Sabtu, 10 Agustus 2013

Kado Gigantis

KADO GIGANTIS

Bulan Juni merupakan bulan paling dinantikan oleh Ema dari tahun ke tahun. Juni tahun ini menjadi lebih menyenangkan untuknya karena sukses jadi  sarjana psikologi tapi sekaligus galau menyandang status job seeker. Selain itu dia juga merangkap jadi “pengacara” alias pengangguran banyak acara, acara online mencari lowongan kerja di internet. Tapi ia tak bermuram durja, menurut info yang ia dapat di bulan ini juga akan ada job fair. Ema melihatnya sebagai salah satu kesempatan emas untuk menebar surat lamaran dan curriculum vitae-nya. Dia berdo’a, semoga Tuhan memberikan rejeki yang melimpah ruah tepat di usianya yang menginjak 23 tahun bulan ini.
Ema berkacak pinggang di depan cermin besar almari pakaiannya. Penampilannya sudah seperti wanita karir profesional lengkap, blus putih rapi dengan blazer hitam yang  membalutnya, celana kain hitam legam licin hasil setrikaannya sendiri, rambut yang begitu ditata rapi apik, make up yang sudah pas memermanis air mukanya, sepatu high heel tujuh senti yang membuat tubuhnya terlihat tegap sempurna berdiri terlebih berjalan dan tas warna netral yang selalu jadi kesukaannya juga sudah digamitnya. Tak lupa senyum selalu tersungging di bibirnya. Oke, dia siap. Let’s go!!
Sesampainya di tempat job fair, Ema segera berkeliling dari stand satu ke stand lain. Ia melihat, menyimak dan menimbang-nimbang lowongan kerja yang pas untuknya. Ema juga tak lupa mengumpulkan brosur dari sekitar tiga puluh perusahaan yang ikut bursa kerja itu. Baru setelah itu ia menepi di suatu sudut membaca secara seksama brosur-brosur itu dan meneliti lowongan kerja  yang ia inginkan.
Akhirnya ada lima belas brosur yang menawarkan posisi yang menggoda hati Ema, dari posisi staff HRD sampai copy writer. Ema memang menaruh minat di bidang psikologi industri dan organisasi dan media kepenulisan atau publishing.
Ema mengatur berkas-berkasnya untuk siap diletakkan di boks surat lamaran kerja di stand-stand perusahaan yang dipilihnya tadi. Kemudian ia berkomat-kamit sejenak. Ema menyematkan jari-jemarinya menjadi seperti formasi pemain voli yang siap menampik bola ke arah lawan dan semakin kuat berdoa di dalam hati. Lalu ia segera menuju satu per satu  dropbox stand perusahaan yang diminatinya. Bersamaan dengan ia mengucap basmalah ia letakkan berkas penting tentang dirinya di dalam dropbox. Well, kelima belas  berkas lamarannya sudah ada di tempat yang tepat.
***
Job fair itu sudah awal bulan Juni, tepat hari lahir Pancasila dan berakhir dua hari kemudian. Tapi sampai minggu kedua acara itu usai, tak satu pun telepon dengan nomor anyar masuk ke ponsel Ema, email panggilan tes dan wawancara juga tidak. Ema menghela nafas.
“Belum rezeki, Nduk,” ujar ibunya sambil mengusap punggung Ema. Adem sekali ketika merasakan setiap inci sentuhan bundanya. Ema mengangguk tersenyum singkat. Hatinya belumlah ikhlas. Lima belas berkas ia sebar, tak ada satu pun yang memanggilnya untuk tes-wawancara.
“Jangan murung gitu! Usaha lagi, ya?” kata ibunya memberi semangat. “Sebentar lagi kamu dua puluh tiga tahun, kamu harus lebih bisa dewasa, lebih bisa tahan banting, kamu akan masuk dunia persaingan yang lebih sengit ketimbang ini. Jangan putus asa!” lanjut ibunya.
