Minggu, 23 Juni 2013

Pangeranku (tak) Oedipus Complex

Pangeranku (tak) Oedipus Complex

Bel rumah Citra berdentang berulang kali. Citra mendengar itu dari kamar mandi tapi ia jelas tak akan merelakan momen pembuangan “sampah-sampah” perutnya berakhir begitu saja. Momen itu adalah momen “ternikmat” dimana id seseorang menuntut untuk dipenuhi dan ketika id dipenuhi memang ada kepuasaan tersendiri. Setidaknya begitulah yang dikatakan Sigmund Freud[1], tokoh psikologi yang merupakan founder aliran psikoanalisa dikutip oleh Candra, kakak lelaki Citra sang calon psikolog. Dibiarkannya saja bel itu berbunyi berulang-ulang.
Usai membuang hajat, Citra bergegas melihat siapa tamu yang datang di siang hari bolong, waktu dimana orang menuju istirahat siangnya di hari Minggu.
“Cari siapa, Mas?” celetuk Citra keluar dari pintu garasi rumahnya. Sosok itu membalikkan diri.
Well, persis adegan sinetron atau film-film romantis, seolah bumi berhenti berputar, jam berhenti berdetak, daun-daun yang berjatuhan tertahan lebih dulu melayang di udara, angin juga berkonspirasi untuk mengabadikan momen pertemuan muda dan mudi ini. Hanya beberapa detik, alam kembali ke posisi semula. Semua tahu, ini hanya hiperbola saja. Tapi tidak untuk Citra. Dia memang takjub, terkesima, merasa bertemu pangeran entah turun dari mana. Bohong besar jika turun dari khahyangan. Tapi Citra tak jua menemukan jawaban dalam waktu yang begitu singkat, mengapa ada cowok tampan seperti itu di hadapannya?
Citra hanyut dalam keterpukauannya. Cukup. Maksudnya cukup berkali-kali cowok itu mencoba “membangunkan” Citra dari itu.
“Oh, iya, Mas, cari siapa?” Citra mengulang lagi tanya tanpa melenyapkan rasa kagumnya.
“Pak Sigit ada?” tanya cowok itu balik.
“Ayah? Ayah lagi keluar sama mama keluar kota. Nanti malem baru sampai mungkin. Ada perlu apa, Mas? Mungkin bisa nanti aku sampaikan,” jawab Citra.
“Oh, enggak usah. Besok lagi aja kalau ketemu di GOR. Makasih, ya,” cowok itu mengucap dengan menyunggingkan senyumnya.
@@@
Matahari terus muncul dan menghilang menjalankan tugasnya menyinari belahan bumi Citra berada dan kemudian berganti belahan bumi lainnya. Berulang kali. Entah sudah ke berapa kali semenjak perjumpaan pertama Citra dengan cowok itu sampai ia bertemu lagi suatu kali. Selama itu pula perasaan Citra nampaknya semakin hari semakin berbahagia. Arus lalu lintas sketsa cowok itu tak pernah berhenti di otaknya, dua puluh empat jam non-stop dan terus berulang, seolah tak akan pernah soak jika diibaratkan roll film.
Cowok itu ternyata bernama Ragil, siswa kelas tiga SMA 2 Pagi paling berprestasi di bidang taekwondo. Namanya sudah masuk jajaran atlet taekwondo tingkat nasional untuk atlet seusianya. Ayah Citra adalah pelatihnya semenjak Ragil masih duduk di bangku kelas enam SD. Hanya beberapa bulan terakhir ini ketika ayah Citra sibuk mengurusi sekolah S-3 nya di PTN terkemuka di Surabaya, Ragil dilatih oleh asisten ayah Citra, Diana.
@@@
Citra menemani ayahnya yang melatih anak didiknya ketika sang surya sudah tergelincir dari puncak tertingginya. Citra menyelipkan maksud terbesarnya datang menemani ayahnya. Tentu saja si Ragil. Maka dari itu semenjak di rumah ia sudah menyiapkan kamera digital canggihnya yang berharga jutaan rupiah kado ayahnya untuk ulang tahunnya ke tujuh belas dua bulan lalu. Ia akan sepuasnya membidik berbagai momen Ragil berpose.
Duduk tak jauh dari mereka yang berlatih, Citra sudah belasan kali membidikkan lensa kameranya ke arah Ragil. Tentu saja berkamuflase seolah memotret kegiatan latihan secara keseluruhan. Bohong besar dilakukan Citra.  Di sisi lain, Ragil tersenyum sendiri. Citra tak tahu. Dan hal ini sudah berkali-kali terjadi, tak hanya kali ini.
