Alarm Kikan berdering
memekakkan telinga si empunya tepat pukul empat pagi. Volume maksimal jam beker
sengaja dipasang Kikan agar ia segera bangun.
Sudah empat kali dalam
sepekan ini Kikan sengaja bangun lebih pagi demi menjalankan salah satu program
dietnya, lari pagi. Masih itu saja yang mampu ia lakukan, itupun masih sering
merasa berat karena kebiasaannya begadang sampai jam satu dini hari. Berbagai
upaya untuk tidur lebih awal tak pernah sukses.
Kikan lari pagi
sendirian dengan earphone terpasang
di telinga. Ia menikmati alunan musik beat
yang membuat ayunan kakinya lebih semangat.
Seger
juga aslinya lari pagi begini. Kata peneliti lari-lari pagi bisa menjaga daya
ingat. Pantesan kapan hari belum olahraga gini, gue gampang lupa. Heemmm... gue
bakalan rutin gini. Biar cepetan kurus. Kalo gue kurus, gue bisa milih ukuran
baju sesuka gue, kelihatan lebih muda nggak disangka emak-emak dan so pasti
cowok-cowok bakal ngejar-ngejar gue. Hehehe...
Kikan termakan
penilaian orang-orang yang mengutamakan penampilan fisik. Padahal selama ini
sekalipun tubuh Kikan “berisi” ia tak pernah dikatakan jelek. Ia pandai berhias
diri. Tapi tetap saja ia merasa tak pede di depan umum.
Kikan sangat ingin
kurus supaya bisa menambah daya tariknya di mata orang lain. Ia harus tampil
sempurna sebagai wanita, dari ujung rambut hingga ujung kaki tapi ia tak mau
mengambil jalan pintas semacam sedot lemak, operasi plastik, memasang silikon
apalagi sampai memasang susuk. Ia takut berdampak pada kesehatannya kelak.
Pokoknya penampilan
menarik adalah orientasi Kikan menguruskan badan. Kalau kesehatannya ikut
membaik setelah diet, itu merupakan bonus buatnya. Pandangan ini memang
berseberangan dengan penggila olahraga pada umumnya yang mengutamakan kesehatan
baru kemudian penampilan menarik buah dari menjaga kesehatan. Begitulah Kikan. Dia
bukan orang yang getol olahraga sejak kecil, jadi pola pikirnya tentang olahraga,
diet dan lain-lain adalah demi menguruskan badan sehingga terlihat tampil sempurna
di mata orang lain.
“BRUKK!!”
Tubuh Kikan mendadak
tersungkur di pinggir badan jalan. spontan Kikan mengaduh kesakitan. Telapak
tangannya lecet memerah.
“Waduh, sori-sori! Gue
udah teriak-teriak tapi elo nggak denger. Sepeda gue remnya tiba-tiba ngeblong,
jadi gini deh,”
Kikan melepas earphone-nya dan menatap sosok yang
menabraknya.
“Mas, lihat-lihat dong!
Jalan selebar gini masih aja nabrak!” omel Kikan.
“Gue udah bilang, gue
udah teriak-teriak tapi elo nggak denger juga,” balas cowok itu. “Gara-gara
ini, nih, pasti! Lo pakai beginian jadi nggak denger suara gue!” lanjut cowok
itu sambil setengah menarik kabel earphone
Kikan.
Kikan memberengut.
“Kalo gini salahnya
siapa? Makanya kalo lagi jalan jangan suka pakai beginian! Gaya banget sih, lo!
Biar dikata keren? Bukannya disangka keren, elo malah dibilang budek!!,”
cerocos cowok itu.
Kikan mengkeret. Ia
memang tak pernah nyaman jika berhadapan dengan orang yang nada suaranya tinggi
apalagi sampai ngomel-ngomel. Kikan
tertunduk dan tak bicara apa-apa lagi. Dia merasa memang dirinyalah yang salah.
“Bangun gih cepetan!
Ikut gue!” kata cowok itu. Cowok itu membantu Kikan berdirisambil menuntun
sepedanya. .
“Kemana?”
“Gue beliin obat di
minimarket ujung sana,”
Kikan kewalahan mengikuti
langkah kaki cowok itu yang berjalan cepat.
“Cepetan! Lelet banget,
sih! Keburu infeksi tuh, luka!” sentak cowok itu.
“Judes banget, sih,”
gumam Kikan lirih.
“Jangan pernah ngatain
gue di belakang!” sahut cowok itu.
