Ponsel Polyphonic
Sekar memandangi ponselnya dengan jengah. Maret
tahun 2013, perusahaan produsen ponsel pintar yang kantornya berbasis asal di Amrik
sudah mengenalkan ponsel super limited
edition. Super ponsel notabene melebihi kecanggihan ponsel pintar. Kemudian
perusahaan produsen ponsel terkemuka dan bergengsi besutan mendiang Steve Job
dan peseterunya, perusahaan ponsel adidaya dari Korea Selatan juga memroduksi
ponsel pintar-ponsel pintar lainnya. Zaman sudah semakin canggih tapi itulah
masalah besar bagi Sekar. Gap antara fakta dan seharusnya. Seharusnya, di zaman
modern seperti ini ponselnya juga sudah canggih. Tak usahlah yang berharga
kepala angka lima dan punya ekor enam digit angka nol. Tapi setidaknya sudah
berlabel pon-sel-pin-tar, apapun mereknya, itu harusnya yang terjadi. Tapi
faktanya? Ponsel polyphonic yang
setia menemaninya sehari-hari. Kepala Sekar sudah punya sungut sepanjang
sepuluh senti dalam beberapa minggu terakhir. Mana ponselnya ponsel pinjaman.
Uh, mengenaskan bukan main!
Sebulan lalu ponselnya raib dicopet orang di
sebuah pusat perbelanjaan grosir. Ponselnya memang bukan level ponsel canggih
tinggi tapi setidaknya ponsel itu bisa “menghipnotis” Sekar untuk terus menatap
tekun ponsel itu. Internet addicted! Sekarang hidupnya hampa tanpa internet.
Ponsel jadul itu cuman bisa buat telepon dan
sms. Tak lebih. Haduh, balik zaman masih SD. Dulu, hal itu menyenangkan. Tat
kala sang ayah baru mendapatkan rezeki dari hasil proyek mandor pembangunan
gedung sekolah di desa tetangga kemudian sang ayah membeli ponsel berantena
merek terkenal asal Finlandia, Sekar senang bukan main. Tapi zaman sudah
berubah. Begitu juga persepsi kepuasaan manusia terhadap kebutuhannya. Apa yang
sekiranya booming di zaman ini mereka
merasa “wajib” ikut merasakan, melakukan, atau memiliki. Sialnya, Sekar masuk
dalam kategori orang semacam ini tapi ia masih dalam “dosis” minimal. Tapi apa
daya, ia tak punya uang. Ia juga tak mungkin minta kepada orangtuanya.
Orangtuanya sudah pusing dan mulas, kaki di kepala, kepala di kaki memikirkan
perekonomian keluarga mereka yang hanya bisa gali lubang dan tutup lubang,
selalu begitu. Ia sendiri juga masih menjadi pengangguran semenjak dinyatakan
sebagai wisudawan terbaik tiga bulan lalu. Ah, Sekar merasa hidup ini agak
menyialkan baginya.
“Kamu itu cuman bisa buat telepon sama sms,
Sel! Dua hal itu penting tapi aku jarang menggunakannya. Aku butuh koneksi
internet. Internet lebih canggih dari sekedar telepon dan sms. Denganmu aku
bisa berbuat apa coba, Sel? Ayah sama ibu juga jarang telpon, temen-temen deket
sudah jarang SMS sibuk sama kerjaannya sendiri-sendiri. Dan kamu boleh ketawa
puas Sel, aku jomblowati sejati sehingga tak akan ada lelaki yang menggunakanmu
sebagai sarana meneleponku untuk sekedar basa-basi, huh! Membosankan sekali
kau, Sel!” celoteh Sekar sendiri mencoba mengajak ponsel pinjamannya itu
bicara. Sel –singkatan ponSel-.
