Jumat, 20 Juni 2014

JANTUNG HATI

JANTUNG HATI

MASUK Fakultas Psikologi memang keinginanku sejak duduk di bangku SMA. Bukan tanpa alasan. Aku ingin survive dengan kondisi keluargaku yang amburadul. Aku memang bukan anak yang tumbuh menjadi pribadi nakal, alih-alih sangat introvert dan pesimis.
Berhasil menjadi Sarjana Psikologi ternyata tidak berjalan seperti yang aku harapkan. Ekspektasiku terlalu tinggi. Empat tahun dapat mengubah watakku yang kacau selama belasan tahun? Mimpi!
Inilah diriku, kurangkum dalam tipe koleris-melankolis. Sangat ambisius, tidak mau dikalahkan, selalu berpikir negatif dan bisa sangat pemurung. Komplet.
Permasalahanku kompleks, dari urusan keluarga, karir sampai jodoh. Keluargaku utuh namun esensinya tidak. Selalu saja ada pertengkaran akibat perselingkuhan Ayah. Karir mapan tidak bisa segera kuraih bahkan sekarang diriku mandek setelah sempat bekerja selama delapan bulan di sebuah biro konsultasi psikologi ternama di Surabaya. Tidak betah. Tekanan terlalu berat. Sementara aku bisa mimisan kalau terlalu memforsir tenaga. Mulanya aku memang nekat karena tergiur nominal gaji tapi karena aku jadi sering mimisan, Ibu memintaku berhenti saja. Lalu, jodoh? Jangan bicara soal lelaki denganku. Selama 23 tahun hidup, aku hanya bisa memandangi orang yang kusayangi tanpa bisa berkata padanya. Aku sering jatuh cinta tapi sebanyak itu pula aku patah hati karena kisah cinta bertepuk sebelah tangan. Lelaki lain pun tidak ada yang mendekatiku dan berupaya memacariku. Menyedihkan.
Tapi itu kondisi dua tahun lalu. Kini soal lelaki memang berubah tapi tidak untuk kondisi keluargaku yang masih begitu-begitu saja dan karirku hanya sebagai editor lepas sebuah penerbit di Jakarta, modal hasil jadi editor majalah kampus dulu.
Memang tidak ada lelaki yang mendekatiku untuk pacaran apalagi menikah seperti yang dialami teman-temanku kebanyakan. Tapi ada yang serius terhadapku. Serius making love. Yah, melototlah kalau kau mau.
Kami berkenalan ketika menjadi member sebuah situs kencan. Aku sign in ke sana karena memang ingin mendapatkan pacar. Aku yang polos mulanya takut dengan lelaki yang otaknya di selangkangan. Tapi sejak bertemu dengan satu lelaki yang... well, membuatku nyaman, aku rasa aku sudah menemukan yang tepat. Kebetulan dia juga tinggal di Surabaya.
Hardi, accounting manager bank swasta nan rupawan berusia 32 tahun, membuatku bisa melupakan semua permasalahanku. Bahkan aktivitas intim kami di ranjang menjadi ‘obat’ dosis tepat menyembuhkan sakit kepalaku dan mencegah darah keluar dari hidungku. Itu candu bagiku.
Pagi ini, aku membuatkan secangkir teh hangat untuknya. Ia sendiri sedang merapikan diri usai mandi dengan rambut yang masih acak-acakan setelah keramas. Aroma tubuhnya segar sabun milikku yang selalu kubawa saat menemuinya untuk menghabiskan malam bersama.
“Aku ingin bicara, Nggun. Bisa kita duduk sebentar?” pintanya.
Kami duduk berdua di sofa setelah aku meletakkan teh di meja. Kami saling berdekatan. Mata kami bertukar pandangan, sungguh hangat untuk memulai pagi ini.
“Bisakah kita mengakhiri ini semua?” tanyanya tiba-tiba.
Aku terkesiap. Inilah yang kutakutkan. Aku sudah memberikan keperawananku selama tiga bulan terakhir untuknya dan dia hendak mencampakkanku?
Aku meremas kerah bajunya.
“Jangan tinggalin aku, Har. Aku rela menjadi selingkuhanmu jika kamu menikah. Bahkan jika kamu memberikan hatimu sepenuhnya untuk istrimu nanti, aku relakan. Tapi tolong jangan berhenti bersamaku,” tuturku menggigit bibir bawah.
Dia menyentuh kulit tanganku lembut, menurunkannya dari kerah kemeja putihnya.
“Kita menikah, Cantik.”
Mataku mengerjap-ngerjap ingin merebakkan air mata. Apakah aku tidak salah dengar?
“Kamu nggak tahu siapa aku dan latar belakang keluargaku sepenuhnya.”
“Aku menikahimu, bukan keluargamu.”
“Tapi budaya kita itu juga menikahkan kedua keluarga, Har. Lagi pula aku takut.”
Keningnya mengernyit. “Takut apa?”
“Aku takut nggak bisa merelakanmu untuk wanita lain ketika ikatan kita sudah sah. Karena aku paling nggak bisa merelakan milikku pindah tangan walau hanya sesaat. Aku terlalu sayang dan takut kehilangan. Dengan hubungan kita yang begini, aku bisa tenang. Sekalipun aku menginginkanmu tetap di sisiku tapi dengan mengingat tidak ada suatu ikatan yang pasti di antara kita, aku tetap bisa realistis kamu bukan milikku sepenuhnya. Jadi bisa datang dan pergi sesukamu. Asal jangan menghilang selamanya,” jelasku.
Aku memang takut berkomitmen semenjak tahu kelakuan ayahku yang tukang selingkuh.
Hardi menarik napas panjang. Lalu tangannya mengusap rambut lurus cepakku.
“Aku nggak ngerti omonganmu, Nggun. Kenapa kamu membuat segalanya rumit? Kita bisa menikah dan memulai semuanya dari nol. Kita bisa belajar bersama untuk saling setia.”
“Bagaimana bisa, Har? Mungkin aku bisa karena selama ini aku hanya berkencan dan melakukannya denganmu. Tapi kamu? Kamu hyper. Aku takut kamu nggak bisa melakukannya lagi ketika menikah karena aku pasti melarangmu keras. Tapi itu juga bikin aku sedih menahan keinginanmu. Dan apakah bisa kita saling setia sementara nggak cinta?”