Usai latihan Citra hendak pulang bersama ayahnya. Sebelum pulang ia hendak memberanikan diri menyapa Ragil. Tapi no! Mendadak kakinya berat melangkah menghampiri Ragil yang mengambil langkah cepat menuju parkiran motornya. Entah penggambaran fisiologis macam apa yang mewakili kondisi Citra, intinya ia tak berani menyapa Ragil. Ia urungkan saja niat itu lalu mengikuti langkah ayahnya menuju mobil mereka diparkir tepat di depan seberang pintu GOR. Tapi ia sempat melirikkan matanya ke arah Ragil. Di sana tak hanya Ragil yang akan menunggangi motornya. Seorang cewek. Tak asing bagi Citra. Diana. Agak kecewa. Ada hubungan apa mereka berdua? Citra tak bisa berhenti bertanya-tanya tapi akhirnya dia lupa sendiri.
@@@
Jam dinding kamar Citra menunjukkan pukul setengah delapan malam. Citra terpekur memperhatikan layar laptopnya. Di sana puluhan foto Ragil berseragam taekwondo dalam berbagai pose sudah terkumpul dalam satu folder berformat rar. berjudul “Pangeran”. Folder itu ia sembunyikan di balik folder-folder berlapis-lapis dan memberikan kata kunci untuk membukanya.
“JEGREKK!” suara pintu kamar Citra terbuka. Citra gelagapan tak keruan. Ia segera menutup semua file foto Ragil dan setengah menutup laptopnya.
“Mas Candra... ketuk pintu dulu, dong!” protes Citra.
“Sori, sori, aku buru-buru. Pinjem modem dong, dek! Pulsa modemku abis,”
Citra segera mengambilkan modem miliknya di laci di bawah meja di hadapannya.
Candra melangkah keluar kamar usai itu. Citra merasa aman untuk membuka kembali foto-foto Ragil. Tapi tiba-tiba...
“Dek, sejak kapan kamu pasang aturan harus ketuk pintu dulu? Aku kok nggak pernah tahu, ya?” ujar Candra melongok dari balik pintu.
Citra menoleh dan jantungnya berdebar cepat. Seketika ia memegangi laptopnya setengah menutupnya lagi.
“Sejak... sejak hari ini,” sahutnya salah tingkah.
“Oh begitu. Gara-gara yang di foto itu ya? Hehehe,” kata Candra sambil mengangkat kedua alisnya bersamaan.
Citra memberikan kode agar kakaknya segera enyah dari balik pintu kamarnya dengan menendang-nendangkan kakinya ke udara. Candra justru tertawa lebar sembari meninggalkan kamar Citra.
Citra mengembalikan laptopnya pada posisi semula. Ia mengambil nafas lega. Tapi uppsss... foto Ragil terpampang jelas di layar. Pantas saja kakaknya langsung menggodanya. Rasanya tadi Citra sudah menutup semua foto Ragil. Tapi kenapa bisa begini?
@@@
Perasaan Citra kian hari kian bertumbuh semenjak Ragil  sering bertandang ke rumahnya menemui ayahnya. Alasannya banyak, untuk urusan taekwondo yang akan menjalani turnamen, alasan pesanan orangtua ayah Ragil, alasan mengambil berkas ini dan itu dan alasan-alasan lain. Tapi sekalipun sering bertamu, Citra jarang bertatap muka langsung dengan Ragil. Ia hanya bisa mengendap-endap memperhatikan Ragil dari balik kaca, dari balik tirai, dari “persembunyian”nya.
Citra menyadari pertumbuhan perasaannya makin tak bisa dibendung lagi. Ia harus bicara. Tapi menurut Della, sahabatnya, cewek tak boleh mengutarakan cintanya terlebih dahulu. Tapi menurut Candra, cinta itu untuk dibagi, maka utarakan rasa itu pada orang yang disayangi. Nah... dilema, Citra yang rasakan saat ini.
Suatu hari di GOR. Citra membawa semangat yang selalu berkobar setiap kali pergi ke tempat Ragil berada. Di dalam GOR semua orang sibuk berlatih, termasuk ayahnya yang sedang melatih. Citra menuju tempat ia sering duduk memperhatikan Ragil. Kali ini ia tak akan membidik pose-pose Ragil. Esok hari saja ketika Ragil mewakili Jawa Timur menghadapi perwakilan provinsi Jawa Tengah. Hanya lensa mata Citra saja yang jeli merekam semua aksi Ragil dan menyimpannya di memori otaknya.
