Assalamualaikum Wr wb ^^
Oke, kali ini saya
memosting kisah nyata, ya, bukan fiksi seperti tulisan sebelumnya :)
Ini pengalaman
pribadi yang bener-bener fresh
from the oven dan sedang
dalam berlangsung.
Apa itu?
Ya, new world.
Maret 2013 lalu saya
baru wisuda (bisa cek postingan saya sebelumnya), alhamdulillah. Seneng
menyandang gelar Sarjana Psikologi. Tapi eh tapi setelah lulus ternyata saya
nggak ada “harga”nya. Why? I
feel so useless.
Ternyata IPK bagus
nggak menjamin siap terjun ke masyarakat setelah lulus kuliah. Bahkan nggak
menjamin ilmu yang ada di otak awet. Untuk saya, ilmu selama 4,5 tahun nimba
ilmu di psikologi, ilmu itu menguap dan musnah diterpa hembusan sang bayu. -_-
Pas sekolah nggak
pernah ikut organisasi dan kepanitiaan, kuliah juga pasif. Toh ikut kegiatan
dan organisasi pasti setengah hati. Walhasil nggak ada ketrampilan yang saya
punya. Serius! Dan you know
what? Saya kelimpungan.
(Makanya pesen aja nih buat yang masih sekolah dan kuliah, berorganisasilah! Cari
pengalaman yang membuka banyak koneksi pertemanan dan menambah ketrampilan.
Amat sangat berguna, deh. Jangan nyesel kayak saya -_-)
For your info, saya pengen kerja di kantoran
setelah lulus kuliah walaupun saya ambil fokus psikologi klinis (yang terkadang
identik dengan rumah sakit dan biro konsultasi psikologi. Yang lulusan
psikologi pasti ngeh, deh ini. Soalnya kalo kerja kantoran biasanya fokus
peminatannya psikologi industri dan organisasi. Tapi aslinya sih, kalo masih S1
bisa masuk ke mana aja kok asal kualifikasinya psikologi dan umumnya MAMPU
MENGOPERASIKAN ALAT TES, PAHAM UNDANG-UNDANG TENAGA KERJA terpenuhi. Tapi emang
iya, kalau dari fokus peminatan lain seperti psikologi klinis, psikologi
pendidikan-perkembangan atau psikologi sosial, musti belajar dua kali. Kalo
yang ambil psikologi industri-organisasi sudah pasti dikit-dikit ngeh). Nah,
balik deh, ya.
Saya pengen kerja di
kantoran di bagian Human
Resources (HR) soalnya
cita-cita jadi wanita karir tapi sejauh ini lamaran kerjaan by email banyak yang belum (masih berharap)
ngasih feedback. Dan
kalopun ada yang manggil untuk tes-wawancara pernah ditolak lalu ada juga yang
saya tolak gara-gara nggak sreg. Kalo diinget-inget saya udah ada 3 kali nolak
rejeki. Pertama tawaran kerja dari bu dosen penguji ujian skripsi. Kerjanya di
biro konsultan psikologi. Saya nggak suka bagian HR yang rekrutmen, nggak punya
pengalaman itu dan pasti grogi deh (nah, ini kebodohan fatal saya selama ini.
Usia nyaris seperempat abad tapi masih takut show
up di depan orang *tampar
muka*). Kedua, tawaran dari perusahaan konsultan. Mirip sama bu dosen tadi. Itu
perusahaannya yang ngundang buat wawancara, saya tolak. Why? Saya nggak mau kerja di konsultan dan
itu bagian rekrutmen. No! Ketiga, emm... tunggu... inget-inget
lagi... wah, kayaknya yang ketiga ini juga perusahaan konsultan tersohor di
Surabaya dan Jakarta yang pernah menolak saya, tapi kali ini departemen
berbeda. Ogah! Kerjanya kayak romusha. Pas ada proyek besar seminggu 7 hari
kerja, oh no! Dan karena perusahaan konsultan besar
jadinya ya banyak perusahaan yang ditangani dan akhirnya proyek besar juga
banyak dong. Dan pernah bantuin temen yang kerja di sana buat skoring, wow!
Relasi antarpegawai tegang, nggak cozzy, huufffttt...ngapain hidup kerja cari
duit so stress tiap hari. Saya cari kerja yang
hubungan dengan rekan baik, santai. Ya, emang saya bukan karakter orang seperti
yang mereka mau makanya dulu saya ditolak dan ketika ada lowongan, saya lepas
aja.
