Fatin gembira memasuki pintu gerbang sekolah. Pasalnya nanti sepulang
sekolah, ia akan bertemu Baldi, kakak kelasnya yang populer, tampan, kaya,
kapten basket, baik hati dan murah senyum.
Well, Fatin memang terbius oleh semua
yang melekat pada diri Baldi. Dan betapa beruntungnya Fatin kali ini! Bermula
dari ketidaksengajaan Baldi kemarin mendapati Fatin tengah bersusah payah
berlatih basket usai bubaran sekolah di lapangan.
Siang itu Fatin putus asa, permainan bola basketnya sangat
parah padahal ujian olahraga dua minggu lagi. Tiba-tiba saja Baldi yang sudah
sejak tadi memperhatikan permainan payah Fatin muncul dan menawarkan diri untuk
membantu latihan basket besoknya sepulang sekolah. Hari ini.
Fatin menyambut riang tawaran itu. Ketika memikirkan latihan
nanti, senyum Fatin merekah tanpa ia sadari. Baginya, sepanas apapun lapangan nanti
kalau bersama idola sekolah, tak akan berasa lagi di padang Arafah. Saking
senangnya, Fatin tak menyadari di depannya berdiri cowok yang sedang mengobrol
dengan temannya. BRUUKK!! Fatin menubruk cowok itu dari belakang.
“Aduuh!” Fatin terpental tapi untung ia tak hilang keseimbangan.
Tapi hidungnya betulan sakit.
Kemudian cowok itu menoleh dan terdiam memandangi Fatin
dengan sorotan tajamnya. Hanya menatap tanpa bereaksi.
“Eh, Ka, jangan dipelototin aja. Bantuin, dong!” salah
seorang teman cowok yang tadi ditabrak Fatin menatap Fatin dengan geli. “Jangan
ngelamun kalau jalan, dek.”
“I... iya, Mas. Maaf!” Fatin meminta maaf lalu pamit pergi. Cowok
yang ditabraknya masih memandanginya dengan sorot dingin. Cukup menakutkan.
Mending disemprot daripada cuma dipelototin.
Lalu Tika muncul dari belakangnya, merepet ke arahnya.
“Eh, mas Azka merhatiin kamu terus, tuh! Ih, senengnya
dilirik ketua OSIS, duileehhh!”.
Fatin mengernyitkan dahi, tanda tak mengerti. “Azka?”
“Yang tadi kamu tabrak, aku tahu dari jauh,”
“Itu ketua OSIS kita? Adeeeuh, dia mah bukan merhatiin tapi
melototin aku! Tadi aku nggak sengaja nabrak dia dari belakang karena aku
bengong. Aku minta maaf eh, dia malah melototin aku. Nakutin!”
“Hahaha,” tawa Tika pecah. “Fatin, Fatin... salah kamu juga
sih, jalan meleng aja. Eh, emang matanya mas Azka itu mata elang, tajem. Tapi
dia baik kali. Terus masa kamu nggak tahu dia ketua OSIS[1]? Kita di sini sudah dua
bulan dan bukannya pas MOS[2] dia udah dikenalin sebagai
ketua OSIS?”
“Sori, pas MOS aku pernah nggak masuk atau kalau enggak, aku
pas masuk tapi nggak fokus. Lagian ngapain fokus sama orang menakutkan begitu?”
“Hati-hati kalo ngomong... nanti suka loh, hahaha.”
Fatin mendesah. “Mending Baldi kemana-mana.”
“Ah, mas Baldi memang cakep tapi soal karakter, aku jamin mas
Azka meroket jauh ke angkasa. Kalau nggak, mana mungkin dia jadi ketua OSIS?”
“Baldi kapten basket.”
“Kapten basket cuma ngatur hal-hal berbau basket, sementara
ketua OSIS? Tanggung jawabnya besar dan banyak, Tin.”
“Kayaknya yang punya benih cinta kamu deh, Tik, bukan aku.”
ledek Fatin tersenyum nakal pada Tika. Tika mesem.
***
Fatin dan Baldi saling menepati janji untuk berlatih basket
bersama. Baldi dengan suka hati membantu Fatin untuk bisa mempraktekkan
beberapa teknik permainan bola basket demi bisa mengatasi ujian yang diberikan
bu Dina, guru olahraga kelas sepuluh.
“Dribble-nya jangan
kaku! Ayo jangan kebelibet tangan sama kakinya! Nah, gitu bener Fatin. Ati-ati
aja nanti malah jatoh!”
Baldi mengajari Fatin dengan sabar dan ramah. Fatin merasa bahagiaaaaa
tak terperi! Ia punya kesempatan emas belajar privat dengan Baldi plus
keramahan yang diberikan Baldi. Kurang apa coba? Kurang jadiannya aja kali. Itu
pun kalau Baldi menaruh hati juga padanya. Tapi tak mungkin secepat itu. Fatin
juga tak tahu apakah Baldi sedang menyukai orang lain atau tidak, yang pasti
dia belum punya pacar lagi setelah tiga bulan lalu putus dengan cewek sekolah
tetangga.
Kini waktunya Fatin mempraktekkan salah satu teknik basket.
Fatin harus belajar melakukan lay up.
Satu kali. Dua kali. Tiga kali. Gagal total. Selanjutnya berkali-kali sampai,
dia salah mengambil langkah karena bingung mengayunkan kakinya. Akibatnya ia terjatuh,
nyaris menyentuh lantai semen lapangan basket. Untung Baldi segera menangkap tubuh
Fatin. Mereka jatuh bersamaan, tubuh mereka berdekatan, mereka saling menatap
dan terdiam.
“Di sini bukan tempat mesum, ya,” seloroh seorang cowok
tiba-tiba.