Ema menegakkan posisi duduknya. Dua puluh tiga. Ulang tahun. Astaga, saking sibuknya memikirkan kemungkinan ada panggilan tes-wawancara kerja dua minggu terakhir, ia jadi lupa tiga hari lagi ia akan berulang tahun.  Air muka Ema berubah. Otot-otot pipinya yang mulanya berkerut-kerut berubah tertarik semua, memberikan efek kulit luar untuk menyunggingkan senyum sumringah di wajah Ema. Ema melirik ibunya lalu kembali tersenyum.
Dapat kado apa ya, kali ini?
“Ibu berdo’a, semoga kamu cepet dapet kerja, jadi mapan, bertemu jodoh yang bisa memimpin kamu dunia-akhirat, bahagia selalu.” Ibunya menyahut seolah tahu isi hati Ema. Ema meraih tangan ibunya dan mengelusnya lalu menciumnya. Ema memohon do’a restu ibunya agar ia selalu bisa menjalani hidup yang penuh barokah.
***
Pergeseran angka usia Ema dari 22 menjadi 23 akan terjadi dua jam lagi. Ema ingin tak tidur sampai pukul 12 malam, jaga-jaga jika ada yang memberinya kejutan. Minimal pesan singkat yang mungkin saja “membanjiri” ponselnya.
Dua jam itu nyaris berlalu, Ema terus saja gelisah menunggu tepat pukul 12 malam. Kini jam digital ponselnya sudah menunjukkan pukul 23:59, berarti semenit lagi. Ema mencoba memejamkan matanya berharap “keajaiban” datang. Ema berharap-harap cemas menit per menit penghabisan satu menit menuju jam 00:00 segera berlalu.
Oke, dirasanya cukup. Ia membuka mata perlahan lalu menatap ponsel yang digenggam tangannya tepat di depan wajahnya. Ema memonyongkan bibirnya. Tak ada pesan masuk, mungkin dia harus bersabar beberapa menit lagi.
Lima belas menit pertama tak ada pesan masuk. Lima belas menit kedua layarnya masih tetap sama, tak berhias tulisan “satu pesan masuk”. Lima belas menit berikutnya, ah... tak ada juga. Dan kini sudah jam satu dini hari. Kemudian jam digitalnya sudah berubah angka menunjukkan jam setengah dua lalu jam dua.  Kemudian jam tiga. Selama masa tunggunya mengecek jam demi jam bahkan menit per menit di ponselnya, Ema sudah tak bisa menolak rasa kantuk. Akhirnya, ia terlelap dengan ponsel yang tergenggam tangannya di depan wajahnya. Dia meringkuk memeluk guling kesayangannya.
...
“KRINGGG! KRIINGGG!! KRIINGGG!!!” Suara alarm ponsel Ema berdering menyalak kuping Ema. Matanya membelalak cepat, segera ia mencengkeram ponselnya yang sudah terlepas separuh badan dari genggaman tangannya. Angka 04:30 tertera di sana dan wow lima pesan masuk!
Ema spontan mengambil posisi duduk. Segera ia membuka pesan-pesan itu. Wajahnya memancarkan aura sumringah. Tentu saja, hari ini dia tepat berusia 23 tahun. Dan pesan-pesan itu pasti ucapan dari teman-temannya.
Wah, nomor-nomor dari kelima pesan itu tak bernama. Pasti teman-temannya sengaja mau memberi kejutan atau gebetannya yang secara mendadak juga melakukan hal serupa. Ah, senangnya.
Ema menekan satu tombol untuk bisa membaca pesan-pesan itu segera.
Pesan pertama. Selamat Anda memenangkan sebuah mobil Honda Jazz dari pengundian poin provider “Sinyal Lancar Terus” tadi malam.  Info lebih lanjut bisa klik www.sinyaljalanterus.wordpress.com atau hubungi Bpk. Langgeng 08123456787.
Ema mengernyitkan dahi segarang ekspresi ikon kartun Angry Bird.
Pesan kedua.  Masih dengan nomor pengirim yang sama, isi yang sama tapi beda contact personnya. Kali ini ... hubungi Ibu Intan 031-5553322.
