Kamis, 28 November 2013

Cinta Dalam Bingkai Surealis

credit
Menur mengetuk-ngetukkan jari-jemari ke meja sambil tangan satunya bertopang dagu. Matanya sesekali menatap sang kakak yang sibuk dengan tabletnya lalu berpindah ke lukisan-lukisan yang terpajang memenuhi dinding-dinding ruangan atau hanya tergeletak di lantai masih terbungkus kertas-kertas coklat muda. Kemudian bola matanya berputar-putar tak jelas menandakan ada sesuatu di otaknya. Ya, sesuatu. Sesuatu yang tak henti mengusiknya tentang seorang pria yang hanya sekali ia temui bertahun-tahun lalu tapi tiba-tiba sekarang dijodohkan dengannya.
“Dia itu bukan seniman biasa, Dek. Orangnya cerdas, berjiwa pengayom, peduli sesama walau terkadang dia asyik dengan pekerjaannya. Tapi aku yakin, kalau hatinya sudah terikat pada sesuatu, ia nggak macam-macam. Justru sekuat tenaga ia jaga.” Kakaknya masih saja membela pria itu.
“Lalu, kenapa bukan Mbak aja sama dia? Mbak kan, juga ingin mengakhiri masa menjanda, kan?” tukas Menur frontal.
Kakaknya mendesah kecil menatap Menur. “Dia sudah aku anggap saudara sendiri. Mana mungkin aku menikah dengannya? Jangan ngawur kamu kalau bicara,”
“Tapi Mbak tahu sendiri kan, di antara kami berdua itu nggak ada kecocokan. Sejauh ini kami jalan berdua, aku jalan ke mana, dia ke mana. Nggak nyambung dan nggak akan pernah nyambung!”
“Itu karena kamu sudah membangun tameng terlebih dahulu,” komentar kakaknya. “Ayolah Menur, buka hati kamu! Jodi itu masa lalu. Kamu harus melanjutkan hidupmu. Buat apa kamu membuang energimu untuk pria tukang selingkuh? Simpan energimu untuk pria yang tepat. Dan feeling-ku berkata si Gede Adante,”
Menur menelan ludah. Rasanya kupingnya sudah tidak mampu menampung nama itu lagi. Kakaknya, Saras, terlalu mengagung-agungkan sosok pemilik nama itu. Perupa berbakat lah, penyayang lah, pria tampan khas Indo-Italia yang berjiwa lembut walau tampangnya gahar, ini-itu dan semuanya diceritakan Saras dengan semangat membeludak. Tapi anehnya, Saras justru meletakkan adiknya di baris terdepan untuk terlibat interaksi intens dengan Dante –panggilan pria itu- beberapa waktu terakhir. Padahal segala macam topik pembicaraan, hanya Saras yang mafhum maksud Dante, begitu pula sebaliknya. Menur mengendus ada keanehan tapi selalu gagal menemukan kepastiannya.
“Minggu depan dia menggelar pameran lukisannya. Datanglah, temani dia!” suruh Saras membuat Menur mendengus keras. “Kan, kalian dalam masa pendekatan jadi ikutlah terlibat dalam setiap kegiatannya,” lanjut Saras.
“Mbak aja yang pedekate sama dia. Jalan pikiranku sama dia itu kayak Matahari ke Pluto. Jauh!” tolak Menur mentah-mentah. “Aku pergi dulu. Ada jadwal konseling.” Kemudian Menur beranjak dari kursi, meninggalkan galeri seni lukis kakaknya.
#
Menur menenggak air mineral dalam kemasan gelas sampai bersuara glek-glek. Ia baru saja melakukan sesi konseling dengan seorang remaja SMA.
“Kayak Unta kamu, Nur!” cetus Ramdan -seniornya seorang psikolog- meringis.
Menur mengulum senyum sambil menyapukan telapak tangannya ke bibirnya.
“Mas, aku boleh curhat nggak?”