Kikan melotot ke arah
punggung cowok itu. “Pendengarannya super banget,”
“Ehem!” cowok itu
nampak sengaja berdeham memeringatkan Kikan agar diam.
***
Dua
hari Kikan tak lari pagi. Badannya masih terasa sakit semua semenjak jatuh
ditabrak sepeda cowok kapan hari. Luka lecet di tangannya juga belum sembuh
benar. Akhirnya ia hanya berusaha merenggang-renggangkan otot di teras rumahnya.
Ketika Kikan asyik
berolahraga ringan, mendadak ia merasa ada yang memperhatikannya. Sudut mata
kanannya mendapati sosok di seberang kanannya, tepat di depan rumah tetangganya
yang tak terhalangi tembok pembatas. Kikan memberanikan diri menoleh dan
seketika menelan ludah dan melotot.
Cowok
itu?! Ngapain dia di situ?
Kikan meringis kemudian
membungkuk sambil melangkah mundur perlahan untuk segera masuk ke dalam
rumahnya. Sosok itu menatapnya datar lalu tersenyum sinis sambil membuang muka.
Cowok itu lalu lebih dulu memalingkan badannya meninggalkan Kikan yang masih belum
sigap menyembunyikan diri.
“Kikaaaan! Ngapain kamu bungkuk-bungkuk gitu?”
Ibunya yang keluar dari rumah menatap heran. “Eh ini, Ibu minta tolong ya
balikin wadah kuenya tante Santi. Bilang makasih,” pinta ibunya.
Kikan nampak keberatan
sambil menunjuk-nunjuk ke arah sisi kiri. “Tante Santi sebelah ya, Bu? Om
Anggoro?”
“Iya. Emang ada lagi
yang namanya tante Santi?” Ibunya mengangkat sebelah alis.“Cepetan! Jangan
lelet jadi anak perawan!”
“Iya,” sahut Kikan
malas. Ia mengambil langkah menuju rumah sebelah.
Dengan langkah berat, Kikan
memasuki halaman depan rumah tetangga dekatnya yang baru tinggal di situ
sekitar lima bulan terakhir. Kikan mengetuk pintu sambil mempersiapkan diri,
jangan-jangan begitu pintu dibuka cowok judes itu yang nongol.
“Ngapain?!” suara ketus
terdengar dari sosok di depannya.
Nah, bener kan cowok
itu.
“Ini, disuruh ibu
balikin ini. Terima kasih banyak,” ucap Kikan salah tingkah sambil buru-buru
pamit pergi.
“Ya.” Cowok itu hanya
berkata singkat. Kikan tersenyum singkat lalu pamit pulang.
“Tunggu!” suara cowok
itu menahan langkah Kikan yang sudah berancang-ancang kabur.
Kikan menoleh dan
jantungnya berdegup kencang.
Cowok itu mendekati Kikan.“Besok
temenin gue belanja, ya?”
“Hah?” Kikan
mengernyitkan dahi mendongak menatap cowok yang jauh lebih tinggi darinya.
“Gue baru di sini. Gue
nggak tahu tempat belanja oleh-oleh murah di sini. Gue juga nggak hafal jalan.
Sebagai imbalannya gue traktir makan deh,” sambung cowok itu.
Buset
dah... dikira gue beruang Taman Safari Badan gede begini bukan berarti gue suka
disogok makanan, Mas! Dulu sih, iya. Sekarang gue lagi diet. Gue nggak akan
tergoda makanan sekalipun digratiskan!
“Sudah sono pulang! Jangan
lupa besok!” imbuh cowok itu.
Kikan nyelonong pergi
tanpa permisi kedua kali.
***
Cowok itu bernama Bimo.
Wajahnya memang sebelas dua belas dengan Bimo VJ MTV yang tak seberapa tampan
tapi keren dan macho. Putih, bersih, mulus plus tinggi. Cowok seperti inilah dambaan Kikan. Tapi, alih-alih mengkhayalkan
si Bimo jadi kekasihnya, menjadikan Bimo
tetangga saja Kikan tak pernah. Justru ia berharap Bimo segera pergi enyah
kembali ke Taipei supaya tak berlama-lama menjadi tetangganya.
Menurut cerita Bimo
yang cukup singkat, ia sedang berlibur kuliah S2 dari kuliahnya di sebuah
perguruan tinggi bergengsi di sana. Ia juga baru merasakan suasana rumah
barunya semenjak orangtuanya memutuskan pindah rumah, kembali ke kampung
halaman sang ayah setelah ayahnya pensiun dari perusahaan multinasional besar
di kota berjuluk Big Durian alias Jakarta. Makanya Bimo buta arah kemana-mana.
