Rabu, 27 Maret 2013

Wisuda dan Kelulusan


Oke, cek, cek, cek.. ehem!
Well,  judul “wisuda dan kelulusan”.  Catatan sub realitas dari admin Dunia Alfabetika saudara-saudara J

PART 1: Euforia


Kemarin Selasa, 26 Maret 2013 saya menjalani “ritual” tahunan oh, enggak, empat bulanan dalam setahun, upacara wisuda di tempat saya kuliah. Rasanya senang luarrrrr biasa! Akhirnya saya menjalani step tersebut setelah 4,5 tahun menuntut ilmu psikologi. Bangga? Jelas. senang? Pasti. Nama saya sekarang mendapat tambahan di belakangnya “Sarjana Psikologi” disingkat S.Psi. Wow! (tak peduli orang tak bilang wow. Buat saya ini prestasi tersendiri). 

Sarjana Psikologi
Panitia wisuda menghimbau dan menekankan para wisudawan datang pukul 7 pagi tepat. Saya? yah, telat sedikit lah. Hehehe. Ribet dandan. Kemudian saya sampai di parkiran kampus C kemudian oper kereta kelinci bersama kedua orangtua. Hihiih... ternyata untuk ke sekian kali saya naik kereta kelinci yang sebelumnya saya tumpangi bersama keponakan saya. Menuju Airlangga Convention Centre (dulunya Auditorium Universitas Airlangga). Terus, sampai di sana tanda tangan presensi lalu masuk ke dalam gedung dan langsung cengengas-cengenges berusaha pede dengan make up super tebal (selalu merasa seperti ondel-ondel berjalan ketika bermake-up) mencari-cari teman-teman psikologi dan seorang sahabat. Menyapa mereka dengan menunjukkan deretan gigi dan bersuara tawa. Lalu ngobrol ngalor-ngidul singkat kata akhirnya upacara berlangsung. Setiap wisudawan dipanggil satu per satu. dan hebohnya saya sendiri, saya nggak nyangka bakal wisuda bareng sama teman sekelas SMA namanya Dedi (entah gimana penulisannya) biasa dipanggil Abah, spontan langsung “Bah, ayo foto Bareng”. Lalu, lebih heboh pengen jingkrak-jingkrak adalah mata saya sudah ditentukan Tuhan untuk tahu seorang wisudawan dari fakultas seberang yang pernah membuat hormon-hormon euforia saya memuncah! Saya suka dia setahun lalu. Hohoho. Untuk memastikan memang dia, saya perhatikan seksama layar super besar yang menampilkan wajah setiap wisudawan yang dipanggil menerima piagam wisuda. Ah, nostalgia kembali sejenak.

Upacara wisuda selesai. Maunya foto bareng dekan tapi semua wisudawan sudha berhamburan. Ya, sudah. Lalu, saya dan keluarga melesat ke Hotel Cendana, Surabaya. Bukan. Bukan mau booking kamar berlibur, makan mahal. Hanya pick up adik lelaki saya, Adi. Dia mewakili kabupaten Kediri (bersama ketua OSISnya) untuk jadi peserta pelestarian cagar budaya Jawa Timur yang diadakan di hotel itu. So proud of him. Dari sekian banyak sekolah SMA di kabupaten Kediri (nggak banyak-banyak juga sih) cuman sekolahnya dia, dan Adi dan temannya, Dista, yang berangkat. Ah, adik saya itu... beruntung sekali dia bisa lebih aktif berkegiatan tanpa mengabaikan pelajaran. Nggak seperti saya dulu yang notabene study oriented tapi otak kosong mlompong aslinya. Ini nih, Adi yang bikin bangga...
Sang (calon) Sarjana

Usai jemput Adi, balik lagi deh, ke kampus C Unair. Foto-foto. Walau sadar betul badan bau kecut, muka kucel, kelaparan, dan oh... pakde yang berbaik hati menyupiri keluarga saya jauh-jauh dari Pare, ke Surabaya, sudah terlihat sangat payah. Keluarga saya berhutang budi banyak ke keluarga pakde saya itu. Semoga limpahan rejeki dan berkah terlimpah untuk keluarga pakde. Tapi, saya dan adik-adik saya plus temannya, muka badak meluluskan dan memuaskan nafsu narsis!! Foto begini. Foto begitu. Foto di sana. Foto di sini. Gaya ini. Gaya itu. Ah... kami memuaskan kebahagiaan kami kemarin. Saya dengan wisuda saya. Adik-adik saya dan temannya dapat pesangon setelah ikut acara tadi. Hehehe.
Sudjono sekeluarga
yang muda yang berekspresi euforia
Ibu dan ayah saya nggak ketinggalan dong. Romantisme berdua tapi ah, kenapa tidak senyum? O_o
Romantisme Tuan dan Nyonya Sudjono

