Kamis, 28 November 2013

Jayabaya dan Dewi Sara 2013

credit

Seorang gadis manis bergaya casual sibuk menenteng kamera SLR-nya. Sesekali ia membidikkan kamera canggihnya ke sembarang sudut, mencoba mendapatkan objek eksotis dari penyelenggaraan sebuah tradisi “bersih desa” di sebuah Punden atau tempat yang dikeramatkan di desa Gadungan. Sebuah desa yang menjadi bagian dari pemerintahan kecamatan Puncu, kabupaten Kediri, Jawa Timur.
Sepengetahuan gadis itu berdasar cerita almarhum kakeknya, dulu desa ini bernama desa “Negoro Marumi” yang dipimpin oleh Soetowidjojo lalu diserahkan sementara kepada anak sulungnya, Djoko Begadung karena ia pergi bertapa di gunung Songgoriti mencari ilham untuk kelestarian negaranya. Djoko Begadung di sisa hidupnya “dikutuk” menjadi seekor Harimau. Hal ini disebabkan oleh sabda sang ayah yang kesal mendengar seseorang mandi di sebuah sendang. Kala itu, Djoko Begadung hendak menyusul ayahnya yang bertapa di gunung Songgoriti. Djoko Begadung menyempatkan diri mandi di sebuah sendang sebelum sampai di gunung Songgoriti. Ia mandi dengan suka ria yang berlebihan sehingga ayahnya menyebut sikap orang itu seperti binatang saja. Ayahnya tak tahu ternyata itu adalah anak sulungnya, Djoko Begadung. Ayahnya menyesal. Kemudian mereka kembali ke negoro Marumi melanjutkan pemerintahan.
Harimau jelmaan Djoko Begadung memiliki sebuah pusaka bernama Pusaka Bondan, hasil rampasan dari dua bersaudara Kebo Lelono dan Kebo Kusumo dari negoro Bali yang datang meminang adiknya bernama Dewi Soetiyem. Tapi Djoko Begadung menolaknya karena kesombongan keduanya. Sehingga Djoko Begadung mengusir mereka setelah mereka mabuk akibat memakan daging kerbau sajian Djoko Begadung yang bercampur santan dari Gadung (sejenis umbi-umbian) secara berlebihan. Djoko Begadung juga menolak pinangan mereka. Akibatnya, mereka berdua marah dan menyerang negoro Marumi tapi mereka berdua kalah. Kemudian mereka berdua bertemu kembali dengan Djoko Begadung dan ayahnya saat perjalanan kembali ke negoro Marumi dari Songgoriti. Terjadilah peperangan kembali, Djoko Begadung lagi-lagi menjadi pemenangnya dan membunuh kedua kebo itu dengan Pusaka Bondan milik mereka sendiri. Selanjutnya, Pusaka Bondan ditancapkan Djoko Begadung di bawah sebuah pohon Beringin. Di sanalah Djoko Begadung -yang sudah menjadi Harimau- hidup bersama sang adik, Dewi Soetiyem atau dikenal dengan Melati Putih. Sementara saudara bungsu mereka, Clontang Koesumo, diminta ayahnya pergi ke daerah Lodoyo.
Beratus-ratus tahun berikutnya, sekitar setelah tahun 1763 Masehi, negoro Marumi yang sudah berganti nama dengan “Negoro Gadungan” oleh Soetowidjojo dipimpin oleh dua lelaki bersaudara dari Jawa Tengah, Adi Soewarno (Kedud) dan Mangku Kusumo (Trunoredjo). Tapi di bawah kepemimpinan sang adik, Trunoredjo, desa Gadungan bisa aman, tentram dan sejahtera. Terlebih ketika muncul sumber mata air hasil Trunoredjo mencabut Pusaka Bondan yang ditanam oleh Djoko Begadung dahulu. Sumber mata air itu diberi nama “Sumber Bedji”.
Hingga kini masyarakat Gadungan menghormati para leluhur yang membabat tanah desa itu dengan melakukan “bersih desa” berupa kegiatan selamatan dan ziarah di Punden Bah Kud (Bakud), tempat pemakaman keluarga sang kakak, Kedud lalu berlanjut ke Punden  Sumber Bedji, tempat sang adik.  Ketika acara “bersih desa” di Sumber Bedji, Pusaka Bondan selalu dikeluarkan kemudian diletakkan di atas Bokor dan dikelilingi oleh masyarakat Gadungan yang hadir, diiringi gending Landrangan kemudian Pusaka Bondan dipakai oleh kepala desa untuk Bekso (Tayuban/ tari Tayub). Begitulah singkat cerita tentang desa tanah kelahiran gadis tadi.
