Kamis, 05 September 2013

Cinta Tak Lari Ke Mana



Cinta Tak Lari Ke Mana


Sandra berdiri mematung dengan perasaan getir yang menelusup tepat ke jantung hatinya.
Andra memang bukan apa-apanya, belum dan mau karena “kompetisi” ini belum usai.
Ya, “kompetisi” mendapatkan hati Andra dan berhak bersanding di pelaminan dengan Andra bila saatnya tiba dan bila Andra memang menjatuhkan keputusannya memilih Sandra, bukan wanita-wanita lainnya sebelum masa pemilu daerah berlangsung.
Sandra memang tak yakin benar bisa mendapatkan hati Andra. Tapi sejauh ini dia sudah memberikan usaha terbaiknya untuk bisa memenangkan hati Andra, lelaki 28 tahun nan tampan, ahli waris urutan pertama pengusaha tambang batu bara tersohor di negeri ini, calon wakil wali kota yang pemilihannya akan bergulir setengah tahun lagi. Jika ditelusuri dari bibit, bebet dan bobotnya jelas Andra lelaki tanpa cela.
Tapi malam ini kenyataannya Andra lelaki dengan cela. Sandra sungguh tak mengira Andra ternyata sungguh hina-dina. Tepat di ruang kerjanya di rumah pribadinya, ia bercumbu mesra nun “panas” dengan wanita yang juga ikut dalam “kompetisi” perebutan status nyonya Andra Witjaksono.
Sandra tak hanya merasa getir tapi juga jijik setengah mati.
Sandra merasakan air sudah memenuhi matanya dan panas yang semula berasal dari kedua matanya telah menjalar ke keseluruhan kepalanya.
Demi Tuhan, perjalanannya dalam “kompetisi” ini cukup sampai di sini! Sandra segera melangkah menjauh. Dalam hatinya ada rasa syukur yang terselip.
Untung aku belum sejauh itu. Aku nggak akan pernah melakukan hal hina untuk mendapatkan lelaki.
“Tunggu!” suara seorang lelaki yang tak asing bagi Sandra.
Sandra menghentikan langkahnya dan menoleh segera.
“Jones?” balas Sandra tak menyangka lelaki itu ada di sana. Mereka sudah dua bulan tak berjumpa. Dikiranya Jones tak lagi kembali.
Sandra sangat bersyukur jika faktanya begitu. Karena Jones selalu muncul tanpa diduga seolah meneror dirinya dengan cara menggodanya sejak pertama berjumpa. Sementara Sandra tak suka digoda.
Lelaki yang Sandra sebut Jones tersenyum. “Ya. You looks like see a ghost, Honey!”
Sandra menelan ludah. Lelaki itu masih berani-beraninya memanggilnya “Honey”. Mungkin bagi orang barat itu biasa tapi bagi Sandra, makna “Honey” itu luar biasa, sebutan manis dari orang terkasih. Dan Jones bukan orang terkasih. Begitu percaya dirinya Jones mengucapkan sebutan itu.
“Jangan menggangguku, Jones! Aku malas bertengkar kali ini!” sergah Sandra.
“Ya, ya, ya. Kamu masih tetap judes seperti biasa, Honey. Kenapa, sih? Kenapa kita tak berdamai, ha?” tanya Jones. “Tapi... no! No! No! I miss you so much, Honey. Aku rindu kita bertengkar dan kamu selalu kalah, hahaha...” kelakar Jones.
Sandra tersenyum kecut. “Simpan rayuanmu!”
I’m serious. Aku selalu memikirkanmu selama aku mengurus pekerjaanku di Texas. Dan aku mengirimimu banyak pesan tapi tak pernah sekalipun aku mendapat balasannya,”
Jantung Sandra mendadak berdegup cepat. Ia memang mengabaikan puluhan email Jones. Belum lagi pesan melalui Whatsapp. Hal ini disebabkan Sandra muak dibuatnya. Pesan-pesan itu pesan-pesan menggombal ciptaan Jones. Sandra tak suka diberi rayuan gombal. Konyol!
Sandra juga tak suka dikejar lelaki. Ia sukanya mengejar lelaki. Itulah yang selama ini ia lakukan dan selalu gagal, mungkin termasuk yang baru saja ia alami barusan dengan Andra.
No reason?” Jones memecah keheningan. Sandra menatap Jones sembari menaikkan sebelah alisnya.
“Aku baca emailmu, pesenmu tapi aku nggak sempet bales,”
