Matahari sudah di ufuk barat, sebentar lagi bersiap menjemput senja. Egi
sudah mengecek menit per menit bahkan detik per detik jarum jam elegan maskulin
di tangan kirinya. Dia berdecak lidah berulang kali sembari melongok ke kanan,
ke kiri, ke depan juga ke belakang.
“Selalu telat,” desis Egi mulai bermuka masam.
Sekitar lima menit kemudian dari kejauhan, di ujung
depan matanya seorang cewek berlari tergopoh-gopoh membawa tas yang digamit di
lengan kanannya, tas laptop yang menggantung di lengan tangan sebelah kiri dan
kedua telapak tangannya mendekap tas berisi kumpulan berkas-berkas yang ia
usahakan tak jatuh.
“Astaga...” gumam Egi ketika cewek itu semakin dekat
berjalan ke arahnya.
“Halo!” sapa cewek itu tersenyum lebar.
Egi menggelengkan kepala pelan lalu memberi kode
menunjukkan jarinya ke jam tangannya.
“Sori, telat. Baru selesai meeting,” sambung cewek itu tersenyum. “Aku duduk, ya?” tanya cewek
itu langsung duduk di samping Egi. Egi menggeser posisinya beberapa senti.
“Jam kamu kemana?” cetus Egi setelah mereka berdua
nyaman duduk bersama.
“Ng?” Cewek itu menoleh pada Egi. “Oh, jamku
ketinggalan,” sahutnya.
“Rosa....” seru Egi setelah sebelumnya dengan sengaja
giginya saling bergesekan atas dan bawah. “Sudah berapa kali aku bilang, jangan
pernah lupa pakai jam! Kamu tahu aku ini amat sangat benci orang terlambat,
nggak tahu waktu, nggak menghargai waktu! Kamu tahu apa akibatnya ada kata
terlambat? Pasien rumah sakit bisa meninggal karena dokternya telat, rumah bisa
kebakaran kalau orang telat sedikit sadar lupa matiin kompor, bahkan sistem
perekonomian kita jauh tertinggal karena up
date info bursa efek ketinggalan dari waktu seharusnya. Dan kamu tahu kan,
pepatah lama bahwa kalau kita telat bangun, ayam jago yang matuk rejeki kita
duluan, tahu kamu?!” suara Egi berentetan dan nadanya naik satu level lebih
tinggi.
Rosa mengambil nafas panjang, melirik Egi yang
ngos-ngosan mengomelinya. Ini bukan pertama kali buatnya. Rosa sudah tak mau
ambil pusing. Dia memang harus sabar dengan tipe orang seperti Egi yang no santai, bawel dan mister sempurna.
Berulang kali Rosa mengelus dada, menepok jidat, menggaruk kepala, dia tak akan
berusaha mengubah perangai kekasihnya. Itu khas Egi. Kalau diubah rasanya Egi
tak akan jadi lelaki yang menarik lagi. Walau
dulunya Rosa tak menyangka Egi seperti itu tapi itulah
alasan Rosa cinta mati pada Egi semenjak dulu sampai kapan pun.
“Maaf... kan, yang penting aku sudah di sini, menuhi
janjiku. Lagi pula cuma telat lima belas menit,”
Egi sontak berdiri lalu menyergah,“Lima belas menit
katamu?! Lima belas menit itu waktu yang pentingnya krusial banget bagi mereka
yang sedang berbisnis dengan klien. Meleset sedikit, klien ogah. Bahkan
sistem pengganda uang di internet yang
sekarang marak itu, meleset sedetik, kamu hilang uang ratusan juta bahkan
milyaran! Ngerti kamu?!” Nafas Egi agak tersengal-sengal.