Ramdan mengangguk. Kemudian mereka duduk berdua dengan santai dan meluncurlah kata demi kata dari mulut Menur sampai membentuk sebuah cerita utuh. Cerita tentang kegelisahan Menur terhadap dirinya sendiri yang masih saja menatap masa lalunya padahal ia tahu bahwa itu tindakan terbodoh yang ia lakukan. Juga tentang kegelisahan terhadap pembentukan benteng otomatis dari dalam dirinya terhadap hati yang baru padahal hidupnya harus terus berlanjut. Hal ini membuat kakaknya harus turun tangan agar dirinya bisa berpaling pada hati yang lain. Tapi upaya kakaknya pun menimbulkan masalah baru. Pria yang digadang-gadang Saras untuk jadi kekasihnya –bahkan kalau bisa menjadi suami- ternyata memiliki perbedaan dalam banyak hal dengan dirinya.
Pria itu seorang seniman lukis surealis yang mapan, tampan, cerdas, rendah hati dan tanpa cela. Tapi Menur tak bisa memahami dunia pria itu bahkan ketika kakaknya mencoba memperkenalkan Menur dengan berbagai macam jenis aliran lukisan dan menjelaskan detil aliran yang dianut pria itu, sungguh Menur merasa kognitifnya selalu gagal paham.
Menur memang seorang penikmat keindahan tapi keindahan yang pasti, keindahan yang tak aneh-aneh seperti yang ditawarkan hasil pemikiran pria itu. Aliran surealis yang dianut pria itu merupakan aliran yang terilhami oleh paham psikoanalisa Sigmund Freud sehingga aliran ini mengedepankan peluapan ekspresi atas apa-apa yang terkungkung di alam bawah sadar dan dibiarkan keluar begitu saja. Seolah liar. Tapi dibalut halus dengan kata  imajinasi kreatif.  
Menur tak asing dengan istilah teori psikologi itu, malah dia hafal betul struktur kepribadian psikoanalisa yang terdiri dari id, ego, superego dan fase perkembangan kepribadian dari oral sampai genital. Tapi dia merasa tak bisa menyelami pemikiran pria itu yang banyak dipengaruhi paham psikoanalisa. Tampaknya kakaknya yang paling memahami pria itu karena Saras seorang kurator muda yang cukup handal. Lagi pula mereka sudah berteman lama. Apa lagi yang harus dipersoalkan? Mereka juga punya konsep pemahaman terhadap lukisan yang sama baiknya. Mereka punya banyak kesamaanlah, singkatnya.
“Nur, aku nggak tahu alasan kakakmu. Tapi yang aku mau sampaikan adalah bahwa jodoh itu bukan kesamaan tapi perbedaan. Perbedaan yang saling mencocokkan satu sama lain. Analoginya adalah nih...” Ramdan menggerakkan kedua telapak tangannya lalu menyematkan jari-jemarinya kemudian mengeratkannya satu sama lain. “...jari-jari kita ini. Ada bagian yang sama sih, tapi tetep aja jempol kiri di kiri, nggak tepat kalau di kanan. Dan antara jemari kanan dan kiri, mereka saling melengkapi dan menguatkan untuk tujuan tertentu. Misalnya mau menampik bola voli. Butuh kekuatan dua tangan, bukan cuma satu tangan. Persoalan jodoh itu memang agak rumit tapi kalau sudah jodoh, diapa-apain ya, tetep jodoh,” jelas Ramdan.
Menur paham kalimat Ramdan tapi ia belum bisa mengaitkannya dengan permasalahan yang dihadapinya. Menur mengernyitkan kening.
“Ayo, kemampuan konselingnya dipakai. Kita kasih konseling itu bukan serta-merta memberikan solusi tapi menggiring klien menemukan solusinya sendiri melalui analisa permasalahannya sendiri, perasaannya sendiri. Psikolog hanya perantara saja. Kamu harus bisa mengasah kemampuan itu seiring nanti kamu benar-benar jadi psikolog,” imbuh Ramdan yang menyadari air muka kebingungan Menur. Sementara Menur hanya manggut-manggut.
#
Pukul tujuh malam Menur sudah cantik simpel bersiap ke pameran lukisan Dante. Saras berhasil membujuknya mati-matian.
“Senyum dong, Dek!” pinta Saras pada Menur yang sedari tadi cembetut karena aslinya ia tak berniat menghadiri pameran itu.
Kemudian Saras menggandeng tangan Menur melangkah masuk ke galeri yang memuat sekitar seratusan lukisan hasil goresan tangan Dante.
