credit |
“Dia itu bukan seniman
biasa, Dek. Orangnya cerdas, berjiwa pengayom, peduli sesama walau terkadang
dia asyik dengan pekerjaannya. Tapi aku yakin, kalau hatinya sudah terikat pada
sesuatu, ia nggak macam-macam. Justru sekuat tenaga ia jaga.” Kakaknya masih
saja membela pria itu.
“Lalu, kenapa bukan
Mbak aja sama dia? Mbak kan, juga ingin mengakhiri masa menjanda, kan?” tukas Menur
frontal.
Kakaknya mendesah kecil
menatap Menur. “Dia sudah aku anggap saudara sendiri. Mana mungkin aku menikah
dengannya? Jangan ngawur kamu kalau bicara,”
“Tapi Mbak tahu sendiri
kan, di antara kami berdua itu nggak ada kecocokan. Sejauh ini kami jalan
berdua, aku jalan ke mana, dia ke mana. Nggak nyambung dan nggak akan pernah
nyambung!”
“Itu karena kamu sudah
membangun tameng terlebih dahulu,” komentar kakaknya. “Ayolah Menur, buka hati
kamu! Jodi itu masa lalu. Kamu harus melanjutkan hidupmu. Buat apa kamu
membuang energimu untuk pria tukang selingkuh? Simpan energimu untuk pria yang
tepat. Dan feeling-ku berkata si Gede
Adante,”
Menur menelan ludah.
Rasanya kupingnya sudah tidak mampu menampung nama itu lagi. Kakaknya, Saras,
terlalu mengagung-agungkan sosok pemilik nama itu. Perupa berbakat lah,
penyayang lah, pria tampan khas Indo-Italia yang berjiwa lembut walau
tampangnya gahar, ini-itu dan semuanya diceritakan Saras dengan semangat membeludak.
Tapi anehnya, Saras justru meletakkan adiknya di baris terdepan untuk terlibat interaksi
intens dengan Dante –panggilan pria itu- beberapa waktu terakhir. Padahal
segala macam topik pembicaraan, hanya Saras yang mafhum maksud Dante, begitu
pula sebaliknya. Menur mengendus ada keanehan tapi selalu gagal menemukan
kepastiannya.
“Minggu depan dia
menggelar pameran lukisannya. Datanglah, temani dia!” suruh Saras membuat Menur
mendengus keras. “Kan, kalian dalam masa pendekatan jadi ikutlah terlibat dalam
setiap kegiatannya,” lanjut Saras.
“Mbak aja yang pedekate
sama dia. Jalan pikiranku sama dia itu kayak Matahari ke Pluto. Jauh!” tolak
Menur mentah-mentah. “Aku pergi dulu. Ada jadwal konseling.” Kemudian Menur
beranjak dari kursi, meninggalkan galeri seni lukis kakaknya.
#
Menur menenggak air
mineral dalam kemasan gelas sampai bersuara glek-glek. Ia baru saja melakukan sesi
konseling dengan seorang remaja SMA.
“Kayak Unta kamu, Nur!”
cetus Ramdan -seniornya seorang psikolog- meringis.
Menur mengulum senyum
sambil menyapukan telapak tangannya ke bibirnya.
“Mas, aku boleh curhat
nggak?”
Ramdan mengangguk.
Kemudian mereka duduk berdua dengan santai dan meluncurlah kata demi kata dari
mulut Menur sampai membentuk sebuah cerita utuh. Cerita tentang kegelisahan
Menur terhadap dirinya sendiri yang masih saja menatap masa lalunya padahal ia
tahu bahwa itu tindakan terbodoh yang ia lakukan. Juga tentang kegelisahan
terhadap pembentukan benteng otomatis dari dalam dirinya terhadap hati yang
baru padahal hidupnya harus terus berlanjut. Hal ini membuat kakaknya harus
turun tangan agar dirinya bisa berpaling pada hati yang lain. Tapi upaya
kakaknya pun menimbulkan masalah baru. Pria yang digadang-gadang Saras untuk
jadi kekasihnya –bahkan kalau bisa menjadi suami- ternyata memiliki perbedaan
dalam banyak hal dengan dirinya.