Jam dinding kamar Sekar menunjukkan pukul
sebelas malam. Belum waktunya tidur. Sekar masih melek gedebak-gedebuk di atas
kasurnya, sesekali menatap layar ponselnya. Dia gemas, ia meremas barang balok
itu. Tapi yang ada bekas merah di telapak tangannya. Kalau saja ponsel itu
bukan milik temannya yang sudah berbaik hati padanya pasti sudah dibantingnya
ponsel itu. Sekar masih tak bisa ikhlas ia bergantung pada ponsel serba
terbatas itu. Telepon dan SMS bukan hal krusial baginya. Karena tak akan ada
pihak yang menelponnya, mengirim pesan padanya. Paling hanya untuk memberikan
informasi sekedarnya saja. Atau yang sedikit buatnya senang ketika ada teman
karibnya yang bertanya kabar lalu terjadi obrolan tapi tak berlangsung lama
mereka memutus sambungan telepon atau berhenti SMS, itu menyebalkan bagi Sekar.
Atau paling parah SMS dari provider berbau iklan atau semacamnya atau kalau
tidak orang pemburu nafsu untuk cepat kaya melalui penipuan dengan modus SMS
dapat hadiah berjuta-juta. Ah, semua itu membosankan! Internet adalah maha
diraja pengusir kebosanan atas perihal-perihal tadi. Di sana ia mendapatkan
kepuasaan yang tak dapat ia raih hanya melalui telepon dan SMS.
“Kalau saja kamu bisa jadi tangan Tuhan
ngasih aku rezeki berlimpah, aku bakal pakai kamu seumur hidup. Semoga saja
kamu tak jadi tua seiring zaman karena anak-cucumu, cicit-canggahmu sudah
banyak berkeliaran di muka bumi ini. Sementara yang satu generasi denganmu
sudah banyak beribu-ribu juta ton jadi bahan rongsokan. Mungkin bagianmu juga
jadi bagian tubuh anak sampai canggahmu. Kamu bereinkarnasi. Kali aja. Jadilah
ponsel keberuntunganku, Sel. Biar kita bisa berdamai. Oke?”
Sekar kembali bicara dengan benda tak
bernyawa itu. Kamar Sekar yang mulanya membuatnya super gerah seketika dimasuki
semilir angin tapi agak menggelikan. Langit memunculkan kilatan cahaya yang
menembus kaca jendela Sekar. Sekar kaget juga karena sedari tadi tanda-tanda
hujan tak muncul. Sedetik kemudian “DUAARRRR!!” halilintar beraksi. Mungkinkah
alam mengamini celotehan Sekar barusan? Sekar menutup telinganya kemudian
segera meringkukkan diri di atas kasurnya dan menarik selimut tebalnya yang
sudah memudar warnanya. Ia seolah terhipnotis untuk segera menutup mata. Tidur.
@@@
Hari-hari yang cerah membahagiakan. Hidup Sekar
telah berputar. Berganti posisi jadi serba ada. Oh, belum. Tapi tak dapat
dipungkiri memang membuatnya bahagia. Suatu hari siang hari ketika ia hendak
tidur siang sebagai ritual rutinnya sebagai pengangguran, ada telepon masuk
mengaku berasal dari pihak rekruitmen televisi swasta terkemuka di negeri ini. Sekar
harus ke Jakarta memenuhi panggila interview dan beberapa tes kerja lainnya.
Mulanya berat. Sekar berat di ongkos. Hidupnya berada pada posisi tak pasti.
Kalau ia ambil kesempatan itu, itu artinya ia harus punya uang transportasi,
uang kost, uang makan selama menjalani tes di ibu kota. Darimana uangnya?
Ibunya baru mengalokasikan uang sejuta untuk uang buku dan sumbangan gedung
sekolah kedua adiknya lalu untuk membayar pajak tanah tempat ia tinggal di
rumah yang berarsitektur Jawa kuno tapi tak berbatubata. Kalau ia tak maju, ia sudah
memimpikan kerja sebagai tim kreatif televisi yang punya misi paling “sehat”
dibandingkan televisi-televisi lainnya. Edukasi, hiburan dan informasi. Bukan
melulu sinetron yang bertema harta, tahta dan wanita yang terkadang tak masuk
akal sampai ada kuda terbang, menghilang tiba-tiba... ah... ini zaman empiris
dan ilmiah.