Beliau berdua juga foto sama “anak perempuan” yang lain.
Wif Dista
Inilah yang saya bangga dan amat bersyukur pada Sang Khaliq. Orangtua saya menganggap semua orang, terutama yang memang sudah kenal adalah keluarganya. Semua sepantaran kami anaknya dianggap anak sendiri semua. Keramahan dan tangan terbuka tak bisa ditutupi oleh mereka pada siapapun, kapanpun, dimanapun. Kami bukan keluarga kaya dan tak memberikan banyak  materi, tapi kami punya kasih, kami punya keramahan, kami punya energi, kamu punya doa untuk sesama. Itulah hidup kami. Tapi, kalau saya boleh berdoa sih, ya bisa jadi keluarga kaya hati tapi dermawan seperti pak Dahlan Iskan di buku “Sepatu Dahlan”. Hehehe, dan waktunya sekarang saya mengusahakan.

Part 2: Esensi Kelulusan
Saya lulus telat setengah tahun. Kenapa? Semua bersumber dari saya pribadi yang malas dan menjadikan alasan apapun sebagai rasionalisasi telat lulus kuliah. Tapi saya beryukur karena akhirnya saya sampai ke titik ini. Awal tahun 2012 saya berdoa bisa wisuda Juli 2012, mundur target. Oke, Oktober, deh. Gagal lagi. Ya, doa saya pas ulang tahun gagal karena sikap saya sendiri. Berdo’a semata tanpa ada upaya, N-O-L-B-E-S-A-R saudara-saudara! Itu benar! Tepat! Tapi, ya nggak apalah nggak bisa wisuda 2012 tapi lulus sidang pada November-Desember 2012. Oke, I’m good. Akhirnya, Maret 2013 bisa wisuda. Sujud syukur.
Angkat badan kembali tegap. Kegalauan merasuk.
“Selamat, ya? Habis ini mau kemana? S2? Kerja? Atau dilamar?”
“Lanjut S2 kemana?”
“Mau kerja dimana?”
“Sudah daftar dimana aja?”
“Mau kerja apa?”
“Ikut CPNS aja,”
“Ayo, banyak lowongan di psikologi,”
“Sudah ada yang nglamar?”
“Wah, psikologi, bisa baca orang, dong?”

Dan bla bla bla... bertubi-tubi orang bicara. Menimbulkan kesenangan, kegundahan, harapan, dan sedikit sedih. Ucapan selamat membua senang. Tanya mau lanjut sekolah atau bekerja membuat gundah. Lamaran membuat ada harapan yang entah nampak tak berujung dan ekspektasi naik satu level soal lulusan sarjana psikologi. Ah, kegalauan berubah menjadi pening. Tapi, eittss.. saya akan berusaha berpikir sehat. Saya nggak mau asal kerja hingga membuat ilmu psikologi saya terbuang percuma. Saya juga tidak mau mengejar pekerjaan bergaji tinggi tapi jiwa tak pernah bebas. Saya ingin bekerja yang menjadi passion saya. Tak peduli kalau itu memang ikut orang. Maunya sih, memang berwirausaha. Tapi, saya ingin cari modal dulu. Lagipula, saya cenderung tipe orang yang suka dipimpin tapi tak suka pimpinan otoriter yang mencak-mencak seenaknya tanpa peduli kesejahteraan pegawainya. Lalu, pekerjaan apa itu? Semoga pekerjaan itu berjodoh dengan saya karena saya sudah menaruh “dia” di satu ruangan khusus di hati saya, meyakininya di otak saya, mendoakan “dia” di setiap sujud saya. Saya ingin mengerjakan sesuatu dengan hati, dengan ikhlas, dengan semangat, dengan tanpa bosan, yang membuat saya lebih baik bermanfaat bagi sesama sehingga rejeki mengikuti saya. Uang ikut saya. Bukan saya ikut uang. Itulah intisari yang saya ambil dari pesan seorang dosen yang sudah saya anggap seperti ibu sendiri, menguji sidang skripsi saya, Bu Hamidah Suryadi. Semoga saya bisa mengamalkannya.

Kelulusan. Tak mudah untuk pribadi kurang pengalaman seperti saya dan tak berketrampilan apapun. Makanya saya ingin menulis cerita fiksi dan rutin nge-blog ini sebagai ketrampilan yang unik sebagai saya sendiri. Rasanya belum siap melepas status pelajar atau mahasiswa. Orang yang sudah lepas status itu berganti status lain, terjun ke masyarakat dan tugas perkembangan lainnya sebagai dewasa awal untuk bekerja. Saya ingin segera bekerja untuk meringankan beban keluarga dan membuktikan bahwa saya pribadi dewasa awal yang mampu memenuhi tugas perkembangan saya. Saya ingin merasakan rasanya menikmati gaji pribadi, membeli ini dan itu, investasi ini dan itu, tabungan ini dan itu dan semuanya. Gaji yang barokah. Ya, semoga saja saya segera menemukan “jodoh”  itu. Amin.