“Kamu itu terlalu santai! Disiplinlah sedikit! Disiplin
dimana pun kamu ada! Itu salah satu faktor kamu akan dihargai, dipercaya! Nggak
heran setelah dua tahun kerja kamu belum dipromosikan!” Egi meloloskan kata-kata
yang mujarab itu, menghunus ke jantung Rosa. Egi mendadak tubuhnya kaku. Ia
melirik ke arah Rosa yang ada di belakangnya. Ia ingin memastikan reaksi wajah
Rosa tapi ia masih menunggu timing yang
tepat.
Kekhawatiran Egi benar, Rosa melotot ke arah Egi yang
sekarang ngomel-ngomel sambil berdiri membelakanginya. Rasanya dadanya dihantam
batu godam. Masalah pekerjaan adalah masalah yang sensitif bagi Rosa. Ia sempat
bekerja “kutu loncat” hinggap di satu perusahaan ke perusahaan lain tak lebih
dari lima bulan dan perusahaannya sekarang adalah perusahaan yang dia incar
selama ini. Asisten produksi di perusahaan pertelevisian paling bergengsi dan
kreatif di negeri ini adalah pekerjaan yang amat ia idamkan walau tak sejalan
lurus dengan bidang ilmu yang selama ini ia tekuni. Tiga kali Rosa berusaha
menembus lowongan pekerjaan di sana, baru yang ketiga kali ia lolos dan
bertahan sampai dua tahun.
Setelah dadanya seolah dihantam benda keras, Rosa
kembali berusaha berdamai dengan keadaan, dirinya dan Egi, tentunya. Dia bukan
bodoh terus menuruti kemauan Egi. Ini juga bukan disebut menuruti kemauan Egi tapi lebih tepatnya berdamai di jalan tengah
dengan Egi.
Egi. Lelaki itu sudah memberikan cukup banyak hal untuk
dirinya. Ingatan delapan tahun lalu menyeruak keluar secara mendadak di pikiran
Rosa. Pertama kali ia bertemu Egi. Kala itu Rosa terjebak di antara kerumunan
mahasiswa yang berdemo secara destruktif di depan kantor pemerintah kota. Rosa
nyaris saja dihantam kayu pentungan tapi segera Egi beraksi heroik menyeret
Rosa keluar dari hiruk-pikuk yang mengancam keselamatannya. Tanpa ba bi bu
apalagi sesi perkenalan, Egi meninggalkan Rosa di sebuah warung di sebuah jalan
kecil yang cukup aman dari jangkauan para demonstran.
Beberapa hari kemudian Rosa tahu siapa Egi melalui koran
kampus, Warta Kampus.
Pahlawan Lini Terdepan, Egi Arizki, Berdarah-darah
Melawan Pemerintahan Bobrok
Egi Arizki, Presiden
BEM....
Demikian judul berita sekaligus kalimat pembuka yang
tertulis di halaman pertama kampusnya dan Egi. Rosa seketika merasa tubuhnya
kaku. Bergegaslah ia ke rumah sakit menjenguk Egi, sang super hero yang sudah
menyelamatkannya dari kebrutalan demo kenaikan BBM kala itu.
Rosa memberanikan diri menjenguk Egi dengan sebuah
bingkisan buah-buahan di tangannya. Sesampainya di ujung koridor Bougenvill,
koridor yang salah satunya terdapat kamar Egi dirawat inap, Rosa mendapati
banyak orang di sana, tampaknya sama-sama mahasiswa seperti dirinya. Mungkin
itu teman-teman Egi sesama aktivis. Rosa menghentikan langkahnya, ia jadi ragu.
Beberapa menit kemudian orang-orang yang terdiri dari
lelaki dan perempuan itu berhamburan pelan keluar kamar Egi, Rosa
menyembunyikan diri, di balik tanaman pot yang berdiri cukup menjulang di
sampingnya. Ketika Rosa sudah mendapati semua orang itu pergi, Rosa
mengumpulkan lagi keberaniannya untuk menjenguk Egi. Langkah demi langkah ia
imbangi dengan nafas yang sengaja ia atur sedemikian rupa dengan harapan semoga
Egi tak lupa siapa dirinya.
