JANTUNG HATI
MASUK Fakultas Psikologi memang keinginanku sejak
duduk di bangku SMA. Bukan tanpa alasan. Aku ingin survive dengan kondisi keluargaku yang amburadul. Aku memang bukan
anak yang tumbuh menjadi pribadi nakal, alih-alih sangat introvert dan pesimis.
Berhasil
menjadi Sarjana Psikologi ternyata tidak berjalan seperti yang aku harapkan. Ekspektasiku
terlalu tinggi. Empat tahun dapat mengubah watakku yang kacau selama belasan
tahun? Mimpi!
Inilah
diriku, kurangkum dalam tipe koleris-melankolis. Sangat ambisius, tidak mau
dikalahkan, selalu berpikir negatif dan bisa sangat pemurung. Komplet.
Permasalahanku
kompleks, dari urusan keluarga, karir sampai jodoh. Keluargaku utuh namun
esensinya tidak. Selalu saja ada pertengkaran akibat perselingkuhan Ayah. Karir
mapan tidak bisa segera kuraih bahkan sekarang diriku mandek setelah sempat
bekerja selama delapan bulan di sebuah biro konsultasi psikologi ternama di
Surabaya. Tidak betah. Tekanan terlalu berat. Sementara aku bisa mimisan kalau
terlalu memforsir tenaga. Mulanya aku memang nekat karena tergiur nominal gaji
tapi karena aku jadi sering mimisan, Ibu memintaku berhenti saja. Lalu, jodoh?
Jangan bicara soal lelaki denganku. Selama 23 tahun hidup, aku hanya bisa
memandangi orang yang kusayangi tanpa bisa berkata padanya. Aku sering jatuh
cinta tapi sebanyak itu pula aku patah hati karena kisah cinta bertepuk sebelah
tangan. Lelaki lain pun tidak ada yang mendekatiku dan berupaya memacariku. Menyedihkan.
Tapi
itu kondisi dua tahun lalu. Kini soal lelaki memang berubah tapi tidak untuk
kondisi keluargaku yang masih begitu-begitu saja dan karirku hanya sebagai
editor lepas sebuah penerbit di Jakarta, modal hasil jadi editor majalah kampus
dulu.
Memang
tidak ada lelaki yang mendekatiku untuk pacaran apalagi menikah seperti yang
dialami teman-temanku kebanyakan. Tapi ada yang serius terhadapku. Serius making love. Yah, melototlah kalau kau
mau.
Kami
berkenalan ketika menjadi member
sebuah situs kencan. Aku sign in ke
sana karena memang ingin mendapatkan pacar. Aku yang polos mulanya takut dengan
lelaki yang otaknya di selangkangan. Tapi sejak bertemu dengan satu lelaki
yang... well, membuatku nyaman, aku
rasa aku sudah menemukan yang tepat. Kebetulan dia juga tinggal di Surabaya.
Hardi,
accounting manager bank swasta nan
rupawan berusia 32 tahun, membuatku bisa melupakan semua permasalahanku. Bahkan
aktivitas intim kami di ranjang menjadi ‘obat’ dosis tepat menyembuhkan sakit
kepalaku dan mencegah darah keluar dari hidungku. Itu candu bagiku.
Pagi
ini, aku membuatkan secangkir teh hangat untuknya. Ia sendiri sedang merapikan
diri usai mandi dengan rambut yang masih acak-acakan setelah keramas. Aroma
tubuhnya segar sabun milikku yang selalu kubawa saat menemuinya untuk
menghabiskan malam bersama.
“Aku
ingin bicara, Nggun. Bisa kita duduk sebentar?” pintanya.
Kami
duduk berdua di sofa setelah aku meletakkan teh di meja. Kami saling
berdekatan. Mata kami bertukar pandangan, sungguh hangat untuk memulai pagi
ini.
“Bisakah
kita mengakhiri ini semua?” tanyanya tiba-tiba.
Aku
terkesiap. Inilah yang kutakutkan. Aku sudah memberikan keperawananku selama
tiga bulan terakhir untuknya dan dia hendak mencampakkanku?
Aku
meremas kerah bajunya.
“Jangan
tinggalin aku, Har. Aku rela menjadi selingkuhanmu jika kamu menikah. Bahkan
jika kamu memberikan hatimu sepenuhnya untuk istrimu nanti, aku relakan. Tapi
tolong jangan berhenti bersamaku,” tuturku menggigit bibir bawah.
Dia
menyentuh kulit tanganku lembut, menurunkannya dari kerah kemeja putihnya.
“Kita
menikah, Cantik.”
Mataku
mengerjap-ngerjap ingin merebakkan air mata. Apakah aku tidak salah dengar?
“Kamu
nggak tahu siapa aku dan latar belakang keluargaku sepenuhnya.”
“Aku
menikahimu, bukan keluargamu.”
“Tapi
budaya kita itu juga menikahkan kedua keluarga, Har. Lagi pula aku takut.”
Keningnya
mengernyit. “Takut apa?”
“Aku
takut nggak bisa merelakanmu untuk wanita lain ketika ikatan kita sudah sah.