Terakhir ia ke kota ini ketika ia SMP kelas satu. Itupun tak banyak memberikan
kenangan.
Bimo tak banyak bicara. Ia hanya menunggu Kikan
memberikan komando kemana ia harus masuk ke toko cindera mata. Bimo tak banyak
komentar mengenai rekomendasi Kikan untuk membeli oleh-oleh untuk kawan-kawannya
di Taipei. Tapi ketika Kikan asyik menilik satu per satu kalung etnik, mendadak
Bimo memberikan protesnya.
“Jelek!” cela Bimo.
Kikan melirik tajam dan mendengus kesal. Kemudian ia pergi meninggalkan
kalung-kalung itu dan menunggu Bimo di luar toko sembari mengutak-atik ponsel
canggihnya.
Kikan segera bosan. Dia
menoleh ke sana-ke mari mencoba mengusir penat menemani orang seperti Bimo
berbelanja. Entah kiasan seperti apa yang pantas ia sematkan untuk Bimo. Kalau
sudah bicara, nyerocos tanpa henti sepanjang rel kereta api. Sekalinya diam, diam
mulu. Sekalinya ngomong juga seringnya menohok. Kikan juga tak bisa
mengeremnya. Setiap kali ingin bicara, Bimo sudah berhasil mendahului. Mau
melawan, Kikan tak punya daya argumentasi kuat. Salah-salah Kikan didamprat
telak oleh Bimo. Aslinya, hati Kikan juga jengkel mendapat perlakuan seperti
itu. Dapet apa coba dari pertemuan tiga kali dengan pola komunikasi yang
seringnya hanya satu arah saja? Bisa-bisanya Kikan “tunduk” pada Bimo mau
mengantar jalan-jalan? Kikan geleng-geleng kepala sendiri.
“Elo mau apa? Gue
traktir,” celetuk Bimo yang sudah berdiri di belakang Kikan tepat.
Kikan menoleh kaget.
“Oh, enggak. Kalau sudah selesai, pulang aja gimana? Atau mau keliling lagi?”
“Sudah sih, ini cukup,”
ujar Bimo melihat-lihat isi kresek sejumlah enam berukuran sedang di tangan
kiri dan kanannya. Kikan bernafas lega, sejak tadi dia memang mau cepet pulang.
“Elo beneran nggak mau jajan?” tanya Bimo memastikan. Kikan menggeleng
tersenyum singkat.
Sesampainya di rumah
Bimo menyerahkan sesuatu untuk Kikan. Isinya dua toples cookies.
“Ini rendah kalori. Bagus
buat diet,” Bimo meyakinkan Kikan menerimanya. Kikan mengernyitkan dahi.
“Makasih,” sahut Kikan
menerima kantong yang disodorkan Bimo. Bagaimana Bimo tahu Kikan sedang
menjalankan program diet?
“Xie-xie ya, sudah mau nemenin. Besok mau nggak jalan pagi bareng?”
tawar Bimo.
Kikan menunjuk jarinya
ke arahnya, lalu ke arah Bimo, bolak-balik. Bimo mengangguk. Kikan mengacungkan
jempolnya dan tersenyum. Mereka berpisah setelah Bimo mengucapkan selamat malam.
Di otak Kikan... kesambet apa dia ngajak
gue jalan pagi bareng? Hehehe... semoga saja kesambet lagi, kesambet nggak
jutek lagi.
***
Singkat cerita semenjak
Bimo mengajak Kikan jalan-jalan pagi untuk olahraga entah mengapa Kikan jadi
selalu semangat tidur lebih awal dan bangun pagi. Kikan sudah tak peduli dengan
kejutekan Bimo. Menikmati ketampanan Bimo saja sudah cukup.
Ya, siapa yang mau
menyangkal kalau Bimo cowok keren mentereng? Ibu-ibu sampai ABG-ABG di komplek
mereka tinggal selalu melek lebar-lebar ketika Bimo melintas. Pesona Bimo yang
jutek, irit senyum dan irit bicara membuat mereka begitu gemas padahal Bimo
baru sekitar sebulan tinggal di sana.
Mulanya Kikan
mengabaikan hal ini. Bagaimana bisa kaum hawa di luar dirinya terpesona hingga
sedemikian rupa pada Bimo yang jutek? Aduh... tiada pesona selain tampangnya.
Tapi Kikan akhirnya jatuh juga pada ucapannya sendiri. Ia benar-benar mulai
menikmati pesona lahiriah seorang Bimo. Kikan tanpa sadar memasukkan dirinya ke
golongan hawa yang “terhipnotis” oleh Bimo.