Pria itu seorang seniman
lukis surealis yang mapan, tampan, cerdas, rendah hati dan tanpa cela. Tapi
Menur tak bisa memahami dunia pria itu bahkan ketika kakaknya mencoba
memperkenalkan Menur dengan berbagai macam jenis aliran lukisan dan menjelaskan
detil aliran yang dianut pria itu, sungguh Menur merasa kognitifnya selalu
gagal paham.
Menur memang seorang
penikmat keindahan tapi keindahan yang pasti, keindahan yang tak aneh-aneh
seperti yang ditawarkan hasil pemikiran pria itu. Aliran surealis yang dianut
pria itu merupakan aliran yang terilhami oleh paham psikoanalisa Sigmund Freud
sehingga aliran ini mengedepankan peluapan ekspresi atas apa-apa yang
terkungkung di alam bawah sadar dan dibiarkan keluar begitu saja. Seolah liar.
Tapi dibalut halus dengan kata imajinasi kreatif.
Menur tak asing dengan
istilah teori psikologi itu, malah dia hafal betul struktur kepribadian
psikoanalisa yang terdiri dari id, ego, superego dan fase perkembangan
kepribadian dari oral sampai genital. Tapi dia merasa tak bisa menyelami
pemikiran pria itu yang banyak dipengaruhi paham psikoanalisa. Tampaknya
kakaknya yang paling memahami pria itu karena Saras seorang kurator muda yang
cukup handal. Lagi pula mereka sudah berteman lama. Apa lagi yang harus dipersoalkan?
Mereka juga punya konsep pemahaman terhadap lukisan yang sama baiknya. Mereka
punya banyak kesamaanlah, singkatnya.
“Nur, aku nggak tahu
alasan kakakmu. Tapi yang aku mau sampaikan adalah bahwa jodoh itu bukan
kesamaan tapi perbedaan. Perbedaan yang saling mencocokkan satu sama lain.
Analoginya adalah nih...” Ramdan menggerakkan kedua telapak tangannya lalu
menyematkan jari-jemarinya kemudian mengeratkannya satu sama lain.
“...jari-jari kita ini. Ada bagian yang sama sih, tapi tetep aja jempol kiri di
kiri, nggak tepat kalau di kanan. Dan antara jemari kanan dan kiri, mereka
saling melengkapi dan menguatkan untuk tujuan tertentu. Misalnya mau menampik
bola voli. Butuh kekuatan dua tangan, bukan cuma satu tangan. Persoalan jodoh
itu memang agak rumit tapi kalau sudah jodoh, diapa-apain ya, tetep jodoh,”
jelas Ramdan.
Menur paham kalimat
Ramdan tapi ia belum bisa mengaitkannya dengan permasalahan yang dihadapinya.
Menur mengernyitkan kening.
“Ayo, kemampuan
konselingnya dipakai. Kita kasih konseling itu bukan serta-merta memberikan
solusi tapi menggiring klien menemukan solusinya sendiri melalui analisa
permasalahannya sendiri, perasaannya sendiri. Psikolog hanya perantara saja.
Kamu harus bisa mengasah kemampuan itu seiring nanti kamu benar-benar jadi
psikolog,” imbuh Ramdan yang menyadari air muka kebingungan Menur. Sementara Menur
hanya manggut-manggut.
#
Pukul tujuh malam Menur
sudah cantik simpel bersiap ke pameran lukisan Dante. Saras berhasil
membujuknya mati-matian.
“Senyum dong, Dek!”
pinta Saras pada Menur yang sedari tadi cembetut karena aslinya ia tak berniat
menghadiri pameran itu.
Kemudian Saras
menggandeng tangan Menur melangkah masuk ke galeri yang memuat sekitar seratusan
lukisan hasil goresan tangan Dante.
“Aku ke toilet bentar,
ya,” pamit Saras meninggalkan adiknya sendiri di ambang pintu masuk. Menur
mengangguk.
