Senin, 15 Desember 2014

Perjodohan... again and again



Judul                    : Learning to Love
Penulis                 : Eni Martini
Penerbit               : PT Gramedia Pustaka Utama
Jumlah halaman    : 184 halaman
Harga                  : - (dapet kado kuis dari mbak @RizkyMirgawati ^_^)

Amore kedua yang justru bikin terjun bebas gairah baca tema perjodohan—kalau ceritanya lempeng kayak gini. Maaf harus jujur, ekspektasi saya terlalu tinggi di sini.
Padahal beberapa waktu terakhir dicekokin drama perjodohan yang melibatkan benci jadi cinta, rasanya girang bukan kepalang. Terus baca novel ini? Sempet hore banget, sih. Tapi...
Oke, poin plus novel ini, justru memelencengkan dugaan: perjodohan tapi tidak benci jadi cinta. Hubungan Ken dan Eliz justru baik-baik saja.
Sebaik-baik saja jalan cerita novel ini dari awal sampai akhir. Maksudnya, novel ini tuh flat, gregetnya nggak ada. Padahal menurut saya, hubungan Ken dan Eliz di setiap bagian novel ini, masih bisa dieksplorasi lebih jauh sehingga bikin emosi pembaca bergejolak. Iya, memang ada konflik utama, tapi andaikan cerita novel ini sebuah garis yang lurrruuuus saja mulanya, konflik itu hanya berupa lanjutan garis yang secuil menukik ke atas kemudian lempeng lagi.
Belum lagi yang cukup mengganggu adalah ketidaksesuaian informasi cerita atau apalah istilahnya. Contohnya:
1.     Nina (sahabat Eliz) dikatakan di bab awal, memiliki anak berusia 10 tahun. Ia menikah sejak usia 27 tahun (par. 10, hal.10). Tapi di bab belakang, Nina seumuran Eliz, 33 tahun (par. 2, hal. 130). Emmm, agak aneh, ya?
2.    Ken adalah anak sulung. Ia memiliki 2 adik perempuan yang telah menikah dan memiliki anak (par. 4, hal. 26). Tapi dikatakan Ken memiliki kakak-kakak yang telah menikah dan memiliki anak di bab belakang (par. 4, hal.109)?
Lantas gangguan lain adalah terkait EYD dan typo, antara lain:
1.     Penulisan ‘per-temuan’ (par. 5, hal. 42). Padahal itu di tengah paragraf, dan bukan di posisi yang harus dipenggal. Biasanya kalau kena batas layout kudu dipenggal bukan, ya? Bener nggak? Berlaku juga untuk kata ‘melun-cur’ (par. 1, hal. 44)
2.    Penulisan tanda baca titik (.) yang diketik ganda (par. teratas, hal. 47)
3.    Penulisan tanda petik dua penutup dialog (”) dibubuhkan bukan untuk menunjukkan dialog, melainkan paragraf narasi. Jelas itu narasi, sebab di awal tidak ada tanda petik dua pembuka dialog (“). (par. 3, hal. 47)
4.   Penulisan tanda baca koma (,) yang diketik ganda (par. 5, hal. 47)
5.    Yang ini typo atau sengaja, ya? à “Ini efek mahasiswi psikolog masuk ke distribusi kali, ya?” gerutunya.  Setahu saya, psikolog itu profesi, masa’ mahasiswa/ mahasiswi? Kalau psikologi, itu baru ilmunya. Dan sepertinya maksud dialog Eliz kepada Nina itu, mengacu ke maksud ilmunya, psikologi. Jadi, mahasiswi psikologi (par. 6, hal. 53)
6.   Typo ‘menujukkan’ (par. 5, hal. 91), harusnya menunjukkan
7.    Penggunaan kata depan (preposisi) ‘di’ dan ‘pada’ yang kurang tepat. Setahu saya, ‘di’ itu digunakan untuk menunjukkan tempat atau lokasi, sedangkan ‘pada’ untuk menunjukkan waktu. Di novel ini kurang tepat penggunaannya, seperti ‘di umur 27 tahun’ (par. 10, hal. 10) seharusnya ‘pada umur 27 tahun’ dan ‘di Senin sore’ (par. 7, hal. 43) seharusnya ‘pada Senin sore’. Betul, nggak?

Ya memang, nggak ada gading yang nggak retak. Masalah ketidaksesuaian informasi cerita, typo, atau problem EYD, saya juga payah, hehehe. Hanya sebatas tahu setelah membaca beberapa novel dari penerbit yang sama.
Overall, novel ini bisa terbangun secara utuh sebagai sebuah cerita. Tapi entah, rasanya kecewa karena:
1.        Melihat packaging-nya kok tipis (tapi masih berharap ceritanya cetar karena mengusung tema perjodohan)
2.      Setelah baca, ternyata tidak ada kejutan sama sekali. Oke, mungkin dari blurb hampir bisa ditebak atau dipastikan kedua tokoh berjodoh. Kalau sudah begini, apa yang mau diharapkan pembaca yang (mungkin sudah) bisa menduga ending-nya, kalau bukan ‘letupan-letupan’ yang menghiasi jalan cerita tokoh utama?