Bimbang. Sekar belum bisa mengambil
keputusan. Haruskan ia merelakan mimpinya tak terwujud? Tapi haruskan ia
“merampok” kedua orangtuanya lagi? Lagi? Sekar jungkir balik dalam arti
sebenarnya di atas kasurnya.
Beberapa hari mendatang ayahnya mengajak
bicara Sekar serius. Di ruang tamu pukul delapan malam. Ayahnya menyodorkan
beberapa lembar uang seratus ribu. Kira-kira jumlahnya setengah juta. Ayahnya
cuman bisa memberikan itu.
“Ayah dapat dari mana?” tanya Sekar.
“Ya ada lah. Tenang saja! Nanti kalau kamu
berhasil, kamu bisa ganti,”
“Ayah hutang lagi ke pak Laksono?” tanya Sekar
lagi.
Ayahnya terdiam.
“Yah, kita sudah banyak hutang ke beliau.
Memangnya Sekar tak tahu? Apa ayah tak takut kalau ternyata pak Laksono minta
imbalan macam-macam? Misal... tapi naudzubillah
mindaliq ya, ka-win-sa-ma-Sekar
gitu?” Sekar berkata agak takut.
“Hush! Bilang apa kamu itu?” ayahnya
menyergah.
“Ya, hati orang siapa tahu, Yah? Ayah kan,
baru kenal beliau beberapa bulan lalu, tapi baiknya minta ampun. Sudahlah Yah, Sekar
cari kerja di dekat sini aja. Biarin aja panggilan itu,” Sekar menyerah tapi
agak berat.
“Tapi itu kan, mimpimu selama ini, Nak. Kamu nggak perlu khawatir. Ini bawa saja
dulu. Lalu di sana ada keponakan pak Laksono namanya mbak Wati. Dia akan
menampungmu selama di Jakarta. Ini alamatnya,” ayahnya menyodorkan secarik
kertas. “katanya rumahnya tak jauh dari kantor tivi itu,” lanjut ayahnya.
Sekar berpikir ulang malam itu. Berpikiiiirrr
terus, terus dan terus. Akhirnya Sekar berangkat ke Jakarta. Awam. Baru pertama
kali. Tapi ternyata keberuntungan mulai sering berpihak padanya. Ia menuju
alamat mbak Wati diantar sopir taksi dengan gratis karena menurut sopir itu,
memiliki asal daerah yang sama dengan Sekar, desa yang sama bahkan, membuatnya
merasa perlu menolong sesama perantau. Keberuntungan pertama. Kedua, mbak Wati
adalah orang super baik. Ia tinggal sendiri di rumahnya yang apik, bersih,
antik walau tak terkesan wah. Ia juga berkantong tebal, pekerjaannya
prestisius, Manajer HRD sebuah bank swasta nasional. Hidup sendiri berstatus
janda cerai tanpa anak membuat materi menutupi kebutuhan utama yang ia
perlukan, relasi. Ia ingin tapi katanya belum ada yang cocok lagi. Ia
menganggap Sekar seperti saudara dekat. Makan seenaknya, mandi seenaknya, tidur
di tempat ber-AC. Ah, nikmatnya jadi orang kaya dalam beberapa hari ke depan.
Oke, selanjutnya, singkat cerita Sekar benar-benar dinaungi dewi keberuntungan.
Interview, psikotes, tes kesehatan dan segala macam tes untuk benar-benar
diputuskan menjadi bagian tim kreatif televisi swasta itu bisa dilalui Sekar
bebas hambatan. Wow! Sekar sujud syukur di tempat setelah mendapat pengumuman
ia jadi salah seorang di antara lima orang yang berhasil lolos dari sekian
belas ribu pelamar. Ia segera menelepon ibunya di desa memberikan kabar gembira
itu.
Sekar sudah siap kembali ke desa. Ia akan
mengurus semua kebutuhannya di desa untuk diangkut ke kota, tempat tinggalnya
di perantauan sebagai tim kreatif tivi swasat idamannya. Jam dinding di stasiun
menunjukkan pukul tujuh malam. Ditemani mbak Wati yang baru saja pulang dari
kantor. Keduanya bercengkerama selama menunggu kereta. Tiba-tiba ponsel Sekar
berbunyi. Ibunya.