Setelah menolak
rejeki itu, saya ngerasa nyesel juga sih. Takut nantinya nggak dapet-dapet.
Maret sampai Agustus pertengahan kemarin saya jadi pengangguran, deh.
Memalukan. IPK bagus tapi masih nganggur. Duh! Muka terasa ditampar
keras-keras. Belum lagi saya itu kayaknya males-malesan deh, nggak aktif cari info
dan susah move on tapi maunya di hati itu pengen jadi
orang besar. Saya tahu jadi orang besar butuh susah payah dulu, no pain no gain tapi aduh... otak saya dudul banget.
Berbagai nasehat saya
dapet. Ambil kerja adanya dulu
aja, nanti merangkak naik. Bener
sih, tapi saya juga nggak mau terkesan dungu asal kerja. Masa S1 jadi pembantu?
Ya, apa ya... itu bisa jadi tapi setidaknya ilmu kita, ijazah kita bisa
diaplikasikan pada tempatnya walau mungkin tak sewarna dan tak sebentuk
aslinya. Maksudnya, misal S1 psikologi bolehlah merambah bidang kerja lain
seperti broadcasting. Jangan jadi pembantu rumah tangga
alias PRT. Rugi bayar kuliah mahal-mahal, merantau... kita cari pemantasan diri
sebagaimana mestinya. Ya bukannya materialistis tapi ya realistis dan rasional.
Saya sempet ngrasa desperate padahal baru beberapa bulan. Tapi
beberapa bulan bagi saya itu sungguh menyiksa. Saya harus kerja segera biar
nggak jadi perawan lapuk nyusahin orangtua yang ubannya sudah mencolok di
seluruh kepala, wajah keriput, kulit kusut, lelah. Dan kedua adik saya yang
masih jauh masa depannya. Setidaknya, saya bisa cari duit sendiri. Saya ini
anak pertama, harusnya sadar tanggungjawab. Tapi saya terlalu bodoh untuk
menyadari. Saya berdiam di zona aman dan nyaman versi saya.
Finally, ketika saya terus berdoa penuh
harap tapi juga penuh melakukan dosa yang ada aja tiap hari karena rasa sebal
dan kesal terhadap keadaan, ternyata Allah SWT masih bermurah hati. Saya minta
pekerjaan yang saya ikhlas mengerjakan, barokah untuk saya dan keluarga dan
untuk bisa membayar pinjaman ke rekan dekat. Itu fokus saya kerja, sih.
Ternyata... datanglah
jawaban Sang Illahi lewat seorang teman melalui teman satunya lagi.
Info saya dapat dari
teman bernama Ara. Menawarkan jadi shadow
teacher di sebuah sekolah
swasta di Surabaya Timur. Saya ngeh whats
a shadow teacher, guru untuk Anak Berkebutuhan Khusus (ABK). Tapi job desc.nya saya belum ngeh
secara detil.
Ara ngasih tahu bahwa
nantinya saya akan menggantikan teman kuliah saya bernama Iga untuk jadi shadow teacher karena Iga mau lanjut S2 ke Jogja.
Merasa Allah ngejawab
doa saya, so I said yess.
Saya terima dengan cepat. Saya bersyukur banget walau informasi gaji yang saya
dapet nggak sama dengan UMR Surabaya tapi ya lumayanlah untuk guru pendamping.
Lagi pula lumayan buat uang jajan saya sendiri dan bisa nyicil pinjaman ke
teman dekat. Hehehe. Terus tambah pengalaman juga karena selain guru itu nyaris
amat bersentuhan dengan bidang psikologi pendidikan-perkembangan, anak yang
saya dampingi itu objek psikologi klinis banget. Nah... maunya melenceng dari
psikologi klinis, taunya balik kucing ke sana juga. Hehehe.
Singkat cerita, new experiences dimulai.
Berdasar informasi
dari Iga, anak ini (sebut aja NN) dulunya pas balita terkena kejang sampai
ngaruh ke otaknya. And then
it’s give an influence untuk
perkembangan kognitifnya, motoriknya juga. Sampai sekarang usia 9 tahun, NN can’t read, can’t calculate, have a
problem with toilet training, can’t spelling. I’m shocked! Tapi saya nggak bisa mundur. Iga nggak
mungkin cari pengganti lain.
Semua yang dialami
Iga yang perlu saya tahu tentang NN sudah Iga sampaikan. I think I’m okey tapi setelah sehari, dua hari, tiga
hari... oh no... pengalaman langsung emang lebih super
ketimbang teori ba bi bu mulut belaka.