Acara “bersih desa” yang diadakan setiap satu Suro di Punden Bakud itu bukan hal baru bagi gadis itu tapi kali ini menjadi amat menarik baginya karena sudah setahun ia tak pulang ke tanah kelahirannya. Hiruk pikuk ibu kota menenggelamkannya ke dalam kesibukan yang seolah tiada henti. Kini gadis itu melepas kerinduan terhadap ayah, ibu dan adiknya dan tentu saja terhadap desanya, desa Gadungan yang konon dari dulu merupakan desa penghasil tanaman Gadung yang sering dibuat untuk keripik Gadung. Kini desa ini terkenal penghasil kerajinan genteng dan batu-bata (yang sudah ada sejak zaman Belanda) dan pemasok ternak ayam petelur terbesar tingkat regional dan seluruh kawasan Kediri Raya. Hasil pertaniannya berupa tebu, jagung, pepaya, nanas dan cabe yang cukup melimpah setiap musimnya.
Gadis itu Sarah. Bekerja sebagai salah seorang anggota tim kreatif sebuah acara fenomenal di sebuah stasiun televisi swasta di negeri ini. Maka dari itu, ia tidak bisa sering pulang kampung sehingga ia merapel hari cuti kerjanya untuk berkumpul bersama keluarga tercinta.
Kali ini untuk melipur kerinduannya, ia menyempatkan diri menghadiri “bersih desa” itu sendiri karena adiknya sedang sekolah. Sayang ia tak bisa turut bergabung dengan warga karena ia tak membawa berkat (makanan dengan bermacam lauk-pauk dengan lauk utama ayam panggang sebagai wujud syukur kepada Tuhan Yang Esa atas limpahan rezeki) untuk selamatan. Nantinya berkat ini akan dido’akan bersama lalu dibagi dengan tetangga atau orang yang duduk di sebelah kiri atau kanan kita ketika berdo’a bersama, sisanya dibawa pulang untuk dimakan bersama keluarga.
Sarah tidak membawa berkat karena sudah tujuh tahun terakhir sepeninggal kakeknya -seorang muslim kejawen-, keluarganya tidak lagi mengikuti tradisi “bersih desa” ini. Ayahnya seorang muslim taat melarang keras istri dan anak-anaknya melakukan hal tersebut karena tidak sesuai dengan apa yang diyakininya. Hanya saja semasa mendiang kakek Sarah hidup, ayahnya menghormati sang kakek dengan terus menjalankan tradisi satu Suro itu. Setelah masa duka tersebut, Sarah tak serta merta mengikuti perintah ayahnya, ia tetap rutin menghadiri acara itu setiap tahun walau hanya di pelataran Punden. Bukan untuk ikut berdo’a bersama dengan membawa berkat, melainkan makan gulali yang dijual di setiap acara-acara yang diselenggarakan oleh pihak pemerintahan desa. Hal ini ia lakukan semenjak ia sekolah bahkan ketika ia masih sering diajak mendiang kakeknya datang ke Punden tersebut semasa kecilnya. Kini setelah ia dewasa, ia ingin kenangan bersama kakeknya terus hidup. Hubungan keduanya amatlah rekat karena Sarah merupakan cucu pertama di keluarganya dari pihak ibu sehingga ia menjadi cucu kesayangan dan kebanggaan sang kakek.
Sarah kini berdiri mematung di pelataran Punden menatap jauh ke bagian dalam Punden.
Pekuburan di dalam Punden itu adalah makam leluhurmu, Nduk[1]. Jangan lupakan mereka. Nggak ada mereka, nggak ada desa Gadungan,nggak ada kita sekarang. Mereka juga pahlawan. Pahlawan yang babat desa ini. Sama seperti Gajah Mada, babat nusantara kita. Sama seperti Bung Karno, Bung Hatta dan pahlawan yang diajarin di sekolah. Hanya saja mereka yang ada di Punden ini tidak masuk buku sejarah sekolahmu, Nduk. Tapi tansah elingo. Elingo nang para leluhur[2]. Dari mereka kamu ada.” Suara ini terasa begitu nyata di telinga Sarah.
Mendo’akan orang yang sudah meninggal itu keharusan. Biar kita selalu eling terhadap kematian. Kita nanti juga mati. Tapi sungguh anugerah kita bisa dikenang dalam kebaikan setelah kita mati. Seperti mereka yang ada di dalam sana, mereka mendirikan desa ini. Kamu mau mati dikenang dalam kebaikan, kan?” Sarah masih terpaku menatap ke dalam Punden, ke arah makam-makam melalui sela-sela pagar bercelah lebar.
Jika orang mengatakan ini kesyirikan karena berdo’a di Punden dengan makam di dalamnya, wallahu a’lam. Kita nggak minta apa-apa ke leluhurmu. Kita mendo’akan mereka kepada Gusti Allah supaya mereka diberi tempat yang indah dan berterima kasih atas jasa mereka mengadakan desa ini. Sunan Kali Jaga saja, menyebarkan agama Islam dengan budaya. Jadi... ojok digatekno omongane ayahmu sing kaku[3],” Suara ini memicu rasa tidak nyaman di dada Sarah. Suara kesenggangan antara ayahnya dan kakeknya. Ya... itu tadi suara kakeknya. Terasa nyata.