Ema menelan ludah dan sengaja menyuarakan hembusan nafasnya keras.
Pesan ketiga.  Selamat Anda memenangkan uang 50 juta rupiah dari acara gebyar hadiah mie instan “Kriwil-kriwil Maknyus”!! Hubungi Deki Sudeki di 0354-654321 atau bisa lihat website resmi kami www.miekriwil.blogspot.com untuk info lebih lanjut.
Ema mulai menggenggam ponselnya erat dan berkata dalam hati,”Dungu! Mana ada perusahaan mie terkenal punya website kacangan begini!”. Tapi Ema belum menyerah. Ia buka pesan keempat, pesan atas nama provider ponselnya memberitahukan ada promo SMS, telepon dan internet gratis pada pemakaian pulsa  ke sekian rupiah. Ema menggaruk kepalanya dan merasakan seolah darahnya sudah membuat pusaran siap mendidih ke angka 100 derajat celcius di kepalanya. 
Ema cepat-cepat membuka pesan kelima. Selamat ulang tahun. Begitulah tulisan pembukanya. Mata Ema seketika  melebar dan senyumnya tersungging. Ema menggeser layar ke bawah mencari tahu siapa pengirimnya.
Zonk!!!! Ema tertipu lagi. Lagi-lagi dari nomor tak bernama yang ujung-ujungnya memberinya “angin surga”, menyatakan ia mendapat uang 150 juta rupiah dari pengundian berhadiah sebuah provider ponsel beda merek dengan sebelumnya.
Ema mendengus sebal. Mukanya bertekuk-tekuk sedemikian rupa dan menahan dongkol di hatinya. Pengirim-pengirim itu memberinya “kado” dari sekedar SMS gratis sampai yang paling gigantis, uang ratusan jeti! Yah, mereka itu hanya memberikan udara segar semu alias menipu. Perut Ema tiba-tiba merasa mulas. Ia ingin berak segera.
***


Jumat, 09 Agustus 2013

Cintaku Wajib Lari Pagi

Alarm Kikan berdering memekakkan telinga si empunya tepat pukul empat pagi. Volume maksimal jam beker sengaja dipasang Kikan agar ia segera bangun.
Sudah empat kali dalam sepekan ini Kikan sengaja bangun lebih pagi demi menjalankan salah satu program dietnya, lari pagi. Masih itu saja yang mampu ia lakukan, itupun masih sering merasa berat karena kebiasaannya begadang sampai jam satu dini hari. Berbagai upaya untuk tidur lebih awal tak pernah sukses.
Kikan lari pagi sendirian dengan earphone terpasang di telinga. Ia menikmati alunan musik beat yang membuat ayunan kakinya lebih semangat.
Seger juga aslinya lari pagi begini. Kata peneliti lari-lari pagi bisa menjaga daya ingat. Pantesan kapan hari belum olahraga gini, gue gampang lupa. Heemmm... gue bakalan rutin gini. Biar cepetan kurus. Kalo gue kurus, gue bisa milih ukuran baju sesuka gue, kelihatan lebih muda nggak disangka emak-emak dan so pasti cowok-cowok bakal ngejar-ngejar gue. Hehehe...
Kikan termakan penilaian orang-orang yang mengutamakan penampilan fisik. Padahal selama ini sekalipun tubuh Kikan “berisi” ia tak pernah dikatakan jelek. Ia pandai berhias diri. Tapi tetap saja ia merasa tak pede di depan umum.
Kikan sangat ingin kurus supaya bisa menambah daya tariknya di mata orang lain. Ia harus tampil sempurna sebagai wanita, dari ujung rambut hingga ujung kaki tapi ia tak mau mengambil jalan pintas semacam sedot lemak, operasi plastik, memasang silikon apalagi sampai memasang susuk. Ia takut berdampak pada kesehatannya kelak.
