ayo jangan kebelibet tangan sama kakinya! Nah, gitu bener Fatin. Ati-ati aja nanti malah jatoh!”
Baldi mengajari Fatin dengan sabar dan ramah. Fatin merasa bahagiaaaaa tak terperi! Ia punya kesempatan emas belajar privat dengan Baldi plus keramahan yang diberikan Baldi. Kurang apa coba? Kurang jadiannya aja kali. Itu pun kalau Baldi menaruh hati juga padanya. Tapi tak mungkin secepat itu. Fatin juga tak tahu apakah Baldi sedang menyukai orang lain atau tidak, yang pasti dia belum punya pacar lagi setelah tiga bulan lalu putus dengan cewek sekolah tetangga.
Kini waktunya Fatin mempraktekkan salah satu teknik basket. Fatin harus belajar melakukan lay up. Satu kali. Dua kali. Tiga kali. Gagal total. Selanjutnya berkali-kali sampai, dia salah mengambil langkah karena bingung mengayunkan kakinya. Akibatnya ia terjatuh, nyaris menyentuh lantai semen lapangan basket. Untung Baldi segera menangkap tubuh Fatin. Mereka jatuh bersamaan, tubuh mereka berdekatan, mereka saling menatap dan terdiam.
“Di sini bukan tempat mesum, ya,” seloroh seorang cowok tiba-tiba.
Baldi dan Fatin menoleh segera dan mereka saling menjauh lalu berdiri sendiri-sendiri.
“Kamu, Ka,” ujar Baldi. “Kita nggak ngapa-ngapain, kok.”
Fatin tertunduk sekaligus kaget. Dia barusan dibilang lagi mesum! Malu-maluin aja!
“Bisa jadi apa-apa kalau nggak ada yang mergokin. Dia masih polos, Di,” Azka melempar tatapan pada Fatin. “Dia bukan seperti cewek-cewek lain yang sering kamu ajak kencan dan dugem,”
Fatin mendongak ketika Azka berbicara sisi lain Baldi. Sementar Baldi hanya tersenyum kecut.
“Oke, Mas Ustadz... aku nggak akan ngapa-ngapain pujaan hatimu, kok. Aku cuma ngajarin dia basket aja. Nggak lebih,”
Azka terperangah, Fatin melongo.
“Aku nggak akan tega hati mengambil milik sahabatku sendiri apalagi bermain-main. Jangan tegang gitu dong, mukanya! Fatin cuma butuh diajarin basket buat ujian,” Baldi bicara sambil menepuk-nepuk bahu Azka. “Sana gih, ngomong sama dia. Jangan dipendem terus nanti muka kamu yang mulus itu jadi jerawatan semua, loh,” goda Baldi.
Fatin masih tak bisa mengerti maksud pembicaraan mereka berdua. Pujaan... hati? Dia? Azka?
Baldi melangkah pergi sambil melempar senyum pada Fatin dan mempersilakan Fatin menghubunginya kalau ingin belajar basket lagi. Kini di lapangan hanya ada Fatin dan Azka berdiri mematung. Aura di lapangan basket seketika langsung berubah, dari yang tadinya riang menjadi senyap.
“Aku permisi, Mas,” Akhirnya Fatin berceletuk seraya melangkah pergi.
“Boleh aku antar?” ucapan itu meluncur saja dari mulut Azka. Azka sedikit ragu. Ia tak pernah membonceng cewek dan ia tak ingin terlibat fitnah membonceng cewek bukan mahromnya. Tapi jujur, dengan Fatin ia tak bisa menahan gejolak asmara yang belakang ini menghujamnya.
Azka menaruh hati pada Fatin semenjak Fatin tak sengaja terkunci di kamar mandi, yang menurut kabar beredar adalah kamar mandi angker. Azka lah yang menolongnya tapi ketika pintu terbuka justru pak tukang kebun yang ada di depan Fatin. Di suatu sudut, Azka memperhatikan sosok yang baru saja terkunci di kamar mandi. Sungguh, makhluk Illahi yang sempurna. Cantik bukan main. Azka tak berkedip beberapa detik. Jantungnya bak bedug yang ditabuh mendadak. Ia jatuh cinta. Tapi segera ia memalingkan pandangannya dan menahan agar tak menoleh kedua kalinya karena tatapan kedua kali itu adalah tatapan haram.
