“Mina, tolong sabarlah menungguku. Aku pasti kembali,”
kata Mas Egi.
“Kapan kamu akan kembali, Mas?” tanyaku.
“Itu…. Sesuatu yang tidak pasti. Jika aku dapat cuti lebih,
aku akan segera kembali. Nanti aku kabari,” jelas Mas Egi.
Aku melambaikan tanganku kepada Mas Egi yang akan pergi
merantau ke kota seberang. Ya, dia mendapatkan pekerjaan di kota sana yang
jauh. Aku ingat perkataannya beberapa hari yang lalu, “Ini demi masa depan
kita, Mina. Aku harus terima pekerjaan ini, supaya bisa mengumpulkan uang untuk
kita nanti.”
Kala itu, aku percaya. Aku bahkan mendukungnya mengambil
pekerjaan itu. Sebuah perusahaan besar bidang perminyakan, sungguh tawaran yang
sangat bagus. Jarang sekali ada orang mendapatkan kesempatan bekerja di
perusahaan sebesar itu. Tesnya pun tak gampang. Mas Egi adalah salah satu orang
yang berhoki besar bisa mendapatkan pekerjaan di sana.
* * *
Hari berganti minggu dan minggu pun berganti bulan. Tak
terasa waktu cepat berlalu. Selama sebulan sampai dua bulan lebih komunikasi
anatara kami tak putus. Namun, pada bulan ketiga, selalu ada hambatan
komunikasi antara kami.
“Maaf, Mina. Pekerjaanku banyak sekali. Di sini sinyal
kurang jelas. Maaf jika aku tak dapat meneleponmu lama-lama,” begitu kata Mas
Egi saat aku meneleponnya.
Beberapa kali aku mengirimkan pesan teks ke ponselnya,
namun selalu lambat dibalas. Jika aku tanyakan alasannya, dia selalu bilang
sibuk. Akhirnya karena tak sabar, aku membuka akun Facebookku yang sudah lama
kutinggalkan sejak aku menjalin hubungan dengan Mas Egi. Aku ingin tahu apa
yang ada di akun Facebooknya Mas Egi.
Ketika aku pertama kali masuk ke profilnya, aku dapati
dia mengupdate gambar dirinya berdiri di kapal minyak. Di bawah ada komentar
dari seorang wanita bernama Risa. Lalu aku melihat lagi ke
postingan-postingannya yang lama. Selalu ada nama wanita itu, entah dia memberi
tanda jempol ataupun memberikan komentar. Hatiku mulai panas.
Aku semakin penasaran dengan siapa wanita itu. Lalu aku
mengklik namanya. Dan, masuklah aku ke profilnya. Untungnya wanita itu membuat
profilnya agar dapat dilihat oleh khalayak ramai, sehingga dengan mudah aku
mengetahui apa saja yang dipostingnya. Setiap foto yang diupdate oleh wanita
itu, pasti ada nama Mas Egi memberikan tanda jempol.
Aku kesal, aku marah. Langsung saja kutelepon Mas Egi,
walaupun ini sudah tengah malam. Dan telepon pun dijawabnya - suatu kebetulan
yang memang aku harapkan.
“Mas, siapa wanita yang bernama Risa itu? Aku lihat dia
ada di Facebookmu?” serangku.
“Eh, Risa? Oh… Itu teman, kok,” jawab Mas Egi
terbata-bata.
“Teman apa, Mas? Kenapa di setiap postinganmu selalu ada
namanya? Lalu, dipostingan dia juga selalu ada namamu?” cecarku.
“Ya, dia itu teman yang hadir di saat aku suntuk. Nggak
seperti kamu yang membosankan. Kamu nggak pernah lagi buka Facebookmu. Tak
pernah lagi berikan komentar untukku ataupun memberi tanda jempol. Aku bosan
dengan kamu, Mina. Maaf ya… Kita akhiri saja semua ini. Aku nggak ada lagi
perasaan sama kamu,” jawan Mas Egi.
Belum sempat aku berkata apa-apa. Mas Egi telah menutup
teleponnya. Dan, tinggalah aku berdiri mematung dengan air mata yang berlinang
jauh entah sampai mana.