Esensi kelulusan. Kita lulus melewati sebuah proses, proses belajar. Apapun itu. Bisa pendidikan formal, pendidikan non formal bahkan pelajaran hidup dalam arti sebenarnya. Jelas bangga ketika sudah lulus melalui proses belajar dan ujian. Tapi kehidupan ini tak pernah membebaskan manusia untuk stop menjalani proses belajar. Satu proses terlampaui, proses lain menyusul, menyusul, menyusul. Semua untuk menempa manusia untuk lebih baik. Kelulusan kemarin yang saya jalani, salah satu bentuk dari sekian banyak proses belajar yang saya jalani. Belum banyak tapi satu sisi saya beryukur, di sisi lain ada beban tersendiri. Tadi, beban merasa belum siap mengampu tanggungjawab hasil ekspektasi orang lain. Tapi bagaimanapun, hidup memang tak lepas dari ekspektasi diri pribadi, dari orang lain maupun terhadap orang lain. Teruslah berharap sebagai tanda kita hidup karena kemungkinan-kemungkinan harapan jadi kenyataan bisa terjadi kapanpun. Mungkin begitu kali, ya. Dan harapan untuk lulus dari setiap proses belajar yang dijalani semoga lekas terwujud dengan upaya yang dimaksimalkan dan biarkan Tuhan bekerja sesuai kehendakNya setelah kita berusaha dan berdoa. Dan setelah lulus, bisa menjadikan diri pribadi yang lebih matang dan bijak, bukan berjemawa congkak membusungkan dada, tidak! Manusia sombong akhirnya terbujur lurus di alam kubur. Sekian...
 But anyway, happy graduation everyone :)





