credit |
Aku masih tertunduk mencoba
mengerahkan seluruh tenagaku untuk bisa mengeluarkan kalimat padat dan sarat
makna. Aku sudah kepalang tanggung berdiri di sini seolah menantangnya untuk
mengetahui sebuah rahasia yang selama ini kupendam.
Pria di depanku juga berdiam
saja tanpa berupaya memancingku berbicara. Kenapa tidak ada upayanya untuk
mengetahui apa yang hendak kusampaikan? Aku mengharapnya agar punya rasa ingin
tahu tentangku selama sewindu terakhir ini. Tapi dia tetap tak bisa sedikitpun
punya kepedulian padaku!
Sebuah suara muncul memperingatkan
bahwa penerbangan ke bandara Changi-Singapura akan segera berangkat. Dadaku menggebu,
otakku mendesak menyuruh mulutku bersuara. Baiklah, kita lihat sejauh
apa aku berani melakukan hal yang aslinya pantang bagiku. Aku mengangkat
wajahku dan membusungkan badan.
“Robert, aku suka sama
kamu.” Keluar juga gumpalan perasaan yang entah tiada terhitung lagi seberapa
besarnya.
Mata lelaki itu sontak
menghujamku. Aku tak berani menatapnya lagi.
“Sejak kapan?” tanyanya
begitu datar.
“Sejak SMA kita sekelas,”
Kemudian terdengar tawanya
pecah. Aku memandangnya heran. Apanya yang lucu?!
“Berikan alasan kenapa kamu
menyukaiku? Aku bukan siapa-siapa,” katanya merendah.
Ya, kini yang kutahu dia
sudah banyak berubah. Tak lagi bergaya bossy
dan memandang remeh orang lain. Jadi, aku mengutarakannya di saat yang tepat?
“Aku nggak punya alasannya.
Memangnya harus ada alasan?”
“Ya, biasanya begitu,”
“Tapi aku bukan yang
biasanya. Tapi aku nggak mengharap kamu menyukaiku juga. Toh, itu sudah
berlangsung lama. Aku hanya ingin menyatakannya saja supaya aku lega. Itu saja.
Jadi, jangan khawatir. Jangan merasa tidak enak padaku dan aku mohon jangan
membenciku karena aku menyukaimu,” celotehku memintanya bertubi-tubi.
Aku merasa tangannya menyentuh
kedua pundakku.
“Aku nggak pernah marah sama
kamu. Setiap orang berhak jatuh cinta pada siapapun. Aku justru berterima kasih
kamu menyukaiku. Ternyata ada ya, yang diam-diam menyukaiku,” Kemudian ia
terkekeh. Ah, sungguh manis senyumnya untuk orang berwajah oriental sepertinya.
“Aku juga minta maaf kalau dulu aku pernah berbuat salah padamu, menjahilimu.
Ya, dulu aku masih bandel, sih. Tapi sekarang aku sudah berubah, kok,”
Aku memotong, “Ya, aku
tahu,”
Robert melepaskan tangannya
dari bahuku.
“Aku nggak menyangka kamu
memutuskan hal seserius ini. Kamu benar-benar yakin?”
Robert mengangguk tersenyum.
“Ini sudah kupikirkan masak-masak. Aku akan mengabdi pada Sang Juru selamat,”
Hatiku sekali lagi terenyuh
mendengar itu. Pria yang kucintai diam-diam selama ini ternyata memutuskan
menjadi pribadi suci dalam keyakinannya setelah ia merampungkan kuliah
teologinya di negeri Paman Sam. Tapi aku juga bangga padanya karena tak nyana
perubahan dirinya sewindu terakhir sungguh drastis.
“Semoga kamu semakin mantab
dan terberkahi.” Doaku untuknya tulus.
Robert mengangguk.
Aku pun lega sudah
menyampaikan semuanya. Aku semakin paham atas ketidakpeduliannya padaku atau
wanita lain. Ya, tujuan mulianya itu sungguh membuatku terharu.
Mulai detik ini, tiada lagi
yang kuharapkan darinya. Jalan kami amat sangat jauh berbeda bahkan semenjak
pertama kami berjumpa. Inilah bentuk lain perpisahan yang sarat makna untukku.
Kami berpisah karena keyakinan kami yang berbeda. Aku tak khawatir itu. Kami
sudah memilih jalan masing-masing.
Dia pamit untuk berbalik
arah. Ia segera terbang dan menyongsong cita-cita mulianya. Dia bisa berubah
jadi lebih baik, harusnya aku bisa, pastinya dengan keyakinanku sendiri.*
*Ditulis untuk event menulis "Arti Sebuah Perpisahan" oleh Cafe Books
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Ditunggu kritik dan saran membangun yah :)