Sabtu, 26 Juli 2014

Sudut Pandang Berbeda


Judul Buku              : Koma
Penulis                     : Rachmania Arunita
Penerbit                   : PT. Bentang Pustaka
Tahun Terbit          : November 2013 (cetakan pertama)
Tebal                         : vi + 298 halaman
Harga                        : - (pinjem temen)
 


Sudut Pandang Berbeda

“... Tapi, Tuhan yang membuat hati Jani mengerti dan belajar sehingga tidak jatuh lagi,” kata mama Jani... (hal.3)
Selalu saja ada cara Tuhan mengetuk pintu hati hamba-Nya. Termasuk yang menimpa Jani, gadis berusia 20 tahun, yang mengalami sebuah proses ‘hijrah’ dari sesuatu yang (menurutnya) tidak baik menjadi baik.
kutipan1
Tuhan membuatnya mengalami fase koma terlebih dahulu untuk memahami semua yang terjadi dalam hidupnya. Selama perjalanan pemahaman dan penerimaan itu, dirinya ditemani oleh seorang (apakah patut disebut seseorang sementara roh terlepas dari raga) jiwa bernama Leo sampai menumbuhkan gelora asmara di antara dua jiwa yang sedang berkeliaran di sebuah rumah sakit itu.
Novel ini ternyata betul-betul di luar pikiran saya. Saya kira pengemasannya itu serius sekali dan beraura suram, ternyata beneran sadis! Gimana tidak sadis kalau caranya penulis menggunakan dunia roh/ jiwa untuk menceritakan kisah Jani dan Leo dengan begitu manis? Ya, memang, menurut teman saya hampir mirip novel If I Stay (Gayle Forman) – yang belum sempat saya baca. Tapi jujur, saya langsung jatuh hati dengan ide cara menulisnya! Mengambil sudut pandang roh tapi taste-nya manusia. Ya, di novel ini dijelaskan bahwa jiwa bisa merasakan perasaan-perasaan karena di sanalah asal hati kita. Justru jiwa tidak bisa merasakan sensasi ragawi yang selama ini selalu menunjukkan reaksi fisiologis.
Dengan menggunakan alur maju, cerita Jani ini amat mudah dipahami walaupun menggunakan PoV satu yang lebih sering mengesankan seperti curhat dalam narasi-narasi yang tertulis. Belum lagi dialognya juga cukup banyak yang ditulis nyaris panjang, membuat sedikit ngos-ngosan membacanya. Tapi, jujur, setiap kalimat dari seorang ‘aku’ di sini tidak membuat bosan saya membacanya. Mungkin saking terkagumnya saya dengan ide cara menulisnya. Kalau dari segi jalan cerita yang melibatkan para tokoh utama sih, klise sekali. Duh, ‘sial’ bener saya, dalam seminggu baca novel yang tokoh utamanya – cewek pula – dilema sama lelaki satu dan lelaki lainnya. Tapi, keklisean ini ‘terselamatkan’ dengan cara mengemas ceritanya. Keren!
Sayangnya, tokoh Leo di sini terkesan lebih berfungsi seperti malaikat yang penuh kebijaksanaan. Hampir setiap perkataannya bisa menjadi kutipan manis untuk up date status di jejaring sosial (saya juga, sih. hehehe). Tapi, di sisi lain terasa Leo sedang berkhotbah. Sedikit bertanya-tanya sih, apakah sebijak itu roh seseorang setelah dua tahun koma?
kutipan2
Keanehan lainnya adalah bagian Leo maupun roh lain yang selalu bisa mendengar suara hati Jani. Padahal Jani sama sekali tidak bisa menembus alam pikiran Leo dan roh-roh lainnya. Selalu saja Jani yang menjadi sasaran empuk, yang katanya selalu suka berpikir rumit – terlebih tentang Leo –, oleh roh-roh lainnya. Sayang, novel ini tidak menceritakan sebab musabab Jani tidak bisa melakukan hal sebaliknya kepada roh lain.
Penokohan dalam novel ini cukup kuat menggambarkan Jani yang bertransisi. Dan, Leo seperti uraian sebelumnya, konsisten bijak dari awal sampai akhir.
Novel ini fokus pada lingkungan rumah sakit saja sebagai setting tempatnya, sesuai kebutuhan yang memang mengondisikan ‘roh tidak boleh terlalu jauh dari raga karena bisa berakibat fatal’. Tapi, setting tempat di sini tidak terlalu menonjol karena pembangunan setting suasana rasanya lebih banyak mengambil peran. Tapi, sama sekali tidak mengganggu jalannya cerita.
Tapi, di sisi lain, ada beberapa typo yang cukup menganggu jalannya cerita. Ada beberapa dialog atau narasi yang tidak tepat menyebutkan tokohnya. Seperti:
“Tidak semua orang mengalami apa yang Nelly alami.... di antara hidup dan mati,” jelas Alex... (hal.116)