Azka menyukai Fatin tapi tak mungkin ia akan menembak Fatin untuk menjadi kekasihnya layaknya yang dilakukan teman-teman cowoknya ketika naksir cewek. Mustahil, reputasinya yang juga menjabat ketua ekstrakurikuler Sie Kerohanian Islam sangat menentang pacaran. Ia pun ingat pesan ustadz dan orangtuanya untuk tidak pacaran.
Fatin menolak halus.
“Aku menyukaimu, Tin,” Azka memberanikan diri mengutarakan perasaannya.
Langkah Fatin terhenti.
“Aku nggak akan mengajakmu pacaran dan nggak berharap kamu menyukaiku, cukup kamu tahu. Kamu tahu kan, dalam Islam dilarang pacaran? Aku mencoba memegang teguh itu. Tapi Islam tidak melarang kita jatuh cinta dan aku sudah menyampaikan perasaanku. Aku harap kamu mengerti,”
Fatin berbalik. “Aku mengerti. Tika temanku, adik teman sekelas Mas Azka tadi di kelas cerita bahwa Mas sudah sering memperhatikanku. Tika bilang kemungkinan Mas menaruh hati padaku tapi yang aku nggak bisa paham kenapa tatapan Mas ke aku begitu? Maksudku aku nggak nyaman ditatap seperti orang yang punya salah padahal aku juga nggak tahu salahku ke Mas itu apa. Kalau urusan tadi pagi aku nabrak Mas, ya itu salahku tapi aku nggak bisa melihat tatapan seperti itu. Kata Tika itu memang bawaan mata Mas tapi menurutku enggak, tapi aku juga nggak tahu maksud tatapan itu,” Fatin mencerocos mengungkapkan batinnya setelah mengingat-ingat kejadian tadi pagi dan di kelas bersama Tika.
Azka menelan ludah. Fatin bisa menangkap sorotan matanya tapi sayang tak bisa mengartikannya.
Cinta, Fatin. Tapi mungkin aku bodoh nggak bisa mengungkapkannya bahkan hanya dengan tatapan mata.
“Aku minta maaf membuatmu bingung bahkan ketakutan. Kamu mau maafin aku?”
“Tentu,” jawab Fatin tersenyum singkat.
Azka tersenyum pada Fatin lalu melempar pandangannya ke arah lain, Fatin pun tertunduk. Mereka berusaha menjaga pandangan.
Ah, Fatin Ghassani, cantik nan menarik. Ya, itulah arti namamu. Nyaris aku nggak bisa menahan benteng imanku.
-end-



thanks to editor: Altami Nurmila ^^






[1] Organisasi Siswa Intra Sekolah
[2] Masa Orientasi Siswa

New World, New Experiences, New Life, New on Me



Assalamualaikum Wr wb ^^
Oke, kali ini saya memosting kisah nyata, ya, bukan fiksi seperti tulisan sebelumnya :)
Ini pengalaman pribadi yang bener-bener fresh from the oven dan sedang dalam berlangsung.
Apa itu?
Ya, new world.
Maret 2013 lalu saya baru wisuda (bisa cek postingan saya sebelumnya), alhamdulillah. Seneng menyandang gelar Sarjana Psikologi. Tapi eh tapi setelah lulus ternyata saya nggak ada “harga”nya. Why? I feel so useless.
