Rabu, 13 Juni 2012

cerpen "Mari Kita Coba"



 “Sinttaaaaaa....” teriak mamanya.
Sinta segera berlari dari kamar mandi.
“Iya, Mah? Kenapa sih, teriak-teriak? Bikin poop Sinta nggak tenang aja,” kata Sinta sembari membenahi celananya.
“Apa ini??” kata mamanya sebal sambil menyodorkan isi kotak kue yang diambilnya sejam lalu.
“Kue, Mah,” jawab Sinta santai.
“Perhatikan! Masa’ mau buat bingkisan ke lamaran isinya kue ulang tahun, sih, Sinta...???”
Sinta mengamati kue sejenak. Sinta menyadari kebenaran bahwa di atas kue itu tertulis ‘Happy 50th, Beautiful Grandma’ dan seketika mata Sinta melotot.
“Jadi, ceritanya Sinta salah ambil pesenan??” tanya Sinta.
“Ya, iyalah salah! Ayo, sekarang kamu segera kembali ke sana! Acara lamaran kakak sepupu kamu nanti malam jam 7, sekarang sudah jam empat. Kita juga belum beres-beres dan dandan. Ayo buruan kamu tukar lagi,” dumel mamanya.
“Iya, yah, Ma. Bentar Sinta Be-A-Be dulu ya, kebelet. Lima menit aja, Mah. Lima menit. Okey? Santai ya, Mah, santai...”
Sinta segera menuju kamar mandi melanjutkan ‘aktivitas’nya.
Beberapa menit kemudian Sinta sampai di toko bakery yang tak jauh dari rumahnya. Ia segera menyampaikan kekeliruan yang telah terjadi tadi. Dan ternyata menurut pramuniaga yang lain kue yang diambil pramuniaga yang melayani Sinta salah karena kesamaan nama pemesan. Menurut pramuniaga yang mengetahui kekeliruan itu kue Sinta tertukar dengan kue milik seorang lelaki yang sama-sama mengambil kue atas nama Rahma. Bedanya satunya ibu A. Rahma satunya ibu Rahma A. Sialnya petugas kala itu tidak mencantumkan alamat juga pada pesanan yang sudah jadi sehingga kue pesanan itu tertukar.
“Terus mbak? Gimana dong? Acara sepupu saya nanti jam 7 lho, masa’ jam segini bingkisan belom saya antar...” protes Sinta.
“Saya coba menghubungi pelanggan kami yang mungkin tertukar juga kue pesenannya. Sabar bentar ya, Mbak...” kata si pramuniaga.
Sinta menunggu kabar tentang orang yang membawa kue yang seharusnya jadi haknya. Tapi Sinta menunggu sampai nyaris maghrib, orang itu tak kunjung datang. Sinta jadi cemas ditambah mamanya menelepon setiap lima menit sekali.
“Mbak, begini saja. Kasih saya apapun jenis kue yang ada di sini yang pantes untuk bingkisan lamaran. Oke? Saya nggak sabar nunggu orang lama-lama,”
“Waduh, Mbak, kuenya tinggal cake kecil-kecil begini dan kalau dibuat bingkisan lamaran apa pantas? Lagian juga hampir habis, kami sebentar lagi juga tutup,”
“Waduh, Mbak, ya nggak tahu gimana caranya Mbak tanggung jawab atas ketidakpuasan konsumen. Mama saya bertahun-tahun langganan di sini, Mbak,” kata Sinta dengan suara agak lantang.
Sinta sudah gondok setengah mati. Menunggu orang lama dan ketidakbertanggungjawaban pihak toko membuatnya geram bukan main.
Sinta mencoba sabar sepuluh menit lagi tapi tak bisa. Ia harus segera beranjak dari toko itu. Ia pergi setelah berkata pada pramuniaga untuk melupakan kejadian itu dan meminta uang ganti rugi dari pihak toko kue.
Sinta sampai di rumah dan mamanya memandangnya heran dan agak cemas.
“Loh, kok nggak bawa apa-apa? Mana kuenya?” tanya mamanya di pintu rumahnya.
“Ilang dibawa orang, Mah. Orang yang ngebawa kue Mama nggak dateng-dateng buat nganterin kuenya. Sinta capek Mah, nungguin di sana. Sinta juga sebel sama keteledoran pelayan tokonya. Lain kali Mama jangan pesen di situ lagi. Buat sendiri aja, nanti Sinta bantuin,” jawab Sinta.
“Terus sekarang gimana? Mama sudah janji bawa kuenya. Sinta, gimana, dong?” tanya mamanya cemas.
“Mah, di luar sana masih banyak toko kue buka. Kalo emang nggak ada yang pantes buat ke lamaran, belikan aja donat di gerai kopi yang biasanya Sinta beli, Mah. Gitu aja repot. Santai dikit dong, Mah. Namanya juga musibah. Udah ah, Sinta mau mandi,” sahut Sinta mencoba lebih santai ketimbang mamanya.
@@@
Jam dinding menunjukkan pukul setengah tujuh malam. Sinta dan mamanya sudah rapi segera berangkat ke acara lamaran saudara mereka.
Ketika Sinta sudah siap menancap gas mobilnya tiba-tiba ada seorang lelaki menggedor kaca pintu mobilnya. Mimik wajah Sinta dan mamanya panik. Nampaknya lelaki itu menydari kepanikan Sinta dan mamanya karena tak jua segera membukakan kaca pintu mobilnya. Lelaki itu pun mengangkat sebuah kotak yang seperti kotak kue. Sinta segera membuak kaca mobilnya.
“A-a-ada ap-apa, Mas?” tanya Sinta tergagap.
“Ini kue punya Mbak, kan? Ketuker Mbak sama punya mama saya. Ini,” kata lelaki itu sambil menyodorkan kotak kue pada Sinta.
“Wah, Mas, terima kasih banyak, ya...” kata mama Sinta ketika Sinta menerima kotak kue itu.
Mama Sinta segera mengecek isi kotak itu.
“Iya, ini kue pesenan saya,”
Thanks ya, Mas. Oh, ya, kami pergi dulu soalnya sudah ditunggu,”
“Oh, iya, Mbak, silakan. Hati-hati di jalan,” kata lelaki itu tersenyum ramah.
@@@
“Lelaki yang ketuker kuenya sama kita kemarin ganteng lho, Sin,” celetuk mama Sinta ketika mereka berdua menonton serial drama Korea sore hari.
Mata Sinta melirik ke arah mamanya.