“Halo, Buk,” ucap Sekar.
“Nduk,
--mana? --pure jam ---- nduk?” suara ibunya terputus-putus di
seberang sana.
“Buk, nggak
jelas,” sahut Sekar. Sekar kemudian beralih tempat setelah meminta izin pada
mbak Wati.
Sekar keluar gedung stasiun. Ke parkiran.
Siapa tahu ia dapat sinyal bagus.
“Buk! Buk!” kata Sekar. Suara ibunya belum
juga jelas sehingga percakapan jadi tak utuh.
Ia menggoyang-goyangkan ponselnya ke atas ke
bawah ke kanan dan ke kiri. Begitu berulang kali sampai gemas bukan main Sekar
dibuatnya. Hingga Sekar payah. Ia membawa ponselnya yang bergantung pada tali
ponsel yang digenggamnya. Ia pasrah. Nanti saja di dalam kereta siapa tahu ada
sinyal lebih bagus lagi. Heran, kenapa sinyal providernya tiba-tiba ngehek
begitu.
Sekar mengambil satu langkah menuju ruang
tunggu lagi tapi betapa kagetnya ia ketika tangannya seolah tersambar begitu
saja. Ia menoleh cepat. Anjing berlari. Tangannya ringan. Dimana talinya?
Dimana ponsel jadul pinjamannya? Lah!! Anjing bongsor itu menyahutnya!
“HUWAAAAAA..... COPPEEETTTT!!! COPET! TOLONG
COPET! ANJING ITU NYOPET HAPE SAYA!! TOLONG!!”
Sekar
serasa kehabisan suara. Ototnya sudah muncul di area lehernya tadi ketika
berteriak-teriak. Ia sedang menunggu dengan nafas tersengal-sengal dan cemas
karena ponselnya dibawa lari seekor anjing. Ia bersama mbak Wati di pos keamanan.
“Ponsel itu memang bukan ponsel mahal. Tapi
di situ ada semua kontak penting. Orang rumah, sahabat. Aku tak ingat
nomor-nomor mereka, Mbak,”
“Tenang ya, Kar. Tenang. Nanti biar aku
bilang ke paklek Laksono suruh ngabarin ayahmu,” hibur mbak Wati.
“Jangan Mbak, nanti ayah khawatir lagi,”
tungkas Sekar.
Beberapa menit kemudian seseorang datang
bersama seekor anjing. Sekar membuka mata lebar-lebar, lelaki itu... tampannya
super!
“Maaf
ya, Mbak. Rudolf usil,” celetuk lelaki itu ramah menunjukkan rasa bersalah.
Sekar bangun dari keterpukauannya dan
mengabaikannya segera. Dia fokus pada ponselnya. Dimana?
“Terus sekarang hape saya mana, Mas?” tanya
Sekar mencari kepastian.
“Sekali lagi maaf ya, Mbak... Rudolf memang
usil tapi dia aslinya nggak jahat.
Em, apa ya, tapi dia agak ceroboh,... ” lelaki itu hendak memberikan penjelasan
panjang kali lebar tapi Sekar sigap memotongnya.
“Mas, hape saya mana?” tanya Sekar sekali
lagi.
“Maaf Mbak, hape Mbak kecemplung got,” sahut
lelaki itu.
Sekar melotot, ingin ia berteriak. Tapi ia
sudah lemas duluan. Itu ponsel pinjaman. Rusak. Lalu bagaimana pihak kantor
barunya menghubungi dia. Ayahnya-ibunya? Terus dia beli hape baru? Uangnya juga
belum ada. Uang dari ayahnya hasil utang sudah ludes untuk beli tiket pulang.
Tersisa seratus lima puluh. Degup jantung Sekar menjadi cepat. Ia cemas. Ponsel
itu ternyata membuatnya sebegitu kacaunya merasakan kehilangan.
“Dimana?” tanya Sekar ingin tahu letak jatuh
ponselnya.
“Ini,” kata lelaki itu menyerahkan ponsel
Sekar yang ada di kantong kresek.