Padahal dialog di atas terjadi antara Leo dan Jani ketika menjenguk salah seorang bocah, pasien rumah sakit, yang bisa melihat keberadaan para roh. Dan typo semacam ini berulang di di halaman 122 (paragraf ke-5, Leo digantikan Alex). Jadi curiga kenapa Alex selalu muncul di tempat yang tidak seharusnya :p.

Dan, muncul lagi pada halaman 178 (paragraf ke-4, ‘Papa’ yang sering digunakan Jani memanggil bapaknya digantikan ‘Ayah’).

Lalu di halaman 207 (paragraf terakhir, seharusnya yang berdialog itu Nina, adik Jani, tapi di situ seakan yang bercerita Jani sendiri)

Dan, bagian lain yang cukup mengundang reaksi kening mengernyit ketika tokoh Alex yang semula takut terhadap roh, tiba-tiba berubah jadi gembira berinteraksi dengan Jani. Itu terjadi ketika Alex merasa ‘frustrasi’ para roh datang kepadanya hendak menitipkan pesan pada orang terdekat mereka, mengingat Alex pernah menjadi roh seperti yang lain, namun dirinya tidak ingat semua peristiwa ketika ia koma. Begitulah ‘cara kerja’ koma dijelaskan dalam novel ini. Lantas Alex dibuat seolah tahu nama pacar Jani ketika cewek itu curhat, padahal Jani baru menegaskan nama pacarnya pada dialog selanjutnya.
Yah, tiada gading yang tak retak. Novel ini tetap mengesankan sekalipun beberapa kekurangan tadi, dan terasa hanya seperti catatan perjalanan tokoh utamanya dengan tour guide sehingga tidak memiliki konflik klimaks maksimal. Namun, yang menyentuh dari novel ini ialah pada penyampaian ending-nya. Membuat saya merasa segala kemungkinan hidup bisa terjadi pada siapa pun, dan kita harus menerima segala konsekuensinya tanpa harus pupus harapan.
Kisah perjalanan Jani ini cukup menginspirasi – terlebih dari dialog yang disampaikan Leo – untuk lebih bisa menghargai diri sendiri, hidup, dan orang-orang di sekeliling kita. Jangan sampai kita menunggu kehilangan, baru menyadari semua yang kita miliki. Dan, sepertinya dari setiap kita perlu belajar untuk memandang sesuatu dari sudut pandang yang berbeda, supaya tidak gegabah mengambil keputusan, apalagi mengalami penyesalan terkait diri sendiri maupun orang-orang yang kita sayangi.
Untuk novel ini saya punya 3,8 bintang. Pengennya 4, tapi karena typo-nya bikin ‘eh, kok, gitu’. Pengennya 5 tapi kisahnya belum begitu ‘menggigit’ walau pengemasannya terbilang unik. Tapi, saya tetap menikmatinya ceritanya. ^.^


Sabtu, 19 Juli 2014

Mencari Ujung


Judul                         : Carrying Your Heart (CYH)
Penulis                     : Pia Devina
Penerbit                   : DIVA Press
Jumlah halaman   : 249
Tahun terbit            : Mei 2014 (Cetakan Pertama)
Harga                        : Rp. 48.000 (diskon 30% beli sama penulisnya langsung ^,^)

-------------------------------------------------------------------------------------------
Mencari Ujung