“Trus?” tanya Sinta datar.
“Kamu nggak tertarik?” tanya mamanya dengan genit.
“Enggak,”
“Serius?”
“Dua rius,”
“Kenapa begitu?”
“Nggak tahu,”
“Kamu masih doyan laki, kan? Eits, mama kasih tahu, jangan hanya karena ayahmu pergi nggak peduli sama kita lalu kamu anti sama laki, ya. Jangan begitu. Kamu masih muda, kamu punya banyak kesempatan mengenal lelaki manapun yang kamu mau. Dari situ kamu akan belajar banyak karakter lelaki dan akhirnya bisa memiliki calon terbaik suami kamu,” tutur mamanya membuat Sinta terbisu.
“Males ah, Ma. Semua lelaki sama aja, sama jahatnya. Cuman ngutamain fisik, menuntut pasangannya ini dan itu trus kalo habis manis, sepah dibuang. Ahhh, lelaki mana ada bagus-bagusnya,” tungkas Sinta.
“Dulu mama juga berpikir seperti itu, makanya mama melarang kamu pacaran selama ini. Tapi setelah mama pikir sekarang, usia kamu sudah dua tujuh, Sin. Mama dulu seumur kamu sudah punya anak kamu umur empat tahun. Mama nggak pengen kamu hidup sendirian kelak. Harus ada lelaki yang bisa menjaga kamu dan membimbing kamu dunia-akhirat,” lanjut mamanya.
Sinta diam sejenak kemudian ia meneteskan air mata. Ia berpikir yang dikatakan mamanya benar juga, selama 27 ia ada di dunia, dikurangi masa lahir sampai SD yang kira-kira 12 tahun jadi 15 tahun, ternyata ia jomblo. Lelaki yang mendekatinya pun tidak ada. Dan setiap kali ia menyukai lelaki pasti bertepuk sebelah tangan, baik karena si lelaki tidak tahu kalau dia suka karena Sinta memilih diam ketika menyukai lelaki, karena lelaki menolak mentah-mentah ketika tahu tanpa sengaja bahwa Sinta menyukainya atau karena si lelaki sudah berdua dengan wanita lain. Oouuccchhhh...sakit!!!
Sial bener nasib gue!!!
“Kalau jodoh nanti pasti ketemu, Mah. Terpenting sekarang kebahagiaan Mama. Mama mau naik haji, kan? Sebentar lagi insyaAlloh semua terwujud,”
“Materi sudah kamu raih, pendidikan tinggi di tangan dan mama rasa kepribadian kamu juga sudah pantas untuk mendapatkan jodoh. Segeralah mencari pasangan hidup, Sinta. Mama pengen nimang cucu. Kamu kan, anak mama satu-satunya,” kata mama Sinta tersenyum sambil meneteskan air mata di pipi dan memegang tangan Sinta.
Sinta memeluk mamanya segera.
Ya, Alloh...aku selalu memanfaatkan saat-saat memeluk mama. Aku tak mau moment seperti ini menjadi kenangan semata kelak. Aku ingin memeluk mama selamanya. Aku korbankan kebahagiaanku untuk mama seperti mama mengorbankan sebagian besar kebahagiaannya untukku, walau itu tak akan pernah cukup. Aku mencintai mama, ya Alloh. Sehatkan dia dan barokahi hidupnya dunia-akhirat.
“Suatu hari, mama akan menimang cucu dariku. Kita tunggu waktu yang tepat ya, Ma,” kata Sinta lirih di telinga mamanya.
“Amin,” sahut mamanya.
@@@
 Sinta sibuk mengawasi distribusi barang-barang branded yang siap diekspor ke luar negeri. Ia sibuk sampai akhirnya ia melupakan jam istirahat. Ia baru sadar ketika seorang rekan kerja sekaligus sahabatnya datang mengingatkan.
“Pak Tiyok, waktunya jam makan siang. Kode buat karyawan yang lain ya, saya ke dalam dulu,” kaa Sinta kepada salah seorang kepala gudang.
“Oke, Mbak Sinta...” sahut lelaki setengah baya itu sembil tersenyum ramah pada Sinta. Sinta pun membalas lelaki baik hati dan jujur itu.
Sinta segera membuka bekal makan siangnya di meja kerjanya.
“Bawa bekal lagi, Sin?” tanya Luki.
“Iya, nih. Mama lagi semangat bikin bekal. Hahaha,” kata Sinta.
“Dimakan di kantin aja, yok. Sekalian nemenin aku makan,”
“Ehmm, gitu ya? Oke, deh,” Sinta mengiyakan tawaran Luki.
Mereka berdua akhirnya pergi ke kantin kantor. Di sana mereka makan bersama dan saling incip makan siang satu sama lain.
“Mama kamu jago masak ya, Sin? Keren. Mamaku mah, nggak pernah masak di rumah. Jadinya seringnya beli. Bosen!” kata Luki.
“Makanya kamu aja yang pinter masak. Enak lho kalo bisa masak sendiri, seenggaknya bisa irit uang jajan, kita juga bisa menentukan takaran segala macam kebutuhan gizi, protein atau segala macem buat kesehatan kita,”
“Gaya bener kamu, kayak pakar kesehatan gizi. By the way, liat ke arah jam sembilan deh, ada yang merhatiin kamu sedari tadi, tuh!” kata Luki membuat Sinta sontak menoleh.
“Yeee...jangan frontal dadakan gitu....” protes Luki.
“Kenapa emangnya kalo noleh langsung?”
“Ya, kan, nggak enak sama orangnya. Tapi beneran dia merhatiin kamu dari tadi. Dia kan, manager Ha-Er-De yang baru. Tahu nggak kamu kabar baru?”
Sinta menggelengkan kepala kuat sambil mengunyah makanannya.
“Tapi dia nampaknya masih muda, beda-beda tipislah sama kita,” kata Sinta.
“Usia bukan ukuran kalo otak dan kapabilitasnya mumpuni sebagai leader. Nampaknya banyak program baru untuk perombakan sistem yang lebih bagus untuk perusahaan kita ini,”
“Sok tahu kamu,” tuding Sinta.
“Orangnya kelihatan cerdas dan kreatif, Sin. Nampaknya nggak sombong juga kok, semacam pemimpin yang kharismatik dan siap melakukan perubahan lebih baik,”
“Lebai kamu, ah! Udah makan tuh, siomay! Keburu dingin keburu eneg,” kata Sinta mengabaikan kata-kata Luki tapi matanya melirik lagi ke lelaki yang dimaksud Luki. Tiba-tiba Sinta merasa tidak asing dengan lelaki itu.