Dulu Kikan tak ambil
pusing pujian-pujian tanda kekaguman kaum hawa itu pada Bimo tapi kali ini ia
merasa sebal. Dan herannya Bimo sekarang justru seolah menikmati tingkah polah
centil mereka. Kikan mengepal-ngepalkan kedua tangannya, geram.
“Noh, lihat cewek-cewek
itu! Mereka rutin ikutan senam pagi. Ikutan sana! Katanya mau kurus. Rutin
olahraga. Tapi inget, jangan nahan lapar lagi! Salah-salah kena anoreksia.
Catetan asupan makanan dari gue kapan hari dilaksanain. Jangan buat pajangan
doang! Mau kurus harus konsisten olahraga dan jaga pola makan, bukan
menahan-nahan makan,” suruh Bimo suatu pagi di taman komplek. Seperti biasa,
sekali keluar satu pernyataan maka pernyataan-pernyataan lain terus berlanjut.
Dan ini hanya berlaku untuk Kikan.
Kikan mengangkat
sebelah alisnya dan cemberut. Kalo nggak protes, ngoreksi, ya nyuruh. Predikat
irit bicara ternyata hanya berlaku untuk orang lain. Beberapa waktu terakhir
Bimo amat cerewet pada Kikan terlebih soal diet. Seolah sekarang Bimo sudah
merangkap jadi tetangga, teman jogging,
pakar gizi dan semua peran penunjang program diet Kikan. Walaupun semuanya yang
dikatakan Bimo ada benarnya tapi cara penyampaiannya tak dikehendaki Kikan. Ada
cara yang lebih halus kenapa harus “kasar”?
Kini alih-alih Kikan
melaksanakan “titah” Bimo seperti biasanya, justru Kikan ngeloyor pergi
menghampiri pedagang kue jajanan pasar di pinggiran jalan tak jauh dari mereka.
“Eittss, kemana?” tanya
Bimo menarik tangan Kikan.
“Laper,”
“Elo mau beli jajan
itu?”.
Kikan mengangguk.
“Jangan!” larang Bimo.
“Katanya nggak boleh
nahan lapar. Emergency banget,” Kikan
memegangi perutnya.
Bimo merogoh kantong
celananya. Keluar dari sana sebuah roti kemasan yang sudah penyet. Kikan
melongo. Tega nian Bimo memberinya roti penyet.
“Ini! Lebih steril dan
belum kadaluwarsa. Diet itu bukan cuman urusan kurus aja tapi juga kesehatan.
Dan penunjang kesehatan salah satunya adalah makanan higienis. Catet itu!”
“Iya, iya, bawel!” meluncurlah
juga kata-kata “pemberontakan” itu dari mulut Kikan. Selama ini kejengkelannya
hanya ada di dalam hati.
“Demi kebaikan elo
juga. Gue nggak mau elo sakit,”
Semriwing... angin
sepoi-sepoi tiba-tiba bertiup menerpa wajah Kikan. Terpesona. Bimo bicara
demikian membuatnya GR alias Gede Rasa.
“Nanti nggak ada yang
nemenin gue belanja. Pesenan gue nambah, nih! Jadi besok lo bantuin gue bawa
belanjaan,”
Apa???
Gue alih fungsi dari tetangga jadi jongos? Huh! Ogah!
“Sori, dalam minggu
besok gue ada beberapa tes dan interview kerja. Jadi, elo cari temen lain aja
buat nemenin belanja,”
“Nggak usah banyak alesan, deh! Elo bohong mau
ada tes, aslinya lo mau ngehindarin gue, kan? Elo risih gue deket-deket sama
elo? Kalo iya ngomong dong! Jangan diem aja! Emang lo kira gue nggak tahu apa
tiap berhadapan sama gue, elo itu selalu tegang ketakutan. Elo kira gue buaya
kelaperan yang siap-siap nerkam elo? Gue begini adanya, nyablak to the point dan paling nggak suka sama orang lelet. Gue
gemes sama elo yang kayak kebo dicucuk hidungnya, disuruh kemana aja nurut.
Heran gue ada makhluk macam elo,”
Nah, lho sekarang Bimo
bertambah titel sebagai cenayang yang tahu bagaimana reaksi dan isi hati Kikan
setiap kali di dekatnya. Dan kali ini Kikan terasa hatinya tertusuk perih bukan
main. Tapi itu benar. Bersama Bimo ia sering tak bisa berkata tidak. Herannya,
Kikan tak lama menganggap itu menjengkelkan. Cara Bimo berkomunikasi memang
dibenci Kikan tapi semua saran dan kritik Bimo, terutama terhadap program
dietnya juga cukup berhasil. Dan di luar itu, Bimo selalu ada di pihak benar.