Kirana Evalia atau Kira harus mengarungi kehidupannya tanpa mengenal kasih dari seorang papa sejak lahir dan tanpa mama selepas SMA. Suatu hari Kira menemukan buku harian mendiang mamanya yang memberikan sebuah informasi keberadaan papanya di negeri kincir angin. Tekadnya terwujud untuk menjejakkan kaki di Belanda, tepatnya di Rotterdam. Di sana ia menggeluti dunia kuliner, juga bergelut dengan sebuah perasaan yang seharusnya tidak tumbuh di saat dia sudah memiliki cinta yang manis. Dan, yang lebih penting, ia kalut haruskah menemui papanya lagi atau tidak, sedangkan pada pertemuan kali pertama di sana, papanya justru tidak mengenalinya sama sekali. Seiring itu dirinya gusar menentukan ujung, tempat ia akan pulang, walau sebenarnya hati kecil Kira tahu jawabannya.
Novel ini adalah novel kedua yang saya baca dari penulis, sebelumnya berjudul Beautiful Sorrow (BS). Salut saya, penulis selalu sukses untuk membuat cerita yang memiliki kejutan menjelang ending. Padahal di bagian awal sampai ¾ bagian novel, rasanya sudah bisa menebak bagaimana ending-nya. Selain itu penulis punya ciri khas menggunakan alur maju-mundur, setidaknya itu yang saya tahu dari beberapa teman yang telah membaca semua novelnya, pun dari novel BS. Alurnya rapi walaupun terkesan ‘terkotak-kotak’ karena bertuliskan tanggal dan bulan. Tapi nyatanya, tidak terasa seperti ujug-ujug melompat alias tetap mengalir.
Berdasarkan dua novel yang sudah saya baca, penulis rupanya pengguna bahasa cerita yang smooth. Bahasanya kalem, to the point, tapi tetap sukses menyelipkan penganalogian (istilahnya apa, saya bingung. Yang tahu, silakan koreksi saya, ya ^^) yang manis, misal nih: ... sebagai oasis di gurun perasaanku yang mengering (hal.219) dan masih banyak lagi. Keren! Dan, saking kerennya penulis bercerita, novel ini ibarat coklat batang manis nan lembuuuttt.. cepet habis saking enaknya! Terlepas dari tipisnya novel atau mood baca saya yang beberapa hari ini terjun bebas. Nyatanya saya memilih membaca novel ini dulu ketimbang baca Jakarta! atau Carrie. Maaf, tapi betul-betul CYH memang ringan baca. Kendati memang, CYH bukan novel riang seperti novel pop pada umumnya yang tidak jarang menyelipkan dagelan yang mengocok perut. CYH ‘main aman’ soal humor yang diselipkan dalam ceritanya. Oh, iya, sepertinya penulis suka sama cerita yang sendu-sendu romantis begitu. Tapi saya masih penasaran dengan novel lain, apakah memiliki cerita serupa?
Dalam novel ini saya suka Nathan. Soalnya, walau sudah dijelaskan dari awal Nathan itu Indonesia tulen, tapi benak saya mikir Nathan itu bule atau blesteranlah. Kenapa suka? Karena dia hadir sebagai ‘perusak’ hubungan Kira dan Rendi, pacarnya. Duh, jangan caci saya, ya. Nathan datang menggoda hati soalnya :p. Kenapa second male di banyak cerita selalu ketjeh, sih? Hehehe.
Penokohan novel ini oke melalui narasi dan dialog sehingga pembaca bisa menyimpulkan karakter seperti apa mereka semua. Namun saya kok, merasa harus sedikit berjuang membayangkan fisik mereka. Pun Nathan sendiri, yang walau saya kembali sadar dia orang Indonesia asli, tapi rasanya belum bisa membayangkannya mendekati riil. Hal ini berlaku untuk hampir tokoh-tokoh yang lain.
Namun berbeda dengan penggambaran setting tempat dan situasi yang membangun cerita novel ini. Setting tempat yang mengambil seratus persen tempat di Belanda ini, sungguh bikin takjub! Banyak spot yang bisa menjadi bagian cerita. Dan, tidak perlu komentarlah... saya iri penulis bisa sedetail itu. Saya pengen ke sana jadinya dan bikin cerita dengan setting yang bisa melebur dalam cerita.
Lalu, untuk pembangunan suasana pendukung cerita. Dari awal sampai tengah, novel ini belum terlalu menyentuh padahal bagian tengah sudah ‘krisis’. Tapi ketika tengah ke belakang, saya mulai bisa merasakannya. Cerita tentang bagaimana seseorang menyingkir dan kita merasa kehilangan, bagaimana rasanya dibohongi/ dikhianati, bagaimana beratnya harus jujur dan menghadapi ujung dari semua persoalan hidup kita walau belum sepenuhnya siap. Ditambah dengan ‘kejutan’ yang dibuat penulis, membuat saya ingin terus menuntaskan sampai tamat. Dan, yang membuat saya gemes adalah ending yang nge-twist. Tapi menurut saya, penulis sukses mempertemukan Kira dengan solusi semua permasalahannya dalam takaran yang sesuai.
Novel ini cukup menghibur walau tidak membuat perasaan kita menggebu-gebu sedih maupun riang, semuanya ‘aman’. Sangat ringan baca. Walau memang terdapat beberapa typo seperti:
1.        Penggunaan ‘kita’ pada hal.102, seharusnya kami.
“Sejak aku pergi ke Rotterdam, kita belum penah ketemu lagi,”...
Dialog di atas terjadi antara Kira dan Nathan yang sedang membahas Rendi. Seharusnya ‘kita’ yang diucapkan Kira itu ‘kami’ untuk mewakili dirinya dan Rendi.
2.        ... hanya dibatasi meja yang di atasnya diletakkan masakan-masakan buatku untuknya... (hal. 120)
Ada yang menyadari mana yang keliru? Ya, ‘buatku’ itu bukannya seharusnya ‘buatanku’, ya? Dan, beberapa typo penulisan kata lainnya tapi tidak banyak, kok.
3.        Penulisan tanda baca koma (,)
“Aku ingin nyusul, Papa.”
Kalimat Kira tersebut terucap ketika berbicara dengan Rendi tapi kenapa ada koma (,)? ‘Papa’ di kalimat Kira bukan berfungsi penyebutan seseorang (papanya). Kecuali kalau memang yang diajaknya bicara papanya langsung.
4.        Lainnya, sih... mungkin ada tulisan tercetak miring seperti pada hal. 109