Tapi... sekalipun sakit dengan sikap
Mas Egi yang bagiku sebegitu mendadaknya seperti itu, ada rasa marah yang
memuncah. Aku tak bisa diperlakukan seperti ini. Dulu dia mengejarku sampai
jungkir balik, kini aku menyerahkan hatiku lalu aku dibuang begitu saja. Ini
tidak bisa kubiarkan! Mas Egi harus menjadi milikku.
Akan aku bereskan esok hari.
Sekarang, aku akan menguras air mataku kepedihanku karena ke depannya aku hanya
ingin air mata kebahagiaan.
***
Aku mengajar dengan hati penuh sesak. Pikiranku masih
teringat jelas pada Mas Egi dan tentu saja si Risa.
Ah, apa pula kelebihan Risa? Kalau hanya perhatian, aku
bisa memberikannya lebih. Lagi pula dari kepala hingga ujung kaki, terlihat
jelas akulah pemenangnya. Tapi... kalau aku tidak ada di samping Mas Egi sama
saja. Memang benar adanya, kehadiran fisik memang penting di antara orang yang
saling mencintai. Mencintai tak cukup hanya dengan hati tapi juga fisik.
Setelah selesai mengajar nanti, aku akan meneleponnya.
Aku tak boleh kalah dari siapapun. Mas Egi milikku dan akan tetap menjadi
milikku.
“Bu Mina, Bu Mina, Zidan e’ek di celana. Bauuuu!!”
seorang murid gemuk bernama Akbar menarik-narik bajuku, membuyarkan pikiranku.
Aku menoleh dan segera menuju Zidan berada. Ternyata
benar, dia buang air besar di celana. Aku sigap menggiringnya ke toilet
sekolah. Dasar anak kecil, sekalipun sudah masuk usia toilet training tetap saja terkadang kecolongan. Terlepas dari hal
semacam ini, anak-anak usia TK sungguh menggemaskan. Kelucuan dan kepolosan
mereka bukanlah kebohongan seperti yang ditunjukkan orang dewasa yang suka
menggunakan topeng. Seperti Mas Egi yang ternyata juga bertopeng untuk merayuku
dan kini membuangku seenak udelnya. Dikiranya aku akan melepaskannya begitu
saja? TIDAK!
Usai membersihkan Zidan, aku kembali ke kelas untuk
mengajar. Jam istirahat sudah habis. Tapi langkahku terhenti ketika ada telepon
masuk. Aku merogoh saku celanaku mengambil ponselku.
Mama.
“Mina, jangan lupa sepulang sekolah kamu ke kecamatan
untuk ikut seminar yayasan, ya? Mama masih ada urusan,”
“Yah, Mama. Aku kan, pengen cepet pulang. Mama kan,
kepala sekolahnya,”
“Tapi kamu kan, anak kepala sekolah. Anak pemilik TK.
Anak pemilik yayasan. Suatu hari kamu juga yang akan menjadi kepala sekolah dan
ketua yayasan keluarga kita. Belajar dari sekarang, biar nggak bingung
nantinya. Ya, Sayang, ya? Gantikan mama kali ini,”
“Kalau disuruh pidato, gimana?”
“Bicara sebisamu. Lulusan sarjana masa ngomong di depan
publik nggak bisa? Ya, sudah, mama buru-buru, nih. Jangan lupa, ya?”
Kemudian beep,
suara telepon terputus. Aku mendengus keras. Mama selalu begitu.
Finally, aku memang menghadiri yayasan itu dan bertemu dengan
kawan lamaku. Dia donatur untuk yayasan keluargaku yang menaungi lembaga
pendidikan dari tingkat TK sampa SMA. Dia mewakili orangtuanya juga.
“Intaaannn... apa kabar?” seruku sambil memeluknya. Kami memang
lama tak bersua semenjak ia pindah ke Jakarta dua tahun lalu.
“Baik, Min. Kamu?”
Aku mengangguk cepat dan mengangkat jempolku, pertanda
baik.
Kami berdua pun duduk di bangku barisan terdepan. Kami
berbincang sebanyak yang kami mau sebelum acara dimulai.
“Eh, ef-be mu nggak pernah aktif, sih, Tan? Mana aku
nggak tahu nomormu yang baru,”
Intan tersenyum. “Sudah aku deactivated, Min. Males aku. Facebook
sekarang kayak pasar, dikit-dikit iklan, dikit-dikit online shop. Sudah nggak menarik. Bosan,” terangnya. Benar juga, pikirku. “Kamu sendiri
jarang online, Min. Sebelum aku tutup
ef-beku sebulan lalu, aku ngrasa kamu juga jarang up date status. Kenapa? Tobat, ya? Hahahaha,” Intan berkelakar.