Pokoknya penampilan menarik adalah orientasi Kikan menguruskan badan. Kalau kesehatannya ikut membaik setelah diet, itu merupakan bonus buatnya. Pandangan ini memang berseberangan dengan penggila olahraga pada umumnya yang mengutamakan kesehatan baru kemudian penampilan menarik buah dari menjaga kesehatan. Begitulah Kikan. Dia bukan orang yang getol olahraga sejak kecil, jadi pola pikirnya tentang olahraga, diet dan lain-lain adalah demi menguruskan badan sehingga terlihat tampil sempurna di mata orang lain.
“BRUKK!!”
Tubuh Kikan mendadak tersungkur di pinggir badan jalan. spontan Kikan mengaduh kesakitan. Telapak tangannya lecet memerah.
“Waduh, sori-sori! Gue udah teriak-teriak tapi elo nggak denger. Sepeda gue remnya tiba-tiba ngeblong, jadi gini deh,”
Kikan melepas earphone-nya dan menatap sosok yang menabraknya.
“Mas, lihat-lihat dong! Jalan selebar gini masih aja nabrak!” omel Kikan.
“Gue udah bilang, gue udah teriak-teriak tapi elo nggak denger juga,” balas cowok itu. “Gara-gara ini, nih, pasti! Lo pakai beginian jadi nggak denger suara gue!” lanjut cowok itu sambil setengah menarik kabel earphone Kikan.
Kikan memberengut.
“Kalo gini salahnya siapa? Makanya kalo lagi jalan jangan suka pakai beginian! Gaya banget sih, lo! Biar dikata keren? Bukannya disangka keren, elo malah dibilang budek!!,” cerocos cowok itu.
Kikan mengkeret. Ia memang tak pernah nyaman jika berhadapan dengan orang yang nada suaranya tinggi apalagi  sampai ngomel-ngomel. Kikan tertunduk dan tak bicara apa-apa lagi. Dia merasa memang dirinyalah yang salah.
“Bangun gih cepetan! Ikut gue!” kata cowok itu. Cowok itu membantu Kikan berdirisambil menuntun sepedanya. .
“Kemana?”
“Gue beliin obat di minimarket ujung sana,”
Kikan kewalahan mengikuti langkah kaki cowok itu yang berjalan cepat.
“Cepetan! Lelet banget, sih! Keburu infeksi tuh, luka!” sentak cowok itu.
“Judes banget, sih,” gumam Kikan lirih.
“Jangan pernah ngatain gue di belakang!” sahut cowok itu.
Kikan melotot ke arah punggung cowok itu. “Pendengarannya super banget,”
“Ehem!” cowok itu nampak sengaja berdeham memeringatkan Kikan agar diam.
***
Dua hari Kikan tak lari pagi. Badannya masih terasa sakit semua semenjak jatuh ditabrak sepeda cowok kapan hari. Luka lecet di tangannya juga belum sembuh benar. Akhirnya ia hanya berusaha merenggang-renggangkan otot di teras rumahnya.
Ketika Kikan asyik berolahraga ringan, mendadak ia merasa ada yang memperhatikannya. Sudut mata kanannya mendapati sosok di seberang kanannya, tepat di depan rumah tetangganya yang tak terhalangi tembok pembatas. Kikan memberanikan diri menoleh dan seketika menelan ludah dan melotot.
Cowok itu?! Ngapain dia di situ?
Kikan meringis kemudian membungkuk sambil melangkah mundur perlahan untuk segera masuk ke dalam rumahnya. Sosok itu menatapnya datar lalu tersenyum sinis sambil membuang muka. Cowok itu lalu lebih dulu memalingkan badannya meninggalkan Kikan yang masih belum sigap  menyembunyikan diri.
 “Kikaaaan! Ngapain kamu bungkuk-bungkuk gitu?” Ibunya yang keluar dari rumah menatap heran. “Eh ini, Ibu minta tolong ya balikin wadah kuenya tante Santi. Bilang makasih,” pinta ibunya.
Kikan nampak keberatan sambil menunjuk-nunjuk ke arah sisi kiri. “Tante Santi sebelah ya, Bu? Om Anggoro?”