Koreksi ini saya tuliskan menurut pelajaran bahasa Indonesia zaman SMA dan beberapa buku yang saya baca, sih. Maaf, mungkin ada yang kurang setuju. Kemampuan EYD saya juga masih cetek :p
Tapi buat saya, semakin ke sini novel penulis makin oke banget. Dari cerita maupun tata cara penulisan. Mungkin yang untuk tata cara penulisan bergantung kepada editor, ya? Soalnya saya pernah membaca juga – dan maaf hanya sampai 10 halaman – novel penulis yang lain (sepertinya terbit beberapa waktu sebelum BS maupun CYH) berjudul ‘Menjagamu’, duh, cukup dibilang hancur soal tanda baca. Bukan saya sok pinter tata cara penulisan yang benar. Tapi rasanya setiap baca itu ibarat naik motor tuh ngadat berulang kali, entah karena ada batu sandungan atau mesinnya soak. Saya harap sih, kalau misal novel itu cetak ulang, bisa diperbaiki lagi cara menulisnya.

Tapi overall sih, typo-typo di novel CYH ini tidak begitu ngaruh ke esensi cerita. Dan, dibandingkan font tulisan BS atau Menjagamu, tulisan CYH ini ‘ramah’ untuk mata, mengingat ketiganya dari grup penerbit yang sama. Dan kavernya betul-betul merepresentasikan ceritanya. ^.^
Lantas, sukanya saya, novel ini bukan cuma novel roman ecek-ecek tanpa makna. Novel ini berbagi kepada kita tentang cara mengambil sikap tertepat ketika dilema walaupun memang kita tidak bisa menghindari akan mengalami/ melakukan hal-hal bodoh, mau tidak mau. Bukannya kita belajar dari kesalahan? Dan ketika kita sudah mengerti letak kekeliruan kita, kita bisa semakin bijak menentukan pilihan.
Dan, setiap permasalahan yang kita hadapi akan menemukan ujungnya.  Ujung itulah yang bisa kita sebut sebuah rumah, tempat kembali pulang. Iya, permasalahan kita akan kembali ‘pulang’ menemukan penyelesaiannya, seiring ia berjibaku dengan waktu. Walaupun, sebenarnya ujung tidak selalu berarti akhir dari segalanya. Tapi sepertinya akan selalu ada napas lega ketika kita sudah menemukan ujung.
Untuk novel ini, ada 3.8 bintang dari saya.  J
Dear Mbak Pia, aku tahu kamu ahli bikin cerita yang heart-warming penuh kejutan. Dua jempolku untukmu :*