Minggu, 24 Maret 2013

Ponsel Polyphonic



Ponsel Polyphonic

Sekar memandangi ponselnya dengan jengah. Maret tahun 2013, perusahaan produsen ponsel pintar yang kantornya berbasis asal di Amrik sudah mengenalkan ponsel super limited edition. Super ponsel notabene melebihi kecanggihan ponsel pintar. Kemudian perusahaan produsen ponsel terkemuka dan bergengsi besutan mendiang Steve Job dan peseterunya, perusahaan ponsel adidaya dari Korea Selatan juga memroduksi ponsel pintar-ponsel pintar lainnya. Zaman sudah semakin canggih tapi itulah masalah besar bagi Sekar. Gap antara fakta dan seharusnya. Seharusnya, di zaman modern seperti ini ponselnya juga sudah canggih. Tak usahlah yang berharga kepala angka lima dan punya ekor enam digit angka nol. Tapi setidaknya sudah berlabel pon-sel-pin-tar, apapun mereknya, itu harusnya yang terjadi. Tapi faktanya? Ponsel polyphonic yang setia menemaninya sehari-hari. Kepala Sekar sudah punya sungut sepanjang sepuluh senti dalam beberapa minggu terakhir. Mana ponselnya ponsel pinjaman. Uh, mengenaskan bukan main!
Sebulan lalu ponselnya raib dicopet orang di sebuah pusat perbelanjaan grosir. Ponselnya memang bukan level ponsel canggih tinggi tapi setidaknya ponsel itu bisa “menghipnotis” Sekar untuk terus menatap tekun ponsel itu. Internet addicted!  Sekarang hidupnya hampa tanpa internet.
Ponsel jadul itu cuman bisa buat telepon dan sms. Tak lebih. Haduh, balik zaman masih SD. Dulu, hal itu menyenangkan. Tat kala sang ayah baru mendapatkan rezeki dari hasil proyek mandor pembangunan gedung sekolah di desa tetangga kemudian sang ayah membeli ponsel berantena merek terkenal asal Finlandia, Sekar senang bukan main. Tapi zaman sudah berubah. Begitu juga persepsi kepuasaan manusia terhadap kebutuhannya. Apa yang sekiranya booming di zaman ini mereka merasa “wajib” ikut merasakan, melakukan, atau memiliki. Sialnya, Sekar masuk dalam kategori orang semacam ini tapi ia masih dalam “dosis” minimal. Tapi apa daya, ia tak punya uang. Ia juga tak mungkin minta kepada orangtuanya. Orangtuanya sudah pusing dan mulas, kaki di kepala, kepala di kaki memikirkan perekonomian keluarga mereka yang hanya bisa gali lubang dan tutup lubang, selalu begitu. Ia sendiri juga masih menjadi pengangguran semenjak dinyatakan sebagai wisudawan terbaik tiga bulan lalu. Ah, Sekar merasa hidup ini agak menyialkan baginya.
“Kamu itu cuman bisa buat telepon sama sms, Sel! Dua hal itu penting tapi aku jarang menggunakannya. Aku butuh koneksi internet. Internet lebih canggih dari sekedar telepon dan sms. Denganmu aku bisa berbuat apa coba, Sel? Ayah sama ibu juga jarang telpon, temen-temen deket sudah jarang SMS sibuk sama kerjaannya sendiri-sendiri. Dan kamu boleh ketawa puas Sel, aku jomblowati sejati sehingga tak akan ada lelaki yang menggunakanmu sebagai sarana meneleponku untuk sekedar basa-basi, huh! Membosankan sekali kau, Sel!” celoteh Sekar sendiri mencoba mengajak ponsel pinjamannya itu bicara. Sel –singkatan ponSel-.
Jam dinding kamar Sekar menunjukkan pukul sebelas malam. Belum waktunya tidur. Sekar masih melek gedebak-gedebuk di atas kasurnya, sesekali menatap layar ponselnya. Dia gemas, ia meremas barang balok itu. Tapi yang ada bekas merah di telapak tangannya. Kalau saja ponsel itu bukan milik temannya yang sudah berbaik hati padanya pasti sudah dibantingnya ponsel itu. Sekar masih tak bisa ikhlas ia bergantung pada ponsel serba terbatas itu. Telepon dan SMS bukan hal krusial baginya. Karena tak akan ada pihak yang menelponnya, mengirim pesan padanya. Paling hanya untuk memberikan informasi sekedarnya saja. Atau yang sedikit buatnya senang ketika ada teman karibnya yang bertanya kabar lalu terjadi obrolan tapi tak berlangsung lama mereka memutus sambungan telepon atau berhenti SMS, itu menyebalkan bagi Sekar. Atau paling parah SMS dari provider berbau iklan atau semacamnya atau kalau tidak orang pemburu nafsu untuk cepat kaya melalui penipuan dengan modus SMS dapat hadiah berjuta-juta. Ah, semua itu membosankan! Internet adalah maha diraja pengusir kebosanan atas perihal-perihal tadi. Di sana ia mendapatkan kepuasaan yang tak dapat ia raih hanya melalui telepon dan SMS.