Ternyata IPK bagus nggak menjamin siap terjun ke masyarakat setelah lulus kuliah. Bahkan nggak menjamin ilmu yang ada di otak awet. Untuk saya, ilmu selama 4,5 tahun nimba ilmu di psikologi, ilmu itu menguap dan musnah diterpa hembusan sang bayu. -_-
Pas sekolah nggak pernah ikut organisasi dan kepanitiaan, kuliah juga pasif. Toh ikut kegiatan dan organisasi pasti setengah hati. Walhasil nggak ada ketrampilan yang saya punya. Serius! Dan you know what? Saya kelimpungan. (Makanya pesen aja nih buat yang masih sekolah dan kuliah, berorganisasilah! Cari pengalaman yang membuka banyak koneksi pertemanan dan menambah ketrampilan. Amat sangat berguna, deh. Jangan nyesel kayak saya -_-)
For your info, saya pengen kerja di kantoran setelah lulus kuliah walaupun saya ambil fokus psikologi klinis (yang terkadang identik dengan rumah sakit dan biro konsultasi psikologi. Yang lulusan psikologi pasti ngeh, deh ini. Soalnya kalo kerja kantoran biasanya fokus peminatannya psikologi industri dan organisasi. Tapi aslinya sih, kalo masih S1 bisa masuk ke mana aja kok asal kualifikasinya psikologi dan umumnya MAMPU MENGOPERASIKAN ALAT TES, PAHAM UNDANG-UNDANG TENAGA KERJA terpenuhi. Tapi emang iya, kalau dari fokus peminatan lain seperti psikologi klinis, psikologi pendidikan-perkembangan atau psikologi sosial, musti belajar dua kali. Kalo yang ambil psikologi industri-organisasi sudah pasti dikit-dikit ngeh). Nah, balik deh, ya.
Saya pengen kerja di kantoran di bagian Human Resources (HR) soalnya cita-cita jadi wanita karir tapi sejauh ini lamaran kerjaan by email banyak yang belum (masih berharap) ngasih feedback. Dan kalopun ada yang manggil untuk tes-wawancara pernah ditolak lalu ada juga yang saya tolak gara-gara nggak sreg. Kalo diinget-inget saya udah ada 3 kali nolak rejeki. Pertama tawaran kerja dari bu dosen penguji ujian skripsi. Kerjanya di biro konsultan psikologi. Saya nggak suka bagian HR yang rekrutmen, nggak punya pengalaman itu dan pasti grogi deh (nah, ini kebodohan fatal saya selama ini. Usia nyaris seperempat abad tapi masih takut show up di depan orang *tampar muka*). Kedua, tawaran dari perusahaan konsultan. Mirip sama bu dosen tadi. Itu perusahaannya yang ngundang buat wawancara, saya tolak. Why? Saya nggak mau kerja di konsultan dan itu bagian rekrutmen. No! Ketiga, emm... tunggu... inget-inget lagi... wah, kayaknya yang ketiga ini juga perusahaan konsultan tersohor di Surabaya dan Jakarta yang pernah menolak saya, tapi kali ini departemen berbeda. Ogah! Kerjanya kayak romusha. Pas ada proyek besar seminggu 7 hari kerja, oh no! Dan karena perusahaan konsultan besar jadinya ya banyak perusahaan yang ditangani dan akhirnya proyek besar juga banyak dong. Dan pernah bantuin temen yang kerja di sana buat skoring, wow! Relasi antarpegawai tegang, nggak cozzy, huufffttt...ngapain hidup kerja cari duit so stress tiap hari. Saya cari kerja yang hubungan dengan rekan baik, santai. Ya, emang saya bukan karakter orang seperti yang mereka mau makanya dulu saya ditolak dan ketika ada lowongan, saya lepas aja.
Setelah menolak rejeki itu, saya ngerasa nyesel juga sih. Takut nantinya nggak dapet-dapet. Maret sampai Agustus pertengahan kemarin saya jadi pengangguran, deh. Memalukan. IPK bagus tapi masih nganggur. Duh! Muka terasa ditampar keras-keras. Belum lagi saya itu kayaknya males-malesan deh, nggak aktif cari info dan susah move on tapi maunya di hati itu pengen jadi orang besar. Saya tahu jadi orang besar butuh susah payah dulu, no pain no gain tapi aduh... otak saya dudul banget.