Jones tak percaya tapi ia tak mau mendebat gadis yang sudah “merenggut” separuh nafasnya.
Gelora asmara memang sudah terpercik di hati Jones saat jumpa kali pertama, kala gadis bernama Sandra itu hadir menjadi salah satu kandidat tiga besar calon istri Andra. Jones mendampingi Andra kala itu. Tapi Jones tak mampu mengelak pesona gadis manis khas Indonesia, seperti mendiang ibunya. Pikir Jones.
Jones tahu Sandra sedang berusaha sekuat tenaga meraih kursi pelaminan dengan sahabatnya sejak kecil, Andra. Tapi perasaan Jones terlalu kuat. Ia pun yakin Andra bukanlah lelaki baik dan tepat untuk Sandra. Sandra terlalu baik untuk lelaki flamboyan seperti Andra meskipun penampilan Andra menunjukkan reputasi tanpa cela. Ia yakin dirinyalah yang justru terlihat flamboyan tapi sebenarnya ia hanya akan memilih satu wanita yang benar-benar menggetarkan hatinya dan menjadikannya nyonya Jones. Dan itu Sandra.
“Akan aku antar kamu pulang,” usul Jones. Sandra menggeleng.
“Perasaanmu sedang kacau karena kejadian di dalam, kan? Aku tak mengizinkanmu pulang sendirian. Terlebih ini sudah malam. Kejahatan mengintai siapapun. Let me, please!”
“Kali ini aku harus nyerah lagi?” sahut Sandra mencoba mengingat sejumlah kekalahan dirinya ketika berdebat atau sekedar bicara biasa dengan Jones sampai detik ini. Jones segera mengangguk.
Jones menggiring Sandra ke dalam mobilnya dan segera melajukannya meninggalkan pelataran rumah Andra.
Di tengah perjalanan Jones justru membelokkan mobilnya di bibir laut di pinggiran Surabaya. Sandra menatapnya bingung. Jones justru menyuruh Sandra mengenakan jaket super tebal, begitu pula dirinya.
“Aku mau cari angin,”
“Ya, di sini memang tempatnya angin super kencang,” ejek Sandra.
“Jaket itu berguna melindungimu dari anginnya, Honey,”
Sandra mengikuti Jones turun dari mobil dan berjalan mendekati bibir laut, duduk di bebatuan pembatas daratan dan lautan.
“Mau ngapain?” tanya Sandra.
Jones menatap Sandra beberapa detik dan tersenyum.
Sandra merasakan jantungnya mau mencelos keluar. Senyuman Jones sungguh manis. Nabi Yusuf kah yang sedang menatapnya? Ah, tapi Nabi Yusuf pasti punya wajah Arab sementara Jones adalah keturunan Amerika-Indonesia. Wajahnya tampan orisinal tak ada yang menyamai. Mata coklat walau tersamarkan cahaya lampu yang merancukan sebuah warna, hidung mancung, garis wajah kuat, jambang sebagai tanda kemaskulinannya, rambut lurus coklat gelap yang sesekali terjurai menutupi dahinya. Sungguh, Sandra terpesona.
“Menangislah,” suara Jones membuyarkan kekaguman Sandra.
Sandra mengernyit, tak mengerti.
“Kamu patah hati karena Andra, kan? Menangislah! Di sini tak akan ada yang mendengar kamu menangis meraung-raung bahkan,”
Sandra menimpuk lengan Jones kemudian menggeleng kuat. “Aku nggak bisa nangis di depan orang,”
“Kenapa?”
“Nggak tahu. Dari dulu ketika mengalami peristiwa sedih, aku nggak  bisa nangis saat itu juga tapi pas sudah sendiri di kamar, semuanya bisa lepas. Nangis di kamar sendirian,”
“Kamu malu aku melihatmu menangis?”
“Enggak tapi emang nggak bisa nangis di depan orang lain bahkan di depan orangtuaku juga nggak bisa,”
“Aneh,”
“Justru kamu yang aneh. Nyuruh orang nangis,”
“Aku lebih baik melihatmu menangis di depanku dan aku bisa melapangkan dadaku untukmu bersandar,” Jones mulai menggoda lagi.
Sandra memberikan lirikan tajamnya.
Slow down, Honey... aku tak bermaksud kurang ajar tapi I’m swear, if you feel sad come to me. Aku akan menghiburmu, membuatmu tersenyum,”
Sandra mengubah posisi duduknya menghadap Jones.