Saya gemes kenapa Ken dan Eliz nggak dikasih kesempatan beromantis ria? Kurang mengoyak emosi. Padahal sudah kebayang perjodohan yang akan dibumbui konflik-konflik cetar, dan ah... maaf, saya kasih bintang 2.5 saja. Kalau novel ini ditulis ulang (dieksplorasi lagi konflik-konfliknya yang bikin emosi jiwa), saya akan menaikkan jumlah bintangnya sampai 5. Serius! Tapi salut untuk penulis yang sudah mengemas cerita perjodohan antimainstream (bukan benci jadi cinta, tapi hubungan baik jadi cinta) ini, hehehe. ^_^
Terakhir, saya suka quote-nya Indra (teman baik Ken), nih:

“Bukannya dalam berumah tangga itu seperti menanam bibit dari pohon yang kita cintai, yang ktia inginkan untuk tumbuh, berbunga, dan berbuah? Jadi, kupikir menikah atau berumah tangga itu proses seumur hidup untuk terus mencintai.” (par. 5, hal. 150)



Jumat, 31 Oktober 2014

HE KNOWS ME SO WELL [Diikutkan dalam lomba cerpen FANGIRL Penerbit Spring]



HE KNOWS ME SO WELL



Ada cowok di dalam kamarnya.
Cath mendongak untuk melihat nomor yang tertulis di pintu, lalu menunduk ke surat penempatan kamar di tangannya.
Pound Hall, 913.
Sudah pasti ini kamar 913, tapi mungkin bukan Pound Hall—semua asrama di sini terlihat sama, seperti bangunan perumahan untuk kaum jompo. Mungkin Cath sebaiknya mencoba menahan ayahnya sebelum ayahnya itu membawa sisa kardusnya ke atas.
“Kau pasti Cather,” kata cowok itu, tersenyum lebar dan mengulurkan tangannya.
“Cath,” kata Cath, merasakan sentakan rasa gugup di perutnya. Ia mengabaikan tangan cowok itu. (Lagian, ia memegang kardus, apa yang diharapkan cowok itu darinya?)
Ada yang salah—pasti ada yang salah. Cath tahu kalau Pound itu asrama campuran…. Apa memang ada kamar campuran?
Cowok itu mengambil kardus dari tangan Cath dan meletakkannya di atas tempat tidur yang kosong. Tempat tidur di sisi lain ruangan sudah dipenuhi dengan pakaian dan kardus.
“Apa barangmu masih ada yang di bawah?” tanya cowok itu. “Kami baru saja selesai. Kurasa kami akan pergi makan burger sekarang; kau mau burger? Apa kau sudah pernah ke Pear’s? Burgernya seukuran kepalanmu.” Cowok itu mengangkat lengan Cath. Cath menelan ludah. “Kepalkan tanganmu,” kata cowok itu.
Cath melakukannya.
“Lebih besar dari kepalanmu,” kata cowok itu, melepaskan tangan Cath dan mengangkat tas punggung yang Cath letakkan di luar pintu. “Apa kardusmu masih ada lagi? Pasti masih ada lagi. Apa kau lapar?” Lalu ia mengulurkan tangannya. “Ngomong-ngomong, namaku Levi.”
Cath membalas jabatan itu sesaat. Kendati cukup risih menghadapi cowok yang terkesan banyak bicara ini, namun Cath memberikan penilaian positif lainnya, friendly. Itulah yang dibutuhkan Cath pada tahun pertamanya di Pound Hall. Mengingat dirinya bukan tipikal cewek yang mudah bergaul.
“Terima kasih.” Cath akhirnya memang harus mengucapkannya walau sebetulnya ia tidak menginginkan pertolongan Levi.
Sejurus itu Cath pamit kembali ke bawah menyusul ayahnya yang membawa barang-barangnya yang lain.
“Izinkan aku membantumu, ya? Barang-barang cewek pasti banyak,” tukas Levi sambil menyengir.
