Sabtu, 22 Juni 2013

Perkara Waktu, Jam Tangan dan Cinta

Matahari sudah di ufuk barat, sebentar lagi bersiap menjemput senja. Egi sudah mengecek menit per menit bahkan detik per detik jarum jam elegan maskulin di tangan kirinya. Dia berdecak lidah berulang kali sembari melongok ke kanan, ke kiri, ke depan juga ke belakang.
“Selalu telat,” desis Egi mulai bermuka masam.
Sekitar lima menit kemudian dari kejauhan, di ujung depan matanya seorang cewek berlari tergopoh-gopoh membawa tas yang digamit di lengan kanannya, tas laptop yang menggantung di lengan tangan sebelah kiri dan kedua telapak tangannya mendekap tas berisi kumpulan berkas-berkas yang ia usahakan tak jatuh.
“Astaga...” gumam Egi ketika cewek itu semakin dekat berjalan ke arahnya.
“Halo!” sapa cewek itu tersenyum lebar.
Egi menggelengkan kepala pelan lalu memberi kode menunjukkan jarinya ke jam tangannya.
“Sori, telat. Baru selesai meeting,” sambung cewek itu tersenyum. “Aku duduk, ya?” tanya cewek itu langsung duduk di samping Egi. Egi menggeser posisinya beberapa senti.
“Jam kamu kemana?” cetus Egi setelah mereka berdua nyaman duduk bersama.
“Ng?” Cewek itu menoleh pada Egi. “Oh, jamku ketinggalan,” sahutnya.
“Rosa....” seru Egi setelah sebelumnya dengan sengaja giginya saling bergesekan atas dan bawah. “Sudah berapa kali aku bilang, jangan pernah lupa pakai jam! Kamu tahu aku ini amat sangat benci orang terlambat, nggak tahu waktu, nggak menghargai waktu! Kamu tahu apa akibatnya ada kata terlambat? Pasien rumah sakit bisa meninggal karena dokternya telat, rumah bisa kebakaran kalau orang telat sedikit sadar lupa matiin kompor, bahkan sistem perekonomian kita jauh tertinggal karena up date info bursa efek ketinggalan dari waktu seharusnya. Dan kamu tahu kan, pepatah lama bahwa kalau kita telat bangun, ayam jago yang matuk rejeki kita duluan, tahu kamu?!” suara Egi berentetan dan nadanya naik satu level lebih tinggi.
Rosa mengambil nafas panjang, melirik Egi yang ngos-ngosan mengomelinya. Ini bukan pertama kali buatnya. Rosa sudah tak mau ambil pusing. Dia memang harus sabar dengan tipe orang seperti Egi yang no santai, bawel dan mister sempurna. Berulang kali Rosa mengelus dada, menepok jidat, menggaruk kepala, dia tak akan berusaha mengubah perangai kekasihnya. Itu khas Egi. Kalau diubah rasanya Egi tak akan jadi lelaki yang menarik lagi. Walau dulunya Rosa tak menyangka Egi seperti itu tapi itulah alasan Rosa cinta mati pada Egi semenjak dulu sampai kapan pun.
“Maaf... kan, yang penting aku sudah di sini, menuhi janjiku. Lagi pula cuma telat lima belas menit,”
Egi sontak berdiri lalu menyergah,“Lima belas menit katamu?! Lima belas menit itu waktu yang pentingnya krusial banget bagi mereka yang sedang berbisnis dengan klien. Meleset sedikit, klien ogah. Bahkan sistem  pengganda uang di internet yang sekarang marak itu, meleset sedetik, kamu hilang uang ratusan juta bahkan milyaran! Ngerti kamu?!” Nafas Egi agak tersengal-sengal.
“Kamu itu terlalu santai! Disiplinlah sedikit! Disiplin dimana pun kamu ada! Itu salah satu faktor kamu akan dihargai, dipercaya! Nggak heran setelah dua tahun kerja kamu belum dipromosikan!” Egi meloloskan kata-kata yang mujarab itu, menghunus ke jantung Rosa. Egi mendadak tubuhnya kaku. Ia melirik ke arah Rosa yang ada di belakangnya. Ia ingin memastikan reaksi wajah Rosa tapi ia masih menunggu timing yang tepat.
