Kamis, 28 November 2013

Jalan Berbeda

credit

Aku masih tertunduk mencoba mengerahkan seluruh tenagaku untuk bisa mengeluarkan kalimat padat dan sarat makna. Aku sudah kepalang tanggung berdiri di sini seolah menantangnya untuk mengetahui sebuah rahasia yang selama ini kupendam.
Pria di depanku juga berdiam saja tanpa berupaya memancingku berbicara. Kenapa tidak ada upayanya untuk mengetahui apa yang hendak kusampaikan? Aku mengharapnya agar punya rasa ingin tahu tentangku selama sewindu terakhir ini. Tapi dia tetap tak bisa sedikitpun punya kepedulian padaku!
Sebuah suara muncul memperingatkan bahwa penerbangan ke bandara Changi-Singapura akan segera berangkat. Dadaku menggebu, otakku mendesak menyuruh mulutku bersuara. Baiklah, kita lihat sejauh apa aku berani melakukan hal yang aslinya pantang bagiku. Aku mengangkat wajahku  dan membusungkan badan.
“Robert, aku suka sama kamu.” Keluar juga gumpalan perasaan yang entah tiada terhitung lagi seberapa besarnya.
Mata lelaki itu sontak menghujamku. Aku tak berani menatapnya lagi.
“Sejak kapan?” tanyanya begitu datar.
“Sejak SMA kita sekelas,”
Kemudian terdengar tawanya pecah. Aku memandangnya heran. Apanya yang lucu?!
“Berikan alasan kenapa kamu menyukaiku? Aku bukan siapa-siapa,” katanya merendah.
Ya, kini yang kutahu dia sudah banyak berubah. Tak lagi bergaya bossy dan memandang remeh orang lain. Jadi, aku mengutarakannya di saat yang tepat?
“Aku nggak punya alasannya. Memangnya harus ada alasan?”
“Ya, biasanya begitu,”
“Tapi aku bukan yang biasanya. Tapi aku nggak mengharap kamu menyukaiku juga. Toh, itu sudah berlangsung lama. Aku hanya ingin menyatakannya saja supaya aku lega. Itu saja. Jadi, jangan khawatir. Jangan merasa tidak enak padaku dan aku mohon jangan membenciku karena aku menyukaimu,” celotehku memintanya bertubi-tubi.
Aku merasa tangannya menyentuh kedua pundakku.
“Aku nggak pernah marah sama kamu. Setiap orang berhak jatuh cinta pada siapapun. Aku justru berterima kasih kamu menyukaiku. Ternyata ada ya, yang diam-diam menyukaiku,” Kemudian ia terkekeh. Ah, sungguh manis senyumnya untuk orang berwajah oriental sepertinya. “Aku juga minta maaf kalau dulu aku pernah berbuat salah padamu, menjahilimu. Ya, dulu aku masih bandel, sih. Tapi sekarang aku sudah berubah, kok,”
Aku memotong, “Ya, aku tahu,”
Robert melepaskan tangannya dari bahuku.
“Aku nggak menyangka kamu memutuskan hal seserius ini. Kamu benar-benar yakin?”
Robert mengangguk tersenyum. “Ini sudah kupikirkan masak-masak. Aku akan mengabdi pada Sang Juru selamat,”
Hatiku sekali lagi terenyuh mendengar itu. Pria yang kucintai diam-diam selama ini ternyata memutuskan menjadi pribadi suci dalam keyakinannya setelah ia merampungkan kuliah teologinya di negeri Paman Sam. Tapi aku juga bangga padanya karena tak nyana perubahan dirinya sewindu terakhir sungguh drastis.
“Semoga kamu semakin mantab dan terberkahi.” Doaku untuknya tulus.
Robert mengangguk.
Aku pun lega sudah menyampaikan semuanya. Aku semakin paham atas ketidakpeduliannya padaku atau wanita lain. Ya, tujuan mulianya itu sungguh membuatku terharu.
Mulai detik ini, tiada lagi yang kuharapkan darinya. Jalan kami amat sangat jauh berbeda bahkan semenjak pertama kami berjumpa. Inilah bentuk lain perpisahan yang sarat makna untukku. Kami berpisah karena keyakinan kami yang berbeda. Aku tak khawatir itu. Kami sudah memilih jalan masing-masing.
Dia pamit untuk berbalik arah. Ia segera terbang dan menyongsong cita-cita mulianya. Dia bisa berubah jadi lebih baik, harusnya aku bisa, pastinya dengan keyakinanku sendiri.*

*Ditulis untuk event menulis "Arti Sebuah Perpisahan" oleh Cafe Books

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ditunggu kritik dan saran membangun yah :)