Sabtu, 12 Juli 2014

Gagal



Tumbuh menjadi pribadi yang selalu menomorsatukan prestasi merupakan hal yang menurutku patut dilakukan. Sebab dengan begitu, hidup kita jadi tahu ke mana arah tujuan hidup ini. Namun ketika sudah berbaur dengan gengsi dan tidak mau kalah, itu sungguh sangat menyakitkan. Menyakitkan ketika aku tahu aku kalah dalam sebuah pertandingan.
Oh, maafkan aku jika aku bicara hidup ini adalah sebuah arena pertandingan. Tapi memang itulah yang aku persepsikan. Bahkan Tuhan saja meminta hamba-Nya berlomba-lomba dalam kebaikan. Silakan saja kalau ada yang bilang pemikiranku dangkal. Maka aku pun tidak ingin kalah apalagi mengalah. Tapi faktanya aku tidak pernah menjadi nomor satu. Aku ada di nomor sekian. Dan standar hidupku menjadi nomor sekian ASAL orang masih bisa melihatku. Namun juga bukan nomor bontot yang sama sekali diremehkan orang.
Dan aku menjadi manusia yang takut pada kegagalan. Karena dari dulu aku mendapatkan sesuatu yang prestisius sampai pada akhirnya aku harus menelan pil pahit ada orang yang lebih dariku. Kurasakan dunia ini serba terbalik. Semuanya berjalan tidak sesuai inginku. Semua inginku diberikan Tuhan pada orang lain. Dan yang semula aku mengasihi, berubah menjadi iri dan dengki.
Kubiarkan iri hati menguasaiku namun ternyata itu lebih sakit. Sepertinya lebih sakit ketimbang tertusuk peniti. Dan air mata justru semakin deras mengalir tanpa alasan yang bisa diurai satu per satu. Iri sana, iri sini. Benci itu, benci ini. Bahkan pada akhirnya aku mengutuk diriku sendiri manusia nista tiada guna. Dan pantas untuk diambil nyawanya.
Namun seiring berjalannya waktu, jatah hidupku semakin berkurang, aku ingin mengubah segalanya. Ingin kulepaskan segala beban dan menikmati setiap hembusan napas milik Tuhan. Sembari meyakinkan diri bahwa apa saja yang tidak bisa kutanggung, ada Tuhan yang selalu siap meringankan bebanku. Tapi katanya Tuhan tidak membebankan ujian jika kita tidak mampu. Dengan kata lain setiap ujian yang kita jalani adalah takaran pas yang diberikan-Nya kepada kita – sesuai perbuatan yang telah kita lakukan. Sepertinya begitu.
Kini aku hanya ingin fokus pada Tuhan. Dia yang membuatku hidup, Dia juga yang membuatku mati. Dia menciptakan aku tapi aku tidak tahu fungsi aku lahir di dunia. Kecuali untuk menyembah-Nya. Tapi katanya Tuhan Maha segalanya sehingga tidak perlu kita. Iya, memang. Justru kita yang butuh Tuhan karena Dia Maha segalanya.
Jadi aku ingin belajar tidak mencemaskan kehidupanku terlalu berlebihan. Kegagalan adalah cara Dia menegurku tentang akibat dari perbuatanku dan cara Dia mengarahkanku ke tempat yang lebih tepat. Itu saja.
Seharusnya aku bersyukur aku gagal lagi dan lagi. Karena mungkin dengan begitu, aku akan selalu bergantung pada-Nya. Katanya Tuhan suka dengan hamba yang meminta kepada-Nya dan taat. Tapi aku manusia yang dibekali hasrat. Maka kubiarkan hasrat ini terus berkembang untuk mencoba setelah datangnya kegagalan – sesuatu yang tidak sesuai harapanku.
Bersyukurlah diriku gagal sehingga bisa tahu kualitasku yang buruk. Ah, tapi buruk itu kan persepsi manusia. Mereka bisa berkomentar apa pun selama lidah mereka tidak terpelintir bahkan putus. Biarkan saja. Mari terus berjalan. Semua akan indah pada waktunya. Memang butuh kesabaran dan ketangguhan untuk terus mencoba dan bangkit ketika jatuh. Tapi yakinlah, mereka-mereka yang tidak pernah mengalami penderitaan akan ada masanya berguru kepada si ahli penderitaan. Karena setiap hal akan memberikan pelajaran. Selamat menikmati kegagalan.

‘Aku’.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ditunggu kritik dan saran membangun yah :)