Mendadak tubuh Sarah berguncang hebat, membuatnya nyaris tersungkur ke tanah. Dia mendengus sebal kemudian menoleh.
Sarah terpaku sekejap usai kembali tegap berdiri. Di depannya  sudah berdiri menjulang sosok gagah dan tampan dengan wajah internasional, mata abu-abu, rambut pirang gelap, hidung mancung, garis wajah kuat dengan jambang di dagunya dan... Sarah menyapukan pandangan matanya dari kepala ke kaki, dari kaki ke kepala sosok itu, sempurna! Lelaki di depannya very, very, very handsome! Sarah memekik di dalam hati. Ia tak sadar ia menyunggingkan senyuman tapi sedetik kemudian ia langsung mengubah senyuman itu menjadi mulut yang monyong.
“Kalau jalan pakai mata, Bung!” seru Sarah spontan tak peduli harus bicara dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris.
“Maaf, nggak sengaja,”
Sarah kaget bule itu fasih ngomong Indonesia.
“Kamu nggak kenapa-kenapa, kan? Untung nggak nyosor ke tanah. Baguslah...” sambung lelaki itu.
Sarah mengangkat sebelah alisnya lalu berwajah a la angry bird. Menyebalkan sekali omongan bule ini!
“Oh, tentu, aku nggak apa-apa. Tapi lain kali pakai tuh, mata dengan benar!” omel Sarah sembari menunjuk dua jarinya ke arah mata lelaki itu.
“Kenapa mataku?” Lelaki itu mencondongkan tubuhnya ke arah Sarah sambil mengerjap-ngerjapkan kedua kelopak matanya. Sarah terpaksa memundurkan tubuhnya. “Aku sudah menggunakannya dengan benar.” Lelaki itu menunjukkan bahwa tak ada masalah dengan matanya seperti yang dikatakan Sarah.
Baru saja Sarah hendak mengonfrontasi lelaki itu, tiba-tiba ada suara yang memanggil namanya. Ternyata buleknya yang menjabat sebagai kepala desa Gadungan yang baru, tahun 2013 ini.
“Ngapain di sini? Ayo masuk!” ajak buleknya. “Tapi kameranya jangan dinyalakan, ya? Bukan apa-apa, menghormati kekhidmatan orang yang berdo’a di dalam, biar khusyuk. Ayo,”
“Nggak apa aku masuk, Bulek? Aku nggak bawa berkat, lho,”
Ora popo. Nanti pasti dapat. Bulek bawa dua ekor ayam panggang, nanti aku kasih,” seringai buleknya bercanda.
Sarah tersenyum lebar.
Buleknya  menyadari kehadiran bule itu di tengah mereka.
“Eh, Mas yang cucunya mbah Soemoredjo, ya?” tanya bulek. Bule itu tersenyum mengangguk. “Anaknya pak Sumadi?” Bule itu manggut-manggut. “Oalah, kapan datang dari Barcelona? Bu Sumadi pie kabare?”
Kali ini Sarah tercekat lehernya. Ia sungguh tak percaya.
Barcelona? Bule ini dari Barcelona? Dan punya darah Indonesia? Pantesan bahasa Indonesianya fasih. Eh, tapi bisa bahasa Jawa nggak, ya? Pasti lucu kalau ngomong Jawa. Hihihi. Sarah tersenyum-senyum sendiri.
Kala wingi, Bu. Mami pawartose sae. Sakniki mami pun pindah mriki saklawase,[4]” ujar bule itu lancar berbahasa Jawa.
Sarah mendelik bahkan merasa tubuhnya terpental seketika. Ia berbahasa Jawa saja sering keseleo lidah –maklum ayahnya asli Sunda-, sementara bule ini lancar jaya.
Setelah berbasa-basi sebentar, mereka bertiga masuk ke dalam Punden. Mereka duduk di sebuah gazebo. Sarah sendiri duduk bersandingan dengan bule itu. Dan jelas saja semua mata menuju bule itu karena paling “aneh” dari semuanya. Aneh tapi ganteng, sih.
Kemudian semuanya hening dan khidmat berdo’a bersama karena setelah ini mereka akan menuju ke Sumber Bedji, melanjutkan acara “bersih desa” bersama Bupati Kediri dan masyarakat Gadungan yang lainnya.
***
Hari merangkak semakin larut. Alunan gending Jawa mengiringi tari Tayub di area Pundan Sumber Bedji. Para tledhek (penari wanita tari Tayub) begitu indah dalam  menggerakkan keseluruhan tubuhnya dan menyerasikannya dengan alunan gending. Para pengunjung, terutama lelaki diajak oleh mereka maju ke arena tari untuk menari bersama. Para tledhek  itu mengalungkan selendang atau sampur ke leher tamu yang diajaknya menari.