“Astaga...”
“Mbak, saya bakal ganti hapenya Mbak. Bisa
saya minta alamat rumah Mbak? Saya akan kirim ponsel itu,”
Sekar menatap lelaki itu. “Nggak usah repot-repot, Mas. Sudah
nasibnya begini, mau gimana lagi,”
Sekar segera mengajak mbak Wati pergi dengan
membawa ponselnya yang ada di kantong kresek, bau. Makanya ia membeli kantong
kresek lagi untuk membungkusnya lagi dan lagi berlapis-lapis lalu menyemprotkan
parfum ke kresek itu lalu memasukannya ke dalam tas ranselnya.
@@@
Tiga hari Sekar di rumah untuk membereskan
keperluannya di perantauan. Selama itu pula ia mencoba “memulihkan” kondisi
ponselnya, siapa tahu masih “bernyawa”. Ia sendiri masih bingung bagaimana
bicara terus terang pada sahabatnya yang meminjaminya ponsel. Sementara dia
sendiri belum bisa mengganti. Beli ponsel baru untuk dirinya sendiri saja belum
bisa.
Ponsel itu masih “bernyawa” tapi tak full.
Layarnya menyala biru tanpa menunjukkan satu pun huruf atau angka atau simbol.
Sudah jelas harapan punah. Tak bisa digunakan. Hati Sekar terkoyak. Mulai detik
ini ke depan ia hidup tanpa ponsel.
“Oalah, Sel, Sel, kamu belum ngrasain gaji
pertamaku untuk kuisi pulsa, kamu sudah begini?” Sekar mencoba berinteraksi dengan ponsel itu.
Sehari lebih setengah hari, Sekar sudah
berada di rumah mbak Wati lagi. Malam itu ia berkesempatan makan malam bersama
mbak Wati yang hampir tak pernah makan di rumah.
Di ruang makan pukul tujuh malam.
“Kar, mending kamu tinggal di sini aja.
Nemenin aku sama mbok Parni. Kamu juga nggak
perlu khawatir soal transportasi, pakai aja motor matic-ku itu,”
Sekar tersedak.
“Haduh, Mbak, Mbak kebangetan baik sama aku. Nggak usah lah Mbak. Aku pengen bisa mandiri,”
tungkas Sekar.
“Aku di sini nggak ada saudara Sekar, jadi aku justru senang bukan main ada
kamu. Kamu bukan orang asing lagi. Ayahmu kenal sama paklekku yang dari kecil
aku ikut beliau. Di sini saja, jangan buang-buang uangmu. Gajimu di awal begini
masih belum stabil. Sekalipun stabil nanti, jangan buru-buru pergi kalau belum
ada lelaki yang meminangmu. Aku sudah anggap kamu sebagai adik sendiri,”
Sekar terpana ucapan mbak Wati. Bagaimana ada
orang yang sebaik itu? Semoga tak ada embel-embel apapun di belakang –harap
Sekar-.
“Oh, iya, ada sesuatu buat kamu,” kata mbak
Wati sembari bergerak menuju almari yang tak jauh dari meja makannya. Ia
kembali membawa kotak kardus. Ia menyodorkan pada Sekar.
“Apa ini, Mbak?” tanya Sekar heran.
“Maaf ya, Sekar, pas kamu sudah berangkat
pulang, lelaki kemarin, oh, namanya Thomas, pemilik anjing itu... dia minta
alamat mbak, ya mbak kasih. Niatnya baik mau tanggungjawab,”
Sekar segera membuka bingkisan itu setelah
mbak Wati pergi meninggalkan Sekar. Kertas demi kertas ia sobek. Dan... wow! Kotak
dos ponsel bergambar ponsel mewah. Di salah satu sisi dos itu tertempel secarik
kertas, nampak sebuah pesan.