Betapa Kikan merasa jadi orang bodoh sedunia. Bimo memang cowok komplit.
Rupawan iya, otak keren bisa tahu banyak hal, pekerja keras, bisa lanjut S2 ke
luar negeri, peduli kesehatan dan terakhir informasi yang Kikan dapatkan, Bimo
adalah mantan coverboy sebuah majalah remaja dulunya. Subhanallah! Pesonanya
bertambah satu lagi, Bimo begitu perhatian padanya di balik kejutekannya itu.
Ini membuat Kikan semakin GR.
“Kalau bicaranya sudah
selesai, gue mau pulang. Gue mau makan di rumah aja. Gue geli mau makan roti
begini, iuuhhh... sudah berapa hari ada di saku elo?”.
“Baru... baru tiga hari
kayaknya,” Bimo tak yakin. Kikan pun meragu, segera ia cek tanggal kadaluwarsa
roti itu.
“Pendusta lo, ini sudah
basi dari kemarin!” sergah Kikan sambil mencubit lengan Bimo
“Idih, genit banget lo,
nyubit gue segala. Tumben,” Bimo tersenyum menggoda. “Kalo gitu boleh dong
minta senyumnya dikit, tegang amat,” lanjut Bimo sambil menjawil dagu Kikan.
“Ih, elo berani
sentuh-sentuh gue. Genit juga lo sekarang,” balas Kikan menabok lengan Bimo.
Bimo berusaha
menghindar setengah berlari tak tentu arah. Kikan mengejarnya sampai dapat.
“Gendong dong, Mas Bimo!” Kikan tiba-tiba mulai berani
genit.
Bimo berjongkok dan
menyodorkan punggungnya.
“Kita lihat elo sudah
seringan apa,” Bimo mulai merasakan beban berat tubuh Kikan. “Waduh, masih
kelebihan sepuluh kilo. Diet lagi, nih, berat,” Bimo bercanda. Kikan membalasnya
manyun.
“Setengah tahun lagi
gue lulus. Ketika gue balik lagi ke sini elo sudah harus kurus. Lebih beberapa
kilo tak apalah. Tapi yang terpenting elo jaga kesehatan dan wajib lari-lari
pagi biar tetep bugar badan elo. Intinya elo ikutin aturan gue kalau mau kurus.
It’s work!” ujar Bimo.
Kikan mencibir.
“Elo kira gue nggak
tahu di belakang elo manyun-manyun gitu,”
Ih,
nih cowok cenayang apa gimana sih? Tahu aja gue lagi apa di belakang dia.
“Kalo aturan biar jadi
nyonya Bimo ada nggak?” Kikan terlewat berani. Sedetik kemudian ia menyesal
bertanya seperti itu. Bimo berhenti berjalan sejenak.
“Ada,” balas Bimo membuat
degup jantung Kikan semakin cepat. “Elo harus cintai gue setulus hati elo
apapun yang terjadi. Itu cukup,”
“Serius?!”
Bimo mengangguk.
“Nggak perlu cantik?
Seksi? Bohay? Dan lain-lain?”
“Asal dia cewek,
orientasi seksual normal, cekatan, pinter, setia sama gue, cinta sama gue, itu
cukup. Gue cari pendamping hidup setia, bukan lagi milih putri Indonesia,”
“Ahhh.... Bimo... ”
seru Kikan sembari mempererat rangkulannya di leher Bimo. Hingga bimo merasa tercekik
seketika. “Sori, sori. Tapi jangan
jutekin gue lagi, dong. Enek gue lihat elo ngomel mulu kayak kereta yang nggak
bisa distop,”
Bimo tersenyum. Kikan
serasa terbang melayang. Syarat jadi kekasih Bimo tak susah amat. Ia sudah
punya itu. Entah semenjak kapan tapi yang jelas Kikan memang sudah jatuh hati
pada Bimo. Mau Bimo jutek kek, irit senyum dan bicara kek, bawel dan apapun
itu, Kikan terima Bimo secara utuh menyeluruh. Simpel kan? Saling mencintai
cukup sebagai fondasinya, lain-lainnya adalah pemerkokoh. Cinta itu simpel.
Sesimpel lari-lari pagi.
-SELESAI-
thanks to editor: Altami Nurmila Daniari
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Ditunggu kritik dan saran membangun yah :)