Minggu, 01 September 2013

Yang Cantik Yang Menarik

Fatin gembira memasuki pintu gerbang sekolah. Pasalnya nanti sepulang sekolah, ia akan bertemu Baldi, kakak kelasnya yang populer, tampan, kaya, kapten basket, baik hati dan murah senyum.
Well, Fatin memang terbius oleh semua yang melekat pada diri Baldi. Dan betapa beruntungnya Fatin kali ini! Bermula dari ketidaksengajaan Baldi kemarin mendapati Fatin tengah bersusah payah berlatih basket usai bubaran sekolah di lapangan.
Siang itu Fatin putus asa, permainan bola basketnya sangat parah padahal ujian olahraga dua minggu lagi. Tiba-tiba saja Baldi yang sudah sejak tadi memperhatikan permainan payah Fatin muncul dan menawarkan diri untuk membantu latihan basket besoknya sepulang sekolah. Hari ini.
Fatin menyambut riang tawaran itu. Ketika memikirkan latihan nanti, senyum Fatin merekah tanpa ia sadari. Baginya, sepanas apapun lapangan nanti kalau bersama idola sekolah, tak akan berasa lagi di padang Arafah. Saking senangnya, Fatin tak menyadari di depannya berdiri cowok yang sedang mengobrol dengan temannya. BRUUKK!! Fatin menubruk cowok itu dari belakang.
“Aduuh!” Fatin terpental tapi untung ia tak hilang keseimbangan. Tapi hidungnya betulan sakit.
Kemudian cowok itu menoleh dan terdiam memandangi Fatin dengan sorotan tajamnya. Hanya menatap tanpa bereaksi.
“Eh, Ka, jangan dipelototin aja. Bantuin, dong!” salah seorang teman cowok yang tadi ditabrak Fatin menatap Fatin dengan geli. “Jangan ngelamun kalau jalan, dek.”
“I... iya, Mas. Maaf!” Fatin meminta maaf lalu pamit pergi. Cowok yang ditabraknya masih memandanginya dengan sorot dingin. Cukup menakutkan. Mending disemprot daripada cuma dipelototin.
Lalu Tika muncul dari belakangnya, merepet ke arahnya.
“Eh, mas Azka merhatiin kamu terus, tuh! Ih, senengnya dilirik ketua OSIS, duileehhh!”.
Fatin mengernyitkan dahi, tanda tak mengerti. “Azka?”
“Yang tadi kamu tabrak, aku tahu dari jauh,”
“Itu ketua OSIS kita? Adeeeuh, dia mah bukan merhatiin tapi melototin aku! Tadi aku nggak sengaja nabrak dia dari belakang karena aku bengong. Aku minta maaf eh, dia malah melototin aku. Nakutin!”
“Hahaha,” tawa Tika pecah. “Fatin, Fatin... salah kamu juga sih, jalan meleng aja. Eh, emang matanya mas Azka itu mata elang, tajem. Tapi dia baik kali. Terus masa kamu nggak tahu dia ketua OSIS[1]? Kita di sini sudah dua bulan dan bukannya pas MOS[2] dia udah dikenalin sebagai ketua OSIS?”
“Sori, pas MOS aku pernah nggak masuk atau kalau enggak, aku pas masuk tapi nggak fokus. Lagian ngapain fokus sama orang menakutkan begitu?”
“Hati-hati kalo ngomong... nanti suka loh, hahaha.”
Fatin mendesah. “Mending Baldi kemana-mana.”
“Ah, mas Baldi memang cakep tapi soal karakter, aku jamin mas Azka meroket jauh ke angkasa. Kalau nggak, mana mungkin dia jadi ketua OSIS?”
“Baldi kapten basket.”
“Kapten basket cuma ngatur hal-hal berbau basket, sementara ketua OSIS? Tanggung jawabnya besar dan banyak, Tin.”
“Kayaknya yang punya benih cinta kamu deh, Tik, bukan aku.” ledek Fatin tersenyum nakal pada Tika. Tika mesem.
***
Fatin dan Baldi saling menepati janji untuk berlatih basket bersama. Baldi dengan suka hati membantu Fatin untuk bisa mempraktekkan beberapa teknik permainan bola basket demi bisa mengatasi ujian yang diberikan bu Dina, guru olahraga kelas sepuluh.  
Dribble-nya jangan kaku! Ayo jangan kebelibet tangan sama kakinya! Nah, gitu bener Fatin. Ati-ati aja nanti malah jatoh!”
Baldi mengajari Fatin dengan sabar dan ramah. Fatin merasa bahagiaaaaa tak terperi! Ia punya kesempatan emas belajar privat dengan Baldi plus keramahan yang diberikan Baldi. Kurang apa coba? Kurang jadiannya aja kali. Itu pun kalau Baldi menaruh hati juga padanya. Tapi tak mungkin secepat itu. Fatin juga tak tahu apakah Baldi sedang menyukai orang lain atau tidak, yang pasti dia belum punya pacar lagi setelah tiga bulan lalu putus dengan cewek sekolah tetangga.
Kini waktunya Fatin mempraktekkan salah satu teknik basket. Fatin harus belajar melakukan lay up. Satu kali. Dua kali. Tiga kali. Gagal total. Selanjutnya berkali-kali sampai, dia salah mengambil langkah karena bingung mengayunkan kakinya. Akibatnya ia terjatuh, nyaris menyentuh lantai semen lapangan basket. Untung Baldi segera menangkap tubuh Fatin. Mereka jatuh bersamaan, tubuh mereka berdekatan, mereka saling menatap dan terdiam.
“Di sini bukan tempat mesum, ya,” seloroh seorang cowok tiba-tiba.