“Iya. Emang ada lagi yang namanya tante Santi?” Ibunya mengangkat sebelah alis.“Cepetan! Jangan lelet jadi anak perawan!”
“Iya,” sahut Kikan malas. Ia mengambil langkah menuju rumah sebelah.
Dengan langkah berat, Kikan memasuki halaman depan rumah tetangga dekatnya yang baru tinggal di situ sekitar lima bulan terakhir. Kikan mengetuk pintu sambil mempersiapkan diri, jangan-jangan begitu pintu dibuka cowok judes itu yang nongol.
“Ngapain?!” suara ketus terdengar dari sosok di depannya.
Nah, bener kan cowok itu.
“Ini, disuruh ibu balikin ini. Terima kasih banyak,” ucap Kikan salah tingkah sambil buru-buru pamit pergi.
“Ya.” Cowok itu hanya berkata singkat. Kikan tersenyum singkat lalu pamit pulang.
“Tunggu!” suara cowok itu menahan langkah Kikan yang sudah berancang-ancang kabur.
Kikan menoleh dan jantungnya berdegup kencang.
Cowok itu mendekati Kikan.“Besok temenin gue belanja, ya?”
“Hah?” Kikan mengernyitkan dahi mendongak menatap cowok yang jauh lebih tinggi darinya.
“Gue baru di sini. Gue nggak tahu tempat belanja oleh-oleh murah di sini. Gue juga nggak hafal jalan. Sebagai imbalannya gue traktir makan deh,” sambung cowok itu.
Buset dah... dikira gue beruang Taman Safari Badan gede begini bukan berarti gue suka disogok makanan, Mas! Dulu sih, iya. Sekarang gue lagi diet. Gue nggak akan tergoda makanan sekalipun digratiskan!
“Sudah sono pulang! Jangan lupa besok!” imbuh cowok itu.
Kikan nyelonong pergi tanpa permisi kedua kali.
***
Cowok itu bernama Bimo. Wajahnya memang sebelas dua belas dengan Bimo VJ MTV yang tak seberapa tampan tapi keren dan macho. Putih, bersih, mulus plus tinggi. Cowok seperti inilah dambaan Kikan. Tapi, alih-alih mengkhayalkan si Bimo jadi  kekasihnya, menjadikan Bimo tetangga saja Kikan tak pernah. Justru ia berharap Bimo segera pergi enyah kembali ke Taipei supaya tak berlama-lama menjadi tetangganya. 
Menurut cerita Bimo yang cukup singkat, ia sedang berlibur kuliah S2 dari kuliahnya di sebuah perguruan tinggi bergengsi di sana. Ia juga baru merasakan suasana rumah barunya semenjak orangtuanya memutuskan pindah rumah, kembali ke kampung halaman sang ayah setelah ayahnya pensiun dari perusahaan multinasional besar di kota berjuluk Big Durian alias Jakarta. Makanya Bimo buta arah kemana-mana. Terakhir ia ke kota ini ketika ia SMP kelas satu. Itupun tak banyak memberikan kenangan.
Bimo tak  banyak bicara. Ia hanya menunggu Kikan memberikan komando kemana ia harus masuk ke toko cindera mata. Bimo tak banyak komentar mengenai rekomendasi Kikan untuk membeli oleh-oleh untuk kawan-kawannya di Taipei. Tapi ketika Kikan asyik menilik satu per satu kalung etnik, mendadak Bimo memberikan protesnya.
“Jelek!” cela Bimo. Kikan melirik tajam dan mendengus kesal. Kemudian ia pergi meninggalkan kalung-kalung itu dan menunggu Bimo di luar toko sembari mengutak-atik ponsel canggihnya.