@@@
Lima bulan berlalu...
“Sinta, sudah tiga lelaki yang mencoba mendekati kamu bahkan ada yang berniat serius melamar, dia temen kamu pas sekolah, nggak ada satupun yang kamu kehendaki,”
“Mamah...Sinta emang nggak ada perasaan sama mereka, masa’ mau dipaksain?” tungkas Sinta.
“Mereka tampan dan mapan, agamanya juga cukup bagus, apa yang kurang?”
“Hati. Hati Sinta, Mah, nggak buat salah satu di antara  mereka,”
“Kamu mau tipe lelaki seperti apa?”
Sinta mengangkat kedua bahunya tanda tak tahu dan bingung.
“Sinta pamit istirahat dulu ya, Mah? Capek,” izin Sinta lalu meninggalkan mamanya sendiri di ruang keluarga.
Di dalam kamar Sinta menerawang kembali ke beberapa minggu silam tentang dia dan manager baru HRD bernama Tommy. Tommy adalah lelaki yang beberapa bulan lalu membawa kue yang menjadi hak Sinta dan juga sebaliknya. Tak disangkanya ia akan bertemu dengan Tommy dan terlibat suatu perasaan yang sulit dijabarkan dan mengganggu konsentrasi Sinta sehari-hari jika bertemu Tommy di kantor tanpa sengaja.
...
Sinta harus lembur malam ini karena laporannya harus disetor besok pagi. Laptopnya rusak sehingga ia harus ngebut dengan komputer kantor. Jam dinding menunjukkan pukul delapan malam. Perut Sinta sudah ‘bersuara’ minta diisi. Sinta akhirnya berjalan keluar kantor untuk mencari makan sekalian menghirup udara di luar.
Sinta melewati lorong demi lorong kantornya setelah melewati beberapa anak tangga dari lantai tiga ke lantai satu. ternyata bukan hanya dia saja yang sedang lembur malam itu. Setiap lantai masih ada penghuninya sibuk di depan laptop. Itu membuatnya lega sehingga tidak merasa horor lembur malam itu.
Tiba di lantai satu Sinta kebelet ke toilet, akhirnya ia pergi ke kamar kecil yang tempatnya dekat dengan parkir mobil di samping gedung kantor. Usai dari toilet ia hendak segera keluar area kantor sambil jalan kaki mencari makan. Tapi tiba-tiba ada suara aneh dari suatu sudut arah. Di balik bangunan toilet tertutup bongkahan besi-besi tua bekas lemari, meja atau kursi kantor. Sinta sempat berpikir horor tapi masa’ sih. Suara itu begitu nyata senyata-nyatanya suara manusia. Sinta memberanikan diri mengendap-endap tanpa suara mencoba mengetahui sumber suara aneh itu. Dan o’ow..pemandangan tak senonoh ada di depan matanya dari sela-sela tumpukan besi-besi tua. Sinta hendak melabrak pelaku adegan tak senonoh itu tapi tiba-tiba dari belakang ada yang menarik tangannya dan membuatnya terhuyung jatuh menimpa tubuh sosok yang menarik lengannya itu. Sinta melotot.
“P-pak...” suara Sinta terhenti karena tangan orang di depannya menutup mulutnya.
“Diem. Dan jangan berusaha untuk nyamperin mereka,” suara lelaki itu lirih. Sinta mengangguk.
Keduanya berdiri dan mengambil posisi sedikit minggir supaya tidak ketahuan orang yang sedang beradegan tak senonoh.
“Maaf ngagetin,” kata orang itu yang ternyata Tommy.
“Bapak kok, ada di sini. Bapak ngintip mereka juga? Sejak kapan Bapak ada di belakang saya?” tanya Sinta.
“Enggak, siapa bilang? justru saya ngikutin kamu, ngapain ke tempat sepi begini,”
“Lha suara mereka aneh ternyata begituan,” suara Sinta agak lantang dan segera ditutup oleh tangan Tommy.
“Siapa ituu??!!” suara lelaki di sebelah sana.
Tommy segera menarik Sinta ke suatu sudut yang lebih tidak terlihat oleh siapapun di dalam sebuah gudang kecil di bawah meja yang tak jauh dari tempat mereka mengintip tadi.
Suara lelaki yang berbuat mesum semakin mendekat ke arah mereka. Tommy memepet tubuh Sinta dan membungkam mulut Sinta dan mengisyaratkan pada Sinta untuk diam. Setelah dirasa lelaki yang kepergok mesum itu menjauh, Sinta meminta Tommy melepaskan dekapannya. Sinta segera mengambil nafas cepat-cepat, rasanya sesak sekali.
“Pak, badan segede gitu bikin saya nyaris mampus,” omel Sinta lirih.
“Ya, maaf. Jangan keras-keras makanya. Kamu mau ngapain, sih?”
“Itu Reno, Pak, tunangannya Luki. Masa’ dia begitu sama cewek lain??!! Bener-bener bejat! Lelaki emang sama aja jahatnya, huh!!” lanjut Sinta.
“Ehem, saya lelaki tapi nggak begitu,” kata Tommy.
“Mana saya bisa jamin. Saya nggak kenal Bapak, ya maklum Bapak membela diri,”
“Kalau begitu semua wanita sama saja, matre dan penipu ulung,”
“Enak aja! Sori, ya, saya enggak. Sekalipun saya matre, saya kerja keras sendiri nggak morotin uang orang! Catet itu!”
“Masa’? Saya kan, nggak kenal kamu, mana saya bisa jamin?”
“Ih, kok dibalik, sih?!”
Sinta sebal seketika pada Tommy.
...
Hari Minggu yang cerah. Sinta dan mamanya tidak melewatkan kesempatan itu untuk melakukan gowes bareng keliling kompleks lalu ke area car free day.
“Mah, nanti sempetin sarapan pecel di deket taman Sari Kenanga  ya, Mah? Lama nggak makan pecel,” teriak Sinta yang bersepeda di depan mamanya.
“Oke, sayang!” sahut mamanya keras.
Sinta menoleh lagi cepat.
“Tumben mama romantis? Biasanya manggil Sinta endut!” kata Sinta lagi. Mamanya hanya tersenyum manis.
Mereka berdua menjadi pasangan mama dan anak yang bahagia dan kompak kapan saja.