Oke, kini Rosa lolos melewati garis pintu kamar Egi, berjalan
mendekati Egi dan menaruh bingkisannya di meja.
“Halo,” sapa Rosa melempar senyum. Egi justru menatapnya
heran.
Rosa menunjuk dirinya sendiri seraya berkata, “Yang
kemarin lusa Mas seret ke warung dari kerumunan pendemo,”
Egi masih mengerutkan keningnya, tanda tak mengerti.
Kemudian ia menggeleng.
“Masa’ lupa, sih?” tanya Rosa tak percaya, harapannya
tak terwujud. “Okelah nggak apa. Aku Rosa, Psikologi angkatan baru. Aku turut
prihatin atas kecelakaan ini. Makanya aku ke sini ingin tahu gimana kondisi Mas
Egi? Bener kan, Mas Egi?” Egi mengangguk. “Dan aku bawakan sedikit buah. Kalau
begitu aku langsung pamit, ya,”
Rosa menghilang dari pandangan Egi begitu saja. Semenjak
itu hari terus berlalu tanpa memberikan kesempatan rasa ingin tahu Rosa
terhadap sosok Egi terpenuhi sepuasnya, secuilnya saja tidak. Setiap kali Rosa
hendak mendekati Egi selalu saja ada halangan sampai tak ada lagi waktu untuk
berbasa-basi bagi Rosa tahu segalanya tentang super heronya itu. Rosa semakin
sibuk dengan kuliah dan magangnya, Egi makin sibuk untuk meraih gelar sarjana
ilmu sosial dan politiknya dan tiada lagi ingatan tentang siapa itu “Rosa”.
Sepertinya Rosa hanya seperti bus antarkota yang melintas begitu saja di
depannya yang entah akan ia temukan kembali atau tidak karena saking banyaknya
bus antarkota tujuan jarak jauh.
Memori demi memori tentangnya dan Egi terus
berdesak-desakan ingin keluar dari tempatnya. Rosa tersenyum. Ia lagi-lagi tak
bisa marah pada Egi.
“Marahnya ditunda dulu, ya?” usul Rosa ramah. Egi
mendengus sebal begitu
saja dan melirik Rosa yang meringis. Lagi-lagi Egi tak bisa lebih dari ini. Ia
tak bisa marah dengan begitu murka pada pemilik
wajah teduh yang selama tiga tahun terakhir selalu ada
untuknya.
“Sudah adzan maghrib,
kita sholat di masjid deket gapura sana,
ya?” lanjut Rosa beranjak dari duduknya memungut tiga tas yang membuat jalannya
sempoyongan.
“Sini, aku bawain satu,” tawar Egi langsung menyahut tas
laptop Rosa.
“Makasih ya, Sayang...” sahut Rosa melirik Egi dan
menyunggingkan senyuman di bibirnya.
Rosa sudah pada rukun sholat yang terakhir. Kembali rangkaian memori tentangnya
dan Egi muncul di otaknya.
Memori Rosa menerobos ulang lorong waktu ke masa lalu
kala itu. Usai
menapaki labirin-labirin kehidupan yang seolah seperti tiada berujung, Rosa
yang sudah berjuang keras meraih gelar sarjana kini harus menghadapi labirin
kehidupan yang baru, dunia kerja. Hutan yang sebenarnya. Ternyata labirin ini
memertemukannya dengan super heronya.