“Kamu nggak mencintaiku?” tanya Hardi telak.
Aku mengangkat kedua bahuku. Aku memang tidak pernah yakin hatiku pada Hardi adalah cinta atau nafsu posesif belaka.
Aku membalas tatapannya. “Kamu?”
“Kamu sudah memintaku untuk enggak jatuh hati padamu,” jawabnya, mengecewakanku tanpa kuduga.
Aku sendiri bingung dengan diriku sendiri. Betul katanya, aku ini rumit.
“Ah, sudah jam tujuh. Kamu harus siap-siap berangkat. Nanti aku yang akan membereskan apartemenmu. Kita bicarakan nanti setelah kamu pulang,” timpalku mengalihkan topik pembicaraan.
“Hari ini aku pulang ke rumah Mami. Kuncinya bisa kamu bawa pulang. Dan... Anggun,” panggilnya sebelum beranjak berdiri. “Jika memang kamu ingin kita selalu begini, akan aku penuhi permintaanmu,” imbuhnya memberikan senyuman manis padaku.
Kegetiran seketika menyusup ke palung hatiku tapi kupaksakan saja untuk membalas senyuman ‘lelakiku’.
**
Aku mencoba perlahan membuka mataku. Terasa berat. Tubuhku juga rasanya sulit kugerakkan. Di mulutku sudah ada alat bantu pernapasan. Pergelangan tanganku terasa nyeri, seperti ditusuk-tusuk.
“Anggun, kamu sudah siuman, Nak?” suara Ibu menggema di telingaku.
Aku melihatnya berurai air mata. Di sampingnya, Ayah tersenyum bahagia, pipinya juga dihiasi air mata yang sudah mengering. Keduanya kemudian memegang tanganku bersamaan.
“A-ku ke-na-pa?” tanyaku terbata-bata.
“Kamu kecelakaan, sepulang dari pernikahan Hardi, temanmu.”
Memoriku kupaksa untuk keluar setelah Ibu bicara demikian. Perlahan aku pun ingat apa yang terjadi padaku sebelum aku di kamar ini terkapar.
Aku frustrasi dan marah besar menerima undangan pernikahan Hardi yang mampir ke rumahku. Aku menangis, berteriak dan memorak-perandakan kamarku sehancur-hancurnya. Ternyata aku menjilat ludahku sendiri. Kukatakan aku rela dia menikah tapi hati ini meronta menolak. Aku merasa dipecundangi. Aku belum memutuskan menerima atau menolaknya sebulan lalu. Padahal pikiranku mulai mengalami perubahan. Tapi terlambat. Sehari setelah undangan itu datang adalah hari resepsinya. Aku menyesali diri sendiri, menyalahkannya dan marah pada dunia. Aku kalah start. Sialan!
Tapi kuputuskan datang ke Shangri-La grand ballroom. Hanya dia yang mengenaliku dan sebaliknya dalam resepsi tersebut. Aku datang sendiri dengan menahan perih mengucapkan selamat kepada kedua mempelai dan keluarga. Aku tahu mata Hardi sendu memandangku tapi aku abaikan. Aku murka padanya namun merasakan cara tangan Hardi menyalamiku – yang tetap saja lembut dan hangat – membuatku tak tega menyumpah-serapahinya.
Beberapa menit berikutnya, aku berjalan keluar menuju parkiran. Terdengar Hardi memanggilku. Aku merasa telah berhalusinasi. Tapi ternyata tidak. Diraihnya tanganku paksa.
“Kita bisa bicarakan ini. Besok kita ketemu,” ujarnya dalam balutan jas hitam rapi dan bunga di dada kirinya.
Aku terdiam.
“Kamu cemburu?”
Aku melengakkan kepalaku.
“Kamu cinta kan, sama aku? Terus kenapa kamu menolak aku nikahi? Niatku dulu menikahimu sebelum orangtuaku menjodohkanku. Tapi karena kamu menggantungku, kuputuskan begini. Tapi sumpah, aku juga nggak ingin berpisah denganmu, Nggun.”
Air mataku jatuh dalam hitungan detik.
“Masuklah, Har. Kasihan pengantin wanitamu. Kita bisa bicarakan ini besok.”
Ia langsung memelukku erat seraya mengucapkan kata yang selama ini tidak pernah kudengar darinya, pun diriku tak pernah mengucapkannya pada Hardi.
“Aku mencintaimu sampai kapan pun. Kamu nggak akan pernah sendirian. Lupakan semua masalahmu. Aku ada untukmu,” ujarnya menciumi kening dan kepalaku.
Itu yang kuingat darinya saat kami bertemu. Lalu aku pulang mengendarai mobil Ayah keluar dari area gedung resepsi. Kemudian...
BRAKKK!!!
Ada benda berjalan yang menghantam mobilku keras. Aku ikut terpelanting hebat. Dan usai itu hilang kesadaranku.
Aku mencoba menghirup lebih banyak oksigen dari alat yang terpasang di mulutku.
“A-pa Har-di da-tang men-je-ngukku, Bu?” tanyaku.
Ibu menatap Ayah sejenak.
“Hardi...” ucap Ayah menggantung sesaat. “meninggal karena serangan jantung. Kaget kamu kecelakaan parah, Nak,” lanjut Ayah yang membuat jantungku berdentam dahsyat.
Jantung? Sejak kapan? Aku mencoba mengingat-ingat kejadian di antara kami yang bisa saja menunjukkan gejala penyakitnya itu.
Ya, aku ingat ketika kami melakukannya pertama kali. Kami terlalu bersemangat dan dia mengeluh nyeri di dada. Kukira dia berbohong. Sungguh, aku tidak menyangka itu benar. Hardi juga tidak pernah bercerita padaku tentang penyakitnya.
Dadaku menyesak. Jantung hatiku pergi tanpa pamit. Apakah ungkapan cintanya kemarin itu adalah bentuk pamit darinya?
Aku menutup mata untuk mengenang semuanya. Air mataku juga meleleh. Lalu kubuka secara perlahan. Tepat di depanku ada Hardi tersenyum. Wajahnya pun bersinar.
Kini aku yakin bahwa cintanya hanya untukku. Iya, dia-lah lelaki yang sudah mengisi ulang energi hidupku. Bukan semata karena nafsu liar tapi juga karena cinta yang terlambat kusadari.
Hardi... aku mencintaimu,” gumamku lirih.*