Kekhawatiran Egi benar, Rosa melotot ke arah Egi yang sekarang ngomel-ngomel sambil berdiri membelakanginya. Rasanya dadanya dihantam batu godam. Masalah pekerjaan adalah masalah yang sensitif bagi Rosa. Ia sempat bekerja “kutu loncat” hinggap di satu perusahaan ke perusahaan lain tak lebih dari lima bulan dan perusahaannya sekarang adalah perusahaan yang dia incar selama ini. Asisten produksi di perusahaan pertelevisian paling bergengsi dan kreatif di negeri ini adalah pekerjaan yang amat ia idamkan walau tak sejalan lurus dengan bidang ilmu yang selama ini ia tekuni. Tiga kali Rosa berusaha menembus lowongan pekerjaan di sana, baru yang ketiga kali ia lolos dan bertahan sampai dua tahun.
Setelah dadanya seolah dihantam benda keras, Rosa kembali berusaha berdamai dengan keadaan, dirinya dan Egi, tentunya. Dia bukan bodoh terus menuruti kemauan Egi. Ini juga bukan disebut menuruti kemauan Egi tapi lebih tepatnya berdamai di jalan tengah dengan Egi.
Egi. Lelaki itu sudah memberikan cukup banyak hal untuk dirinya. Ingatan delapan tahun lalu menyeruak keluar secara mendadak di pikiran Rosa. Pertama kali ia bertemu Egi. Kala itu Rosa terjebak di antara kerumunan mahasiswa yang berdemo secara destruktif di depan kantor pemerintah kota. Rosa nyaris saja dihantam kayu pentungan tapi segera Egi beraksi heroik menyeret Rosa keluar dari hiruk-pikuk yang mengancam keselamatannya. Tanpa ba bi bu apalagi sesi perkenalan, Egi meninggalkan Rosa di sebuah warung di sebuah jalan kecil yang cukup aman dari jangkauan para demonstran.
Beberapa hari kemudian Rosa tahu siapa Egi melalui koran kampus, Warta Kampus.
Pahlawan Lini Terdepan, Egi Arizki, Berdarah-darah Melawan Pemerintahan Bobrok
Egi Arizki, Presiden BEM....

Demikian judul berita sekaligus kalimat pembuka yang tertulis di halaman pertama kampusnya dan Egi. Rosa seketika merasa tubuhnya kaku. Bergegaslah ia ke rumah sakit menjenguk Egi, sang super hero yang sudah menyelamatkannya dari kebrutalan demo kenaikan BBM kala itu.
Rosa memberanikan diri menjenguk Egi dengan sebuah bingkisan buah-buahan di tangannya. Sesampainya di ujung koridor Bougenvill, koridor yang salah satunya terdapat kamar Egi dirawat inap, Rosa mendapati banyak orang di sana, tampaknya sama-sama mahasiswa seperti dirinya. Mungkin itu teman-teman Egi sesama aktivis. Rosa menghentikan langkahnya, ia jadi ragu.
Beberapa menit kemudian orang-orang yang terdiri dari lelaki dan perempuan itu berhamburan pelan keluar kamar Egi, Rosa menyembunyikan diri, di balik tanaman pot yang berdiri cukup menjulang di sampingnya. Ketika Rosa sudah mendapati semua orang itu pergi, Rosa mengumpulkan lagi keberaniannya untuk menjenguk Egi. Langkah demi langkah ia imbangi dengan nafas yang sengaja ia atur sedemikian rupa dengan harapan semoga Egi tak lupa siapa dirinya.
Oke, kini Rosa lolos melewati garis pintu kamar Egi, berjalan mendekati Egi dan menaruh bingkisannya di meja.
“Halo,” sapa Rosa melempar senyum. Egi justru menatapnya heran.
Rosa menunjuk dirinya sendiri seraya berkata, “Yang kemarin lusa Mas seret ke warung dari kerumunan pendemo,”
Egi masih mengerutkan keningnya, tanda tak mengerti. Kemudian ia menggeleng.
“Masa’ lupa, sih?” tanya Rosa tak percaya, harapannya tak terwujud. “Okelah nggak apa. Aku Rosa, Psikologi angkatan baru. Aku turut prihatin atas kecelakaan ini. Makanya aku ke sini ingin tahu gimana kondisi Mas Egi? Bener kan, Mas Egi?” Egi mengangguk. “Dan aku bawakan sedikit buah. Kalau begitu aku langsung pamit, ya,”
Rosa menghilang dari pandangan Egi begitu saja. Semenjak itu hari terus berlalu tanpa memberikan kesempatan rasa ingin tahu Rosa terhadap sosok Egi terpenuhi sepuasnya, secuilnya saja tidak. Setiap kali Rosa hendak mendekati Egi selalu saja ada halangan sampai tak ada lagi waktu untuk berbasa-basi bagi Rosa tahu segalanya tentang super heronya itu. Rosa semakin sibuk dengan kuliah dan magangnya, Egi makin sibuk untuk meraih gelar sarjana ilmu sosial dan politiknya dan tiada lagi ingatan tentang siapa itu “Rosa”. Sepertinya Rosa hanya seperti bus antarkota yang melintas begitu saja di depannya yang entah akan ia temukan kembali atau tidak karena saking banyaknya bus antarkota tujuan jarak jauh.