“Kalau saja kamu bisa jadi tangan Tuhan ngasih aku rezeki berlimpah, aku bakal pakai kamu seumur hidup. Semoga saja kamu tak jadi tua seiring zaman karena anak-cucumu, cicit-canggahmu sudah banyak berkeliaran di muka bumi ini. Sementara yang satu generasi denganmu sudah banyak beribu-ribu juta ton jadi bahan rongsokan. Mungkin bagianmu juga jadi bagian tubuh anak sampai canggahmu. Kamu bereinkarnasi. Kali aja. Jadilah ponsel keberuntunganku, Sel. Biar kita bisa berdamai. Oke?”
Sekar kembali bicara dengan benda tak bernyawa itu. Kamar Sekar yang mulanya membuatnya super gerah seketika dimasuki semilir angin tapi agak menggelikan. Langit memunculkan kilatan cahaya yang menembus kaca jendela Sekar. Sekar kaget juga karena sedari tadi tanda-tanda hujan tak muncul. Sedetik kemudian “DUAARRRR!!” halilintar beraksi. Mungkinkah alam mengamini celotehan Sekar barusan? Sekar menutup telinganya kemudian segera meringkukkan diri di atas kasurnya dan menarik selimut tebalnya yang sudah memudar warnanya. Ia seolah terhipnotis untuk segera menutup mata. Tidur.
@@@
Hari-hari yang cerah membahagiakan. Hidup Sekar telah berputar. Berganti posisi jadi serba ada. Oh, belum. Tapi tak dapat dipungkiri memang membuatnya bahagia. Suatu hari siang hari ketika ia hendak tidur siang sebagai ritual rutinnya sebagai pengangguran, ada telepon masuk mengaku berasal dari pihak rekruitmen televisi swasta terkemuka di negeri ini. Sekar harus ke Jakarta memenuhi panggila interview dan beberapa tes kerja lainnya. Mulanya berat. Sekar berat di ongkos. Hidupnya berada pada posisi tak pasti. Kalau ia ambil kesempatan itu, itu artinya ia harus punya uang transportasi, uang kost, uang makan selama menjalani tes di ibu kota. Darimana uangnya? Ibunya baru mengalokasikan uang sejuta untuk uang buku dan sumbangan gedung sekolah kedua adiknya lalu untuk membayar pajak tanah tempat ia tinggal di rumah yang berarsitektur Jawa kuno tapi tak berbatubata. Kalau ia tak maju, ia sudah memimpikan kerja sebagai tim kreatif televisi yang punya misi paling “sehat” dibandingkan televisi-televisi lainnya. Edukasi, hiburan dan informasi. Bukan melulu sinetron yang bertema harta, tahta dan wanita yang terkadang tak masuk akal sampai ada kuda terbang, menghilang tiba-tiba... ah... ini zaman empiris dan ilmiah.
Bimbang. Sekar belum bisa mengambil keputusan. Haruskan ia merelakan mimpinya tak terwujud? Tapi haruskan ia “merampok” kedua orangtuanya lagi? Lagi? Sekar jungkir balik dalam arti sebenarnya di atas kasurnya.
Beberapa hari mendatang ayahnya mengajak bicara Sekar serius. Di ruang tamu pukul delapan malam. Ayahnya menyodorkan beberapa lembar uang seratus ribu. Kira-kira jumlahnya setengah juta. Ayahnya cuman bisa memberikan itu.
“Ayah dapat dari mana?” tanya Sekar.
“Ya ada lah. Tenang saja! Nanti kalau kamu berhasil, kamu bisa ganti,”
“Ayah hutang lagi ke pak Laksono?” tanya Sekar lagi.
Ayahnya terdiam.
“Yah, kita sudah banyak hutang ke beliau. Memangnya Sekar tak tahu? Apa ayah tak takut kalau ternyata pak Laksono minta imbalan macam-macam? Misal... tapi naudzubillah mindaliq ya, ka-win-sa-ma-Sekar gitu?” Sekar berkata agak takut.
“Hush! Bilang apa kamu itu?” ayahnya menyergah.
“Ya, hati orang siapa tahu, Yah? Ayah kan, baru kenal beliau beberapa bulan lalu, tapi baiknya minta ampun. Sudahlah Yah, Sekar cari kerja di dekat sini aja. Biarin aja panggilan itu,” Sekar menyerah tapi agak berat.
“Tapi itu kan, mimpimu selama ini, Nak. Kamu nggak perlu khawatir. Ini bawa saja dulu. Lalu di sana ada keponakan pak Laksono namanya mbak Wati. Dia akan menampungmu selama di Jakarta. Ini alamatnya,” ayahnya menyodorkan secarik kertas. “katanya rumahnya tak jauh dari kantor tivi itu,” lanjut ayahnya.
Sekar berpikir ulang malam itu. Berpikiiiirrr terus, terus dan terus. Akhirnya Sekar berangkat ke Jakarta. Awam. Baru pertama kali. Tapi ternyata keberuntungan mulai sering berpihak padanya. Ia menuju alamat mbak Wati diantar sopir taksi dengan gratis karena menurut sopir itu, memiliki asal daerah yang sama dengan Sekar, desa yang sama bahkan, membuatnya merasa perlu menolong sesama perantau. Keberuntungan pertama. Kedua, mbak Wati adalah orang super baik. Ia tinggal sendiri di rumahnya yang apik, bersih, antik walau tak terkesan wah. Ia juga berkantong tebal, pekerjaannya prestisius, Manajer HRD sebuah bank swasta nasional. Hidup sendiri berstatus janda cerai tanpa anak membuat materi menutupi kebutuhan