Karena aku paling nggak bisa merelakan milikku pindah tangan walau hanya
sesaat. Aku terlalu sayang dan takut kehilangan. Dengan hubungan kita yang begini,
aku bisa tenang. Sekalipun aku menginginkanmu tetap di sisiku tapi dengan
mengingat tidak ada suatu ikatan yang pasti di antara kita, aku tetap bisa
realistis kamu bukan milikku sepenuhnya. Jadi bisa datang dan pergi sesukamu.
Asal jangan menghilang selamanya,” jelasku.
Aku
memang takut berkomitmen semenjak tahu kelakuan ayahku yang tukang selingkuh.
Hardi
menarik napas panjang. Lalu tangannya mengusap rambut lurus cepakku.
“Aku
nggak ngerti omonganmu, Nggun. Kenapa kamu membuat segalanya rumit? Kita bisa
menikah dan memulai semuanya dari nol. Kita bisa belajar bersama untuk saling
setia.”
“Bagaimana
bisa, Har? Mungkin aku bisa karena selama ini aku hanya berkencan dan melakukannya denganmu. Tapi kamu? Kamu hyper. Aku takut kamu nggak bisa
melakukannya lagi ketika menikah karena aku pasti melarangmu keras. Tapi itu
juga bikin aku sedih menahan keinginanmu. Dan apakah bisa kita saling setia
sementara nggak cinta?”
“Kamu
nggak mencintaiku?” tanya Hardi telak.
Aku
mengangkat kedua bahuku. Aku memang tidak pernah yakin hatiku pada Hardi adalah
cinta atau nafsu posesif belaka.
Aku
membalas tatapannya. “Kamu?”
“Kamu
sudah memintaku untuk enggak jatuh hati padamu,” jawabnya, mengecewakanku tanpa
kuduga.
Aku
sendiri bingung dengan diriku sendiri. Betul katanya, aku ini rumit.
“Ah,
sudah jam tujuh. Kamu harus siap-siap berangkat. Nanti aku yang akan
membereskan apartemenmu. Kita bicarakan nanti setelah kamu pulang,” timpalku
mengalihkan topik pembicaraan.
“Hari
ini aku pulang ke rumah Mami. Kuncinya bisa kamu bawa pulang. Dan... Anggun,”
panggilnya sebelum beranjak berdiri. “Jika memang kamu ingin kita selalu begini,
akan aku penuhi permintaanmu,” imbuhnya memberikan senyuman manis padaku.
Kegetiran
seketika menyusup ke palung hatiku tapi kupaksakan saja untuk membalas senyuman
‘lelakiku’.
**
Aku
mencoba perlahan membuka mataku. Terasa berat. Tubuhku juga rasanya sulit
kugerakkan. Di mulutku sudah ada alat bantu pernapasan. Pergelangan tanganku
terasa nyeri, seperti ditusuk-tusuk.
“Anggun,
kamu sudah siuman, Nak?” suara Ibu menggema di telingaku.
Aku
melihatnya berurai air mata. Di sampingnya, Ayah tersenyum bahagia, pipinya
juga dihiasi air mata yang sudah mengering. Keduanya kemudian memegang tanganku
bersamaan.
“A-ku
ke-na-pa?” tanyaku terbata-bata.
“Kamu
kecelakaan, sepulang dari pernikahan Hardi, temanmu.”
Memoriku
kupaksa untuk keluar setelah Ibu bicara demikian. Perlahan aku pun ingat apa
yang terjadi padaku sebelum aku di kamar ini terkapar.
Aku
frustrasi dan marah besar menerima undangan pernikahan Hardi yang mampir ke
rumahku. Aku menangis, berteriak dan memorak-perandakan kamarku
sehancur-hancurnya. Ternyata aku menjilat ludahku sendiri. Kukatakan aku rela
dia menikah tapi hati ini meronta menolak. Aku merasa dipecundangi. Aku belum
memutuskan menerima atau menolaknya sebulan lalu. Padahal pikiranku mulai
mengalami perubahan. Tapi terlambat. Sehari setelah undangan itu datang adalah
hari resepsinya. Aku menyesali diri sendiri, menyalahkannya dan marah pada
dunia. Aku kalah start. Sialan!
Tapi
kuputuskan datang ke Shangri-La grand
ballroom. Hanya dia yang mengenaliku
dan sebaliknya dalam resepsi tersebut. Aku datang sendiri dengan menahan perih
mengucapkan selamat kepada kedua mempelai dan keluarga. Aku tahu mata Hardi sendu
memandangku tapi aku abaikan. Aku murka padanya namun merasakan cara tangan
Hardi menyalamiku – yang tetap saja lembut dan hangat – membuatku tak tega
menyumpah-serapahinya.
Beberapa
menit berikutnya, aku berjalan keluar menuju parkiran. Terdengar Hardi
memanggilku. Aku merasa telah berhalusinasi. Tapi ternyata tidak. Diraihnya
tanganku paksa.
“Kita
bisa bicarakan ini. Besok kita ketemu,” ujarnya dalam balutan jas hitam rapi
dan bunga di dada kirinya.