Memori demi memori tentangnya dan Egi terus berdesak-desakan ingin keluar dari tempatnya. Rosa tersenyum. Ia lagi-lagi tak bisa marah pada Egi.
“Marahnya ditunda dulu, ya?” usul Rosa ramah. Egi mendengus sebal begitu saja dan melirik Rosa yang meringis. Lagi-lagi Egi tak bisa lebih dari ini. Ia tak bisa marah dengan begitu murka pada pemilik wajah teduh yang selama tiga tahun terakhir selalu ada untuknya.
“Sudah adzan maghrib, kita sholat di masjid deket gapura sana, ya?” lanjut Rosa beranjak dari duduknya memungut tiga tas yang membuat jalannya sempoyongan.
“Sini, aku bawain satu,” tawar Egi langsung menyahut tas laptop Rosa.
“Makasih ya, Sayang...” sahut Rosa melirik Egi dan menyunggingkan senyuman di bibirnya.
Rosa sudah pada rukun sholat yang terakhir. Kembali rangkaian memori tentangnya dan Egi muncul di otaknya.
Memori Rosa menerobos ulang lorong waktu ke masa lalu kala itu. Usai menapaki labirin-labirin kehidupan yang seolah seperti tiada berujung, Rosa yang sudah berjuang keras meraih gelar sarjana kini harus menghadapi labirin kehidupan yang baru, dunia kerja. Hutan yang sebenarnya. Ternyata labirin ini memertemukannya dengan super heronya.
Rosa harus menghadiri jadwal interview pekerjaan yang dilamarnya. Ia berusaha keras bisa datang tepat waktu. Tapi hari itu Rosa memang harus berjuang amat sangat keras. Naik bus kota penuh sesak dan bau, oper naik angkot yang jalannya menyendat-nyendat bahkan mogok, oper angkot lain tapi tak sampai tepat depan kantor kemudian oper lagi naik becak dan oke finally kantor yang ia tuju di depan mata. Rosa mengecek note kecil di tasnya. Lantai 5. Hem, Rosa bertekad kuat! Tapi sesampainya di depan lift, ia disambut tempelan kertas bertuliskan “MAAF LIFT SEDANG DALAM PERBAIKAN”. Rosa secepat kilat menghampiri tangga dan terus berjuang sampai titik darah penghabisan. Tapi... belum juga itu terwujud dan baru dua lantai berhasil ia taklukkan, tiba-tiba saja sebuah tabrakan tak bisa terelakkan. Seketika kertas-kertas HVS berhamburan di depannya. Lelaki yang ditabraknya ngedumel tidak jelas. Ketika Rosa sibuk meminta maaf dan membantu memunguti kertas-kertas itu, Rosa tak salah dengar ketika si lelaki mengeluh keringat tangannya mengenai lembaran-lembaran HVS yang sudah penuh dengan tinta bernama dokumen itu.
”Aduh, luntur! Ah, ini tangan nggak bisa dibuat kerja sama!”
Rosa segera merogoh tasnya mencoba mencari sapu tangan di sana. Sapu tangan hijau muda itu ia serahkan pada lelaki itu. “Ini, Mas! Mungkin bisa membantu,”.
Dan akhirnya mata mereka bertemu pandang.
“Terim---” Lelaki itu terputus bicara. “Mas Egi!” seru Rosa. Lelaki itu justru mengernyitkan dahi.
“Rosa yang dulu Mas seret pas rusuh demo kenaikan BBM, lima tahun lalu!” imbuh Rosa, tampak ia tak pernah lelah mencoba membuat Egi ingat siapa dirinya, terlebih sudah bertahun-tahun tak bersua.
Lelaki itu tak mau ambil pusing. Ia segera memunguti kertas-kertasnya dan memegang erat sapu tangan Rosa.
Terima kasih, ya? Sapu tanganmu saya bawa dulu. Oh, ya saya di bagian humas, ya? Maaf, saya buru-buru,”. Lelaki itu langsung pergi.