Baldi dan Fatin menoleh segera dan mereka saling menjauh lalu berdiri sendiri-sendiri.
“Kamu, Ka,” ujar Baldi. “Kita nggak ngapa-ngapain, kok.”
Fatin tertunduk sekaligus kaget. Dia barusan dibilang lagi mesum! Malu-maluin aja!
“Bisa jadi apa-apa kalau nggak ada yang mergokin. Dia masih polos, Di,” Azka melempar tatapan pada Fatin. “Dia bukan seperti cewek-cewek lain yang sering kamu ajak kencan dan dugem,”
Fatin mendongak ketika Azka berbicara sisi lain Baldi. Sementar Baldi hanya tersenyum kecut.
“Oke, Mas Ustadz... aku nggak akan ngapa-ngapain pujaan hatimu, kok. Aku cuma ngajarin dia basket aja. Nggak lebih,”
Azka terperangah, Fatin melongo.
“Aku nggak akan tega hati mengambil milik sahabatku sendiri apalagi bermain-main. Jangan tegang gitu dong, mukanya! Fatin cuma butuh diajarin basket buat ujian,” Baldi bicara sambil menepuk-nepuk bahu Azka. “Sana gih, ngomong sama dia. Jangan dipendem terus nanti muka kamu yang mulus itu jadi jerawatan semua, loh,” goda Baldi.
Fatin masih tak bisa mengerti maksud pembicaraan mereka berdua. Pujaan... hati? Dia? Azka?
Baldi melangkah pergi sambil melempar senyum pada Fatin dan mempersilakan Fatin menghubunginya kalau ingin belajar basket lagi. Kini di lapangan hanya ada Fatin dan Azka berdiri mematung. Aura di lapangan basket seketika langsung berubah, dari yang tadinya riang menjadi senyap.
“Aku permisi, Mas,” Akhirnya Fatin berceletuk seraya melangkah pergi.
“Boleh aku antar?” ucapan itu meluncur saja dari mulut Azka. Azka sedikit ragu. Ia tak pernah membonceng cewek dan ia tak ingin terlibat fitnah membonceng cewek bukan mahromnya. Tapi jujur, dengan Fatin ia tak bisa menahan gejolak asmara yang belakang ini menghujamnya.
Azka menaruh hati pada Fatin semenjak Fatin tak sengaja terkunci di kamar mandi, yang menurut kabar beredar adalah kamar mandi angker. Azka lah yang menolongnya tapi ketika pintu terbuka justru pak tukang kebun yang ada di depan Fatin. Di suatu sudut, Azka memperhatikan sosok yang baru saja terkunci di kamar mandi. Sungguh, makhluk Illahi yang sempurna. Cantik bukan main. Azka tak berkedip beberapa detik. Jantungnya bak bedug yang ditabuh mendadak. Ia jatuh cinta. Tapi segera ia memalingkan pandangannya dan menahan agar tak menoleh kedua kalinya karena tatapan kedua kali itu adalah tatapan haram.
Azka menyukai Fatin tapi tak mungkin ia akan menembak Fatin untuk menjadi kekasihnya layaknya yang dilakukan teman-teman cowoknya ketika naksir cewek. Mustahil, reputasinya yang juga menjabat ketua ekstrakurikuler Sie Kerohanian Islam sangat menentang pacaran. Ia pun ingat pesan ustadz dan orangtuanya untuk tidak pacaran.
Fatin menolak halus.
“Aku menyukaimu, Tin,” Azka memberanikan diri mengutarakan perasaannya.
Langkah Fatin terhenti.
“Aku nggak akan mengajakmu pacaran dan nggak berharap kamu menyukaiku, cukup kamu tahu. Kamu tahu kan, dalam Islam dilarang pacaran? Aku mencoba memegang teguh itu. Tapi Islam tidak melarang kita jatuh cinta dan aku sudah menyampaikan perasaanku. Aku harap kamu mengerti,”
Fatin berbalik. “Aku mengerti. Tika temanku, adik teman sekelas Mas Azka tadi di kelas cerita bahwa Mas sudah sering memperhatikanku. Tika bilang kemungkinan Mas menaruh hati padaku tapi yang aku nggak bisa paham kenapa tatapan Mas ke aku begitu? Maksudku aku nggak nyaman ditatap seperti orang yang punya salah padahal aku juga nggak tahu salahku ke Mas itu apa. Kalau urusan tadi pagi aku nabrak Mas, ya itu salahku tapi aku nggak bisa melihat tatapan seperti itu. Kata Tika itu memang bawaan mata Mas tapi menurutku enggak, tapi aku juga nggak tahu maksud tatapan itu,” Fatin mencerocos mengungkapkan batinnya setelah mengingat-ingat kejadian tadi pagi dan di kelas bersama Tika.
Azka menelan ludah. Fatin bisa menangkap sorotan matanya tapi sayang tak bisa mengartikannya.
Cinta, Fatin. Tapi mungkin aku bodoh nggak bisa mengungkapkannya bahkan hanya dengan tatapan mata.
“Aku minta maaf membuatmu bingung bahkan ketakutan. Kamu mau maafin aku?”
“Tentu,” jawab Fatin tersenyum singkat.
Azka tersenyum pada Fatin lalu melempar pandangannya ke arah lain, Fatin pun tertunduk. Mereka berusaha menjaga pandangan.
Ah, Fatin Ghassani, cantik nan menarik. Ya, itulah arti namamu. Nyaris aku nggak bisa menahan benteng imanku.
-end-



thanks to editor: Altami Nurmila ^^






[1] Organisasi Siswa Intra Sekolah
[2] Masa Orientasi Siswa

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ditunggu kritik dan saran membangun yah :)