Tumbuh menjadi pribadi yang
selalu menomorsatukan prestasi merupakan hal yang menurutku patut dilakukan.
Sebab dengan begitu, hidup kita jadi tahu ke mana arah tujuan hidup ini. Namun
ketika sudah berbaur dengan gengsi dan tidak mau kalah, itu sungguh sangat
menyakitkan. Menyakitkan ketika aku tahu aku kalah dalam sebuah pertandingan.
Oh, maafkan aku jika aku
bicara hidup ini adalah sebuah arena pertandingan. Tapi memang itulah yang aku
persepsikan. Bahkan Tuhan saja meminta hamba-Nya berlomba-lomba dalam kebaikan.
Silakan saja kalau ada yang bilang pemikiranku dangkal. Maka aku pun tidak
ingin kalah apalagi mengalah. Tapi faktanya aku tidak pernah menjadi nomor
satu. Aku ada di nomor sekian. Dan standar hidupku menjadi nomor sekian ASAL orang
masih bisa melihatku. Namun juga bukan nomor bontot yang sama sekali diremehkan
orang.
Dan aku menjadi manusia yang
takut pada kegagalan. Karena dari dulu aku mendapatkan sesuatu yang prestisius
sampai pada akhirnya aku harus menelan pil pahit ada orang yang lebih dariku.
Kurasakan dunia ini serba terbalik. Semuanya berjalan tidak sesuai inginku.
Semua inginku diberikan Tuhan pada orang lain. Dan yang semula aku mengasihi,
berubah menjadi iri dan dengki.
Kubiarkan iri hati menguasaiku
namun ternyata itu lebih sakit. Sepertinya lebih sakit ketimbang tertusuk
peniti. Dan air mata justru semakin deras mengalir tanpa alasan yang bisa
diurai satu per satu. Iri sana, iri sini. Benci itu, benci ini. Bahkan pada
akhirnya aku mengutuk diriku sendiri manusia nista tiada guna. Dan pantas untuk
diambil nyawanya.
Namun seiring berjalannya
waktu, jatah hidupku semakin berkurang, aku ingin mengubah segalanya. Ingin
kulepaskan segala beban dan menikmati setiap hembusan napas milik Tuhan. Sembari
meyakinkan diri bahwa apa saja yang tidak bisa kutanggung, ada Tuhan yang
selalu siap meringankan bebanku. Tapi katanya Tuhan tidak membebankan ujian
jika kita tidak mampu. Dengan kata lain setiap ujian yang kita jalani adalah
takaran pas yang diberikan-Nya kepada kita – sesuai perbuatan yang telah kita
lakukan. Sepertinya begitu.
Kini aku hanya ingin fokus
pada Tuhan. Dia yang membuatku hidup, Dia juga yang membuatku mati. Dia
menciptakan aku tapi aku tidak tahu fungsi aku lahir di dunia. Kecuali untuk
menyembah-Nya. Tapi katanya Tuhan Maha segalanya sehingga tidak perlu kita.
Iya, memang. Justru kita yang butuh Tuhan karena Dia Maha segalanya.
Jadi aku ingin belajar tidak
mencemaskan kehidupanku terlalu berlebihan. Kegagalan adalah cara Dia menegurku
tentang akibat dari perbuatanku dan cara Dia mengarahkanku ke tempat yang lebih
tepat. Itu saja.
Seharusnya aku bersyukur aku
gagal lagi dan lagi. Karena mungkin dengan begitu, aku akan selalu bergantung
pada-Nya. Katanya Tuhan suka dengan hamba yang meminta kepada-Nya dan taat. Tapi
aku manusia yang dibekali hasrat. Maka kubiarkan hasrat ini terus berkembang
untuk mencoba setelah datangnya kegagalan – sesuatu yang tidak sesuai
harapanku.
Bersyukurlah diriku gagal
sehingga bisa tahu kualitasku yang buruk. Ah, tapi buruk itu kan persepsi
manusia. Mereka bisa berkomentar apa pun selama lidah mereka tidak terpelintir
bahkan putus. Biarkan saja. Mari terus berjalan. Semua akan indah pada
waktunya. Memang butuh kesabaran dan ketangguhan untuk terus mencoba dan
bangkit ketika jatuh. Tapi yakinlah, mereka-mereka yang tidak pernah mengalami
penderitaan akan ada masanya berguru kepada si ahli penderitaan. Karena setiap
hal akan memberikan pelajaran. Selamat menikmati kegagalan.
‘Aku’.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Ditunggu kritik dan saran membangun yah :)