Aku
terdiam.
“Kamu
cemburu?”
Aku
melengakkan kepalaku.
“Kamu
cinta kan, sama aku? Terus kenapa kamu menolak aku nikahi? Niatku dulu
menikahimu sebelum orangtuaku menjodohkanku. Tapi karena kamu menggantungku,
kuputuskan begini. Tapi sumpah, aku juga nggak ingin berpisah denganmu, Nggun.”
Air
mataku jatuh dalam hitungan detik.
“Masuklah,
Har. Kasihan pengantin wanitamu. Kita bisa bicarakan ini besok.”
Ia
langsung memelukku erat seraya mengucapkan kata yang selama ini tidak pernah
kudengar darinya, pun diriku tak pernah mengucapkannya pada Hardi.
“Aku
mencintaimu sampai kapan pun. Kamu nggak akan pernah sendirian. Lupakan semua
masalahmu. Aku ada untukmu,” ujarnya menciumi kening dan kepalaku.
Itu yang
kuingat darinya saat kami bertemu. Lalu aku pulang mengendarai mobil Ayah
keluar dari area gedung resepsi. Kemudian...
BRAKKK!!!
Ada
benda berjalan yang menghantam mobilku keras. Aku ikut terpelanting hebat. Dan
usai itu hilang kesadaranku.
Aku
mencoba menghirup lebih banyak oksigen dari alat yang terpasang di mulutku.
“A-pa
Har-di da-tang men-je-ngukku, Bu?” tanyaku.
Ibu
menatap Ayah sejenak.
“Hardi...”
ucap Ayah menggantung sesaat. “meninggal karena serangan jantung. Kaget kamu
kecelakaan parah, Nak,” lanjut Ayah yang membuat jantungku berdentam dahsyat.
Jantung?
Sejak kapan? Aku mencoba mengingat-ingat kejadian di antara kami yang bisa saja
menunjukkan gejala penyakitnya itu.
Ya,
aku ingat ketika kami melakukannya pertama
kali. Kami terlalu bersemangat dan dia mengeluh nyeri di dada. Kukira dia
berbohong. Sungguh, aku tidak menyangka itu benar. Hardi juga tidak pernah
bercerita padaku tentang penyakitnya.
Dadaku
menyesak. Jantung hatiku pergi tanpa pamit. Apakah ungkapan cintanya kemarin
itu adalah bentuk pamit darinya?
Aku
menutup mata untuk mengenang semuanya. Air mataku juga meleleh. Lalu kubuka
secara perlahan. Tepat di depanku ada Hardi tersenyum. Wajahnya pun bersinar.
Kini
aku yakin bahwa cintanya hanya untukku. Iya, dia-lah lelaki yang sudah mengisi
ulang energi hidupku. Bukan semata karena nafsu liar tapi juga karena cinta
yang terlambat kusadari.
“Hardi... aku mencintaimu,” gumamku
lirih.*
--------------------------------
Cerpen ini aku
ikut sertakan dalam lomba seru-seruan ulang tahun penulis Anggun Prameswari. Memang
nggak menang tapi pelajaran berharga aku dapet dari sini. Berikut feedback dari Mbak Anggun:
Dear
Agustin, terima kasih telah mengirimkan cerpen Jantung Hati untuk #KuisUltahAnggun ya. Berikut ini sedikit
masukan dariku ya.
Wah
ceritanya dramatis sekali, Agustin. Tentang Anggun yang sejak kecil
tercabik-cabik jiwanya, kemudian menjalin hubungan dengan Hardi. Anggun
perempuan yang rumit, dilandasi oleh problem keluarga yang dialaminya. Namun
Hardi memutuskan memilihnya. Anggun takut dengan komitmen. Kemudian Hardi
memilih menikah dengan perempuan pilihan orangtuanya. Keren. Tapi begitu masuk
tahap berikutnya, terasa seperti drama sinetron. Anggun kecelakaan. Hardi masih
cinta. Hardi mati serangan jantung. Twist yang benar-benar di luar dugaan.
Sayangnya, penyampaiannya sedikit terburu-buru sehingga terasa seperti
ringkasan saja. Kemudian, serangan jantung itu juga seperti tempelan, karena
ujug-ujug ada, tidak “diperkenalkan” ke pembaca di awal. Seakan Agustin bingung
harus mengakhiri cerita ini dengan cara apa. Apalagi judulnya Jantung Hati,
cobalah sejak awal cerita, simbol ini diperkuat agar emosi tokoh dan pembaca
sama-sama terbangun.
Jadi
begitulah sedikit input dariku ya Agustin. Mohon maaf bila kurang berkenan.
Terus
menulis.
Salam,
Anggun
Prameswari
Kesalahan
fatal banget bikin ending tokohnya
meninggal padahal katanya CEO Diva Press, Pak Edi, nggak boleh bikin penutup
cerita yang tokohnya mati, gila maupun bahagia yang berlebihan. Oke,
kekeliruanku. Pelajaran. ^.^
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Ditunggu kritik dan saran membangun yah :)