“Kau mengejekku?”
“Tidak. Tapi ya, setidaknya itu yang dilakukan sepupuku, Adele, yang sekamar denganmu. Tempat tidur di sisi lain tadi tempat Adele. Dia membawa barang bawaan dua kali lipat lebih banyak dariku. Hahaha.” Levi tertawa sambil mengimbangi langkah gadis ber-hoodie jacket pink itu menuruni anak tangga.
Lantas Levi melanjutkan tanpa diminta. “Tapi dia sudah pergi terlebih dahulu ke Pear’s bersama yang lain. Kita akan mengadakan semacam welcome party kecil-kecilan. Itu mengasyikkan! Pastikan kita cepat-cepat sampai di sana.”
Cath berhenti di tengah-tengah anak tangga. Tubuhnya segera menghadap cowok yang mengenakan sweater motif tribal warna gelap itu, kontras dengan kulitnya yang putih pucat.
“Aku belum menyetujui idemu untuk makan burger bersama. Dan kau tidak perlu repot-repot membantuku karena ayahku—” Belum selesai Cath bicara, ayahnya sudah ada di ujung bawah tangga, terlihat kesusahan membawa dua kardus besar Cath lainnya. Dan meminta Cath untuk membantunya segera.
“Oh, Paman, biar kubantu,” sahut Levi secepat kilat menghampiri ayah Cath.
Cath melongo melihat tingkah cowok satu ini. Sok kenal. Kejengkelan menyelusup ke dalam dada Cath. Tidak peduli Levi berwajah tampan.
**
Cath tidak bisa menolak bujukan Levi. Belum lagi ayahnya tadi mendesaknya untuk mengikuti ide Levi. Padahal, semula Cath berencana istirahat di dalam kamar, mengumpulkan energi untuk acara resmi welcome party dari pihak Pound Hall yang berlangsung besok pagi. Lagi pula ini sudah sore. Selain itu ia juga hendak merapikan ide-ide yang ia tulis asal di buku catatannya selama tiga jam perjalanan dari rumahnya menuju Pound Hall. Tulisan fanfiksinya tentang Simon Snow—idolanya—masih perlu tambahan poin di sana-sini. Ia sungguh ingin novel fanfiksinya tertulis sempurna. Namun ternyata, cacing-cacing di perutnya juga tidak mau berkompromi dengannya. Alih-alih memihak Levi.
Sesampainya di Pear’s, Levi memperkenalkan Adele dan dua kawan cowok—yang juga baru dikenalnya tadi—kepada Cath. Cath menyambutnya dengan ramah.
Selesai itu Levi menarikkan sebuah kursi untuk diduduki Cath. Beberapa menit berikutnya memesankan burger untuk Cath.
“Untukmu, tanpa bawang bombay.”
Mata Cath mengerjap-ngerjap. “Bagaimana kau tahu aku tidak suka bawang bombay?”
Levi tersenyum manis. “Kau menulisnya di website resmi Simon Snow. Kau penggemar beratnya, bukan? Aku juga.
“Kau...” Cath ragu untuk menyebutkan. Namun dari beberapa gelintir fans cowok dari idolanya, hanya satu yang mengenalnya dengan pasti. Keduanya sering menimpali kolom komentar di website Simon Snow.
“Leonard Villarreal,” timpal Levi dengan kerjapan sebelah mata, genit.
Mulut Cath membulat lebar. Namun ia berusaha untuk mengatasi keterkejutannya. “Jadi, kau suka menyingkat namamu?”
Levi mengangkat kedua bahunya. “Begitulah. Lalu, sudah sampai mana draft novel fanfiksimu, Nona?”
Wajah Cath bersemu semerah tomat. Tak menyangka bisa berjumpa wujud asli cowok yang selama ini membuatnya bersemangat menulis fanfiksi. Ah, hidup ini memang ajaib!
**