“Bisa nggak sekali saja kamu nggak ngegombal? Maksudku merayuku. Aku nggak biasa dirayu,”
“Justru itu. Aku akan membuatmu menjadi biasa,”
“Aku muak dengan lelaki tukang gombal!”
“Oh, ya? Lalu kamu lebih suka lelaki yang suka mengambil keuntungan dari wanita? Lelaki yang baik di luarnya tapi penuh trik untuk mencapai semua kemauannya? Lelaki yang mencoba meraih perhatianmu dengan pesona cukup dinginnya lalu membuangmu setelah kamu ada di tangannya?” Jones menyeloroh dengan nada suara meninggi. “Wake up, Sandra! Dunia ini bukan dongeng romantis seperti novel-novel koleksimu itu, maaf, aku tahu ketika aku ada di rumahmu bersama Andra. Aku masuk ke ruang bacamu. Kamu mengoleksi banyak novel romantis dan semua itu fiktif, Honey! Maksudku, kamu hidup di dunia nyata. Lelaki angkuh tetapi baik dan jatuh cinta padamu itu tak pernah terjadi padamu. Andra bukan lelaki seperti itu. Dia menjalankan peran sesungguhnya di dunia nyata ini. Aku tak bermaksud menjelek-jelekkannya tapi sungguh Sandra, akulah lelaki yang tepat untukmu. I’m crazy on you!” tegas Jones.
Sandra membelalak, tenggorokannya tercekat.
“A-aku kira kamu cuma main-main, Jones,”
Jones mendekati Sandra. Tangannya menangkup wajah Sandra.
“Aku tak main-main, Honey. I call you Honey because I love you,” ucap Jones menatap mata Sandra lekat-lekat.
Sandra terpaku pada tatapan Jones. Ia tak menyangka Jones benar-benar mencintainya.
Sandra kalut. Ia baru saja sakit hati karena Andra dan sekarang Jones yang terlihat mempermainkannya dengan gaya flamboyannya menyatakan kesungguhan hati mencintainya. Haruskah Sandra mensyukuri semuanya? Haruskah ia menerima cinta Jones?
Sandra angkat suara.
“Aku... aku...” tampaknya Sandra masih tak tahu hendak berkata apa.
Jones masih menatapnya lembut dan penuh harapan atas jawaban Sandra.
Sandra menampik tangan Jones lembut.
“Jangan main-main. Jangan memancing pertengkaran lagi,”
“Aku serius,” sahut Jones. “Tinggalkan Andra, hiduplah bersamaku!” pinta Jones. Kini giliran Sandra yang menatap kuat Jones.
Suasana hening. Lalu terdengar suara Sandra mendesah.
“Tanpa kamu suruh, aku berhenti mengejar status menjadi nyonya Andra. Kamu pikir aku sehina itu mengemis cinta lelaki seperti dia,” sahut Sandra mencoba melumerkan suasana yang hening bin kikuk rasanya.  “Dan kamu, berusahalah lebih keras lagi membuatku jatuh cinta. Usahamu selama ini nggak ada apa-apanya. Jangan kira aku akan terima cinta kamu seketika setelah aku patah hati. No! Butuh waktu,” lanjut Sandra.
Keduanya terdiam.
Well, salah satu usahamu dimulai dari sekarang! Aku kedinginan sekarang. Apa kamu mau aku mati kedinginan di sini? Kamu memang sukanya makan angin, aku enggak. Ayo pulang!” cerocos Sandra sambil mengambil langkah terlebih dulu dari Jones.
Senyum Jones merekah, suasana mencair. Ia memang belum puas dengan jawaban Sandra. Tapi Sandra sudah menunjukkan penerimaan kehadiran dirinya mulai detik ini.
Jones mencoba meyakini, jika Sandra memang jodohnya, cinta tak akan lari ke mana. Tapi yakin tak hanya yakin, harus ada pembuktian. Artinya, ia harus mengubah strategi mendapatkan cinta Sandra, agar tak lari ke mana-mana.
Sandra membalikkan badan sesampainya di dekat pintu mobil. Ia memonyongkan bibirnya, tanda kesal karena Jones tak segera menghampirinya. Justru berjalan santai sambil tersenyum padanya.
“Ayo! Kenapa jalanmu kayak bekicot, sih??!! Tahu bekicot nggak?? Dasar!” omel Sandra.
Jones segera mengambil langkah lebih cepat.

-end-



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ditunggu kritik dan saran membangun yah :)