Rosa harus menghadiri jadwal interview pekerjaan yang
dilamarnya. Ia berusaha keras bisa datang tepat waktu. Tapi hari itu Rosa
memang harus berjuang amat sangat keras. Naik bus kota penuh sesak dan bau,
oper naik angkot yang jalannya menyendat-nyendat bahkan mogok, oper angkot lain
tapi tak sampai tepat depan kantor kemudian oper lagi naik becak dan oke finally kantor yang ia tuju di depan
mata. Rosa mengecek note kecil di
tasnya. Lantai 5. Hem, Rosa bertekad kuat! Tapi sesampainya di depan lift, ia
disambut tempelan kertas bertuliskan “MAAF
LIFT SEDANG DALAM PERBAIKAN”. Rosa secepat kilat menghampiri tangga dan
terus berjuang sampai titik darah penghabisan. Tapi... belum juga itu terwujud
dan baru dua lantai berhasil ia taklukkan, tiba-tiba saja sebuah tabrakan tak
bisa terelakkan. Seketika kertas-kertas HVS berhamburan di depannya. Lelaki
yang ditabraknya ngedumel tidak jelas. Ketika Rosa sibuk meminta maaf dan
membantu memunguti kertas-kertas itu, Rosa tak salah dengar ketika si lelaki
mengeluh keringat tangannya mengenai lembaran-lembaran HVS yang sudah penuh dengan
tinta bernama dokumen itu.
”Aduh, luntur! Ah, ini tangan nggak bisa dibuat kerja
sama!”
Rosa segera merogoh tasnya mencoba mencari sapu tangan di sana. Sapu tangan hijau muda
itu ia serahkan pada lelaki itu. “Ini, Mas! Mungkin bisa membantu,”.
Dan akhirnya mata mereka bertemu pandang.
“Terim---” Lelaki itu terputus bicara. “Mas Egi!” seru
Rosa. Lelaki itu justru mengernyitkan dahi.
“Rosa yang dulu Mas
seret pas rusuh demo kenaikan BBM, lima tahun lalu!” imbuh Rosa, tampak ia tak
pernah lelah mencoba membuat Egi ingat siapa dirinya, terlebih sudah
bertahun-tahun tak bersua.
Lelaki itu tak mau ambil pusing. Ia segera memunguti
kertas-kertasnya dan memegang erat sapu tangan Rosa.
“Terima kasih, ya? Sapu
tanganmu saya bawa dulu. Oh, ya saya di bagian humas, ya? Maaf, saya
buru-buru,”. Lelaki itu langsung pergi.
Ya, lelaki itu Egi. Dia tidak membantah Rosa menyebut “Egi” tapi kenapa dia masih tak
ingat siapa Rosa. Rosa yang semula sumringah bertemu lagi tiba-tiba bermuram
durja. Apa mungkin amnesia selama itu? Kalau sudah sembuh dari amnesia, apa Egi
tidak menganggapnya apa-apa setelah waktu itu? Setidaknya ingat wajah yang
pernah dia tolong.
Rosa jadi menekuk-nekuk wajahnya dan pertemuannya dengan
Egi memberikan efek pada nasib Rosa sebagai pelamar. Dia harus berusaha
menaklukkan anak tangga dari lantai tiga ke lantai lima dan ini membuatnya
kehilangan cukup banyak menit. Ia terlambat sepuluh menit kurang semenit.
Interviewer yang juga manajer langsung divisi yang ia lamar sudah out dari ruangan dan bersiap meeting di tempat lain. Tiada lagi
kesempatan. Perusahaan itu dan terlebih manajer bersangkutan merupakan orang
yang amat patuh terhadap waktu. No
toleransi terhadap keterlambatan, apa lagi untuk pelamar baru. Ini perusahaan trading yang butuh kecepatan dan
ketepatan, meminimalisasi human error
kecuali kecelakaan dan bencana alam. Titik.
Well,
harapan Rosa pupus untuk perusahaan itu tapi
tidak untuk yang lain. Ia mengadu nasib ke
tempat lain. Ia juga harus “melambaikan tangan” untuk Egi. Biarkan sapu tangan
itu untuk Egi. Atau setidaknya itu alasan untuknya kembali bertemu Egi suatu
saat, entah kapan.