Beberapa menit sebelum sampai di area car free day ternyata Sinta mendapat musibah. Ia sengaja belakangan menuju area car free day karena ia hendak membeli minum di sebuah minimarket dan mamanya menunggu di area car free day. Usai membeli minum, Sinta siap mengayuh sepedanya dan hendak menyeberang sebuah perempatan jalan. Tapi, tiba-tiba dari arah berlawanan ada sebuah mobil box yang melaju kencang dan nyaris menabrak Sinta. Sekalipun tidak menabrak Sinta tapi membuat Sinta hilang keseimbangan dan ia terjatuh keras membentur trotoar. Kepalanya berdarah, kakinya nyeri dan lecet terkena badan sepedanya. Sinta mengaduh-aduh tapi apa daya, jalanan sepi. Mobil box tadi juga sudah hilang dari penglihatan.
“Sinta??!!!” suara seorang lelaki mengagetkannya.
“Pak Tommy??! Bapak di sini?”
“Kamu kenapa?” tanya tommy spontan mengabaikan sepeda santainya.
“Terserempet mobil barusan,” jawab Sinta lemas.
“Ya, sudah naik ke punggung saya gih, saya gendong kamu,” tawar Tommy.
“Eng-enggak usah, Pak! Saya masih bisa jalan, kok,”
“Ayok, jangan babibu lagi,” kata Tommy.
Sinta pun mengiykan tawaran Tommy.
“Kita kemana?” tanya Sinta.
“Ke mobil saya. Saya antar kamu pulang. Sepeda kamu biar dibawa temen saya ke dalam mobil,”
“Jangan!”
“Kenapa?”
“Kita nyusul mama saya dulu di car free day, ya? nggak papa, kan? Tapi kalo Bapak capek saya bisa turun sekarang, kok,”
“Nggak papahh! Wah, kamu berat juga ya, ‘Ndut” kata Tommy.
“Apaaa??!! Ya, sudah saya turun daripada nggak ikhlas,” Sinta gondok.
“Eh, jangan! Kaki kamu sakit, kepala kamu juga berdarah begitu. Nggak papa, saya kuat , kok,” kata Tommy sambil membenarkan posisi Sinta supaya tidak jatuh dari gendongannya.
@@@
Dan setelah pergulatan perkataan hati Sinta begitu lama akhirnya...
“Gimana, makanannya enak, kan? Memang bukan restoran mewah tapi saya sudah langganan di sini sejak lima tahun karena enak banget,” kata Tommy.
“Sumpah, Pak, eh, Mas Tom, enak banget! Nggak heran kalo seramai ini,” sahut Sinta.
“Lain kali kita jajal kuliner lain, ya?” tawar Tommy.
“Pasti!!” sahut Sinta spontan dan semangat.
“Tapi nggak ada yang cemburu kan, kalo kita jalan bareng?” tanya Tommy.
“Ada,”
“Siapa?” tanya tommy sontak merasa jantungnya nggak karuan berdebarnya.
“Pacarnya Mas Tom,” kata Sinta sambil melahap makanannya.
“Pacar saya? Hahahah, siapa?”
“Dasar ya, lelaki, suka nggak ngaku punya pasangan kalo sama cewek lain,”
“Serius, aku nggak ngerti maksud omonganmu, Sinta,”
“Sekretaris Lidya pacar Mas Tommy, kan? Saya lihat beberapa waktu lalu Mas dan Mbak Lidya pergi ke sebuah butik dan jalan-jalan berdua keliling mall,”
“Kamu nguntitin kita berdua?”
Sinta menggeleng kuat.
“Apa kamu cemburu?”
Sinta terbatuk-batuk. Segera Tommy menyodorkan minum.
“Saya cemburu?? Hahahha, ngapain cemburu? Ada-ada aja, ah,”
“Wah, enggak, ya? Padahal saya berharap kamu cemburu,”
Sinta melotot tajam ke arah mata Tommy.
“Saya cinta sama kamu, Sint,” ucap Tommy.
“Apa?” tanya Sinta tak percaya.
“Tidak ada statement kedua. Intinya, saya akan lamar kamu ke mama kamu segera,”
“APAAA???!!!” teriak Sinta spontan mengagetkan pengunjung restoran. Tommy mengkode untuk mengecilkan volume suara Sinta.
“Nggak bisa!”
“Kenapa?”
“Saya nggak suka sama Mas Tommy. Hubungan kita profesional atasan dan bawahan atau rekan kerja. Nggak lebih. Saya sudah pernah berjanji pada diri saya nggak akan pernah terlibat cinta lokasi semenjak kuliah. Rasanya menyakitkan!”
“Itu tidak akan terjadi lagi kalau kamu juga mencintai saya. Kamu sakit hati cinta lokasi karena cinta kamu bertepuk sebelah tangan, kan? Jadi, kalau sekarang kamu mencintai saya, kamu tidak akan merasakan sakit hati,”
“Mana bisa dijamin,”
Tommy menggerakkan ujung jarinya di depan Sinta ke kiri dan ke kanan.
No no no. Makanya kita coba dulu, baru kita merasakan gimana rasanya. Kamu mau jomblo sampai kapan? Tiga lelaki sudah kamu tolak, kan? Apa yang kamu cari? Hidup itu ibarat menunggu angkutan umum. Ketika kita menolak satu yang sudah datang karena tidak sesuai harapan kita dan kita menungggu angkutan selanjutnya dan selanjutnya dan kita sering menolak karena terus-terusan tidak sesuai harapan kita, kapan kita akan sampai pada tujuan kita? Bener nggak? Jadi, hanya saya yang siap menikahi kamu, menjadi imam kamu, menjadi ayah yang baik untuk anak-anak kita, menjadi menantu kesayangan mama kamu, insyaAlloh. Asal kita mencobanya dahulu,” tutur Tommy panjang.
Sinta memelankan kunyahannya dan berpikir sejenak. Apa yang dikatakan Tommy benar, sekalipun ia terkadang membenci lelaki tapi ia tak bisa bohong bahwa ia juga membutuhkan sosok yang akan menjaganya selama sisa umurnya  di dunia apalagi setelah jika suatu hari nanti mamanya kembali pada Sang Khaliq.
“Kamu serius, Mas? Lalu Lidya?”
“Dia sepupuku, Sint. Jangan cemburuan gitu, ah. Percaya sama saya,” akta Tommy tersenyum manis membuat Sinta sejujurnya meleleh hatinya setiap kali melihatnya.
“Oke, kita mulai masa uji coba,” kata Sinta.