“Sibuk, Tan. Lagian bener juga katamu, ef-be membosankan.
Asyik twitteran kali. Hehehe. Tapi, ya gitu... itu salah satu komunikasi sama
mas Egi. Mas Egi disuruh bikin twitter nggak mau,”
“Oh, iya, Egi apa kabar? Katanya kerja di minyak gitu,
ya? Wah, bakal kaya raya dong. Kamu bakal jadi ibu-ibu sosialita,”
Aku melemas seketika. “Kami putus semalem,”
Intan melotot tak percaya.
“Dia kayaknya nemuin cewek baru di sana. Tapi, aku nggak
rela! Enak aja. Kamu tahu kan, dia kayak apa ke aku sampai aku luluh yakin ke
dia. Makanya aku akan bikin perhitungan sama dia. Lagian cewek baru itu pasti
hanya level dada tiarap dibanding aku,”
Intan menahan tertawa geli. Aku meliriknya sambil manyun.
“Kamu masih tetep kayak dulu, ya? Sekeras baja,” katanya.
“Emang kamu tahu dari mana dia nemu cewek baru?”
“Dari ef-be. Jadi begini...” Aku menceritakan yang
sebenarnya terjadi.
Intan tergelak mendengar ceritaku.
“Mina... kamu nggak pernah berubah, ya? Jangan percaya
sama apa yang kamu lihat. Apalagi ef-be, dunia maya. Facebook atau semua yang berbau dunia maya itu hanya memberikan
kebenaran sekian persen, sisanya kamu harus mencari kebenaran secara langsung.
Untuk kasusmu ini, aneh banget lho, Egi mutusin kamu dengan alasan si Risa-Risa
itu selalu ada buat dia. Kita, kan, nggak tahu Risa itu akun asli apa palsu.
Akun itu beneran ada yang punya kayak di foto itu apa enggak. Sekarang zamannya
tipu-tipu meraja rela, Min. Jangan percaya begitu aja. Siapa tahu Egi itu cuma
manas-manasin kamu. Jadi, untuk mengukuhkan keinginanmu membuat Egi jadi
milikmu, samperin dia. Minta penjelasan,”
“Begitu, ya?”
Intan mengangguk tersenyum simpul.
Oke, aku akan merencanakan pergi ke kota seberang. Intan
benar aku ini mudah terpengaruh, bahkan oleh dunia maya. Aku tak peduli Mas Egi
memutuskan aku di telepon begitu saja. Aku harus mencari penjelasan. Kalau aku
bisa mendapatkannya kembali artinya aku untung. Kalau tidak, setidaknya aku
putus dengan cara yang terhormat, secara langsung di depan mataku, bukan
melalui telepon! Sebosan-bosannya dia padaku, aku juga punya batas kesabaran
dan mengalami bosan tapi saat ini hatiku belum sampai ke pintu kebosanan. Kita
lihat saja nanti, Mas Egi.
-end-
catatan:
Cerpen di atas merupakan cerpen yang mulanya hanya Glory saja yang menulis (tulisan bold) untuk program rewrite/ remake cerita oleh Kampung Fiksi . Nah, aku ikutan di sana.Trial aja bisa nggak nerusin cerita orang :) hasilnya ya tulisan yg nonbold itulah tulisanku.
Bagi kalian yang juga ingin ikutan program rewrite/ remake cerita bisa lihat pengumumannya ini nih:
Bagi mereka yang berniat menyumbangkan cerpen atau 1st pagenya untuk Rewrite/Remake, silakan kirim ke kampungfiksi@gmail.com, tulis pada subyek email: Rewrite/Remake Cerpen atau Rewrite/Remake 1st Page. Panjang tulisan maksimal 1000 kata. Penyumbang akan mendapatkan kenang-kenangan dari Kampung Fiksi, selama persediaan masih ada.
Aku hanya meneruskan info saja. Info lebih lanjut silakan langsung lihat di link Kampung Fiksi di atas ya :)
Happy writing :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Ditunggu kritik dan saran membangun yah :)