Berbagai nasehat saya dapet. Ambil kerja adanya dulu aja, nanti merangkak naik. Bener sih, tapi saya juga nggak mau terkesan dungu asal kerja. Masa S1 jadi pembantu? Ya, apa ya... itu bisa jadi tapi setidaknya ilmu kita, ijazah kita bisa diaplikasikan pada tempatnya walau mungkin tak sewarna dan tak sebentuk aslinya. Maksudnya, misal S1 psikologi bolehlah merambah bidang kerja lain seperti broadcasting. Jangan jadi pembantu rumah tangga alias PRT. Rugi bayar kuliah mahal-mahal, merantau... kita cari pemantasan diri sebagaimana mestinya. Ya bukannya materialistis tapi ya realistis dan rasional.
Saya sempet ngrasa desperate padahal baru beberapa bulan. Tapi beberapa bulan bagi saya itu sungguh menyiksa. Saya harus kerja segera biar nggak jadi perawan lapuk nyusahin orangtua yang ubannya sudah mencolok di seluruh kepala, wajah keriput, kulit kusut, lelah. Dan kedua adik saya yang masih jauh masa depannya. Setidaknya, saya bisa cari duit sendiri. Saya ini anak pertama, harusnya sadar tanggungjawab. Tapi saya terlalu bodoh untuk menyadari. Saya berdiam di zona aman dan nyaman versi saya.
Finally, ketika saya terus berdoa penuh harap tapi juga penuh melakukan dosa yang ada aja tiap hari karena rasa sebal dan kesal terhadap keadaan, ternyata Allah SWT masih bermurah hati. Saya minta pekerjaan yang saya ikhlas mengerjakan, barokah untuk saya dan keluarga dan untuk bisa membayar pinjaman ke rekan dekat. Itu fokus saya kerja, sih.
Ternyata... datanglah jawaban Sang Illahi lewat seorang teman melalui teman satunya lagi.
Info saya dapat dari teman bernama Ara. Menawarkan jadi shadow teacher di sebuah sekolah swasta di Surabaya Timur. Saya ngeh whats a shadow teacher, guru untuk Anak Berkebutuhan Khusus  (ABK). Tapi job desc.nya saya belum ngeh secara detil.
Ara ngasih tahu bahwa nantinya saya akan menggantikan teman kuliah saya bernama Iga untuk jadi shadow teacher karena Iga mau lanjut S2 ke Jogja.
Merasa Allah ngejawab doa saya, so I said yess. Saya terima dengan cepat. Saya bersyukur banget walau informasi gaji yang saya dapet nggak sama dengan UMR Surabaya tapi ya lumayanlah untuk guru pendamping. Lagi pula lumayan buat uang jajan saya sendiri dan bisa nyicil pinjaman ke teman dekat. Hehehe. Terus tambah pengalaman juga karena selain guru itu nyaris amat bersentuhan dengan bidang psikologi pendidikan-perkembangan, anak yang saya dampingi itu objek psikologi klinis banget. Nah... maunya melenceng dari psikologi klinis, taunya balik kucing ke sana juga. Hehehe.
Singkat cerita, new experiences dimulai.
Berdasar informasi dari Iga, anak ini (sebut aja NN) dulunya pas balita terkena kejang sampai ngaruh ke otaknya. And then it’s give an influence untuk perkembangan kognitifnya, motoriknya juga. Sampai sekarang usia 9 tahun, NN can’t read, can’t calculate, have a problem with toilet training, can’t spelling. I’m shocked! Tapi saya nggak bisa mundur. Iga nggak mungkin cari pengganti lain.
Semua yang dialami Iga yang perlu saya tahu tentang NN sudah Iga sampaikan. I think I’m okey tapi setelah sehari, dua hari, tiga hari... oh no... pengalaman langsung emang lebih super ketimbang teori ba bi bu mulut belaka.
NN ngompol sebelum berenang. Saya emang salah, kecolongan. Udah diingetin kalau sebelum renang emang nggak pakai popok, so I must bring him to toilet sejam sekali. Well...
Next. NN poop. Ouuhhh.. saya emang nggak pertama kali membasuh anal anak kecil ya, sebelumnya udah sering praktek sama keponakan tapi kali ini saya harus ekstra sabar. NN memang masih pakai popok dan ketika poop kita harus buangin popoknya tapi kita latih dia mandiri untuk membersihkan tubuhnya sendiri.