Ya, lelaki itu Egi. Dia tidak membantah Rosa menyebut Egi tapi kenapa dia masih tak ingat siapa Rosa. Rosa yang semula sumringah bertemu lagi tiba-tiba bermuram durja. Apa mungkin amnesia selama itu? Kalau sudah sembuh dari amnesia, apa Egi tidak menganggapnya apa-apa setelah waktu itu? Setidaknya ingat wajah yang pernah dia tolong.
Rosa jadi menekuk-nekuk wajahnya dan pertemuannya dengan Egi memberikan efek pada nasib Rosa sebagai pelamar. Dia harus berusaha menaklukkan anak tangga dari lantai tiga ke lantai lima dan ini membuatnya kehilangan cukup banyak menit. Ia terlambat sepuluh menit kurang semenit. Interviewer yang juga manajer langsung divisi yang ia lamar sudah out dari ruangan dan bersiap meeting di tempat lain. Tiada lagi kesempatan. Perusahaan itu dan terlebih manajer bersangkutan merupakan orang yang amat patuh terhadap waktu. No toleransi terhadap keterlambatan, apa lagi untuk pelamar baru. Ini perusahaan trading yang butuh kecepatan dan ketepatan, meminimalisasi human error kecuali kecelakaan dan bencana alam. Titik.
Well, harapan Rosa pupus untuk perusahaan itu tapi tidak untuk yang lain. Ia mengadu nasib ke tempat lain. Ia juga harus “melambaikan tangan” untuk Egi. Biarkan sapu tangan itu untuk Egi. Atau setidaknya itu alasan untuknya kembali bertemu Egi suatu saat, entah kapan.
Rosa mendapat tempat mengadu nasib yang baru. Lumayan ketimbang dirinya menganggur di rumah. Tapi karir Rosa tak berhenti sampai di situ. Ia masih ingin bertualang. Cita-cita besarnya adalah masuk perusahaan pertelevisian ternama di negeri ini. Sayang, ia sering tak beruntung. Akhirnya ia harus memendam keinginan itu untuk sementara waktu dan kembali fokus pada dunia yang sedang dihadapinya. Ia kerjakan dengan setulus hati semua tanggungjawab pekerjaannya. Seiring dengan itu waktu jua yang memertemukannya dengan Egi dan juga karir yang diidam-idamkannya.
Kisah di setiap pertemuan mereka klasik sih, tapi itulah yang terjadi. Kali ini di pusat perbelanjaan. Egi tak sadar kartu debitnya sudah habis masa aktifnya. Ia tak bawa uang cash. Rosa muncul dan jadi “pahlawan”nya.
“Sapu tanganmu saja belum aku kembalikan. Sekarang kamu bayarin belanjaanku,” ujar Egi ketika mereka berjalan keluar gedung supermarket.
“Tenang saja, Mas! Ini bukan apa-apa ketimbang penyelamatan nyawa bertahun-tahun lalu,” tungkas Rosa. Lalu ia mengambil secarik kertas dan bulpen. Ia mencoret-coret di sana. “Ini nomor teleponku. Kalau mau balikin sapu tangan dan bayar hutang, telepon ke sini,” imbuh Rosa sambil menyodorkan kertas bertuliskan nomor tak bernama itu pada Egi. Lalu Rosa melangkah pergi.
“Kamu tinggal dimana? Bisa aku antar Rosalina Sari Dewi?” suara Egi agak meninggi karena Rosa sudah cukup jauh darinya.
Rosa menghentikan langkahnya segera. Nama itu nama lengkapnya. Rosa menelan ludah. Ia memutar drastis ke belakang.
“Kok... kok tahu nama lengkapku?” tanya Rosa gelagepan.
“Mantan jurnalis Warta Kampus yang ngeliput demo kenaikan BBM beberapa tahun lalu, kan? Orang yang sering ngirim buah dan bunga ke Bougenville 15 atas nama Egi Arizki? Mantan pelamar staff HRD perusahaan trading Cakra Buana Logistic? Pemilik sapu tangan dengan tulisan @RosaSD? Dan tentunya pemilik e-KTP ini?” Egi bicara tanpa jeda dan semuanya tepat sasaran sampai sebuah kartu menggantung di depan wajahnya dan depan wajah Rosa.
“Hehehe, iya...” Rosa tampak malu-malu, tak sangka Egi begitu tahu siapa dirinya aslinya. Lalu tangannya mencoba meraih e-KTP miliknya.
“Eittss, tunggu!” potong Egi. “Aku antar kamu pulang, baru kamu dapetin semua yang kamu mau. Lebih afdhol ketemu dan bicara langsung dong, daripada di telepon?” Egi tersenyum manis memberikan penawaran yang tidak ada pilihan kedua. Sungguh ini bukan sihir atau sulap, senyuman Egi memang meluluhkan hati Rosa.