NN ngompol sebelum
berenang. Saya emang salah, kecolongan. Udah diingetin kalau sebelum renang
emang nggak pakai popok, so I
must bring him to toilet sejam
sekali. Well...
Next. NN poop. Ouuhhh.. saya emang nggak pertama kali
membasuh anal anak kecil ya, sebelumnya udah sering praktek sama keponakan tapi
kali ini saya harus ekstra sabar. NN memang masih pakai popok dan ketika poop kita harus buangin popoknya tapi kita
latih dia mandiri untuk membersihkan tubuhnya sendiri.
Oke, masalah belajar
di kelas. NN musti difokusin mengerjakan tugas dari guru. Saya harus ekstra
sabar bikin fokus matanya ke arah kertas kerjanya. Belum lagi saya harus
“melindungi”nya dari gangguan jahil teman-temannya yang usil dan ketika NN
berhasil diusili biasanya dia mewek. Saya harus membesarkan hatinya untuk
berani dan nggak mewek.
Masalah interaksi
sosialnya. Dia bagus, mau main sama teman lain tapi ya dia rentan jadi bahan
cemooh dan main fisik teman-temannya yang emang trouble maker. Korban bullying istilahnya. Kasihan tapi gimana
lagi, itulah tujuan kenapa ABK sekolah di sekolah inklusi berbaur dengan teman
“normal” lainnya. Biar ABK struggle ke depannya. ^^9. Kalo pas istirahat
saya biarin dia main sendiri, itu juga dilakukan Iga.
Yah... itu beberapa
pengalaman yang bikin nafas kembang kempis, ngatur channel kesabaran. Tapi ya jujur sih, saya
emang nggak bisa marah sama anak orang. Mereka terlalu lucu dan mereka cuma
anak-anak yang sudah wajar nakal. Bukan nakal sih, ya memang perkembangan
mereka seperti itu, lincah, ceria, banyak eksplor, khas tahap anak-anak. It’s normal. Dulu saya pasti begitu. Dan mungkin
saja orang dewasa di sekitar saya kala itu juga pernah ngerasa gregetan sama
saya. Sama aja.
Walau shocked sama NN, fakta lain tentang kehidupan
yang lain juga nggak bisa diabaikan gitu aja.
New life.
Saya ngajar di
sekolah swasta Islam milik organisasi masyarakat tersohor dan besar bernama
Muhammadiyah. Sementara saya, didikte orang tua, I’m Nahdlatul Ulama (NU) yang nota bene “saingan”nya
Muhammadiyah.
Saya pribadi nggak
ambil pusing. Toh pusaran keyakinan kita sama, Allah SWT, Rasul juga sama
Muhammad SAW. Saya nggak mau ambil pusing karena akan lebih pusing mikirinnya
karena di Indonesia ada sekitar 70-an aliran Islam. Apa aja... aduh, bisa
dilihat beritanya pas menjelang mulai dan usai bulan Ramadhan. Ketahuan deh,
siapa mulai puasa duluan dan sholat Id duluan atau sebaliknya. Tapi itu juga
beberapa aja.
Oke. Saya nggak
mempermasalahkan Muhammadiyahnya. Yang saya “permasalahkan” adalah bahwa
kerjaan saya sekarang ini adalah upaya Allah menjebloskan saya ke lingkungan
yang islami yang selama ini saya nggak pedulikan. Jujur, saya memang berjilbab
tapi hati nggak. Makanya ketahuan kan, cara berjilbab saya belum totalitas.
Allah “menampar” saya
untuk lebih melek agama karena Allah denger saya punya doa saya mau jadi hamba
yang kaffah islamnya, mau punya suami yang sholeh menuntun ke surga terdekat
sisi Allah, mau membahagiakan orangtua dunia-akhirat karena selama ini sudah
kebanyakan dosa melawan orangtua dan kebaikan hamba yang mukmin lah ya.
Di sekolah dasar
swasta inilah saya lihat gimana pendidikan agama patuh diterapkan ke anak-anak
plus tenaga pendidiknya. Contoh kecil soal kaos kaki. Kaos kaki itu nggak cuma
fungsi untuk melindungi kaki tapi juga penutup aurat untuk cewek. Terus soal
minum. Kalo ada murid ketahuan minum sambil berdiri, itu pelanggaran! Medis dan
agama islam pun ngajarin minum duduk. Secara medis minum dengan duduk akan
mencegah air bablas gitu aja di ginjal sehingga mengurangi resiko sakit ginjal
(googling sendiri ya prosesnya gimana tapi emang gitu adanya) dan Rasulullah
Muhammad menekankan kita minum duduk. Lalu soal pengucapan salam tiap ketemu
guru dan doa di setiap kegiatan misal makan, belajar, masuk kamar mandi,
begitulah.