Tommy mengajak Sinta berjabat tangan.
Deal?” tanya Tommy.
Deal!” jawab Sinta tegas.
@@@









Sabtu, 09 Juni 2012

Hipotesa Oka


Hipotesa Oka

Hiruk-pikuk kendaraan demi kendaraan dari roda dua hingga roda empat, dari moda transportasi umum sampai mobil pribadi super mewah mewarnai sebuah area pertokoan. Belum lagi badan jalan raya di depan pertokoan itu sudah banyak digunakan para pemilik warung kaki lima untuk mengumpulkan pundi-pundi uang sehingga menambah kepadatan lalu lintas dan tentunya menyumbang kebisingan super di sana.
Ada sebuah pemandangan yang cukup menarik perhatian orang yang singgah lalu pergi di area pertokoan itu –walau hanya sekelebat memandang-. Seorang gadis manis dengan rambut kuncir kudanya lihai mengatur kendaraan-kendaraan para pengunjung dengan sedemikian rupa rapinya. Juru parkir atau jukir di sana menyebut namanya Dewi. Tukang becak, sopir mobil box pengantar barang, pegawai pertokoan sampai pengamen di sana juga menyebutkan nama yang sama. Dia memang bukan jukir tetap dan ternama di sana tapi semua orang kenal dengan jukir bernama pak Soleh, orangtua Dewi yang sudah nyaris delapan tahun mengais rejeki sebagai jukir di area pertokoan itu dan hasilnya sukses bikin Dewi bisa kuliah, tak sepenuhnya sih, Dewi cewek cerdas yang beruntung mendapat beasiswa penuh kuliah.
Siang itu pukul dua belas siang. Panasnya bukan main. Dewi justru dibuat jengkel oleh sebuah Nissan Juke yang parkir sembarangan, mengganggu jalannya mobil lain. Tangan Dewi sudah gatal untung memberikan hukuman bagi pengemudi yang tak tahu aturan seperti itu. Matanya juga melirik jauh ke arah pak Badri, si tukang tambal ban yang hari itu masih mendapatkan satu pelanggan. Aksinya kali ini bisa menambah rejeki pak Badri.
Kini tangannya sudah sukses membuat ban depan kiri mobil mewah itu kempes. Ia menepuk-nepukkan kedua tangannya setengah mengibas  manggut-manggut seolah puas.
Beberapa menit berlalu, Dewi masih sibuk mengatur arus kendaraan yang datang dan pergi. Tiba-tiba ada seseorang menghampirinya.
“Dewi?” tanya seorang lelaki muda dengan tubuh tinggi menjulang, berkemeja rapi, bersih. Dewi mengangguk. Lalu lelaki itu serta merta mencengkeram lengan Dewi dan menyeret paksa Dewi ke sebuah mobil. Nissan Juke silver.
“Ini kenapa dikempesin?” tanya lelaki itu to the point.
Dewi melirik lelaki itu, sudah pasti dialah pemilik mobil. Dewi tidak mengelak, justru ia berkata tegas,”Mas tahu sendiri ini tempat bukan tempat parkir,” tungkas Dewi.
“Tapi kamu kan, bisa cari pemiliknya, aku. Ngomong baik-baik kek, nggak usah acara ngempesin segala. Dan kamu tahu, dengan kamu ngempesin banku kayak gini, kamu menambah masalah. Banku sudah kempes, nggak bisa jalan, sudah pasti tambah macet. Tuh lihat!” celoteh lelaki itu sambil menunjuk ke arah depan dan belakang mereka, banyak kendaraan yang sulit berjalan cepat. Dewi mengikuti arah telunjuk lelaki itu. Lelaki itu benar.
“Maaf,” ucap Dewi.
“Dorong mobilku! Biar minggiran dikit,”
Dewi mengangkat kepalanya cepat dan mengarahkan telunjuknya ke hidungnya. Lelaki itu segera masuk ke dalam mobil, memegang kendali setir mobilnya.
“Emang enak... hahaha...,” suara bocah lelaki meledek Dewi yang tengah bersusah payah mendorong mobil itu. Dewi memonyongkan bibirnya dan mengepalkan sebelah tangannya kepada bocah itu. Bocah itu lagi-lagi membuat ulah. Lelaki itu tahu siapa pengempes ban mobilnya sudah pasti bocah itu tersangkanya. Tidak mungkin tidak. Bocah itu adalah pemegang kuncian ulah usil Dewi, selain pak Badri dan ayahnya. Tapi bocah itu sudah pasti pemegang rekor tercomel di antara yang lain.
TIN! TIN! Klakson mobil itu berbunyi, tampaknya memberi kode Dewi untuk melanjutkan usahanya mendorong mobil itu. Dewi dengan kesal mendorong mobil itu.
©©©
Keesokan harinya Dewi tak “beredar” di area pertokoan sejak awal hari, ada jadwal kuliah pagi. Tepat jam delapan pagi dia sudah duduk manis di bangku pojok terdepan, sudut yang sudah ia tasbihkan sebagai takhtanya. Beberapa menit kemudian jam kuliah dimulai. Lalu masuklah seorang tampan rupawan menawan bebas melenggang melewati pintu kelas dengan menenteng sebuah tablet di tangan kirinya membuat suara riuh di seantero ruangan dengan sekitar tiga puluh mahasiswa itu.
Dewi melirik sekilas tapi untuk pandangan kedua yang ia lemparkan dengan secepat kilat, ia terkesiap. Ia setengah melonjak dari kursinya dan tubuhnya membentur ke tembok keras di sampingnya dengan suara tak kalah berisik dari suara para mahasiswa. Seketika seisi kelas menyorotkan fokus pandangan mereka ke arah Dewi, termasuk sosok rupawan tadi. Dewi menelan ludah setengah meringis. Tapi seisi kelas yang tujuh puluh persennya adalah cewek itu tak mengeluarkan sepatah-dua patah kata, mereka segera melempar pandangan kembali ke sosok tampan memesona di depan kelas. Mata mereka seolah tersihir hanya memandang sosok itu. Sementara Dewi, ia membetulkan posisi duduknya dan kembali menelan ludah. Ia merasa dunianya berhenti berputar sejenak. Ia sesekali mencuri pandang ke arah lelaki itu dengan gugup, berharap lelaki itu tak mengingat dirinya. Tapi bagaimana bisa? Kejadiannya kemarin siang, belum ada 24 jam.