Dari penulis best-seller Eleanor and Park
Penulis: Rainbow Rowell
Terbit: November 2014

words: 745 (judul dan cerita)

Selasa, 16 September 2014

Mr. and Mrs. Roarke yang (nggak terlalu) Bikin Mikir


Judul Buku              : Betrayal in Death (Terjemahan)
Penulis                     : J.D. Robb (Nora Roberts)
Penerbit                   : PT. Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit          : Mei 2011
Tebal                         : 504 halaman
Harga                        : - (pinjem dari temen ^.^ )

 


Mr. and Mrs. Roarke yang (nggak terlalu) Bikin Mikir


Jujur baru pertama kali baca novel misteri. Awalnya nggak tertarik pas temen-temen bilang J.D. Robb a.k.a Nora Roberts bagus. Novel yang pakai nama aslinya saja saya belum pernah baca. Eh, tapi karena lagi butuh asupan otak yang bikin mikir, disodorin temen novel ini yang masih dalam kondisi berplastik (dia sendiri belum baca) okelah saya pinjem bawa pulang ke rumah.
Baca halaman pertama kok agak males. Soalnya opening-nya langsung kasus pembunuhan. Karena pengen beneran baca yang bikin mikir akhirnya saya lanjutin.
Dan... suka!
Saya suka sentuhan romansanya, sih. Suka banget sama pola hubungan suami-istri Roarke dan Eve. Si Miliuner dan Si Polisi. Yang laki mempesona-kaya-luwes-menggoda sedangkan yang cewek ketus-prinsipil, saling melengkapi, deh. Dan ternyata saya baca #12, lompat banget, yah. Hehehe. Jadi pengen tahu sebelum mereka ijabsah pasti seru banget bertengkar tapi romantis. Xixixi.
Tapi yang bikin gemes lagi di sini selain Roarke dan Eve adalah Pea(sea)body dan McNab. Setali tiga uang sama Roarke dan Eve, benci tapi demen. Iuew... Tapi suka banget yang beginian. :p
Sejauh baca sih, untuk sisi misteri pembunuhannya ya... saya bilang oke. Nggak pinter banget soal misteri sih saya. Tapi selama ini kalau lihat film sejenis ini bisa menikmati kok walau tetep yang dicari sentuhan romansanya. Apa sih yang nggak bikin saya terkesan kalau ada romansanya? Xixixi.
Tapi memang agak kurang greget karena tersangka pembunuhan sudah ketahuan sejak awal. Soalnya Si Pembunuh sudah punya track record busuk dan kriminal banget. Terus yang terlibat juga sudah dikasih clue sejak awal. Jadi, sudah cukup ketebak. Saya kira bakal ada gebrakan di belakang yang bikin nganga. Tapi okelah, saya juga belum tentu bisa bikin cerita beginian. Cukup menikmati saja. Hehehe.
Saya nggak nyangka kalau novel ini setting waktunya 2050-an. Pantes semuanya serba canggih. Belum lagi pencarian data sampai nyangkut luar planet segala. Ya, ampun... muaju banget nih penulis. Berasa tahun ini adalah tahun kakek-nenek. Ya, memang betul, kalau saya bisa hidup sampai tahun itu saya sudah jadi nenek-nenek. Hahaha.
Setiap kali baca novel terjemahan, saya sering kagum sama pembahasaannya. Terkesan apa ya... anggun? Nggak seperti novel ‘gaul’ Indonesia. Pokoknya apik. Tapi terkadang juga bikin bingung, sih. So far saya tetep bisa menikmati. Kecuali yang agak (sedikit) mengganggu di novel ini tuh typo-typonya yang sesekali muncul dan itu (hampir) ada dari awal sampai akhir. Nggak banyak tapi kok yang ‘rata’. Misal salah tulis terlalu jadi terlalalu, McNab jadi McNag (lupa di halaman berapa), dan lain-lain.
Yah, walaupun nggak cukup sukses bikin saya mikir dan menganga banget, novel ini punya 4,5 bintang dari saya. Eve bikin saya takjub bisa naklukin taipan macem Roarke yang punya masa lalu nggak begitu bagus juga. Keren! Pengen baca yang lainnya. Katanya sampai seri 40-an, ya? Wow! ^.^


RAMSES II BIKIN OTAK DAN HATI JUNGKIR BALIK


Judul Buku              : The Mummy/ Ramses The Damned (Terjemahan)
Penulis                     : Anne Rice
Penerbit                   : PT. Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit          : Desember 2000 (Cetakan Kedua)
Tebal                         : 608 halaman
Harga                        : - (pinjem dari temen ^.^ )

 