Selain itu ada soal
tata krama. Sudah disinggung sedikit ya, pengucapan salam itu tata krama.
Selain itu penerapan kata maaf ketika berbuat salah, permisi ke guru atau
teman, dan terima kasih. Di setiap sudut sekolah ini, bisa kita dengar.
Buktikan :)
Ya, pendidikan emang
harus begitu. Bukan saja mengutamakan kognitif tapi juga aspek emosinya,
karakternya, agamanya dan lain-lain. Bisa menciptakan generasi muslim yang
cetarrr membahana ke seluruh jagat raya.
Selain itu, yang
pasti Allah membuka mata saya bahwa sebenarnya anak-anak gifted atau orang tahunya ABK aslinya
anak-anak istimewa. Buat orang awam, mereka mungkin "berbeda" tapi
mereka spesial. Mereka bisa membuat saya sadar bahwa saya harus bisa mensyukuri
semua kenikmatan Sang Illahi Rabbi. Panca indra saya lengkap dan sehat,
sementara anak-anak itu ada yang butuh alat bantu pendengaran. Saya selalu
dapat juara kelas dalam rank 1-10, mereka ada yang calistung
(baCa-tuLis-hiTung) belum bisa tapi juga ada yang cerdas dalam ketrampilan olah
raga, olah suara, maksudnya bukan cerdas kognitif saja. Saya dulu jadi korban bullying juga sempet, sih pas SD dan saya cuma
diem sesekali ngelawan tapi lebih banyak diem dan mendem sebel sih, :p tapi
mereka, ada yang bertahan bak benteng yang tak tergoyahkan (who knows juga ya, tapi memang memasukkan ABK ke
sekolah inklusi mengasah interaksi sosial mereka dengan anak-anak
"normal"). Yah, intinya banyak hal yang "dicolokkan" Allah
ke depan mata saya langsung.
Inilah kehidupan baru
saya, pencerahan karena “penjeblosan” yang dilakukan Allah untuk saya. Mungkin
ini jawaban pekerjaan yang saya ikhlas menjalani da barokah untuk saya dan
keluarga.
Dan saya berharap
bisa melahirkan new on me,
saya sebagai pribadi yang baru yang lebih baik, lebih sabar, lebih telaten,
lebih bersyukur, lebih optimis soalny malu ya sama anak-anak didik yang
lucu-lucu baik mereka yang biasa atau yang luar biasa. Mereka punya masa depan
yang masih jauh dan penuh pengharapan cita-cita. Maka saya juga harus punya
semangat itu.
Bekerjalah seolah
kamu hidup selamanya, beribadahlah seolah kamu mati esok hari.
Saya lupa nih,
haditsnya siapa... nanti saya googling ya.
Sekian... semoga
share tulisan ini bisa memberikan manfaat buat pembaca.
Saya berbagi
pengalaman sebagai anak muda yang mentah baru kemarin sore, yang baru mencecap
kehidupan nyata, the trully
jungle of live.
Hidup nggak selamanya
mudah. Dan saya walau hidup tak pernah kaya raya tapi saya hidup tak pernah
kekurangan, selalu saja ada rejeki yang datangnya tak terduga asalnya. Tapi
setelah bekerja dengan gaji tak terlalu seperti harapan, sadar juga, cari duit
susah. Sehingga saya berpikir bahwa sedemikian susahnya orangtua saya banting
tulang, jungkir balik, menjatuhkan harga diri untuk menyambung kehidupan saya
dan adik-adik saya, begitu pula orangtua-orangtua lainnya dari macam profesi
apapun, pasti mereka bersusah payah.
Bersyukur. Bersyukur.
Bersyukur.
Optimis. Optimis.
Optimis.
Try. Try. Try.
Pray. Pray. Pray.
Berserahlah secara
totalitas, ikhlas.
Allah akan membuka
kelancaran rezeki.
Ini yang sedang saya
coba terapkan dalam kehidupan saya agar saya benar-benar menjadi new on me.
Bye bye :*
wihiiii ... ada makna dibalik peristiwa Tin.. istiqamah ya tin, biar semakin barakah usahanya :)
BalasHapussemangad kawan! :)
amin ya rabbal amin. semoga :)
BalasHapusSegalanya pasti indah pada waktunya. Semangat dek ^-^
BalasHapus