Oke, masalah belajar di kelas. NN musti difokusin mengerjakan tugas dari guru. Saya harus ekstra sabar bikin fokus matanya ke arah kertas kerjanya. Belum lagi saya harus “melindungi”nya dari gangguan jahil teman-temannya yang usil dan ketika NN berhasil diusili biasanya dia mewek. Saya harus membesarkan hatinya untuk berani dan nggak mewek.
Masalah interaksi sosialnya. Dia bagus, mau main sama teman lain tapi ya dia rentan jadi bahan cemooh dan main fisik teman-temannya yang emang trouble maker. Korban bullying istilahnya. Kasihan tapi gimana lagi, itulah tujuan kenapa ABK sekolah di sekolah inklusi berbaur dengan teman “normal” lainnya. Biar ABK struggle ke depannya. ^^9. Kalo pas istirahat saya biarin dia main sendiri, itu juga dilakukan Iga.
Yah... itu beberapa pengalaman yang bikin nafas kembang kempis, ngatur channel kesabaran. Tapi ya jujur sih, saya emang nggak bisa marah sama anak orang. Mereka terlalu lucu dan mereka cuma anak-anak yang sudah wajar nakal. Bukan nakal sih, ya memang perkembangan mereka seperti itu, lincah, ceria, banyak eksplor, khas tahap anak-anak. It’s normal. Dulu saya pasti begitu. Dan mungkin saja orang dewasa di sekitar saya kala itu juga pernah ngerasa gregetan sama saya. Sama aja.
Walau shocked sama NN, fakta lain tentang kehidupan yang lain juga nggak bisa diabaikan gitu aja.
New life.
Saya ngajar di sekolah swasta Islam milik organisasi masyarakat tersohor dan besar bernama Muhammadiyah. Sementara saya, didikte orang tua, I’m Nahdlatul Ulama (NU) yang nota bene “saingan”nya Muhammadiyah.
Saya pribadi nggak ambil pusing. Toh pusaran keyakinan kita sama, Allah SWT, Rasul juga sama Muhammad SAW. Saya nggak mau ambil pusing karena akan lebih pusing mikirinnya karena di Indonesia ada sekitar 70-an aliran Islam. Apa aja... aduh, bisa dilihat beritanya pas menjelang mulai dan usai bulan Ramadhan. Ketahuan deh, siapa mulai puasa duluan dan sholat Id duluan atau sebaliknya. Tapi itu juga beberapa aja.
Oke. Saya nggak mempermasalahkan Muhammadiyahnya. Yang saya “permasalahkan” adalah bahwa kerjaan saya sekarang ini adalah upaya Allah menjebloskan saya ke lingkungan yang islami yang selama ini saya nggak pedulikan. Jujur, saya memang berjilbab tapi hati nggak. Makanya ketahuan kan, cara berjilbab saya belum totalitas.
Allah “menampar” saya untuk lebih melek agama karena Allah denger saya punya doa saya mau jadi hamba yang kaffah islamnya, mau punya suami yang sholeh menuntun ke surga terdekat sisi Allah, mau membahagiakan orangtua dunia-akhirat karena selama ini sudah kebanyakan dosa melawan orangtua dan kebaikan hamba yang mukmin lah ya.
Di sekolah dasar swasta inilah saya lihat gimana pendidikan agama patuh diterapkan ke anak-anak plus tenaga pendidiknya. Contoh kecil soal kaos kaki. Kaos kaki itu nggak cuma fungsi untuk melindungi kaki tapi juga penutup aurat untuk cewek. Terus soal minum. Kalo ada murid ketahuan minum sambil berdiri, itu pelanggaran! Medis dan agama islam pun ngajarin minum duduk. Secara medis minum dengan duduk akan mencegah air bablas gitu aja di ginjal sehingga mengurangi resiko sakit ginjal (googling sendiri ya prosesnya gimana tapi emang gitu adanya) dan Rasulullah Muhammad menekankan kita minum duduk. Lalu soal pengucapan salam tiap ketemu guru dan doa di setiap kegiatan misal makan, belajar, masuk kamar mandi, begitulah.