Kikan segera bosan. Dia menoleh ke sana-ke mari mencoba mengusir penat menemani orang seperti Bimo berbelanja. Entah kiasan seperti apa yang pantas ia sematkan untuk Bimo. Kalau sudah bicara, nyerocos tanpa henti sepanjang rel kereta api. Sekalinya diam, diam mulu. Sekalinya ngomong juga seringnya menohok. Kikan juga tak bisa mengeremnya. Setiap kali ingin bicara, Bimo sudah berhasil mendahului. Mau melawan, Kikan tak punya daya argumentasi kuat. Salah-salah Kikan didamprat telak oleh Bimo. Aslinya, hati Kikan juga jengkel mendapat perlakuan seperti itu. Dapet apa coba dari pertemuan tiga kali dengan pola komunikasi yang seringnya hanya satu arah saja? Bisa-bisanya Kikan “tunduk” pada Bimo mau mengantar jalan-jalan? Kikan geleng-geleng kepala sendiri.
“Elo mau apa? Gue traktir,” celetuk Bimo yang sudah berdiri di belakang Kikan tepat.
Kikan menoleh kaget. “Oh, enggak. Kalau sudah selesai, pulang aja gimana? Atau mau keliling lagi?”
“Sudah sih, ini cukup,” ujar Bimo melihat-lihat isi kresek sejumlah enam berukuran sedang di tangan kiri dan kanannya. Kikan bernafas lega, sejak tadi dia memang mau cepet pulang. “Elo beneran nggak mau jajan?” tanya Bimo memastikan. Kikan menggeleng tersenyum singkat.
Sesampainya di rumah Bimo menyerahkan sesuatu untuk Kikan. Isinya dua toples cookies.
“Ini rendah kalori. Bagus buat diet,” Bimo meyakinkan Kikan menerimanya. Kikan mengernyitkan dahi.
“Makasih,” sahut Kikan menerima kantong yang disodorkan Bimo. Bagaimana Bimo tahu Kikan sedang menjalankan program diet?
Xie-xie ya, sudah mau nemenin. Besok mau nggak jalan pagi bareng?” tawar Bimo.
Kikan menunjuk jarinya ke arahnya, lalu ke arah Bimo, bolak-balik. Bimo mengangguk. Kikan mengacungkan jempolnya dan tersenyum. Mereka berpisah setelah Bimo mengucapkan selamat malam. Di otak Kikan... kesambet apa dia ngajak gue jalan pagi bareng? Hehehe... semoga saja kesambet lagi, kesambet nggak jutek lagi.
***
Singkat cerita semenjak Bimo mengajak Kikan jalan-jalan pagi untuk olahraga entah mengapa Kikan jadi selalu semangat tidur lebih awal dan bangun pagi. Kikan sudah tak peduli dengan kejutekan Bimo. Menikmati ketampanan Bimo saja sudah cukup.
Ya, siapa yang mau menyangkal kalau Bimo cowok keren mentereng? Ibu-ibu sampai ABG-ABG di komplek mereka tinggal selalu melek lebar-lebar ketika Bimo melintas. Pesona Bimo yang jutek, irit senyum dan irit bicara membuat mereka begitu gemas padahal Bimo baru sekitar sebulan tinggal di sana.
Mulanya Kikan mengabaikan hal ini. Bagaimana bisa kaum hawa di luar dirinya terpesona hingga sedemikian rupa pada Bimo yang jutek? Aduh... tiada pesona selain tampangnya. Tapi Kikan akhirnya jatuh juga pada ucapannya sendiri. Ia benar-benar mulai menikmati pesona lahiriah seorang Bimo. Kikan tanpa sadar memasukkan dirinya ke golongan hawa yang “terhipnotis” oleh Bimo.
Dulu Kikan tak ambil pusing pujian-pujian tanda kekaguman kaum hawa itu pada Bimo tapi kali ini ia merasa sebal. Dan herannya Bimo sekarang justru seolah menikmati tingkah polah centil mereka. Kikan mengepal-ngepalkan kedua tangannya, geram.
“Noh, lihat cewek-cewek itu! Mereka rutin ikutan senam pagi. Ikutan sana! Katanya mau kurus. Rutin olahraga. Tapi inget, jangan nahan lapar lagi! Salah-salah kena anoreksia. Catetan asupan makanan dari gue kapan hari dilaksanain. Jangan buat pajangan doang! Mau kurus harus konsisten olahraga dan jaga pola makan, bukan menahan-nahan makan,” suruh Bimo suatu pagi di taman komplek. Seperti biasa, sekali keluar satu pernyataan maka pernyataan-pernyataan lain terus berlanjut. Dan ini hanya berlaku untuk Kikan.