RAMSES II BIKIN OTAK DAN HATI JUNGKIR BALIK


Takjub!
Jujur baru baca novel yang memadukan sejarah-supernatural-romans. Dan langsung suka!
Nggak ngerti sama penulis-penulis yang mengkhayalnya sesuatu tingkat tinggi begini. Geleng-geleng kepala. Mereka jenius!
Soal Ramses II, Cleopatra, mumi, dan tetek bengeknya memang ada (walau nggak pernah ke Mesir juga dan tahu wujud mumi mereka). Tapi ‘ramuan’ Anne Rice menulis novel ini bikin bertanya-tanya ‘benerankah ini?’, ‘apa memang Ramses II berkodrat abadi?’, ‘apa Cleopatra beneran jatuh cinta sama Ramses II?’ Ya ampun, penulis ini bikin otak jungkir balik! Dia bikin tulisan fiksi, yang kemungkinan hasil imajinasi lalu ditambahin ke sejarah sebenernya, dengan begitu ciamik. Mungkin perasaan takjub semacam inilah yang bikin fans novel fantasi Harry Potter tergila-gila banget sama tulisan J.K Rowling. Kalau sudah suka, terpikat, bisa menikmati cerita ini sampai terlena. Sori, lebai, hehehe.
Yang bikin saya betah baca novel ini adalah sisi sejarahnya. Saya suka sejarah dan kepengen tahu masa lalu. Ah, andai memang ada mesin waktu untuk mengetahui fakta sebenarnya di masa lalu. Di samping itu, sentuhan romansanya. Terus saya juga paling demen sama tokoh lelaki yang terlihat tampan-berwibawa-penuh kasih-pengayom-dominan. Gila, kalau Ramses II seganteng itu, apa kabar Nabi Yusuf? *istighfar banyak2*.
Dilhat dari sisi magis, novel ini tidak terlalu membuat bulu kuduk merinding. Karena toh Ramses II di sini – walaupun sebagai pribadi dengan kodrat hidup abadi – hidup kembali sebagai lelaki biasa, tidak punya kekuatan supernatural apa pun, bisa mewek pula. Begitu pula Cleopatra. Cara mereka bangkitlah yang sedikit di luar akal kita-kita ini. Tapi, bisa dicerna dengan sentuhan ilmu kimia zaman modern bahwa sebuah ramuan kimiawi akan memberikan efek pada sel-sel organisme.
Kalau bicara sisi mengerikannya sih jelas, pas bagian Si Ratu Mesir sukses membunuh beberapa korbannya dengan ‘enteng’.
Novel ini bertahun 1989 (saya belum lahir :p), diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia pada tahun 2000 (cetakan ke-2), sangat mudah dicerna. Yang berbelit-belit dan membuat bingung justru deskripsi ceritanya sendiri yang detail sehingga terkesan panjang sampai saya skip. Maklum, nggak sabaran juga. Xoxoxo.
Lalu, ada yang bikin sedikit bertanya-tanya sebenarnya: kenapa Ramses Terkutuk (Ramses II) membangunkan Cleopatra lagi? Hanya ingin uji coba ramuan yang telah lama dia simpan atau yang lain? Tapi, mungkin itulah sisi yang bikin pembaca gemes. Belum lagi si tokoh Julie (yang ditaksir sama Ramses II) ini kok berasa tersihir sama kegantengannya Ramses, jatuh cinta setelah – katakanlah – sekali/ dua kali berinteraksi. Dan sempet mikir, wajahnya Ramses itu ganteng-ganteng Arabic apa Eropa? Soalnya bermata biru, apa memang orang ke-Arab-an ada yang matanya biru? Tapi seru sih, bisa bayangin kegantengannya yang unik itu. Hehehe. Duh, daripada saya spoiler mulu, coba deh baca sendiri, pasti sensasional banget rasanya! ^.^
Penulis membuat ending menggantung yang bikin kesel (jujur, sebel kenapa harus digantung, sih? Hehehe). Ramuan Ramses II diminum oleh orang-orang yang dipilihnya. Apakah akan memberikan efek yang sama mengerikannya seperti yang terjadi pada Cleopatra? Duh, ada sekuelnya nggak sih ini novel? :p Jujur saya baru ‘kenal’ Anne Rice sekarang dan setelah searching ternyata beliau sukanya menulis hal-hal berbau gotic, supernatural, dan tentu saja berbaur dengan romansa.
Novel ini juga memberikan sentuhan psikologi tentang orientasi seksual sesama jenis dan tentang fenomena electra complex, lho. Ternyata fenomena semacam itu sudah ada sejak zaman itu (1914 kalau nggak salah setting waktu novel ini), sementara zaman tersebut mungkin hal-hal semacam itu (penyimpangan orientasi seksual) merupakan hal tabu.
Pokoknya saya suka novel ini. Siapa pula yang nggak meleleh membayangkan lelaki yang gantengnya luar biasa-bermata biru tajem-gagah-berkarisma? :p
Selain itu, gara-gara baca novel jadul ini saya sering menemukan istilah ‘mendoyongkan’ tubuh/ diri (dalam terjemahan). Saya malah sering nemu istilah ‘mencondongkan’ tubuh/diri di novel-novel zaman-zaman ini. Hehehe. Atau masih ada yang pakai kata ‘doyong’? Kok saya jadi inget lagu dangdut ‘waru doyong’ :D. Istilah lainnya lagi yang ‘baru’ yaitu ‘menghela’, di novel ini pemakaiannya bukan hanya untuk ‘menghela napas’ tapi juga ‘menghela tubuh’. Nambah kosa kata dan pemakaiannya yang baru lagiii... asyik! (Berasa jadi Cleopatra di sini yang selalu bilang ‘asyik’ setiap nemu sesuatu yang baru di zaman modern :p)
Pokoknya, novel ini seru! Bintang 5 buat novel ini. :p

Rabu, 27 Agustus 2014

Mengocehlah! Maka, Kamu Beruntung

Judul Buku              : Queen of Babble (Ratu Ngoceh) (Versi Terjemahan)
Penulis                     : Meg Cabot
Penerbit                   : PT. Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit            : September 2010
Tebal                        : 456 halaman
Harga                       : - (pinjem temen J )
 