Citra terus menenggak air mineral selama ia menunggui para atlet seusianya berlatih sampai-sampai kandung kemihnya memberikan sinyal sudah tak muat lagi. Kemudian ia bergegas ke toilet.
Usai dari toilet ia hendak kembali ke arena berlatih tapi langkah kakinya terhenti pada suatu titik dan matanya seolah diarahkan ke suatu sudut tepat di depan ruang ganti atlet yang hendak ia lewati. Citra menyembunyikan diri segera di balik tembok. Samar-samar ia mendengarkan percakapan dua sosok yang tak asing baginya.
“Jangan sekarang, Gil,” ujar seorang cewek. Citra mengenali suara itu.
“Kalau bukan sekarang kapan lagi, Di? Aku butuh kejelasan hubungan kita,”
Citra membuka telinga lebar-lebar agar informasi yang masuk utuh ia dapatkan.
 “Ragil...” suara cewek itu memanggil lengkap nama cowok itu. Citra membelalak spontan.
Ragil??!!
“... beri aku waktu lagi. Setidaknya kita tunggu waktu yang tepat meyakinkan orang-orang di sekelilingku, tentu juga di sekelilingmu. Beri aku waktu! Tolong!” sambung cewek itu.
“Diana, aku akan bersabar. Akan aku buktikan aku sabar menunggumu,”
Kepala Citra seketika cenut-cenut. Ia tak salah dengar dan tak salah lihat. Dua sosok itu mengutarakan perasaan. Sakit di kepala Citra merambat ke hati Citra yang terasa seolah dicabik-cabik kuku macan. Citra merasa matanya lalu berkunang-kunang, sekelilingnya memburam. Tubuhnya mulai hilang keseimbangan dan terhuyung ke belakang. Tapi ada seseorang yang sigap menangkap tubuh Citra.
Ragil?
Ia tak yakin itu Ragil tapi ia tak lupa bagaimana sketsa wajah Ragil.
@@@
Citra bangun dari pingsannya. Di hadapannya wajah Ragil terpampang jelas. Citra langsung merasa hatinya pilu. Cowok di hadapannya, Ragil yang tadi mengungkapkan rasa cinta pada Diana, cewek yang jauh lebih tua.
“Kamu tadi pingsan. Gimana rasanya sekarang?” sahut Ragil mencondongkan tubuhnya ke arah Citra dan memijakkan kedua tangannya di pinggir tempat tidur.
“Sakit,” kata itu meluncur begitu saja dari mulut Citra.
“Bagian mana yang sakit?” tanya Ragil segera.
Citra menatap Ragil. Citra menggeleng dan justru spontan bangkit duduk. Ia memegangi kepalanya yang terasa sakit.
“Pelan-pelan,” saran Ragil.
“Aku mau pulang. Ayah mana?”
“Pak Sigit tadi buru-buru ke kampus. Kamu diserahin ke aku. Jadi, nanti aku yang antar kamu pulang,”
 “Nggak perlu, aku pulang sendiri saja,”
Citra beranjak dari tempat tidur. Ia berjalan terseok-seok menuju keluar. Citra berjalan makin tak seimbang dan nyaris ambruk. Kembali Ragil menahannya. Kemudian keduanya segera berdiri sendiri-sendiri. Citra hendak melanjutkan jalannya tapi tangan Ragil menahannya.
“Cit, tunggu!”
Citra menoleh dengan malas.
“Sejujurnya aku suka sama kamu, Cit,” lanjut Ragil.
Citra memasang wajah heran.
“Bagaimana bisa kamu mengutarakan cinta pada dua cewek dalam sehari? Aku nggak ngerti jalan pikiranmu,”
“Kamu sudah salah paham, Cit. Yang kamu lihat itu tadi keliru,”
“Keliru bagaimana?”
“Itu bukan Ragil aku, tapi Ragil kembaranku. Nama kami bernama depan Ragil. Dia Ragil Atmajaya dan aku Ragil Wijaya,”
Citra bengong. Yakin tak yakin. Ayahnya juga tak pernah cerita Ragil punya kembaran.