Saya
benar-benar minta maaf atas ulah anjing saya. Ini saja berikan tulus beserta
nomor terbarunya. Tolong terima permohonan maaf saya ini. Tolong segera
fungsikan ponsel ini agar saya tahu bahwa ponsel ini sudah berada di tangan orang
yang seharusnya memilikinya. -Th-
“Terima nggak
ya? Super wah banget nih. Tapi
jangan-jangan ada apa-apanya. Tapi, apa pula yang mau diambilnya dariku? Tak akan
ada keuntungan jika ia menipuku. Aku tak punya apapun untuk diambil dan dikatakan
aku merugi,” Sekar bingung sekali lagi.
Ya. tidak. Ya, tidak. Id.nya tak bisa
berbohong ia mendamba ponsel super cerdas semewah itu. Superegonya bilang jangan.
Dan kali ini pergulatan Id dan superego dimenangkan oleh Id. Sekar mengaktifkan
ponsel mewah itu. Beberapa jam berikutnya setelah ponsel itu aktif telepon
masuk tanpa nama. Memang belum ada nama kontak siapapun di sana. Sekar menerima
telepon itu.
“Halo, Mbak
Sekar?” suara lelaki
di seberang sana.
“Iy-iy-iya, siapa ini?” tanya Sekar.
“Thomas. Oh,
maksud saya saya pemilik anjing yang usil tempo hari,”sahutnya.
“Mas...,”
“Ya?”
“Ini berlebihan,”
“Apanya?”
“Ponsel ini,”
“Nggak kok.
Kamu butuh kan? Tolong terima saja. Saya tulus, kok,”
“Tapi...”
“No. Tak ada kata tapi. Terima dengan tulus
juga, ya?”
“Kenapa begitu?”
“Kenapa
apanya?”
“Kenapa Mas sebaik itu padahal kita baru
kenal?”
Di seberang sana hening sejenak.
“Sebatas
tanggung jawab plus ingin berkenalan boleh, dong?”
Sekar mengernyitkan dahi. Sekar sadar Thomas
lelaki tampan tapi gayanya ini sedikit menggoda membuat kadar persepsi tampan
turun belasan persen. Sekar tak suka lelaki penggoda dalam arti sebenarnya.
“Sabtu,
stasiun kota, jam tujuh malam. Kita bertemu, oke?”
Sambungan telepon mendadak putus bahkan Sekar
tak sempat protes karena permintaan Thomas yang mendadak.
@@@
Sekar suka lelaki itu karena aura
ketampanannya sempat menghipnotis Sekar ketika Sekar diselimuti kecemasan
ponselnya kecemplung got hasil ulah anjing lelaki itu. Tapi dia juga cukup
takut memenuhi permintaan lelaki itu. Salah-salah kalau Thomas penculik
bagaimana? Lalu kalau dia lelaki yang suka gombal, cengengesan nggak jelas, serampangan tak sesuai
dengan packagingnya, gimana? Sekar
kan, suka lelaki yang bertampang rapi eksekutif muda dan misterius dan memukau
hanya dengan sekali lirik. Pikiran aneh-aneh berkecamuk di otak Sekar tapi
tubuhnya tak bisa diam untuk bergerak ke arah stasiun. Langkah kakinya hanya
ingin ke stasiun bertemu Thomas. Titik.
Pukul tujuh malam di pelataran stasiun kota
seperti pertama kali ia bertemu Thomas. Kali ini hujan gerimis turun menemani.
Sekar baru saja pulang kerja. Ia bermuka payah menunggu Thomas datang.
“Bohong nggak
ya, dia?” gumam Sekar.
Halilintar menyusul datang menemani Sekar
menunggu Thomas. Menggelegar dahsyat. Sekar menggigit-gigit bibirnya. Cemas
kalau Thomas tak datang, juga takut kalau hujan lebat berangin datang.
Sekar melamun kemudian pecah lamunan itu oleh
suara gemericik kalung. Ia menoleh. Itu anjing milik Thomas. Kalungnya keras
bersuara. Di mulutnya ada seikat mawar.
“Rudolf, tuanmu mana?” tanya Sekar.
Anjing itu meletakkan mawar itu di sebelah
kaki Sekar. Rudolf masih bergerak ke depan belakang kanan dan kiri di depan Sekar.
Sekar tak jua memungut mawar itu. Ia ragu.