Selain itu ada soal tata krama. Sudah disinggung sedikit ya, pengucapan salam itu tata krama. Selain itu penerapan kata maaf ketika berbuat salah, permisi ke guru atau teman, dan terima kasih. Di setiap sudut sekolah ini, bisa kita dengar. Buktikan :)
Ya, pendidikan emang harus begitu. Bukan saja mengutamakan kognitif tapi juga aspek emosinya, karakternya, agamanya dan lain-lain. Bisa menciptakan generasi muslim yang cetarrr membahana ke seluruh jagat raya. 
Selain itu, yang pasti Allah membuka mata saya bahwa sebenarnya anak-anak gifted atau orang tahunya ABK aslinya anak-anak istimewa. Buat orang awam, mereka mungkin "berbeda" tapi mereka spesial. Mereka bisa membuat saya sadar bahwa saya harus bisa mensyukuri semua kenikmatan Sang Illahi Rabbi. Panca indra saya lengkap dan sehat, sementara anak-anak itu ada yang butuh alat bantu pendengaran. Saya selalu dapat juara kelas dalam rank 1-10, mereka ada yang calistung (baCa-tuLis-hiTung) belum bisa tapi juga ada yang cerdas dalam ketrampilan olah raga, olah suara, maksudnya bukan cerdas kognitif saja. Saya dulu jadi korban bullying juga sempet, sih pas SD dan saya cuma diem sesekali ngelawan tapi lebih banyak diem dan mendem sebel sih, :p tapi mereka, ada yang bertahan bak benteng yang tak tergoyahkan (who knows juga ya, tapi memang memasukkan ABK ke sekolah inklusi mengasah interaksi sosial mereka dengan anak-anak "normal"). Yah, intinya banyak hal yang "dicolokkan" Allah ke depan mata saya langsung. 
Inilah kehidupan baru saya, pencerahan karena “penjeblosan” yang dilakukan Allah untuk saya. Mungkin ini jawaban pekerjaan yang saya ikhlas menjalani da barokah untuk saya dan keluarga. 
Dan saya berharap bisa melahirkan new on me, saya sebagai pribadi yang baru yang lebih baik, lebih sabar, lebih telaten, lebih bersyukur, lebih optimis soalny malu ya sama anak-anak didik yang lucu-lucu baik mereka yang biasa atau yang luar biasa. Mereka punya masa depan yang masih jauh dan penuh pengharapan cita-cita. Maka saya juga harus punya semangat itu.
Bekerjalah seolah kamu hidup selamanya, beribadahlah seolah kamu mati esok hari.
Saya lupa nih, haditsnya siapa... nanti saya googling ya.
Sekian... semoga share tulisan ini bisa memberikan manfaat buat pembaca.
Saya berbagi pengalaman sebagai anak muda yang mentah baru kemarin sore, yang baru mencecap kehidupan nyata, the trully jungle of live.
Hidup nggak selamanya mudah. Dan saya walau hidup tak pernah kaya raya tapi saya hidup tak pernah kekurangan, selalu saja ada rejeki yang datangnya tak terduga asalnya. Tapi setelah bekerja dengan gaji tak terlalu seperti harapan, sadar juga, cari duit susah. Sehingga saya berpikir bahwa sedemikian susahnya orangtua saya banting tulang, jungkir balik, menjatuhkan harga diri untuk menyambung kehidupan saya dan adik-adik saya, begitu pula orangtua-orangtua lainnya dari macam profesi apapun, pasti mereka bersusah payah.
Bersyukur. Bersyukur. Bersyukur.
Optimis. Optimis. Optimis.
Try. Try. Try.
Pray. Pray. Pray.
Berserahlah secara totalitas, ikhlas.
Allah akan membuka kelancaran rezeki.
Ini yang sedang saya coba terapkan dalam kehidupan saya agar saya benar-benar menjadi new on me.

Bye bye :*