Mengocehlah! Maka, Kamu Beruntung

Well, kebanyakan dari kita tahu bahwa diam itu emas. Tapi, tahukan kalian? Diam juga bisa berarti buruk. Misalnya, masalah yang hanya dipendam melulu akan menimbulkan benjolan merah perih di wajah mulus kita.
Maka, berhentilah menjadi pendiam! Alih-alih, mengocehlah seperti Lizzie Nichols. Gadis berusia 20-an tahun, yang (nyaris) menjadi sarjana jika tidak mendadak pembimbingnya datang membawa kabar sialan untuk membuat tesis sebagai syarat lulus dengan sah di saat ia hendak pergi melepas rindu pada kekasihnya, Andrew, di Inggris.
Perkenalkan, dia Lizzie yang punya kelebihan: bisa turun 15 kilogram dalam tiga bulan, mengambil jurusan individu sebuah universitas negeri di daerah Michigan (Amrik) sana, dan keblinger mencintai Andrew sampai (terpaksa) rela mengemban tugas membuat tesis selama berlibur bersama Andrew dan – tentu saja – mengancang-ancang momen romantis bersama yang akan mereka lalui.
Tapi, apa? Ah, di sini kita harus belajar pada Lizzie, Ladies. Terlalu muluk-muluk berkhayal tentang kekasih tercinta dan momen-momen yang akan kita lalui bersamanya adalah kesalahan yang fatal! Fatal jika lelaki itu Mr. Benalu bernama Andrew! Pelajaran juga, Lizzie adalah gadis Amrik polos yang jatuh cinta pada Andrew-Benalu, yang kental dengan aksen f  untuk mengucapkan th, dari Inggris. Maksudnya, jangan mudah meleleh sama bule yang ada di Indonesia. Kita tak tahu di negara asalnya dia siapa, kan?
Peraihan gelar sarjana belum resmi, disuruh bikin tesis selama liburan – yang akhirnya pada novel ini gagal total –, ditipu lelaki yang dicintai, belum cukup membuat Lizzie merasa seperti orang hilang dan sial di tengah London! Tapi, hhh... di bagian ini klise. Dia dipertemukan dengan ‘malaikat’ yang ternyata adalah teman yang selama ini diceritakan, Chaz (pacar Shari, sahabat Lizzie). Perkenalan mereka di gerbong kereta api menuju Perancis (sebab di sanalah Chaz dan Shari berlibur) manis sih, tapi sangat mudah ditebak. Walau lelaki itu menggunakan nama Perancis saat perkenalan, tapi bisa ditebak oleh pembaca. Cuma di situ Lizzie dibuat tidak tahu. Ah, keseringan baca begini, jadi cukup mudah menebak, ya? Hehehe.
Lizzie naksir pada Luke, Lelaki Gerbong Kereta dan teman Chaz, setelah mengoceh kebuntungannya bersama Andrew, hanya dalam waktu kurang dari satu minggu! Dan, mulailah kisah mereka yang yah... mulanya biasa saja, sih. Luke digambarkan lelaki manis dan lucu, bukan beringas. Tapi, Lizzie menganggap Luke itu seksi dan selalu membuatnya berdebar. Padahal, saya merasa biasa saja.
Sayang, Luke sudah punya pacar dengan payudara yang mencurigakan! Dan, sikapnya juga congkak dan meragukan. Tapi, Lizzie tetap menaruh hati pada Luke, dan pada puri abad pertengahan milik moyang Luke bernama Château Mirac. Lizzie memang penyuka barang antik.
Novel ini berbahasa lincah khas chicklit, betul-betul seperti mengoceh, persis representasi tokoh ‘aku’ (Lizzie). Dia dengan lincah menceritakan dirinya yang ternyata sukses diet dengan menahan makan makanan berkarbohidrat, bagaimana dia masih punya komitmen ingin menyelesaikan tesis (walau faktanya tidak sama sekali mengerjakan), membeberkan kebusukan dan apa-yang-telah-dia-berikan-dan-ingin-dia-tarik-kembali dari Andrew pada orang asing, dan bagaimana rasanya jatuh cinta pada pacar orang!
Alurnya mengalir, dan walaupun terkesan biasa membaca Lizzie yang ngoceh tentang dirinya di awal – kecuali bagian Andrew-Benalu – sampai bertemu Luke yang ‘hambar’ karena baik-manis-sopannya, tapi cara menceritakannya renyah dan lincah. Apa khas Meg Cabot begitu ya? (saya baru baca trilogi Abandon, Size 14 Is Not Fat Either, dan Queen of Babble). Tapi, mungkin ini lebih ke genre chicklit kali ya, jadinya dibikin easy reading yang lincah, bukan mendayu-dayu. Tapi, menuju ending, pergolakan antara Lizzie dan Luke akibat kesalahpahaman (lagi-lagi ini senjata ‘klasik’) bikin gemes dan deg-degan. Dan, kita akan tahu siapa Luke sebenarnya. Hahaha.
Novel ini juga berisi kutipan-kutipan tokoh terkenal dunia yang selama ini belum saya –pribadi – tahu pada setiap bab. Dan, saya merasa semuanya ngena banget dalam kehidupan kita sehari-hari. Misal:

Menyakitkan menyimpan rahasia dari orang yang berhak mengetahuinya. Rahasia itu akan terungkap sendiri
(Ralph Waldo Emerson [1803-1882], penulis esai, penyair, dan filsuf A.S)
pada halaman 369.