Finally, semenjak saat itu keduanya meniti kehidupan bersama. Bermula dari pendekatan, lebih dekat... lalu dekat... kemudian dekat... dan akhirnya serius menjadi pasangan kekasih.
Egi dan Rosa saling bersinergi satu sama lain untuk bisa memberikan motivasi demi cita-cita yang ingin mereka capai. Egi selalu ada untuk Rosa, Rosa selalu siap menjadi penopang Egi. Jika diibaratkan jari-jemari tangan kanan dan kiri, mereka berdua seperti jari-jemari yang saling tersemat untuk menghasilkan energi yang lebih dahsyat dibandingkan dengan kepalan sebelah tangan saja.
Memori-memori itu kembali masuk ke tempatnya. Anteng di sana setelah Rosa mengucap sebuah untaian kata penuh harap pada Sang Illahi Rabbi.
“Kami sudah sejauh ini, Tuhan. Perkokohlah benteng cinta di antara kami setelah janji suci itu kami ucapkan di hadapanMu. Izinkan kami saling mencintai sampai mati hanya karena Diri-Mu semata.” Rosa meraupkan kedua telapak tangannya ke wajahnya. Kemudian ia segera beres-beres menyusul Egi yang sudah menunggu di luar masjid.
“Sudah?” tanya Egi. Rosa mengangguk tersenyum.
“Rosa... tanganmu kenapa?” Mata Egi mendelik fokus ke tangan Rosa. Rosa lupa tak mengembalikan singsingan lengan panjang kemejanya ke posisi semula. Mereka berdua bicara sambil melangkah keluar dari area masjid, menuju taman kota kembali yang hanya beberapa langkah dari pintu gerbang masjid.
“Bukan hal serius gimana?!”
“Mas, ini bukan apa-apa, kok,” Rosa berdusta.
“Coba lihat.” Egi meraih tangan kekasihnya. Lalu dia menatap Rosa tajam. “Kenapa sih, ini?”
“Itu... itu alergi karena... karena jam tangan sejak SMP, sampai sekarang belum juga hilang. Tapi itu sudah mendingan ketimbang dulu. Sudah agak memudar tompel-tompelnya itu, hehehe, ” terang Rosa takut-takut. Ia takut Egi marah karena tak jujur soal itu dan tentunya soal kenapa ia tak pernah mengenakan jam tangan pemberian Egi selama ini.
“Ya Rabbi... Sayang... kenapa kamu nggak pernah bilang, sih? Dan tololnya aku juga selama ini nggak tahu kamu alergi pakai jam tangan,”
“Nggak Mas... ini bukan hal penting diributkan. Alergiku sudah nggak apa-apa. hanya saja aku nggak mau pakai jam tangan lagi, apa pun bahannya. Entah, kulitku ini dipakai’in karet nggak bisa, stainless juga nggak bisa. Sekali pun jam tangan bisa aku pakai di atas deker rasanya masih risih. Serasa gatal-gatal. Satu hal juga yang perlu kamu tahu, dari kecil aku nggak bisa pakai perhiasan emas-emasan. Ya, jadi gatal-gatal gitu. Ya, mungkin sugestiku sendiri, sih,” Rosa bicara panjang lebar. “Maaf ya, nggak cerita-cerita. Aku kira jam di hape sudah cukup untuk menyesuaikan jadwal kita bertemu, kan? Hehehe, maaf, ya? Jangan marah lagi!” lanjut Rosa mengusap-usap lengan kekasihnya dan berwajah merajuk seperti itu.
Egi tak tahan kalau Rosa sudah bermanja-manja seperti itu.
“Kalau begitu, mas kawin kita pakai perhiasan manik-manik aja, ya?” goda Egi. Rosa menyubit lengan Egi yang tadi dielusnya hingga Egi mengaduh kesakitan.  Kemudian mereka berdua saling melirik dan tertawa.
“Cepetan jalannya, aku lapar! Sebentar lagi jam tujuh, kita nggak boleh telat makan malam,” celetuk Egi sedikit menjauh beberapa langkah di depan Rosa.
“Mas manajer... sekali saja jangan risaukan waktu! Bersantailah sejenak...!” sahut Rosa berusaha mengimbangi langkah Egi yang semakin cepat.
Lampu taman kota sudah berbinar terang menghiasi taman di setiap sudutnya. Mereka berdua melenggang seperti dunia milik berdua. Tangan Egi melingkar di sekitar bahu Rosa.

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ditunggu kritik dan saran membangun yah :)