Baldi dan Fatin menoleh segera dan mereka saling menjauh lalu
berdiri sendiri-sendiri.
“Kamu, Ka,” ujar Baldi. “Kita nggak ngapa-ngapain, kok.”
Fatin tertunduk sekaligus kaget. Dia barusan dibilang lagi
mesum! Malu-maluin aja!
“Bisa jadi apa-apa kalau nggak ada yang mergokin. Dia masih
polos, Di,” Azka melempar tatapan pada Fatin. “Dia bukan seperti cewek-cewek
lain yang sering kamu ajak kencan dan dugem,”
Fatin mendongak ketika Azka berbicara sisi lain Baldi. Sementar
Baldi hanya tersenyum kecut.
“Oke, Mas Ustadz... aku nggak akan ngapa-ngapain pujaan
hatimu, kok. Aku cuma ngajarin dia basket aja. Nggak lebih,”
Azka terperangah, Fatin melongo.
“Aku nggak akan tega hati mengambil milik sahabatku sendiri
apalagi bermain-main. Jangan tegang gitu dong, mukanya! Fatin cuma butuh diajarin
basket buat ujian,” Baldi bicara sambil menepuk-nepuk bahu Azka. “Sana gih,
ngomong sama dia. Jangan dipendem terus nanti muka kamu yang mulus itu jadi
jerawatan semua, loh,” goda Baldi.
Fatin masih tak bisa mengerti maksud pembicaraan mereka berdua.
Pujaan... hati? Dia? Azka?
Baldi melangkah pergi sambil melempar senyum pada Fatin dan
mempersilakan Fatin menghubunginya kalau ingin belajar basket lagi. Kini di
lapangan hanya ada Fatin dan Azka berdiri mematung. Aura di lapangan basket
seketika langsung berubah, dari yang tadinya riang menjadi senyap.
“Aku permisi, Mas,” Akhirnya Fatin berceletuk seraya
melangkah pergi.
“Boleh aku antar?” ucapan itu meluncur saja dari mulut Azka.
Azka sedikit ragu. Ia tak pernah membonceng cewek dan ia tak ingin terlibat
fitnah membonceng cewek bukan mahromnya. Tapi jujur, dengan Fatin ia tak bisa
menahan gejolak asmara yang belakang ini menghujamnya.
Azka menaruh hati pada Fatin semenjak Fatin tak sengaja
terkunci di kamar mandi, yang menurut kabar beredar adalah kamar mandi angker.
Azka lah yang menolongnya tapi ketika pintu terbuka justru pak tukang kebun
yang ada di depan Fatin. Di suatu sudut, Azka memperhatikan sosok yang baru
saja terkunci di kamar mandi. Sungguh, makhluk Illahi yang sempurna. Cantik bukan
main. Azka tak berkedip beberapa detik. Jantungnya bak bedug yang ditabuh
mendadak. Ia jatuh cinta. Tapi segera ia memalingkan pandangannya dan menahan
agar tak menoleh kedua kalinya karena tatapan kedua kali itu adalah tatapan
haram.
Azka menyukai Fatin tapi tak mungkin ia akan menembak Fatin
untuk menjadi kekasihnya layaknya yang dilakukan teman-teman cowoknya ketika
naksir cewek. Mustahil, reputasinya yang juga menjabat ketua ekstrakurikuler
Sie Kerohanian Islam sangat menentang pacaran. Ia pun ingat pesan ustadz dan
orangtuanya untuk tidak pacaran.
Fatin menolak halus.
“Aku menyukaimu, Tin,” Azka memberanikan diri mengutarakan
perasaannya.
Langkah Fatin terhenti.
“Aku nggak akan mengajakmu pacaran dan nggak berharap kamu
menyukaiku, cukup kamu tahu. Kamu tahu kan, dalam Islam dilarang pacaran? Aku
mencoba memegang teguh itu. Tapi Islam tidak melarang kita jatuh cinta dan aku
sudah menyampaikan perasaanku. Aku harap kamu mengerti,”
Fatin berbalik. “Aku mengerti. Tika temanku, adik teman
sekelas Mas Azka tadi di kelas cerita bahwa Mas sudah sering memperhatikanku.
Tika bilang kemungkinan Mas menaruh hati padaku tapi yang aku nggak bisa paham
kenapa tatapan Mas ke aku begitu? Maksudku aku nggak nyaman ditatap seperti
orang yang punya salah padahal aku juga nggak tahu salahku ke Mas itu apa. Kalau
urusan tadi pagi aku nabrak Mas, ya itu salahku tapi aku nggak bisa melihat
tatapan seperti itu. Kata Tika itu memang bawaan mata Mas tapi menurutku
enggak, tapi aku juga nggak tahu maksud tatapan itu,” Fatin mencerocos
mengungkapkan batinnya setelah mengingat-ingat kejadian tadi pagi dan di kelas
bersama Tika.
Azka menelan ludah. Fatin bisa menangkap sorotan matanya tapi
sayang tak bisa mengartikannya.
Cinta, Fatin. Tapi
mungkin aku bodoh nggak bisa mengungkapkannya bahkan hanya dengan tatapan mata.
“Aku minta maaf membuatmu bingung bahkan ketakutan. Kamu mau
maafin aku?”
“Tentu,” jawab Fatin tersenyum singkat.
Azka tersenyum pada Fatin lalu melempar pandangannya ke arah
lain, Fatin pun tertunduk. Mereka berusaha menjaga pandangan.
Ah, Fatin Ghassani, cantik nan
menarik. Ya, itulah arti namamu. Nyaris aku nggak bisa menahan benteng imanku.
-end-
thanks to editor: Altami Nurmila ^^
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Ditunggu kritik dan saran membangun yah :)