--------------------------------
Cerpen ini aku ikut sertakan dalam lomba seru-seruan ulang tahun penulis Anggun Prameswari. Memang nggak menang tapi pelajaran berharga aku dapet dari sini. Berikut feedback dari Mbak Anggun:
Anggun Prameswari <mbak.anggun@*****.com> menulis:

Dear Agustin, terima kasih telah mengirimkan cerpen Jantung Hati untuk #KuisUltahAnggun ya. Berikut ini sedikit masukan dariku ya.
Wah ceritanya dramatis sekali, Agustin. Tentang Anggun yang sejak kecil tercabik-cabik jiwanya, kemudian menjalin hubungan dengan Hardi. Anggun perempuan yang rumit, dilandasi oleh problem keluarga yang dialaminya. Namun Hardi memutuskan memilihnya. Anggun takut dengan komitmen. Kemudian Hardi memilih menikah dengan perempuan pilihan orangtuanya. Keren. Tapi begitu masuk tahap berikutnya, terasa seperti drama sinetron. Anggun kecelakaan. Hardi masih cinta. Hardi mati serangan jantung. Twist yang benar-benar di luar dugaan. Sayangnya, penyampaiannya sedikit terburu-buru sehingga terasa seperti ringkasan saja. Kemudian, serangan jantung itu juga seperti tempelan, karena ujug-ujug ada, tidak “diperkenalkan” ke pembaca di awal. Seakan Agustin bingung harus mengakhiri cerita ini dengan cara apa. Apalagi judulnya Jantung Hati, cobalah sejak awal cerita, simbol ini diperkuat agar emosi tokoh dan pembaca sama-sama terbangun.
Jadi begitulah sedikit input dariku ya Agustin. Mohon maaf bila kurang berkenan.
Terus menulis.
Salam,
Anggun Prameswari



Kesalahan fatal banget bikin ending tokohnya meninggal padahal katanya CEO Diva Press, Pak Edi, nggak boleh bikin penutup cerita yang tokohnya mati, gila maupun bahagia yang berlebihan. Oke, kekeliruanku. Pelajaran. ^.^

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ditunggu kritik dan saran membangun yah :)