“Tuanmu mana? Aku sudah menunggu hampir dua
jam di sini. Dia membuatku jengkel,”
Beberapa detik berlalu. Thomas mengambil
bagiannya.
“Maaf terlambat. Kamu pasti lapar lelah
pulang kerja. Ini untukmu,”
Burger besar dan susu kotak segar. Kesukaan
Sekar.
“Kok, tahu aku suka makanan itu?”
“Oh, ya? Aku asal membeli,”
“Terima kasih,”
Thomas duduk di samping Sekar yang bersila di
lantasi teras stasiun.
“Mas, ponsel ini...” Sekar mencoba membuka
pembicaraan.
“Terima saja. Aku tak ada tendensi khusus
apalagi berniat buruk, hanya...”
“Hanya apa?”
“Hanya bertendensi untuk dekat denganmu
saja,”
“Kenapa begitu?”
Thomas menatap Sekar lekat.
“Aku
jatuh cinta. Kamu. Nggak masuk akal
ya? Makanya jangan tanya kenapa aku bisa jatuh cinta sama kamu yang ketemu saja
kita dua kali ini, kan, ya?
“Aneh,”
Kali ini Thomas mengangguk setuju.
“Aneh kenapa pula dulu aku juga langsung
terkesima melihat Mas pertama kali. Beda ketika aku melihat lelaki tampan
lainnya. Entah,”
“Nggak
ketemu kan jawabannya? Makanya jangan tanya kenapa jatuh cinta. Padahal kita
ketemu nggak sengaja karena ponsel
jadulmu itu,”
“Itu ponsel temanku. Kalau dia yang bawa
pasti kamu jatuh cintanya sama dia,”
“Ini takdir Tuhan, kita berdua dipertemukan.
Bukan temanmu, bukan siapapun. Ya, beginilah. Jangan tanya kenapa. Tuhan sudah
menjalankan apa yang jadi kehendakNya,”
Sekar tersenyum. Halilintar kembali menggelegar
dahsyat dan air hujan tumpah ruah ke bumi. Sekar, Thomas dan Rudolf mengambil
langkah mundur agar tak terkena percikan hujan lebat itu.
Betapa bahagianya Sekar... keberuntungan
datang kepadanya bertubi-tubi. Ponsel polyphonic
itu membuatnya mendapat pekerjaan yang selama ini diincarnya, kesejahteraan
materi yang datang begitu saja secara gratis mempermudah jalan awal karirnya
dan pastinya ponsel itu membawanya bertemu lelaki memukau seperti Thomas.
...
“DUUAARRRR!!!” suara petir menyambar-nyambar
seolah estafet yang berkelanjutan. Tubuh Sekar dipaksa bergerak seketika.
Gendang telinganya jelas kaget mendengar suara alam yang maha dahsyat itu.
Matanya membuka mendadak, bergerak ke kanan lalu ke kiri. Tangannya meraba-raba
area bawah bantalnya, dia temukan sebatang barang balok. Ponselnya. Dia
memencet sembarang tombol. Pukul 02.00 dini hari.
“Mimpi lagi,” gumam Sekar pelan dalam kondisi
setengah sadar.
“HOOAAAMMMHHH...,”.
Ia menarik selimut dan tak mengambil pusing
mimpinya itu. Sudah hal biasa baginya mimpi seperti itu. Baginya tidur lebih
penting dari segala hal apalagi cuman menafsirkan mimpi yang sudah terulang
sepuluh kali itu. Tapi apakah semua itu akan menjadi nyata? Adakah benarnya
suatu saat ia akan memiliki ponsel super canggih? Lalu lelaki tak dikenal dan
orang-orang di mimpinya, apakah aslinya benar ada di dunia nyata? Apakah
mimpinya yang sudah ke sekian kali bermakna? Atau sebatas hasrat tak tercapai
yang menggunung di bawah sadarnya? Sekar akan menemukan jawabannya setelah ia
kembali terjaga, mungkin segera, mungkin juga saat kondisi terjaga selanjutnya.
@@@
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Ditunggu kritik dan saran membangun yah :)