Kikan mengangkat sebelah alisnya dan cemberut. Kalo nggak protes, ngoreksi, ya nyuruh. Predikat irit bicara ternyata hanya berlaku untuk orang lain. Beberapa waktu terakhir Bimo amat cerewet pada Kikan terlebih soal diet. Seolah sekarang Bimo sudah merangkap jadi tetangga, teman jogging, pakar gizi dan semua peran penunjang program diet Kikan. Walaupun semuanya yang dikatakan Bimo ada benarnya tapi cara penyampaiannya tak dikehendaki Kikan. Ada cara yang lebih halus kenapa harus “kasar”?
Kini alih-alih Kikan melaksanakan “titah” Bimo seperti biasanya, justru Kikan ngeloyor pergi menghampiri pedagang kue jajanan pasar di pinggiran jalan  tak jauh dari mereka.
“Eittss, kemana?” tanya Bimo menarik tangan Kikan.
“Laper,”
“Elo mau beli jajan itu?”.
Kikan mengangguk.
“Jangan!” larang Bimo.
“Katanya nggak boleh nahan lapar. Emergency banget,” Kikan memegangi perutnya.
Bimo merogoh kantong celananya. Keluar dari sana sebuah roti kemasan yang sudah penyet. Kikan melongo. Tega nian Bimo memberinya roti penyet.
“Ini! Lebih steril dan belum kadaluwarsa. Diet itu bukan cuman urusan kurus aja tapi juga kesehatan. Dan penunjang kesehatan salah satunya adalah makanan higienis. Catet itu!”
“Iya, iya, bawel!” meluncurlah juga kata-kata “pemberontakan” itu dari mulut Kikan. Selama ini kejengkelannya hanya ada di dalam hati.
“Demi kebaikan elo juga. Gue nggak mau elo sakit,”
Semriwing... angin sepoi-sepoi tiba-tiba bertiup menerpa wajah Kikan. Terpesona. Bimo bicara demikian membuatnya GR alias Gede Rasa.
“Nanti nggak ada yang nemenin gue belanja. Pesenan gue nambah, nih! Jadi besok lo bantuin gue bawa belanjaan,”
Apa??? Gue alih fungsi dari tetangga jadi jongos? Huh! Ogah!
“Sori, dalam minggu besok gue ada beberapa tes dan interview kerja. Jadi, elo cari temen lain aja buat nemenin belanja,”
 “Nggak usah banyak alesan, deh! Elo bohong mau ada tes, aslinya lo mau ngehindarin gue, kan? Elo risih gue deket-deket sama elo? Kalo iya ngomong dong! Jangan diem aja! Emang lo kira gue nggak tahu apa tiap berhadapan sama gue, elo itu selalu tegang ketakutan. Elo kira gue buaya kelaperan yang siap-siap nerkam elo? Gue begini adanya, nyablak to the point  dan paling nggak suka sama orang lelet. Gue gemes sama elo yang kayak kebo dicucuk hidungnya, disuruh kemana aja nurut. Heran gue ada makhluk macam elo,”
Nah, lho sekarang Bimo bertambah titel sebagai cenayang yang tahu bagaimana reaksi dan isi hati Kikan setiap kali di dekatnya. Dan kali ini Kikan terasa hatinya tertusuk perih bukan main. Tapi itu benar. Bersama Bimo ia sering tak bisa berkata tidak. Herannya, Kikan tak lama menganggap itu menjengkelkan. Cara Bimo berkomunikasi memang dibenci Kikan tapi semua saran dan kritik Bimo, terutama terhadap program dietnya juga cukup berhasil. Dan di luar itu, Bimo selalu ada di pihak benar. Betapa Kikan merasa jadi orang bodoh sedunia. Bimo memang cowok komplit. Rupawan iya, otak keren bisa tahu banyak hal, pekerja keras, bisa lanjut S2 ke luar negeri, peduli kesehatan dan terakhir informasi yang Kikan dapatkan, Bimo adalah mantan coverboy  sebuah majalah remaja dulunya. Subhanallah! Pesonanya bertambah satu lagi, Bimo begitu perhatian padanya di balik kejutekannya itu. Ini membuat Kikan semakin GR.