“Aku ke toilet bentar, ya,” pamit Saras meninggalkan adiknya sendiri di ambang pintu masuk. Menur mengangguk.
Menur malas rasanya memasuki area itu sampai akhirnya fokus tatapannya jatuh pada sebuah lukisan begitu besar tak jauh dari pintu masuk seolah merupakan lukisan penyambut bagi pengunjung yang hadir.
Lukisan itu berisi bentuk dua mata yang meneteskan air mata, di tengahnya bentuk hati seolah ada darah yang merembes menetes darinya. Kedua gambar itu terlingkupi oleh deburan ombak yang samar membentuk paras cantik perempuan laksana seorang Dewi pada salah satu ujungnya. Menur mencoba memersepsikan makna lukisan itu sebisanya. Lalu matanya tertuju pada judulnya, Love in hurt. Persis! Kini pemaknaannya tak meleset jauh. Penderitaan cintalah intinya. Mendadak ia ingat pada kisahnya sendiri, menyedihkan!
“Jangan pandangi lukisan ini terlalu lama dan memaknainya terlalu dalam. Hidup ini nggak sepedih itu,” sebuah suara membuyarkan pikiran Menur.
Menur menoleh cepat. Ia terhenyak Dante berdiri di sampingnya dekat. Kemudian Menur merasa ada sentuhan halus di punggung tangannya, mengelus lembut guratan-guratan benang yang menjahit lukanya akibat kecelakaan hebat bertahun-tahun lalu. Menur merasa ada energi dingin menenangkan ketika kulit itu menggesek bekas lukanya. Seketika ia tersadar, energi itu seolah seperti aliran koneksi mengingatkan dirinya saat ada di ambang pintu hidup dan mati dan ketika dirinya mengarungi mimpi-mimpi malam setelah fase koma itu.
Kesadaran Menur terpantik untuk segera mengambil kesimpulan. Dante lah orangnya! Pemberi energi yang selalu mendamaikan jiwanya saat dirinya terkatung-katung di ruang hampa nan luas tak berbatas dan di saat ruhnya lepas dari jasad untuk sementara waktu dan kembali esok paginya. Dan kini energi itu mampu meluruhkan segala kegelisahan Menur terhadap segala hal yang menghantuinya.
Akhirnya Menur mendapatkan jawaban dari puzzle-puzzle samar yang sulit ia artikan selama ini dan alasan tindakan Saras. Kini puzzle-puzzle itu sudah utuh dan teramat jelas di depan matanya. Menur pun menarik seluruh sumpah serapahnya terhadap perbedaan yang tak mungkin bersatu sebab hati tak bisa berbohong. Selama ini ternyata Dante sudah masuk ke dalam pembuluh darahnya dengan energi dahsyat tiada terkira –cinta- dan mengendap lama di alam bawah sadarnya. Ia juga tak lagi peduli tentang sulitnya memahami Dante seperti ia sulit memahami aliran lukisan surealis yang terkadang di luar nalar atau logika. Sebab rasanya detik ini juga, ia sudah menerobos palang nalarnya untuk menerima Dante apa adanya walau perbedaan mereka bak langit  lapis ketujuh dan dasar sumur.
“Sudah ingat semuanya?” tanya Dante seolah memberi kode.
Menur tersenyum. “Terima kasih. Maaf kalau terlalu lama aku harus menyimpulkan jawabannya,”
Kini Dante yang tersenyum sambil menggenggam erat tangan Menur.
“Yang ditakdirkan bersatu, nggak akan terpisah begitu saja. Aku tahu, luka ini...” Dante kembali menyentuh bekas jahitan luka di tangan Menur. “adalah jalanku untuk bisa membuatmu ingat kembali bahwa kita pernah dan akan selalu bersatu. Darahku, darahmu. Menyatu,”
Menur meraih jemari Dante untuk menyematkan jemarinya di sana. Kemudian kedua tangan mereka tergenggam erat seolah tak akan pernah lagi terlepas. Selamanya.
-selesai-
 *Ditulis untuk event Kampus Fiksi oleh Penerbit Diva Press dan lolosss insya Allah untuk angkatan ke-8, Mei 2014 :)

1 komentar:

Ditunggu kritik dan saran membangun yah :)