 “Selamat pagi, Teman-teman! Apa kabar hari ini?” sapa lelaki itu. Seluruh isi kelas membalasnya dengan riuh gembira. “Baik, mungkin kita belum saling kenal. Saya terkesan alien ya, di kelas ini? Hehehe... perkenalkan, nama saya Oka, say---“
Para cewek menyahut,”Oka Antara ya, Pak?” Kemudian mereka menyunggingkan senyum genit menggoda ke arah lelaki itu.
“Bagus Oka Jatmika. Panggil aja Oka. Saya mengampu mata kuliah Psikologi Klinis, jadi buat kalian yang akan mengambil fokus peminatan Psikologi Klinis, kita akan sering bertemu saya nantinya,” ujar lelaki itu tersenyum. “Semoga kita bisa bekerja sama dengan baik.”
Dewi merasa aliran listrik dengan daya minimal tapi sungguh terasa sedang menjalar di sekujur tubuhnya. Peminatan itu adalah peminatan incarannya. Dewi menggigir bibit bawahnya segera. Lalu, tiba-tiba Elsa, teman dekatnya memberikan secarik kertas.
Dia dosen pembimbing akademik kita, nggantiin bu Rahma :D
Memo Elsa itu menambah daya aliran listrik di sekujur tubuh Dewi. Ibarat jika ada lampu bertengger di kepala Dewi, sudah pasti lampu itu berwarna oranye, siap-siap ke arah merah sebagai tanda siaga satu.
©©©
Hidup Dewi terus berjalan seiring berlalunya waktu. Oka adalah salah satu warna baru bagi hidupnya. Hampir setiap hari ia bertemu Oka, di kelas, di perpus, di kantin sampai tentunya sudah pasti di area pertokoan ketika Dewi  mengantar makan siang bapaknya atau sesekali jika ia menggantikan bapaknya ketika bapaknya ada urusan atau sakit seperti beberapa waktu lalu.
Usut punya usut Oka adalah anak dari pemilik toko kue di area pertokoan itu. Jadi setiap hari mampir ke toko kue milik ibunya. Dan agak anehnya sekarang dia jadi sering nangkring di pos satpam bercengkerama dengan penghuninya termasuk pak Soleh. Tampaknya keduanya makin akrab dan Dewi tak sengaja suatu ketika mendapati bapaknya dan Oka bersenda gurau seperti sudah lama kenal.
“Pak,” Dewi mencium tangan bapaknya dan menyerahkan sekotak nasi makan siang bapaknya.
“Wah, Bapak sudah makan tadi dapat tasyakuran pak Badri nimang cucu, Wi. Semua juga sudah makan,”
Dewi melebarkan matanya dan berekspresi sedikit kecewa. Dia menerjang terik matahari dengan jalan kaki dan berkeringat di sana-sini, bapaknya ternyata sudah makan.
“Kalau gitu saya saja yang makan, Pak! Saya belum sarapan dari tadi soalnya buru-buru ada kelas pagi,” celetuk Oka yang duduk di samping pak Soleh.
Dewi mendelik ke arah Oka sementara pak Soleh menyahut kotak nasi yang dipegang Dewi untuk diserahkan pada Oka. Dengan semangatnya pak Soleh mempersilakan Oka memakan jatah makan siangnya. Nasi rames. Pak Soleh mempromosikan masakan istrinya begitu enak dan tak heran jika istirinya sering didapuk sebagai tukang masak setiap kali ada hajatan besar di kampungnya.
“Itu bergedel bikinan Dewi. Enak lho, Mas!” ujar pak Soleh.
“Bapak, ” Dewi berdesis setengah menahan malu.
Oka langsung menggigit bergedel itu. Merasakannya sejenak kemudian melahap satu bulatan bergedel itu. Beberapa detik kemudian  kedua ujung bibirnya tertarik ke atas.
“Wah, kalau rasanya begini, suami pasti betah makan di rumah, hahahaha.” Oka berkelakar disambut tawa pak Soleh. Air muka Dewi sudah seperti udang goreng, bukan marah tapi malu bukan main. Semoga Oka tak sedang menggombal seperti desas-desus yang sering Dewi dengar di kampus, baik kalangan dosen wanita maupun para mahasiswa cewek lintas angkatan.
Matahari mulai menggelincirkan diri beberapa senti dari puncaknya, Oka mengantar Dewi pulang jalan kaki, menuju rumah Dewi yang tak jauh dari area pertokoan. Lima belas menit perjalanan –harusnya cuma sepuluh menit kalau Dewi berjalan sendiri dengan kecepatan normal- mereka habiskan untuk bicara ringan dan bergurau. Oka memuji masakan Dewi, Dewi tersipu atas sanjungan itu lalu Oka mulai mengeluarkan jurus untuk menarik perhatian wanita dan Dewi -kembali- tersanjung merasa berbunga-bunga.
“Sabtu besok temenin aku cari literatur di perpustakaan daerah, ya? Aku butuh buat jurnal perdanaku. Aku harap aku bisa memberikan usaha terbaik jadi dosen anyar, hehehe,” pinta Oka ketika mereka sudah ada di depan rumah Dewi di sebuah gang kecil padat penduduk. Dewi mengangguk setuju. Sebelum pergi Oka sempat mengusap lengan Dewi.
Ah, lelaki itu selalu memberi bekas fisik sebelum beranjak pergi, dulu pernah mendadak Oka mengusap kepalanya seperti anak kecil, kali ini lengan Dewi. Dewi merasa kepalang GR alias Gede Rasa, ia harus cari tahu maksudnya. Minimal ia harus mencari info apakah Oka melakukan hal yang sama untuk wanita lain, tentunya bukan Hajah Nurani, ibunya atau kakak perempuannya. 
Dewi membuat hipotesa. Hipotesa nol: kalau Oka melakukan sentuhan fisik ke semua wanita –selain keluarganya- itu artinya dia memang lelaki baik yang menganggap semua wanita adalah teman baiknya, lelaki yang hangat pada semua wanita. Sementara hipotesa kerja: jika Oka melakukan itu hanya pada wanita tertentu, artinya dia memang menganggap wanita itu lebih istimewa, sama istimewanya dengan ibu dan kakaknya. Dewi mulai beraksi melakukan observasi dan wawancara keesokan harinya dan beberapa hari ke depannya.