Tari Tayub ini menyebar di sebagian besar wilayah Pulau Jawa, dari Jawa Barat sampai Jawa Timur dengan cara penyajian dan istilah yang berbeda di masing-masing daerah. Tari ini merupakan tari pergaulan masyarakat yang kini sering dipertunjukkan di acara-acara seperti pernikahan, khitanan atau acara kebesaran atau peringatan tertentu, misalnya acara Agustusan atau “bersih desa” seperti yang sering diselenggarakan desa Gadungan.
Tari Tayub sering mendapatkan pandangan miring oleh kalangan tertentu karena selama pertunjukan, pengunjung disajikan minuman keras ditambah dengan pemberian uang saweran yang dilakukan oleh pengibing (pengunjung yang diajak menari) di sela-sela belahan dada tledhek sehingga menimbulkan persaingan dengan pengibing lain.
Sarah bersandar di sebuah dinding setinggi perutnya tak jauh dari para penari Tayub yang sedang menari bersama para tetamu. Ia larut dalam hiruk-pikuk tradisi turun-temurun tersebut dengan mengemut gulali favoritnya yang ia beli dari seorang pedagang gulali yang “parkir” di pinggiran pelataran Punden. Sementara gulali ada di mulutnya, kedua tangannya sibuk memencet-mencet tombol kameranya. Ia menggulir layarnya pelan-pelan. Ia tersenyum dengan hasil potretannya. Namun ia dikagetkan dengan selendang yang tiba-tiba saja terkalung di lehernya. Seorang lelaki separuh baya berkumis tebal bak pak Raden dan tambun mengerlingkan sebelah matanya pada Sarah. Berikutnya, bapak itu menjawil dagu Sarah.
“Mbak, sini nari sama aku,”
Sarah yang spontan eneg mencoba untuk ramah. “Ngapunten[5], Pak. Saya kan, bukan penari. Mbak-mbak penarinya itu, tuh!” tunjuk Sarah ke belakang bapak itu lalu menarik selendang di lehernya dan diberikannya pada si bapak.
“Aku maunya sama kamu, Mbak. Ayu tenan  kowe,” tukas bapak itu kembali menjawil dagu Sarah.
Sarah segera menampik tangan bapak itu dan mengomel sejadi-jadinya.
Huh, dijak seneng-seneng ora gelem! Ora usah jual mahal kowe, cah ayu! Rene![6]” paksa bapak itu dengan kasar menarik tangan Sarah. Sarah kesakitan dan meronta tapi suaranya lebur di tengah keramaian suasana.
Langkah Sarah dan bapak itu berhenti seketika saat sebuah tangan besar dan kekar menahan tangan bapak itu.
Ngapunten, Pak,” suara jantan seorang lelaki. Si bule tadi siang ternyata.
“Weeh.. Londo[7] iso boso Jowo. Lapo?!” sentak bapak itu.
Niki rakyat kulo, Pak,[8]” lanjut bule itu.
“Heh?” Bapak itu tampak terkaget-kaget. “Oalah Mas Londo... makanya dijaga punya istri cantik begitu! sambung bapak itu sembari hendak menyentuh dagu Sarah kembali tapi ditepis secepat kilat oleh bule itu.
“Maaf, Pak. Jangan macam-macam sama istri orang!” sentak bule itu dengan cengkeraman tangan yang amat kuat pada tangan bapak itu.
Sarah kaget mendengar kalimat bule itu. Kemudian lelaki tambun itu pergi dengan omelan berentet dan sesekali menunjukkan ekspresi ketakutan ketika menoleh ke arah bule tadi.
“Hei, kamu baik-baik saja?” tanya bule itu.
Sarah mengangguk. “Thanks, ya sudah nolongin,”
Bule itu mengangguk cepat. “Makanya kalau ke sini jangan sendirian. Oknum-oknum jahil kayak bapak-bapak tadi kemungkinan besar berkeliaran di saat acara seperti ini, walau nggak sering. Tapi pasti ada yang nakal dalam tanda kutib,”
Sarah mencerna baik-baik nasehat bule itu.
“Eh, tapi aku nggak terima kamu sebut istrimu,” protes Sarah.
Bule itu tersenyum kecut, membuat Sarah kembali gondok.
“Aku juga nggak suka dengan ekspresimu yang memuakkan itu, seolah menghina sekali,” lanjut Sarah.
“Kalau aku nggak bilang kamu istriku, apa kamu mau hal-hal buruk terjadi sama kamu?” Bule itu mengarahkan jari telunjukkan ke samping matanya. “Berpikirlah, Nona Manis. I’m your hero tonight. So... berterima kasihlah dengan cara yang baik. Jangan setelah berterima kasih memprotes begitu,”
Sarah manyun tapi tak bisa membantah. Bule itu memang telah menyelamatkannya.
“Terus mau kamu apa sebagai balas budi?”
Nothing. Hanya saja, bersikaplah manis padaku,” ujar bule itu mengerdipkan sebelah matanya pada Sarah. Sarah menampakkan wajah muaknya.