Pernah mengalaminya?

Belum lagi, pada setiap awal per bab juga tertulis sejarah mode, membuat saya bertambah tahu. Yah, Lizzie memang mengambil jurusan individu ‘Sejarah Mode’. Di Amrik begitu, ya? Agak mengerikan, ya? Maksud saya, agak ngeri sih, ‘berjuang’ sendiri. Hehehe. Tapi, saya belum paham banget maksud program jurusan individu ini, sih. Ada yang bisa membantu menjelaskan?
Overall, novel ini bagus dalam mengemas tema perjuangan impian dan cinta. Klise memang, tapi membuat saya – pribadi – kembali percaya bahwa keberhasilan itu mungkin memang berjarak sejengkal dari kita yang (nyaris) menyerah (sori, lupa siapa yang mulanya bilang begini). Sehingga memotivasi kita untuk jangan menyerah. Iya, seperti Lizzie yang tidak akan pernah menyerah dalam hidupnya, tapi ia tidak bertindak sembrono dalam menyikapi masalah di depannya. Ingat, dia Lizzie! Memang dia bisa mengontrol tindakannya, tapi mulutnya? Ah, dia memang masih perlu belajar walau memang mulutnya itu selalu menyuguhkan fakta – bukan bualan – yang membawa keberuntungan untuknya.
Ratu Ngoceh, bacaan asyik pengusir jenuh. Dasar cerita yang klise namun dikemas dengan hal-hal unik-antik, dan ending yang wow, hot! Luke, aku padamu! Diam-diam menghanyutkan dikau, ya...
Ya, baca saja. Lizzie dan Luke bakalan memberikan gebrakan di belakang. Apa lanjutannya juga seasik ini? Nggak sabar pengen baca J




Sabtu, 26 Juli 2014

Sudut Pandang Berbeda


Judul Buku              : Koma
Penulis                     : Rachmania Arunita
Penerbit                   : PT. Bentang Pustaka
Tahun Terbit          : November 2013 (cetakan pertama)
Tebal                         : vi + 298 halaman
Harga                        : - (pinjem temen)
 


Sudut Pandang Berbeda

“... Tapi, Tuhan yang membuat hati Jani mengerti dan belajar sehingga tidak jatuh lagi,” kata mama Jani... (hal.3)
Selalu saja ada cara Tuhan mengetuk pintu hati hamba-Nya. Termasuk yang menimpa Jani, gadis berusia 20 tahun, yang mengalami sebuah proses ‘hijrah’ dari sesuatu yang (menurutnya) tidak baik menjadi baik.
kutipan1
Tuhan membuatnya mengalami fase koma terlebih dahulu untuk memahami semua yang terjadi dalam hidupnya. Selama perjalanan pemahaman dan penerimaan itu, dirinya ditemani oleh seorang (apakah patut disebut seseorang sementara roh terlepas dari raga) jiwa bernama Leo sampai menumbuhkan gelora asmara di antara dua jiwa yang sedang berkeliaran di sebuah rumah sakit itu.
Novel ini ternyata betul-betul di luar pikiran saya. Saya kira pengemasannya itu serius sekali dan beraura suram, ternyata beneran sadis! Gimana tidak sadis kalau caranya penulis menggunakan dunia roh/ jiwa untuk menceritakan kisah Jani dan Leo dengan begitu manis? Ya, memang, menurut teman saya hampir mirip novel If I Stay (Gayle Forman) – yang belum sempat saya baca. Tapi jujur, saya langsung jatuh hati dengan ide cara menulisnya! Mengambil sudut pandang roh tapi taste-nya manusia. Ya, di novel ini dijelaskan bahwa jiwa bisa merasakan perasaan-perasaan karena di sanalah asal hati kita. Justru jiwa tidak bisa merasakan sensasi ragawi yang selama ini selalu menunjukkan reaksi fisiologis.
Dengan menggunakan alur maju, cerita Jani ini amat mudah dipahami walaupun menggunakan PoV satu yang lebih sering mengesankan seperti curhat dalam narasi-narasi yang tertulis. Belum lagi dialognya juga cukup banyak yang ditulis nyaris panjang, membuat sedikit ngos-ngosan membacanya. Tapi, jujur, setiap kalimat dari seorang ‘aku’ di sini tidak membuat bosan saya membacanya. Mungkin saking terkagumnya saya dengan ide cara menulisnya. Kalau dari segi jalan cerita yang melibatkan para tokoh utama sih, klise sekali. Duh, ‘sial’ bener saya, dalam seminggu baca novel yang tokoh utamanya – cewek pula – dilema sama lelaki satu dan lelaki lainnya. Tapi, keklisean ini ‘terselamatkan’ dengan cara mengemas ceritanya. Keren!
Sayangnya, tokoh Leo di sini terkesan lebih berfungsi seperti malaikat yang penuh kebijaksanaan. Hampir setiap perkataannya bisa menjadi kutipan manis untuk up date status di jejaring sosial (saya juga, sih. hehehe). Tapi, di sisi lain terasa Leo sedang berkhotbah. Sedikit bertanya-tanya sih, apakah sebijak itu roh seseorang setelah dua tahun koma?
kutipan2
Keanehan lainnya adalah bagian Leo maupun roh lain yang selalu bisa mendengar suara hati Jani. Padahal Jani sama sekali tidak bisa menembus alam pikiran Leo dan roh-roh lainnya. Selalu saja Jani yang menjadi sasaran empuk, yang katanya selalu suka berpikir rumit – terlebih tentang Leo –, oleh roh-roh lainnya. Sayang, novel ini tidak menceritakan sebab musabab Jani tidak bisa melakukan hal sebaliknya kepada roh lain.
Penokohan dalam novel ini cukup kuat menggambarkan Jani yang bertransisi. Dan, Leo seperti uraian sebelumnya, konsisten bijak dari awal sampai akhir.
Novel ini fokus pada lingkungan rumah sakit saja sebagai setting tempatnya, sesuai kebutuhan yang memang mengondisikan ‘roh tidak boleh terlalu jauh dari raga karena bisa berakibat fatal’. Tapi, setting tempat di sini tidak terlalu menonjol karena pembangunan setting suasana rasanya lebih banyak mengambil peran. Tapi, sama sekali tidak mengganggu jalannya cerita.
Tapi, di sisi lain, ada beberapa typo yang cukup menganggu jalannya cerita. Ada beberapa dialog atau narasi yang tidak tepat menyebutkan tokohnya. Seperti:
“Tidak semua orang mengalami apa yang Nelly alami.... di antara hidup dan mati,” jelas Alex... (hal.116)