©©©
Singkat cerita, keakraban Dewi dan Oka makin terlihat jelas di mata banyak orang, baik di kampus maupun di area pertokoan. Oka butuh bantuan asisten, otomatis Dewi menjadi asisten pribadinya. Dewi butuh bimbingan ketika kesulitan mencerna materi, Oka selalu ada mencerahkan kebuntuan pikiran Dewi. Oka dan Dewi, dimana ada Oka sudah dipastikan ada Dewi begitu pula sebaliknya. Pacaran? Belum. Tapi mereka menikmati itu.
Dewi pun akhirnya mendapat kesimpulan hipotesa mana yang diterimanya selama beberapa bulan terakhir. Hipotesa kerja! Oka hanya melakukan sentuhan fisik tangannya pada wanita-wanita terdekatnya, ibu dan kakaknya dan sekarang bertambah Dewi! Itu artinya Dewi masuk daftar orang cukup istimewa bagi Oka, selevel dengan ibu dan kakaknya. Dewi rasanya ingin jungkir balik karena gembira. Ia kini bebas tersenyum sendiri di kamarnya karena dia termasuk wanita yang diistimewakan Oka!
“Tapi... kenapa sampai sekarang dia belum bilang suka sama aku, ya?” gumam Dewi sendiri di atas kasurnya sambil memeluk guling kesayangannya. Raut wajahnya yang tadi gembira kini berubah cukup memuram. Hatinya digantung tak jelas. Sukakah Oka padanya? Dia sudah pasti suka setengah mati pada Oka.
©©©
Dewi sudah ada di lobi perpustakaan daerah. Dirinya dan Oka berjanji bertemu di sana sekitar pukul sebelas. Tapi Dewi tak mendapati Oka ada di sekitarnya. Dewi mengirim pesan untuk Oka. Tak ada jawaban. Ia mencoba menelepon Oka tapi justru suara mesin operator yang menjawabnya, pertanda hapenya nggak aktif. Dewi memutuskan menunggu Oka di lobi perpus sampai tiga puluh menit berlalu jengah dan sebal menjalar menyelubungi perasaan Dewi. Oka tak datang dan dihubungi juga tak bisa. Dewi bergerak ke dalam dan bertanya pada resepsionis perpus untuk menanyakan tamu perpustakaan hari ini adakah bernama Oka tapi hasilnya nol. Oka tak ke perpus hari ini sesuai janjinya.
Dewi bergegas pulang, sialnya  bunyi geledek sudah bergemuruh riang di langit sana. Langit mulai mendung bahkan teramat dramatis, mendung petang. Tampaknya hujan badai mau turun. Dan tak salah lagi baru saja Dewi melangkah kaki keluar pagar perpustakaan, byuurrr!!! Suara air hujan deras mengguyur tanah kering kerontang yang tadi diinjaknya. Dewi bergegas minggir di bawah pohon beringin lalu mengeluarkan payung lipatnya. Ia kembangkan payung itu lalu pergi ke halte dan mencari angkot pulang ke rumah.
Baru beberapa meter berlalu dari perpus, Dewi menatap keluar angkot yang berjalan bak siput itu melalui kaca angkot yang sudah berembun tebal. Ketika melintasi sebuah mobil yang tak asing baginya, ia teringat Oka. Ah, tapi pemilik Nissan seperti Oka pasti banyak. Tapi pandangan Dewi seketika membelalak ketika melihat orang yang berdiri di depan mobil itu. Postur tubuhnya tak salah. Dewi menggosok-gosok embun di kaca belakang angkot itu.
Oka??!! Ngapain dia sama cewek? Apa? Meluk?
Dewi mengucek-ucek matanya. Tapi penglihatannya tak salah. 
Itu Oka!
Betapa hati Dewi serasa dihantam benda besar dan super kuat dan dia terpental terhempas. Cewek itu memang tak pernah dia tahu tapi apa hubungannya sama Oka sampai Oka main peluk segala? Dirinya saja tak pernah diperlakukan seperti itu. Tapi... sudah jelas, dia bukan kekasih Oka.
Dewi mulai menyalahkan diri. Pertama, hipotesa kerja ternyata zonk. Oka melakukan kontak fisik dengan semua wanita, artinya dirinya bukan wanita istimewa untuk Oka. Kedua, seharusnya ia percaya desas-desus Oka lelaki perayu semua wanita. Entah wanita seperti apa. Cantik, seksi, kaya, pintar? Atau juga miskin, jelek, otak ber-IQ rata-rata? Atau seperti apa? Dewi sendiri tak tahu dia masuk tipe wanita seperti apa. Desas-desus tak begitu jelas, Dewi sendiri malas bergosip.
©©©
Dewi sakit flu selama hampir seminggu terakhir. Perasaannya juga kacau balau. Dia ingin tahu kebenaran yang terjadi tempo hari tapi yang didapatinya Oka enyah bak ditelan bumi seminggu terakhir. Tak ada kabar, bahkan minta maaf karena telah membatalkan janji juga tak terucap walau barang satu SMS sekalipun. Dewi makin dongkol.
“Dew!” panggil bu Sonya, dosen pengampu mata kuliah Psikologi Forensik. Dewi menoleh. “Ini tugas dari Oka, dia ada seminar di Bandung seminggu terakhir dan masuk besok lusa. Katanya ini suruh kamu kerjain, biar nanti ketika dia dateng, dia sudah siap presentasi,” jelas bu Sonya sambil menyerahkan sebuah dokumen.
Ini, nih! Disangka aku babu! Sudah nggak dibayar, suruh kerja rodi!!! Sakit begini mana mau tahu dia? Pergi nggak bilang-bilang!
Dewi merasa hatinya meledak-ledak. Selama ini ia membantu Oka memang tanpa imbalan pasti, Oka hanya sering menraktirnya makan dan jajan setiap kali selesai membantu Oka. Oka sendiri sudah bilang ia tak akan memberikan kompensasi uang atau nilai untuknya dan Dewi dengan sadar dan waras menyetujuinya. Ya, karena saking senengnya Dewi bisa dekat dengan dosen ganteng seperti itu, makanya ia menyetujui kesepakatan konyol itu dengan Oka. Tapi sekarang giliran jiwa dan raganya jungkir balik sakit, keluarlah umpatan-umpatan kejengkelan itu.
Dewi akhirnya hanya menggeletakkan dokumen itu di meja kamarnya. Sampai hari-H Oka pulang dan langsung mampir ke rumah Dewi, Dewi tak mengerjakan tugas dari Oka.
“Kok, nggak dikerjain, sih, Wi? Aku butuh besok siang mau presentasi,” ujar Oka.