“BOOKKK!!” suara tangan Sarah mendarat paksa dan keras di lengan bule itu. Bule itu spontan mengaduh. “Genit!” seru Sarah. “Kamu harus periksakan matamu ke dokter supaya nggak kurang ajar seperti bapak tadi,”
Bule itu justru terkekeh mendengar Sarah mengoceh memarahinya.
Beberapa menit kemudian.
“Loh...” suara Sarah tiba-tiba seperti orang bingung sambil matanya menyusuri tanah yang dipijaknya.
“Kenapa?”
“Gulaliku mana? Wah, pasti jatuh karena bapak tadi. Hemmm... padahal masih banyak. Sayang banget kebuang gitu aja,” rengek Sarah.
“Lalu? Kamu mau mungut dari tanah gitu?” tanya si bule. “Sini!” Bule itu menarik tangan Sarah kuat tapi tak kasar.
Mereka berdua menuju penjual gulali.
“Wah... apa-apaan ini? Kamu pengen membuat aku merasa berhutang padamu berkali-kali lipat? Ogah!” tolak Sarah ketika si tukang penjual gulali menyodorkan gulali tersebut.
“Susah ya berurusan sama orang yang selalu negative thinking. Sepertinya kamu yang perlu periksa ke dokter untuk brainwash supaya nggak mudah negative thinking,” oceh bule itu. “Aku berniat baik, just it!” Bule itu mengambil gulali dari tangan si penjual dan menyerahkan uang dua ribu rupiah. “Kalau kamu nggak mau, aku makan,”
“Ah, a, a... sini, aku mau. Aku sudah ngidam lama. Di Jakarta nggak ada gulali seenak ini,” sahut Sarah merebut gulali itu dari tangan si bule.
Sarah mulai mengemut gulali itu. Ekspresinya seperti anak kecil yang teramat menikmati jajannya. Si bule tersenyum manis melihat Sarah. Ia sungguh tak percaya, gadis galak yang baru ia temui tadi siang ternyata memiliki sisi yang lucu dan manis. Sementara Sarah juga tak menyangka, bule yang terkesan menyebalkan itu punya hati yang baik, berjiwa pengayom. Naiklah satu level kekaguman Sarah padanya selain alasan fisik. Tapi rasa dongkolnya tak serta-merta terhapus begitu saja.
***
Pagi-pagi Sarah sudah ada di pemakaman kakeknya setelah lari pagi. Ia berdo’a di sana dan melepas rindu. Ia juga bercerita seolah kakeknya ada tepat di hadapannya. Ia bercerita  dirinya baru saja mengikuti acara bersih desa di Punden Bakud lalu ke Sumber Bedji. Ternyata tradisinya masih sama. Bahkan Sarah juga sempat memotret ketika acara berlangsung, minus do’a bersama untuk menghormati prosesi berdo’a. Tak lupa Sarah juga bercerita bahwa ia bertemu lelaki super tampan di Punden yang telah menolongnya dari oknum jahat ketika di Sumber Bedji.
“Ganteng banget, Mbah. Bule. Kata bulek Sri sih, mbahnya asli sini dan dulu sempat memangku jabatan penting di pemerintahan desa. Mbah kenal mbahnya? Kalau nggak salah namanya mbah Soemoredjo? Wah, Mbah, coba Mbah masih hidup, jodohkan aku lah Mbah sama cucu orang itu, hehehe. Mbah, besok aku ke petilasan Jayabaya ya, Mbah? Aku pengen ambil foto terus sama mengenang kebersamaan kita dulu, Mbah,” celoteh Sarah manja mengingat kebiasaannya dengan sang kakek yang sering berkunjung ke tempat bersejarah dan sakral. “Ah, Mbah, aku kangen. Untung gelangku ini nggak ilang Mbah, pas aku ikut outbond ke Lembang beberapa bulan lalu. Padahal ini kan, hadiah dari Mbah satu-satunya pas aku umur 12 tahun,” lanjut Sarah sendu memegangi gelang manik-manik di tangan kirinya.
Usai “bercengkerama” dengan kakeknya dan tak lupa ia “menyapa” neneknya dan beberapa saudara yang dimakamkan di area yang sama, Sarah kembali pulang.
Siang harinya Sarah berangkat ke desa Menang (Pagu-Kediri), tempat petilasan pamuksan (muksa/ menghilang) Sri Aji Jayabaya. Beliau adalah raja Kediri yang termasyhur pada tahun 1135-1157 dengan buku ramalan Jangka Jayabaya yang meramalkan nasib Nusantara bertahun-tahun bahkan beratus-ratus tahun sampai saat ini dan ke depannya. Jayabaya adalah raja yang berhasil mengalahkan kerajaan Janggala dan menyatukannya kembali dengan Kadiri (kini Kediri). Jayabaya juga merupakan raja yang arif dan bijaksana yang mewarisi darah keluarga Pandawa. Ayahnya bernama Gendrayana, putra Yudayana, putra Parikesit, putra Abimanyu dari ayah bernama Arjuna, salah seorang Pandawa Lima.