Menur malas rasanya
memasuki area itu sampai akhirnya fokus tatapannya jatuh pada sebuah lukisan
begitu besar tak jauh dari pintu masuk seolah merupakan lukisan penyambut bagi
pengunjung yang hadir.
Lukisan itu berisi
bentuk dua mata yang meneteskan air mata, di tengahnya bentuk hati seolah ada
darah yang merembes menetes darinya. Kedua gambar itu terlingkupi oleh deburan
ombak yang samar membentuk paras cantik perempuan laksana seorang Dewi pada
salah satu ujungnya. Menur mencoba memersepsikan makna lukisan itu sebisanya.
Lalu matanya tertuju pada judulnya, Love
in hurt. Persis! Kini pemaknaannya tak meleset jauh. Penderitaan cintalah
intinya. Mendadak ia ingat pada kisahnya sendiri, menyedihkan!
“Jangan pandangi
lukisan ini terlalu lama dan memaknainya terlalu dalam. Hidup ini nggak sepedih
itu,” sebuah suara membuyarkan pikiran Menur.
Menur menoleh cepat. Ia
terhenyak Dante berdiri di sampingnya dekat. Kemudian Menur merasa ada sentuhan
halus di punggung tangannya, mengelus lembut guratan-guratan benang yang menjahit
lukanya akibat kecelakaan hebat bertahun-tahun lalu. Menur merasa ada energi
dingin menenangkan ketika kulit itu menggesek bekas lukanya. Seketika ia
tersadar, energi itu seolah seperti aliran koneksi mengingatkan dirinya saat
ada di ambang pintu hidup dan mati dan ketika dirinya mengarungi mimpi-mimpi
malam setelah fase koma itu.
Kesadaran Menur
terpantik untuk segera mengambil kesimpulan. Dante lah orangnya! Pemberi energi
yang selalu mendamaikan jiwanya saat dirinya terkatung-katung di ruang hampa
nan luas tak berbatas dan di saat ruhnya lepas dari jasad untuk sementara waktu
dan kembali esok paginya. Dan kini energi itu mampu meluruhkan segala
kegelisahan Menur terhadap segala hal yang menghantuinya.
Akhirnya Menur
mendapatkan jawaban dari puzzle-puzzle samar yang sulit ia artikan selama ini
dan alasan tindakan Saras. Kini puzzle-puzzle itu sudah utuh dan teramat jelas
di depan matanya. Menur pun menarik seluruh sumpah serapahnya terhadap
perbedaan yang tak mungkin bersatu sebab hati tak bisa berbohong. Selama ini ternyata
Dante sudah masuk ke dalam pembuluh darahnya dengan energi dahsyat tiada
terkira –cinta- dan mengendap lama di alam bawah sadarnya. Ia juga tak lagi
peduli tentang sulitnya memahami Dante seperti ia sulit memahami aliran lukisan
surealis yang terkadang di luar nalar atau logika. Sebab rasanya detik ini juga,
ia sudah menerobos palang nalarnya untuk menerima Dante apa adanya walau
perbedaan mereka bak langit lapis
ketujuh dan dasar sumur.
“Sudah ingat semuanya?”
tanya Dante seolah memberi kode.
Menur tersenyum.
“Terima kasih. Maaf kalau terlalu lama aku harus menyimpulkan jawabannya,”
Kini Dante yang
tersenyum sambil menggenggam erat tangan Menur.
“Yang ditakdirkan
bersatu, nggak akan terpisah begitu saja. Aku tahu, luka ini...” Dante kembali
menyentuh bekas jahitan luka di tangan Menur. “adalah jalanku untuk bisa
membuatmu ingat kembali bahwa kita pernah dan akan selalu bersatu. Darahku,
darahmu. Menyatu,”
Menur meraih jemari
Dante untuk menyematkan jemarinya di sana. Kemudian kedua tangan mereka
tergenggam erat seolah tak akan pernah lagi terlepas. Selamanya.
-selesai-
- best free ringtone download mobile phone new 2017
BalasHapus- best instrumental ringtones download for mobile free new 2017