“Lalu yang selama ini yang aku --”
“Jelas aku. Ragil Wijaya. Yang sering jahil ke kamu pas SD itu aku, yang kamu temui pertama kali di balik pagar besi rumah kamu setelah sekian lama kita tidak bertemu karena kamu ikut nenekmu di Pekanbaru itu aku, yang sering bertandang ke rumahmu itu aku dengan berbagai alasan, yang sering kamu foto itu aku dan mungkin juga yang sering membuatmu tak bisa tidur beberapa waktu terakhir itu juga aku,” jelas Ragil teersenyum menggoda.
“Aku nggak percaya! Mana mungkin?” sahut Citra segera.
Ragil menyambung lagi ceritanya tentang ia dan kembarannya. Menurutnya, Citra jelas tak tertukar selama ini. Citra membidik sosok yang benar. Dirinya jelas. Citra juga menjatuhkan perasaan yang tepat kepada dirinya. Dirinya yang memang seorang atlet taekwondo semenjak kecil karena ketidaktertarikannya terhadap pelajaran akademis. Hal ini karena dirinya didiagnosa mengalami disleksia. Ia tak pernah bisa mengingat pelajaran. Memandang tatanan huruf saja ia sering merasa huruf-huruf itu melayang-layang tak beraturan dan sering tertukar-tukar. Semenjak itu Ragil benci sekolah. Bahkan ketika SMP ia pernah tak naik kelas. Hal ini berbeda dengan saudara kembarnya. Saudara kembarnya berotak genius. Sekolahnya saja mengambil jalur akselerasi. Tak heran di usianya ke sembilan belas ia sudah semester tujuh jurusan kedokteran di PTN ternama di Surabaya dan sedang merintis tugas akhir menuju sarjana kedokteran. Hingga akhirnya keduanya terdiferensiasi. Ragil Atmajaya cenderung ke akademis, Ragil Wijaya cenderung ke ketrampilan olah tubuh.
Citra menyimak cerita Ragil dan mencerna kata demi kata Ragil. Ia paham dan ia merasa lega.  Kemudian berselang beberapa menit terdengar suara memanggil nama Ragil yang ada di samping Citra. “Wija,” Ternyata suara cowok yang wajahnya memang sangat mirip dengan Ragil. Namanya juga Ragil. Panggilannya Atma, menurut apa yang didengar Citra dari Wija tadi.
Citra menganga. Ia baru percaya seratus persen.
“Aku buru-buru ke kampus. Ini kunci mobilnya, aku bareng Diana aja,” terang Atma.
“Sudah baikan ceritanya?” sahut Wija.
“Yah, begitulah...” sahut Atma tersenyum.
Citra melongo sambil menggerak-gerakkan kedua bola matanya ke kanan dan ke kiri memperhatikan dua kembaran di depannya. Persis. Pinang dibelah dua. Ayahnya cerdas bisa membedakannya keduanya.
Atma bergegas pergi menghampiri Diana yang sudah menunggu di parkiran. Diana melambaikan tangan ke arah Citra dan Wija. Wija membalasnya dengan lambaian tangan sementara Citra tersenyum sekilas.
“Hei, sampai kapan kita berdiri di sini? Aku ogah menggendongmu lagi, berat,” celetuk Wija. Citra melengos seketika ke arah Wija dan berekspresi manyun.
“Siapa suruh gendong. Sudah tahu berat,”
“Ya masa’ aku biarin kamu pingsan di tempat. Ayok cabut!” Wija memegang telapak tangan Citra seketika dan langsung menariknya.
“Eittss... kemana kita?” tanya Citra tak mengerti.
“Kencan perdana,” sahut Wija singkat pada dan jelas.
Senyum Citra merekah segera.
@@@





[1] Sigmund Freud merupakan tokoh psikologi yang memperkenalkan teori psikoanalisa yang menitikberatkan masa lalu dan ketidaksadaran. Id merupakan salah satu struktur kepribadian bagian dari teori psikoanalisanya (selain ego dan super ego). Id dimiliki seseorang sejak lahir yang punya prinsip kesenangan hasil pemenuhan terhadap kebutuhan. Jika kebutuhan ini tidak segera dipenuhi maka akan muncul kecemasan dan ketegangan. Contoh lain selain pembuangan air besar sebagai kebutuhan yang harus segera dipenuhi adalah kebutuhan rasa haus atau rasa lapar yang sudah ada sejak manusia masih bayi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ditunggu kritik dan saran membangun yah :)