Sarah berhati riang ketika menginjakkan kaki di petilasan pamuksan Jayabaya. Sebentar lagi memori manis dengan kakeknya akan kembali hadir. Namun, keriangan itu buyar ketika seseorang mendorong motornya dari belakang hingga terpaksa Sarah dan motornya maju dua meter ke depan mendadak, praktis membuatnya oleng walau tak sampai terjatuh.
Sarah berdecak lidah sebal. Sementara orang itu masih nangkring di atas motor  dengan helm berkaca hitam yang menutupi wajahnya.
Dengan hati super dongkol Sarah turun dari motornya, menarik penyangga motor sekenanya dengan kakinya lalu segera menghampiri orang yang baru saja menabraknya.
Sarah langsung nyerocos begitu saja di depan helm orang itu.
“Sori, nggak sengaja,” sahut santai orang itu sambil melepas helmnya.
Sarah merasa nafasnya berhenti sejenak. Bule itu!
“Kamuu....” suara Sarah menggemeretakkan deretan giginya.
“Kamu nggak kenapa-kenapa, kan? Baguslah,“
Sarah seketika naik pitam, ditinjunya lengan lelaki itu seenaknya.
“Kamu berulang kali mau bikin aku celaka dan kamu bilang segitu santainya, bagus, bagus. Bagus gundulmu! Makanya pakai mata yang bener. Otaknya juga dibikin siaga biar nggak nabrak mulu!” sergah Sarah.
Bule itu melengos sejenak lalu menatap Sarah tanpa ekspresi. Sedetik kemudian tersenyum asal.
“Kamu kalau marah terlihat hermoso[9],cantik,” cetus si bule.
Sarah terlongo disusul dengan wajahnya yang berubah semu merah. Tapi kemudian mendadak ia menghujamkan tatapan mautnya.
I’m serious. But it’s better like this...” Tangan bule itu menarik kedua ujung bibir Sarah ke atas, melengkungkan senyuman. Kemudian meninggalkan Sarah dengan kekagetannya sendiri.
Sarah dongkol di satu sisi tapi di sisi lain sungguh gede rasa bukan main.
Singkat cerita ternyata keduanya punya tujuan yang sama, rekreasi ke tempat bersejarah. Sialnya (atau beruntung?) mereka berdua selalu bersamaan ketika berjalan dari satu tempat ke tempat lain, dari tempat muksanya Jayabaya, ke tempat mahkota Jayabaya disimpan (berupa batuan berbentuk mahkota) sampai ke pemandian yang masih satu kompleks dengan petilasan pamuksan Jayabaya.
Selama perjalanan mereka saling bertengkar kecil. Bule yang jahil dan Sarah yang tak suka dijahili. Sesekali mereka dibuat keki oleh pemandu yang mendampingi mereka mengelilingi kompleks bersejarah dan menceritakan sejarahnya.
Momen terkikuk yang mereka alami adalah saat sang pemandu yang sudah sepuh[10] tapi terlihat segar-bugar dan lincah, mbah Ponco namanya, nyeletuk demikian.
“Mas namanya Jayabaya, Mbak namanya Sarah. Jodoh,”
Sarah dan bule itu melongo bersamaan.
“Kok, mekaten[11], Mbah?” tanya bule bernama lengkap Alano Jayabaya itu. Tadi ia memperkenalkan diri seperti itu dengan suara yang mantab dan jelas.
Yo, iyo, Mas. Permaisuri Maharaja Jayabaya kan, Dewi Sara.”
Mbah Ponco mengucap nama Sarah tanpa huruf “H” pada akhirannya tapi tetap terdengar “Sarah”.
“Loh, Mbah, nama lengkapku Dewi Sarah,” tukas Sarah yang tak menyangka namanya seperti istri prabu Kediri.
Mbah Ponco terkekeh. Jaya menahan tawanya supaya tidak meledak begitu saja.
Oalah yo, yo, kok ketepakan ngene[12]. Kalian berjodoh, Mas, Mbak,” ujar mbah Ponco.
Waduh! Bencana atau anugerah?
“Aamiin, deh, Mbah. Hahaha,” sahut Jaya spontan lalu pecahlah sudah tawanya.
Sarah menimpuk lengan Jaya. “Apaan, sih?!! Nggak lucu!”
Jaya masih terpingkal-pingkal sambil memegangi perutnya. Sarah masih menggerutu  sambil melipat kedua tangannya di depan dada.
“Bercanda kali, Sar. Mbah Ponco cuma guyon[13],” kata Jaya menghibur. “Ya, to, Mbah?” Jaya menatap mbah Ponco. Mbah Ponco manggut-manggut sembari tersenyum lebar.
Mereka bertiga lalu duduk di sebuah kursi bambu di bawah pohon Beringin dekat pemandian. Kemudian mbah Ponco pamit untuk beli minuman sebentar ke sebuah warung kecil yang berjualan di area pemandian.
“Kamu kelihatan bad mood, kenapa?” tanya Jaya memecah keheningan di antara keduanya.