“Kerjain saja sendiri! Nggak tahu suaraku bindeng begini? Hidungku mampet, nafasku sesek, kepalaku pening. Pusing melototin laptop mulu,” Dewi mengetus tanpa memandang Oka.
“Kenapa kamu nggak ngabarin aku kalau kamu sakit, kalau begini aku bisa ngerjain sendiri wal---”
“Oh, jadi selama ini beneran aku cuma jadi babu? Aslinya kamu bisa sendiri, kan? Sudah deh, aku males. Aku berhenti jadi asisten kamu. Oh, ya, selama ini memang tidak ada penasbihan secara resmi sih, tapi oke aku tegaskan Bapak Bagus Oka Jatmika, saya berhenti jadi asisten Bapak, selama-lamanya. Oke? Titik. Saya capek. Saya pingin fokus kuliah, saya nggak mau bapak grecokin setiap hari padahal Bapak bisa ngatasin tugas-tugas Bapak sendiri. Oke? Silakan pulang!” seloroh Dewi tanpa jeda.
“Kamu ini ngomong apaan, sih, Wi? Aku capek-capek ke sini kamu malah ngomel-ngomel nggak jelas begitu?”
“Sudah tahu capek, kenapa kemari? Pulang saja sana!” suruh Dewi kasar. “Nih, dokumennya, maaf saya nggak bisa ngerjain. Terlalu sulit!” lanjut Dewi berdusta, padahal cuma bikin power point saja.
Oka meraup kedua mukanya seolah putus asa. “Kamu ini kenapa marah-marah gitu sih, Wi? Aku nggak ngerti, serius!”
“PMS dan sakit jiwa raga. Titik. Silakan pulang!” usia Dewi sekali lagi. Ia hendak melangkah masuk rumah tapi tangan Oka meraih lengan Dewi sigap dan menjatuhkan tubuh Dewi ke pelukannya.
“Aku kangen, Wi! Bentar saja aku ngobatin kangenku,”
Dewi terperangah dengan sikap Oka, ia meronta meminta dilepaskan tapi Oka mengunci rapat tubuh Dewi.
Stay with me! Aku kangen banget,”
“Apa cewek tempo hari pas kamu ngebatalin janji ke perpus juga sering dapet pelukan seperti ini? Cewek mana lagi yang dapet pelukanmu?”
Oka merasa lehernya tercekat. Ia melepas pelukannya perlahan.
“Kamu tahu itu?” air muka Oka berubah kaget.
Oka menjelaskan semua yang terjadi. Kejadian tempo hari memang dirinya dan seorang cewek berpelukan di keramaian di bawah derasnya hujan. Cewek itu mantan kekasih Oka ketika menimba ilmu di Belanda. Cewek itu sengaja meminta Oka kembali kepadanya setelah mereka putus nyaris setahun. Alasannya klasik, lelaki yang bersamanya bukanlah lelaki baik seperti Oka yang santun dan berwibawa sekaligus tampan. Tapi Oka menolak, yang lalu biarlah berlalu. Cewek itu berupaya sekuat tenaga untuk merayu Oka kembali ke pelukannya tapi akhirnya gagal total. Oka sadar, fokusnya tak lagi pada cewek itu tapi Dewi. Mahasiswanya yang sukses membuat hatinya berasa naik roller coaster, naik-turun, jungkir balik tak keruan setiap saat, bahkan hanya dengan mengingat wajahnya saja.
“Lalu dia ke mana sekarang?” tanya Dewi.
“Balik ke Papua, mau jadi dokter ahli jiwa di sana. Jadi, jangan cemburu lagi, jangan marah-marah lagi! Sudah jelas, kan? Maaf kalau aku nggak pernah cerita,”
“Nggak apa, aku juga nggak berhak tahu cerita itu.”
“Berhak atau enggak tapi sudah sukses bikin kamu marah-marah barusan. Maafin aku, ya?”
“Kenapa nggak kabar-kabar ngebatalin janji? Terus main pergi ke Bandung?” tanya Dewi tak menggubris permohonan maaf Oka.
“Loh, aku kirim pesan. Serius,
“Gagal paling tapi kenapa telepon nggak bisa nyambung?”
“Pas hari itu hape aku matikan memang. Rania menuntut agar hape kami dimatikan saat kami bersama,”
“Dan kamu mau? Padahal kalian sudah putus lama?”
Oka mengangguk. “Ya, sudahlah jangan dibahas lagi! Dia sudah di ujung timur sana. Mari bicara soal kita,”
Dewi melengos menghindari Oka. Oka mengikuti setiap pergerakan Dewi.
“Pak Oka...”
“Oka. Aku belum tua,” Oka mengultimatum lembut.
“Oke, Oka...”
“Kenapa?”
Dewi menggeleng kuat, dia salah tingkah ditatap Oka dengan penuh keteduhan dan senyuman manis yang menghiasi wajah Oka.
By the way, aku laper. Gimana kalau kamu masakin nasi goreng buatku? Mumpung hujan gerimis begini enak kali makan nasi goreng sama teh anget,” kata Oka memandang keluar rumah Dewi. Benar, tadi ketika Oka datang langit mendung, beberapa menit berselang hujan gerimis pun turun. “Apalagi buatan calon istri,” sambung Oka membuat Dewi memutar kepalanya drastis ke arah Oka yang memunggunginya.
“Istri apa pembantu? Baru juga tadi diingetin aku nggak mau jadi babu sekarang sudah minta lebih,” sindir Dewi yang aslinya hatinya sudah jumpalitan gembira dibuat GR setengah mampus oleh Oka.
Oka memutar badannya ke arah Dewi. “Ayolah, Wi... bermanis-manislah pada orang lapar! Ini ladang amal, loh. Ngasih makan orang laper, hehehe,” goda Oka di depan Dewi yang lebih pendek darinya.
“Nilai Psikologi Klinisku A ya, Pak?” Dewi memberi penawaran sambil menaik-turunkan kedua alisnya.
“Enak saja! KKN dong? Kalau aku ditahan KPK kamu mau kesepian nggak ada aku?”
Dewi berpikir ulang lalu tawa pecah di antara mereka berdua. Seiring dengan itu Dewi sudah tak peduli hipotesanya tentang Oka, yang penting sekarang dirinya dan Oka mulai menjalani hubungan sebagai sepasang kekasih. Kisah mereka dimulai dari sini. Bahagianya, terasa beranda rumah Dewi seketika menjadi taman berbunga. Semoga ini bukan delusi.
©©©

 (replace: terminal akhir pencarian cinta)