Rosa mendapat tempat mengadu nasib yang baru. Lumayan
ketimbang dirinya menganggur di rumah. Tapi karir Rosa tak berhenti sampai di
situ. Ia masih ingin bertualang. Cita-cita
besarnya adalah masuk perusahaan pertelevisian ternama di negeri ini. Sayang,
ia sering tak beruntung. Akhirnya ia harus memendam keinginan itu untuk
sementara waktu dan kembali fokus pada dunia
yang sedang dihadapinya. Ia kerjakan dengan setulus hati semua tanggungjawab
pekerjaannya. Seiring dengan itu waktu jua yang memertemukannya dengan Egi dan
juga karir yang diidam-idamkannya.
Kisah di setiap pertemuan mereka klasik sih, tapi itulah
yang terjadi. Kali ini di pusat perbelanjaan. Egi tak sadar kartu debitnya
sudah habis masa aktifnya. Ia tak bawa uang cash.
Rosa muncul dan jadi “pahlawan”nya.
“Sapu tanganmu saja belum aku kembalikan. Sekarang kamu
bayarin belanjaanku,” ujar Egi ketika mereka berjalan keluar gedung
supermarket.
“Tenang saja, Mas! Ini bukan apa-apa ketimbang
penyelamatan nyawa bertahun-tahun lalu,” tungkas Rosa. Lalu ia mengambil
secarik kertas dan bulpen. Ia mencoret-coret di sana. “Ini nomor teleponku.
Kalau mau balikin sapu tangan dan bayar hutang, telepon ke sini,” imbuh Rosa
sambil menyodorkan kertas bertuliskan nomor tak bernama itu pada Egi. Lalu Rosa
melangkah pergi.
“Kamu tinggal dimana? Bisa aku antar Rosalina Sari
Dewi?” suara Egi agak meninggi karena Rosa sudah cukup jauh darinya.
Rosa menghentikan langkahnya segera. Nama itu nama
lengkapnya. Rosa menelan ludah. Ia memutar drastis ke belakang.
“Kok... kok tahu nama lengkapku?” tanya Rosa gelagepan.
“Mantan jurnalis Warta Kampus yang ngeliput demo
kenaikan BBM beberapa tahun lalu, kan? Orang yang sering ngirim buah dan bunga
ke Bougenville 15 atas nama Egi Arizki? Mantan pelamar staff HRD perusahaan trading Cakra Buana Logistic? Pemilik
sapu tangan dengan tulisan @RosaSD? Dan tentunya pemilik e-KTP ini?” Egi bicara
tanpa jeda dan semuanya tepat sasaran sampai sebuah kartu menggantung di depan
wajahnya dan depan wajah Rosa.
“Hehehe, iya...” Rosa tampak malu-malu, tak sangka Egi
begitu tahu siapa dirinya aslinya. Lalu tangannya mencoba meraih e-KTP
miliknya.
“Eittss, tunggu!” potong Egi. “Aku antar kamu pulang, baru
kamu dapetin semua yang kamu mau. Lebih afdhol ketemu dan bicara langsung dong,
daripada di telepon?” Egi tersenyum manis memberikan penawaran yang tidak ada
pilihan kedua. Sungguh ini bukan sihir atau sulap, senyuman Egi memang
meluluhkan hati Rosa.
Finally,
semenjak saat itu keduanya meniti kehidupan bersama. Bermula dari pendekatan,
lebih dekat... lalu dekat... kemudian dekat... dan akhirnya serius menjadi
pasangan kekasih.
Egi dan Rosa saling bersinergi satu sama lain untuk bisa
memberikan motivasi demi cita-cita yang ingin mereka capai. Egi selalu ada
untuk Rosa, Rosa selalu siap menjadi penopang Egi. Jika diibaratkan jari-jemari
tangan kanan dan kiri, mereka berdua seperti jari-jemari yang saling tersemat
untuk menghasilkan energi yang lebih dahsyat dibandingkan dengan kepalan
sebelah tangan saja.