“Gara-gara kamu, aku gagal total mengenang kembali memori bareng kakekku dulu semasa hidupnya. Kamu perusak suasana!” tuding Sarah.
“Bukan kehendakku ngerusak suasana hatimu,” Jaya membela diri. “Dan baru kali ini ada cewek bilang aku penyebab dirinya bad mood. Di luar sana banyak cewek merasa berbunga-bunga ketemu aku,” Jaya berbangga diri.
Sarah manyun mengejek.
“Jangan jaga image begitu! Kita lihat saja, ya, kalau setelah pulang ini kamu mikirin aku terus dan tiga bulan berikutnya kamu makin kangen aku, sudah pasti kamu termasuk ratusan bahkan ribuan cewek Indonesia yang suka sama aku!” ujar Jaya yang tampaknya sudah mencapai titik kenarsisan.
Sarah menyikut Jaya.
“Kalau yang ada sebaliknya?” Sarah menantang.
It’s okay. Artinya Sarah akan jadi permaisuri Jaya. You’ll be my queen. That’s the point! Nggak peduli siapa yang suka duluan. Kita ingat-ingat kata mbah Ponco tadi sebagai do’a atau bahkan sebuah ... kutukan mungkin,”
“Ih, ogah!” tukas Sarah.
We’ll see,”
Sarah mendesis. Jaya sungguh punya tingkat kepercayaan diri tinggi, segaris lurus dengan penampilannya yang nyaris perfecto dengan gaya sporty dan macho-nya itu. Sarah tersanjung diperlakukan Jaya seperti itu tapi apakah benar ia dan Jaya bisa berjodoh? Ia tak akan menampik mentah-mentah kalau memang Tuhan menjodohkan mereka berdua tapi masa’ sih? Dan apakah Jaya juga punya kekaguman padanya seperti ia kagum pada lelaki itu jauh di dalam hatinya? Sarah menggeleng-gelengkan kepalanya cepat.
Ini memang terlalu cepat. Itu tadi hanya candaan mbah Ponco dan Jaya juga tampaknya tipe lelaki penggoda. Ah... Sarah bingung. Tapi, aslinya...  Aku berharap bisa berjodoh dengan Jaya. Mendampinginya seperti Dewi Sara mendampingi Sri Aji Jayabaya. Siapa yang mau menolak lelaki setampan dan... selucu dia? Pintar melumerkan suasana walau terkadang menyebalkan. Tapi jelas dia berjiwa pahlawan.
Sarah melirik Jaya yang duduk di sampingnya. Jaya justru melempar senyum jahilnya dan mengerlingkan sebelah matanya. Sarah melengos dan menjulurkan lidahnya keluar. Tapi tanpa diketahui Jaya, Sarah tersenyum-senyum sendiri, mengamini kalimat mbah Ponco.

-selesai-


*Beberapa informasi mengenai desa Gadungan diambil seperlunya dari sumber resmi http://www.gadunganpuncu.info/home/ sementara informasi petilasan pamuksan Jayabaya diambil seperlunya dari http://wikimapia.org/4221580/id/Petilasan-Pamuksan-Sri-Aji-Joyoboyo.







[1] Panggilan untuk anak perempuan dalam budaya Jawa
[2] Tapi selalu ingatlah. Ingatlah kepada para leluhur.
[3][3] Jadi... jangan pedulikan omongan ayahmu yang kaku.
[4] Kemarin, Bu. Mami kabarnya baik. Sekarang mami sudah pindah ke sini selamanya.
[5] Maaf
[6] Huh, diajak senang-senang nggak mau! Nggak usah jual mahal kamu, anak cantik! Sini!
[7] Sebutan masyarakat Jawa untuk orang asing berkulit putih di zaman penjajahan.
[8] Ini istri saya, Pak.
[9] Cantik dalam bahasa Spanyol
[10] Tua dalam bahasa Jawa
[11] Begitu
[12] Oalah, ya, ya, kok kebetulan begini.
[13] Bercanda

Bersyukur Lebih Baik

credit
Maret 2013 lalu aku lulus menyandang gelar Sarjana Psikologi. Kini, aku melihat teman-temanku sudah bekerja cukup mapan dan ada pula yang melanjutkan kuliah profesi. Sementara aku? Aku memang sudah bekerja tapi belumlah mapan.
Kalian tahu? Aku ini wisudawan berpredikat cum laude tapi aku hanya shadow teacher atau guru pendamping Anak Berkebutuhan Khusus (ABK). Sementara teman-temanku bekerja di kantoran, berkemeja rapi, berkutat dengan semua hal berbau HRD, berangkat pagi dan pulang sore.