utama yang ia perlukan, relasi. Ia ingin tapi katanya belum ada yang cocok lagi. Ia menganggap Sekar seperti saudara dekat. Makan seenaknya, mandi seenaknya, tidur di tempat ber-AC. Ah, nikmatnya jadi orang kaya dalam beberapa hari ke depan. Oke, selanjutnya, singkat cerita Sekar benar-benar dinaungi dewi keberuntungan. Interview, psikotes, tes kesehatan dan segala macam tes untuk benar-benar diputuskan menjadi bagian tim kreatif televisi swasta itu bisa dilalui Sekar bebas hambatan. Wow! Sekar sujud syukur di tempat setelah mendapat pengumuman ia jadi salah seorang di antara lima orang yang berhasil lolos dari sekian belas ribu pelamar. Ia segera menelepon ibunya di desa memberikan kabar gembira itu. 
Sekar sudah siap kembali ke desa. Ia akan mengurus semua kebutuhannya di desa untuk diangkut ke kota, tempat tinggalnya di perantauan sebagai tim kreatif tivi swasat idamannya. Jam dinding di stasiun menunjukkan pukul tujuh malam. Ditemani mbak Wati yang baru saja pulang dari kantor. Keduanya bercengkerama selama menunggu kereta. Tiba-tiba ponsel Sekar berbunyi. Ibunya.
“Halo, Buk,” ucap Sekar.
Nduk, --mana? --pure jam ---- nduk?” suara ibunya terputus-putus di seberang sana.
“Buk, nggak jelas,” sahut Sekar. Sekar kemudian beralih tempat setelah meminta izin pada mbak Wati.
Sekar keluar gedung stasiun. Ke parkiran. Siapa tahu ia dapat sinyal bagus. 
“Buk! Buk!” kata Sekar. Suara ibunya belum juga jelas sehingga percakapan jadi tak utuh.
Ia menggoyang-goyangkan ponselnya ke atas ke bawah ke kanan dan ke kiri. Begitu berulang kali sampai gemas bukan main Sekar dibuatnya. Hingga Sekar payah. Ia membawa ponselnya yang bergantung pada tali ponsel yang digenggamnya. Ia pasrah. Nanti saja di dalam kereta siapa tahu ada sinyal lebih bagus lagi. Heran, kenapa sinyal providernya tiba-tiba ngehek begitu.
Sekar mengambil satu langkah menuju ruang tunggu lagi tapi betapa kagetnya ia ketika tangannya seolah tersambar begitu saja. Ia menoleh cepat. Anjing berlari. Tangannya ringan. Dimana talinya? Dimana ponsel jadul pinjamannya? Lah!! Anjing bongsor itu menyahutnya!
“HUWAAAAAA..... COPPEEETTTT!!! COPET! TOLONG COPET! ANJING ITU NYOPET HAPE SAYA!! TOLONG!!”
 Sekar serasa kehabisan suara. Ototnya sudah muncul di area lehernya tadi ketika berteriak-teriak. Ia sedang menunggu dengan nafas tersengal-sengal dan cemas karena ponselnya dibawa lari seekor anjing.  Ia bersama mbak Wati di pos keamanan.
“Ponsel itu memang bukan ponsel mahal. Tapi di situ ada semua kontak penting. Orang rumah, sahabat. Aku tak ingat nomor-nomor mereka, Mbak,”
“Tenang ya, Kar. Tenang. Nanti biar aku bilang ke paklek Laksono suruh ngabarin ayahmu,” hibur mbak Wati.
“Jangan Mbak, nanti ayah khawatir lagi,” tungkas Sekar.
Beberapa menit kemudian seseorang datang bersama seekor anjing. Sekar membuka mata lebar-lebar, lelaki itu... tampannya super!
 “Maaf ya, Mbak. Rudolf usil,” celetuk lelaki itu ramah menunjukkan rasa bersalah.
Sekar bangun dari keterpukauannya dan mengabaikannya segera. Dia fokus pada ponselnya. Dimana?
“Terus sekarang hape saya mana, Mas?” tanya Sekar mencari kepastian.
“Sekali lagi maaf ya, Mbak... Rudolf memang usil tapi dia aslinya nggak jahat. Em, apa ya, tapi dia agak ceroboh,... ” lelaki itu hendak memberikan penjelasan panjang kali lebar tapi Sekar sigap memotongnya.
“Mas, hape saya mana?” tanya Sekar sekali lagi.
“Maaf Mbak, hape Mbak kecemplung got,” sahut lelaki itu.
Sekar melotot, ingin ia berteriak. Tapi ia sudah lemas duluan. Itu ponsel pinjaman. Rusak. Lalu bagaimana pihak kantor barunya menghubungi dia. Ayahnya-ibunya? Terus dia beli hape baru? Uangnya juga belum ada. Uang dari ayahnya hasil utang sudah ludes untuk beli tiket pulang. Tersisa seratus lima puluh. Degup jantung Sekar menjadi cepat. Ia cemas. Ponsel itu ternyata membuatnya sebegitu kacaunya merasakan kehilangan.
“Dimana?” tanya Sekar ingin tahu letak jatuh ponselnya.
“Ini,” kata lelaki itu menyerahkan ponsel Sekar yang ada di kantong kresek.
“Astaga...”
“Mbak, saya bakal ganti hapenya Mbak. Bisa saya minta alamat rumah Mbak? Saya akan kirim ponsel itu,”
Sekar menatap lelaki itu. “Nggak usah repot-repot, Mas. Sudah nasibnya begini, mau gimana lagi,”