Padahal dialog di atas terjadi antara Leo dan Jani ketika menjenguk salah seorang bocah, pasien rumah sakit, yang bisa melihat keberadaan para roh. Dan typo semacam ini berulang di di halaman 122 (paragraf ke-5, Leo digantikan Alex). Jadi curiga kenapa Alex selalu muncul di tempat yang tidak seharusnya :p.

Dan, muncul lagi pada halaman 178 (paragraf ke-4, ‘Papa’ yang sering digunakan Jani memanggil bapaknya digantikan ‘Ayah’).

Lalu di halaman 207 (paragraf terakhir, seharusnya yang berdialog itu Nina, adik Jani, tapi di situ seakan yang bercerita Jani sendiri)

Dan, bagian lain yang cukup mengundang reaksi kening mengernyit ketika tokoh Alex yang semula takut terhadap roh, tiba-tiba berubah jadi gembira berinteraksi dengan Jani. Itu terjadi ketika Alex merasa ‘frustrasi’ para roh datang kepadanya hendak menitipkan pesan pada orang terdekat mereka, mengingat Alex pernah menjadi roh seperti yang lain, namun dirinya tidak ingat semua peristiwa ketika ia koma. Begitulah ‘cara kerja’ koma dijelaskan dalam novel ini. Lantas Alex dibuat seolah tahu nama pacar Jani ketika cewek itu curhat, padahal Jani baru menegaskan nama pacarnya pada dialog selanjutnya.
Yah, tiada gading yang tak retak. Novel ini tetap mengesankan sekalipun beberapa kekurangan tadi, dan terasa hanya seperti catatan perjalanan tokoh utamanya dengan tour guide sehingga tidak memiliki konflik klimaks maksimal. Namun, yang menyentuh dari novel ini ialah pada penyampaian ending-nya. Membuat saya merasa segala kemungkinan hidup bisa terjadi pada siapa pun, dan kita harus menerima segala konsekuensinya tanpa harus pupus harapan.
Kisah perjalanan Jani ini cukup menginspirasi – terlebih dari dialog yang disampaikan Leo – untuk lebih bisa menghargai diri sendiri, hidup, dan orang-orang di sekeliling kita. Jangan sampai kita menunggu kehilangan, baru menyadari semua yang kita miliki. Dan, sepertinya dari setiap kita perlu belajar untuk memandang sesuatu dari sudut pandang yang berbeda, supaya tidak gegabah mengambil keputusan, apalagi mengalami penyesalan terkait diri sendiri maupun orang-orang yang kita sayangi.
Untuk novel ini saya punya 3,8 bintang. Pengennya 4, tapi karena typo-nya bikin ‘eh, kok, gitu’. Pengennya 5 tapi kisahnya belum begitu ‘menggigit’ walau pengemasannya terbilang unik. Tapi, saya tetap menikmatinya ceritanya. ^.^