Memori-memori itu kembali masuk ke tempatnya. Anteng di
sana setelah Rosa mengucap sebuah untaian kata penuh harap pada Sang Illahi
Rabbi.
“Kami sudah sejauh ini, Tuhan. Perkokohlah benteng cinta
di antara kami setelah janji suci itu kami ucapkan di hadapanMu. Izinkan kami
saling mencintai sampai mati hanya karena Diri-Mu semata.” Rosa meraupkan kedua
telapak tangannya ke wajahnya. Kemudian ia segera beres-beres menyusul Egi yang
sudah menunggu di luar masjid.
“Sudah?” tanya Egi. Rosa mengangguk tersenyum.
“Rosa... tanganmu kenapa?” Mata Egi mendelik fokus ke
tangan Rosa. Rosa lupa tak mengembalikan singsingan lengan panjang kemejanya ke posisi semula.
Mereka berdua bicara sambil melangkah keluar dari area masjid, menuju taman
kota kembali yang hanya beberapa langkah dari pintu gerbang masjid.
“Bukan hal serius gimana?!”
“Mas, ini bukan
apa-apa, kok,” Rosa berdusta.
“Coba lihat.”
Egi meraih tangan kekasihnya. Lalu dia menatap Rosa tajam. “Kenapa sih, ini?”
“Itu... itu alergi karena... karena jam tangan sejak
SMP, sampai sekarang belum juga hilang. Tapi itu sudah mendingan ketimbang
dulu. Sudah agak memudar tompel-tompelnya itu, hehehe, ” terang Rosa
takut-takut. Ia takut Egi marah karena tak jujur soal itu dan tentunya soal
kenapa ia tak pernah mengenakan jam tangan pemberian Egi selama ini.
“Ya Rabbi... Sayang... kenapa kamu nggak pernah bilang,
sih? Dan tololnya aku juga selama ini nggak tahu kamu alergi pakai jam tangan,”
“Nggak Mas... ini bukan hal penting diributkan. Alergiku
sudah nggak apa-apa. hanya saja aku nggak mau pakai jam tangan lagi, apa pun
bahannya. Entah, kulitku ini dipakai’in karet nggak bisa, stainless juga nggak bisa. Sekali pun jam tangan bisa aku pakai di
atas deker rasanya masih risih. Serasa gatal-gatal. Satu hal juga yang perlu
kamu tahu, dari kecil aku nggak bisa pakai perhiasan emas-emasan. Ya, jadi
gatal-gatal gitu. Ya, mungkin sugestiku sendiri, sih,” Rosa bicara panjang
lebar. “Maaf ya, nggak cerita-cerita. Aku kira jam di hape sudah cukup untuk
menyesuaikan jadwal kita bertemu, kan? Hehehe, maaf, ya? Jangan marah lagi!”
lanjut Rosa mengusap-usap lengan kekasihnya dan berwajah merajuk seperti itu.
Egi tak tahan kalau Rosa sudah bermanja-manja seperti
itu.
“Kalau begitu, mas kawin kita pakai perhiasan
manik-manik aja, ya?” goda Egi. Rosa menyubit lengan Egi yang tadi dielusnya
hingga Egi mengaduh kesakitan. Kemudian
mereka berdua saling melirik dan tertawa.
“Cepetan jalannya, aku lapar! Sebentar lagi jam tujuh,
kita nggak boleh telat makan malam,” celetuk Egi sedikit menjauh beberapa
langkah di depan Rosa.
“Mas manajer... sekali saja jangan risaukan waktu!
Bersantailah sejenak...!” sahut Rosa berusaha mengimbangi langkah Egi yang
semakin cepat.
Lampu taman kota sudah berbinar terang menghiasi taman
di setiap sudutnya. Mereka berdua melenggang seperti dunia milik berdua. Tangan
Egi melingkar di sekitar bahu Rosa.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Ditunggu kritik dan saran membangun yah :)