Sekar segera mengajak mbak Wati pergi dengan membawa ponselnya yang ada di kantong kresek, bau. Makanya ia membeli kantong kresek lagi untuk membungkusnya lagi dan lagi berlapis-lapis lalu menyemprotkan parfum ke kresek itu lalu memasukannya ke dalam tas ranselnya.
@@@
Tiga hari Sekar di rumah untuk membereskan keperluannya di perantauan. Selama itu pula ia mencoba “memulihkan” kondisi ponselnya, siapa tahu masih “bernyawa”. Ia sendiri masih bingung bagaimana bicara terus terang pada sahabatnya yang meminjaminya ponsel. Sementara dia sendiri belum bisa mengganti. Beli ponsel baru untuk dirinya sendiri saja belum bisa.
Ponsel itu masih “bernyawa” tapi tak full. Layarnya menyala biru tanpa menunjukkan satu pun huruf atau angka atau simbol. Sudah jelas harapan punah. Tak bisa digunakan. Hati Sekar terkoyak. Mulai detik ini ke depan ia hidup tanpa ponsel.
“Oalah, Sel, Sel, kamu belum ngrasain gaji pertamaku untuk kuisi pulsa, kamu sudah begini?”  Sekar mencoba berinteraksi dengan ponsel itu.
Sehari lebih setengah hari, Sekar sudah berada di rumah mbak Wati lagi. Malam itu ia berkesempatan makan malam bersama mbak Wati yang hampir tak pernah makan di rumah.
Di ruang makan pukul tujuh malam.
“Kar, mending kamu tinggal di sini aja. Nemenin aku sama mbok Parni. Kamu juga nggak perlu khawatir soal transportasi, pakai aja motor matic-ku itu,”
Sekar tersedak.
“Haduh, Mbak, Mbak kebangetan baik sama aku. Nggak usah lah Mbak. Aku pengen bisa mandiri,” tungkas Sekar.
“Aku di sini nggak ada saudara Sekar, jadi aku justru senang bukan main ada kamu. Kamu bukan orang asing lagi. Ayahmu kenal sama paklekku yang dari kecil aku ikut beliau. Di sini saja, jangan buang-buang uangmu. Gajimu di awal begini masih belum stabil. Sekalipun stabil nanti, jangan buru-buru pergi kalau belum ada lelaki yang meminangmu. Aku sudah anggap kamu sebagai adik sendiri,”
Sekar terpana ucapan mbak Wati. Bagaimana ada orang yang sebaik itu? Semoga tak ada embel-embel apapun di belakang –harap Sekar-.
“Oh, iya, ada sesuatu buat kamu,” kata mbak Wati sembari bergerak menuju almari yang tak jauh dari meja makannya. Ia kembali membawa kotak kardus. Ia menyodorkan pada Sekar.
“Apa ini, Mbak?” tanya Sekar heran.
“Maaf ya, Sekar, pas kamu sudah berangkat pulang, lelaki kemarin, oh, namanya Thomas, pemilik anjing itu... dia minta alamat mbak, ya mbak kasih. Niatnya baik mau tanggungjawab,”
Sekar segera membuka bingkisan itu setelah mbak Wati pergi meninggalkan Sekar.  Kertas demi kertas ia sobek. Dan... wow! Kotak dos ponsel bergambar ponsel mewah. Di salah satu sisi dos itu tertempel secarik kertas, nampak sebuah pesan.
Saya benar-benar minta maaf atas ulah anjing saya. Ini saja berikan tulus beserta nomor terbarunya. Tolong terima permohonan maaf saya ini. Tolong segera fungsikan ponsel ini agar saya tahu bahwa ponsel ini sudah berada di tangan orang yang seharusnya memilikinya. -Th-
“Terima nggak ya? Super wah banget  nih. Tapi jangan-jangan ada apa-apanya. Tapi, apa pula yang mau diambilnya dariku? Tak akan ada keuntungan jika ia menipuku. Aku tak punya apapun untuk diambil dan dikatakan aku merugi,” Sekar bingung sekali lagi.
Ya. tidak. Ya, tidak. Id.nya tak bisa berbohong ia mendamba ponsel super cerdas semewah itu. Superegonya bilang jangan. Dan kali ini pergulatan Id dan superego dimenangkan oleh Id. Sekar mengaktifkan ponsel mewah itu. Beberapa jam berikutnya setelah ponsel itu aktif telepon masuk tanpa nama. Memang belum ada nama kontak siapapun di sana. Sekar menerima telepon itu.
“Halo, Mbak Sekar?” suara lelaki di seberang sana.
“Iy-iy-iya, siapa ini?” tanya Sekar.
“Thomas. Oh, maksud saya saya pemilik anjing yang usil tempo hari,”sahutnya.
“Mas...,”
“Ya?”
“Ini berlebihan,”
“Apanya?”
“Ponsel ini,”
“Nggak kok. Kamu butuh kan? Tolong terima saja. Saya tulus, kok,”
“Tapi...”
No. Tak ada kata tapi. Terima dengan tulus juga, ya?”
“Kenapa begitu?”
“Kenapa apanya?”
“Kenapa Mas sebaik itu padahal kita baru kenal?”
Di seberang sana hening sejenak.
“Sebatas tanggung jawab plus ingin berkenalan boleh, dong?”
Sekar mengernyitkan dahi. Sekar sadar Thomas lelaki tampan tapi gayanya ini sedikit menggoda membuat kadar persepsi tampan turun belasan persen. Sekar tak suka lelaki penggoda dalam arti sebenarnya.
Sabtu, stasiun kota, jam tujuh malam. Kita bertemu, oke?
Sambungan telepon mendadak putus bahkan Sekar tak sempat protes karena permintaan Thomas yang mendadak.