Sabtu, 12 Juli 2014

Gagal



Tumbuh menjadi pribadi yang selalu menomorsatukan prestasi merupakan hal yang menurutku patut dilakukan. Sebab dengan begitu, hidup kita jadi tahu ke mana arah tujuan hidup ini. Namun ketika sudah berbaur dengan gengsi dan tidak mau kalah, itu sungguh sangat menyakitkan. Menyakitkan ketika aku tahu aku kalah dalam sebuah pertandingan.
Oh, maafkan aku jika aku bicara hidup ini adalah sebuah arena pertandingan. Tapi memang itulah yang aku persepsikan. Bahkan Tuhan saja meminta hamba-Nya berlomba-lomba dalam kebaikan. Silakan saja kalau ada yang bilang pemikiranku dangkal. Maka aku pun tidak ingin kalah apalagi mengalah. Tapi faktanya aku tidak pernah menjadi nomor satu. Aku ada di nomor sekian. Dan standar hidupku menjadi nomor sekian ASAL orang masih bisa melihatku. Namun juga bukan nomor bontot yang sama sekali diremehkan orang.
Dan aku menjadi manusia yang takut pada kegagalan. Karena dari dulu aku mendapatkan sesuatu yang prestisius sampai pada akhirnya aku harus menelan pil pahit ada orang yang lebih dariku. Kurasakan dunia ini serba terbalik. Semuanya berjalan tidak sesuai inginku. Semua inginku diberikan Tuhan pada orang lain. Dan yang semula aku mengasihi, berubah menjadi iri dan dengki.
Kubiarkan iri hati menguasaiku namun ternyata itu lebih sakit. Sepertinya lebih sakit ketimbang tertusuk peniti. Dan air mata justru semakin deras mengalir tanpa alasan yang bisa diurai satu per satu. Iri sana, iri sini. Benci itu, benci ini. Bahkan pada akhirnya aku mengutuk diriku sendiri manusia nista tiada guna. Dan pantas untuk diambil nyawanya.
Namun seiring berjalannya waktu, jatah hidupku semakin berkurang, aku ingin mengubah segalanya. Ingin kulepaskan segala beban dan menikmati setiap hembusan napas milik Tuhan. Sembari meyakinkan diri bahwa apa saja yang tidak bisa kutanggung, ada Tuhan yang selalu siap meringankan bebanku. Tapi katanya Tuhan tidak membebankan ujian jika kita tidak mampu. Dengan kata lain setiap ujian yang kita jalani adalah takaran pas yang diberikan-Nya kepada kita – sesuai perbuatan yang telah kita lakukan. Sepertinya begitu.
Kini aku hanya ingin fokus pada Tuhan. Dia yang membuatku hidup, Dia juga yang membuatku mati. Dia menciptakan aku tapi aku tidak tahu fungsi aku lahir di dunia. Kecuali untuk menyembah-Nya. Tapi katanya Tuhan Maha segalanya sehingga tidak perlu kita. Iya, memang. Justru kita yang butuh Tuhan karena Dia Maha segalanya.
Jadi aku ingin belajar tidak mencemaskan kehidupanku terlalu berlebihan. Kegagalan adalah cara Dia menegurku tentang akibat dari perbuatanku dan cara Dia mengarahkanku ke tempat yang lebih tepat. Itu saja.
Seharusnya aku bersyukur aku gagal lagi dan lagi. Karena mungkin dengan begitu, aku akan selalu bergantung pada-Nya. Katanya Tuhan suka dengan hamba yang meminta kepada-Nya dan taat. Tapi aku manusia yang dibekali hasrat. Maka kubiarkan hasrat ini terus berkembang untuk mencoba setelah datangnya kegagalan – sesuatu yang tidak sesuai harapanku.
Bersyukurlah diriku gagal sehingga bisa tahu kualitasku yang buruk. Ah, tapi buruk itu kan persepsi manusia. Mereka bisa berkomentar apa pun selama lidah mereka tidak terpelintir bahkan putus. Biarkan saja. Mari terus berjalan. Semua akan indah pada waktunya. Memang butuh kesabaran dan ketangguhan untuk terus mencoba dan bangkit ketika jatuh. Tapi yakinlah, mereka-mereka yang tidak pernah mengalami penderitaan akan ada masanya berguru kepada si ahli penderitaan. Karena setiap hal akan memberikan pelajaran. Selamat menikmati kegagalan.

‘Aku’.