Aku geram. Ini tak adil! Aku juga mau seperti teman-temanku. Tapi aku agak sial, aku gagal masuk perusahaan yang cukup besar pilihanku. Akhirnya aku berdo’a, “Ya Allah, berikan segera aku pekerjaan untuk meringankan beban kedua orangtuaku tapi berikan aku pekerjaan yang aku ikhlasi, Engkau barokahi,”. Kemudian tawaran menjadi shadow teacher datang dari seorang kawan. Aku serta-merta menerimanya karena aku butuh uang untuk diriku sendiri walau kenyataannya gajiku tidak sebesar Upah Minimum Rakyat (UMR) Surabaya. Mulanya aku pede saja. Tapi setelah dua bulan menjalaninya, ketidakpuasan dan kejengkelan mulai memberondongku!
ABK yang aku dampingi mengalami learning disability karena sistem otaknya mengalami gangguan kejang ketika balita. Akibatnya, kemampuan kognitif dan motoriknya terganggu. ABK ini walaupun berusia delapan tahun dan duduk di kelas dua SD tapi seperti anak TK. Ia belum bisa sepenuhnya membaca, menulis dan menghitung. Mewarnai saja berupa coretan dan sering tabrak garis sana-sini. Problem seperti ini mungkin masih bisa aku atasi meskipun terkadang aku merasa tensi darahku naik mendadak, geram! –tapi aku tak membencinya-. Nah, problem lainnya yang membuatku stres adalah masalahnya dengan toilet training. Dia pipis dan poop di popoknya lalu aku harus menggantikannya! Duh! Seperti hari ini. Ini bukan pertama kalinya aku menggantikan popoknya tapi hari ini aku melihatnya terbengong-bengong dan justru menginjak-injak pelan poop-nya! Aku langsung muntah sejadi-jadinya. Spontan aku mengomel, “Nak, kamu kalau pengen poop bilang!”. Ouuhh, aku seharusnya sadar diri, dinasehati berapa kali pun, anak itu tak akan pernah bisa mengatakannya padaku. Why? Kata bundanya, dia takut bilang, makanya orangtuanya membiasakannya menggunakan popok. Padahal di rumah tidak begitu. Selain itu, dia terhambat dalam wicaranya.
Jadi shadow teacher itu ternyata susah. Tapi tergantung ABK yang didampingi. Ada pula ABK yang anteng dan penurut. Makanya ada shadow teacher yang nyaman dengan pekerjaan itu dengan upah yang hanya setengah UMR Surabaya. Sementara aku? Helooo, aku lulusan universitas ternama se-Indonesia Timur, masa seolah kerja sosial dengan upah minim??! Padahal aku mau jadi wanita karir di kantoran. Tapi dengan start pengalaman pekerjaan seperti ini apakah bisa menjadi batu loncatan yang baik untuk karirku ke depan? Sesak rasanya. Tapi Tuhan Maha Pengasih. Terkadang kalau stres menemani murid ABK-ku belajar, nanti ketika jam istirahat aku bercanda-tawa dengan anak-anak lain yang “normal” dan lucu. Lalu ketika pulang sekolah aku sering berpapasan dengan pemulung yang mengais sampah sepanjang aku berjalan pulang, aku berpikir, “Berapa sih, upah yang mereka dapatkan? Pasti untuk membiayai dirinya sendiri tak cukup, apalagi keluarganya? Jadi, aku lebih beruntung dong digaji sejuta. Aku juga tak perlu bingung membayar uang kost karena ada bude yang berbaik hati menampungku di rantau. Tapi aku lulusan S1, teman-temanku gajinya dua juta,”. Gejolak hati seperti ini sering aku alami sampai tak terasa air mataku mengalir.
Aku jadi berpikir janji Tuhan itu pasti. Siapa yang bersabar dan mensyukuri nikmat Tuhan, maka akan ditambah  kenikmatannya. Aku belajar bersabar dan berempati pada ABK-ku atau ABK lain. Mereka anak-anak istimewa untuk siapapun karena sebagai bahan introspeksi bagi kita, khususnya diriku bahwa kita yang “sempurna” ini harus lebih bisa optimis dan memanfaatkan segala pemberian Tuhan dengan baik.
Aku memang ingin bekerja kantoran nantinya, tapi sahabatku benar bahwa aku diberi kesempatan untuk mengaplikasikan ilmu psikologi klinisku terlebih dahulu, psikologi yang juga membahas ABK-ABK itu.
Tuhan sudah memberikan yang aku do’akan dan usahakan. Artinya, jika aku ingin lebih, maka aku harus lebih giat berusaha dan terus yakin bahwa Tuhan mengikuti prasangka hamba-Nya. Selain itu aku memang harus lebih banyak bersyukur, agar damai jiwaku.
-end-
*Ditulis untuk event buku #MyDream oleh Penerbit Diva Press dan lolos :) dengan catatan nama akun twitterku @agustinsudjono berganti jadi @agustin_sudjono
*Tulisan ini tidak ditujukan untuk menyudutkan pihak mana pun. Mohon maaf sebesar-besarnya bila ada kata yang kurang berkenan. Tulisan ini murni berbagi kisah pelajaran untuk diambil sisi positifnya :)