“Kalau bicaranya sudah selesai, gue mau pulang. Gue mau makan di rumah aja. Gue geli mau makan roti begini, iuuhhh... sudah berapa hari ada di saku elo?”.
“Baru... baru tiga hari kayaknya,” Bimo tak yakin. Kikan pun meragu, segera ia cek tanggal kadaluwarsa roti itu.
“Pendusta lo, ini sudah basi dari kemarin!” sergah Kikan sambil mencubit lengan Bimo
“Idih, genit banget lo, nyubit gue segala. Tumben,” Bimo tersenyum menggoda. “Kalo gitu boleh dong minta senyumnya dikit, tegang amat,” lanjut Bimo sambil menjawil dagu Kikan.
“Ih, elo berani sentuh-sentuh gue. Genit juga lo sekarang,” balas Kikan menabok lengan Bimo.
Bimo berusaha menghindar setengah berlari tak tentu arah. Kikan mengejarnya sampai dapat.
“Gendong dong,  Mas Bimo!” Kikan tiba-tiba mulai berani genit.
Bimo berjongkok dan menyodorkan punggungnya.
“Kita lihat elo sudah seringan apa,” Bimo mulai merasakan beban berat tubuh Kikan. “Waduh, masih kelebihan sepuluh kilo. Diet lagi, nih, berat,” Bimo bercanda. Kikan membalasnya manyun.
“Setengah tahun lagi gue lulus. Ketika gue balik lagi ke sini elo sudah harus kurus. Lebih beberapa kilo tak apalah. Tapi yang terpenting elo jaga kesehatan dan wajib lari-lari pagi biar tetep bugar badan elo. Intinya elo ikutin aturan gue kalau mau kurus. It’s work!” ujar Bimo.
Kikan mencibir.
“Elo kira gue nggak tahu di belakang elo manyun-manyun gitu,”
Ih, nih cowok cenayang apa gimana sih? Tahu aja gue lagi apa di belakang dia.
“Kalo aturan biar jadi nyonya Bimo ada nggak?” Kikan terlewat berani. Sedetik kemudian ia menyesal bertanya seperti itu. Bimo berhenti berjalan sejenak.
“Ada,” balas Bimo membuat degup jantung Kikan semakin cepat. “Elo harus cintai gue setulus hati elo apapun yang terjadi. Itu cukup,”
“Serius?!”
Bimo mengangguk.
“Nggak perlu cantik? Seksi? Bohay? Dan lain-lain?”
“Asal dia cewek, orientasi seksual normal, cekatan, pinter, setia sama gue, cinta sama gue, itu cukup. Gue cari pendamping hidup setia, bukan lagi milih putri Indonesia,”
“Ahhh.... Bimo... ” seru Kikan sembari mempererat rangkulannya di leher Bimo. Hingga bimo merasa tercekik seketika.  “Sori, sori. Tapi jangan jutekin gue lagi, dong. Enek gue lihat elo ngomel mulu kayak kereta yang nggak bisa distop,”
Bimo tersenyum. Kikan serasa terbang melayang. Syarat jadi kekasih Bimo tak susah amat. Ia sudah punya itu. Entah semenjak kapan tapi yang jelas Kikan memang sudah jatuh hati pada Bimo. Mau Bimo jutek kek, irit senyum dan bicara kek, bawel dan apapun itu, Kikan terima Bimo secara utuh menyeluruh. Simpel kan? Saling mencintai cukup sebagai fondasinya, lain-lainnya adalah pemerkokoh. Cinta itu simpel. Sesimpel lari-lari pagi.
-SELESAI-

thanks to editor: Altami Nurmila Daniari