@@@
Sekar suka lelaki itu karena aura ketampanannya sempat menghipnotis Sekar ketika Sekar diselimuti kecemasan ponselnya kecemplung got hasil ulah anjing lelaki itu. Tapi dia juga cukup takut memenuhi permintaan lelaki itu. Salah-salah kalau Thomas penculik bagaimana? Lalu kalau dia lelaki yang suka gombal, cengengesan nggak jelas, serampangan tak sesuai dengan packagingnya, gimana? Sekar kan, suka lelaki yang bertampang rapi eksekutif muda dan misterius dan memukau hanya dengan sekali lirik. Pikiran aneh-aneh berkecamuk di otak Sekar tapi tubuhnya tak bisa diam untuk bergerak ke arah stasiun. Langkah kakinya hanya ingin ke stasiun bertemu Thomas. Titik.
Pukul tujuh malam di pelataran stasiun kota seperti pertama kali ia bertemu Thomas. Kali ini hujan gerimis turun menemani. Sekar baru saja pulang kerja. Ia bermuka payah menunggu Thomas datang.
“Bohong nggak ya, dia?” gumam Sekar.
Halilintar menyusul datang menemani Sekar menunggu Thomas. Menggelegar dahsyat. Sekar menggigit-gigit bibirnya. Cemas kalau Thomas tak datang, juga takut kalau hujan lebat berangin datang.
Sekar melamun kemudian pecah lamunan itu oleh suara gemericik kalung. Ia menoleh. Itu anjing milik Thomas. Kalungnya keras bersuara. Di mulutnya ada seikat mawar.
“Rudolf, tuanmu mana?” tanya Sekar.
Anjing itu meletakkan mawar itu di sebelah kaki Sekar. Rudolf masih bergerak ke depan belakang kanan dan kiri di depan Sekar.
Sekar tak jua memungut mawar itu. Ia ragu.
“Tuanmu mana? Aku sudah menunggu hampir dua jam di sini. Dia membuatku jengkel,”
Beberapa detik berlalu. Thomas mengambil bagiannya.
“Maaf terlambat. Kamu pasti lapar lelah pulang kerja. Ini untukmu,”
Burger besar dan susu kotak segar. Kesukaan Sekar.
“Kok, tahu aku suka makanan itu?”
“Oh, ya? Aku asal membeli,”
“Terima kasih,”
Thomas duduk di samping Sekar yang bersila di lantasi teras stasiun.
“Mas, ponsel ini...” Sekar mencoba membuka pembicaraan.
“Terima saja. Aku tak ada tendensi khusus apalagi berniat buruk, hanya...”
“Hanya apa?”
“Hanya bertendensi untuk dekat denganmu saja,”
“Kenapa begitu?”
Thomas menatap Sekar lekat.
 “Aku jatuh cinta. Kamu. Nggak masuk akal ya? Makanya jangan tanya kenapa aku bisa jatuh cinta sama kamu yang ketemu saja kita dua kali ini, kan, ya?
“Aneh,”
Kali ini Thomas mengangguk setuju.
“Aneh kenapa pula dulu aku juga langsung terkesima melihat Mas pertama kali. Beda ketika aku melihat lelaki tampan lainnya. Entah,”
Nggak ketemu kan jawabannya? Makanya jangan tanya kenapa jatuh cinta. Padahal kita ketemu nggak sengaja karena ponsel jadulmu itu,”
“Itu ponsel temanku. Kalau dia yang bawa pasti kamu jatuh cintanya sama dia,”
“Ini takdir Tuhan, kita berdua dipertemukan. Bukan temanmu, bukan siapapun. Ya, beginilah. Jangan tanya kenapa. Tuhan sudah menjalankan apa yang jadi kehendakNya,”
Sekar tersenyum. Halilintar kembali menggelegar dahsyat dan air hujan tumpah ruah ke bumi. Sekar, Thomas dan Rudolf mengambil langkah mundur agar tak terkena percikan hujan lebat itu.
Betapa bahagianya Sekar... keberuntungan datang kepadanya bertubi-tubi. Ponsel polyphonic itu membuatnya mendapat pekerjaan yang selama ini diincarnya, kesejahteraan materi yang datang begitu saja secara gratis mempermudah jalan awal karirnya dan pastinya ponsel itu membawanya bertemu lelaki memukau seperti Thomas.
...
“DUUAARRRR!!!” suara petir menyambar-nyambar seolah estafet yang berkelanjutan. Tubuh Sekar dipaksa bergerak seketika. Gendang telinganya jelas kaget mendengar suara alam yang maha dahsyat itu. Matanya membuka mendadak, bergerak ke kanan lalu ke kiri. Tangannya meraba-raba area bawah bantalnya, dia temukan sebatang barang balok. Ponselnya. Dia memencet sembarang tombol. Pukul 02.00 dini hari.
“Mimpi lagi,” gumam Sekar pelan dalam kondisi setengah sadar.
“HOOAAAMMMHHH...,”.
Ia menarik selimut dan tak mengambil pusing mimpinya itu. Sudah hal biasa baginya mimpi seperti itu. Baginya tidur lebih penting dari segala hal apalagi cuman menafsirkan mimpi yang sudah terulang sepuluh kali itu. Tapi apakah semua itu akan menjadi nyata? Adakah benarnya suatu saat ia akan memiliki ponsel super canggih? Lalu lelaki tak dikenal dan orang-orang di mimpinya, apakah aslinya benar ada di dunia nyata? Apakah mimpinya yang sudah ke sekian kali bermakna? Atau sebatas hasrat tak tercapai yang menggunung di bawah sadarnya? Sekar akan menemukan jawabannya setelah ia kembali terjaga, mungkin segera, mungkin juga saat kondisi terjaga selanjutnya.
@@@