Sabtu, 02 Maret 2013

Layang-layang, Pesan Rindu Kutitipkan



Sudut Rindu - Desember, 2012
Ah... lelaki itu... delapan tahun terakhir selalu hadir dalam mimpiku, selalu ada dalam do’aku, selalu kuucapkan harapan tentangnya. Sederhana saja, aku ingin bertemu dan melepas rindu. Aku tak berani lebih dari itu. Perbedaan kami jauh. Jauh sekali. Dia salib, aku bintang dan bulan. Dia engkoh, aku mbah kakung. Dia bermerek, aku ala kadarnya. Dia banyak kata, aku lebih suka diam. Dan mungkin banyak hal dari kami yang berbeda. Tapi, perasaan ini begitu manis walaupun aku sendiri yang merasakan. Manis meski terkadang terlalu pahit karena dinding di antara kami menjulang tinggi. Untuknya yang “berenang-renang” di bawah sadarku, kutitipkan rindu melalui layang-layang terbang diterpa hembusan sang bayu. Terimalah salam rinduku.
***
Namanya Robbi, lelaki bermata sipit sedikit tambun dari kalangan superior di sekolah ini. Orangtuanya donatur setiap ada acara di sekolah negeri favorit tempatku bersekolah. Aku masih ingat dulu semasa SMP di sekolah yang sama dengannya, mataku sering tertuju padanya –tanpa sengaja- dan aku memandang benci. Bingung. Entah mengapa.
Kelas sepuluh tujuh. Di sana aku mengenal Robbi dan entah sial, entah untung, aku duduk tepat di seberang samping kanan bangkungnya. Dan kelas kami jarang melakukan rotasi tempat duduk karena kami susah diatur juga aslinya. Hahaha. Interaksi berjalan secara alami.
Beberapa bulan berlalu kami bersama-sama dalam kemajemukan. Aku, Robbi dan 41 siswa lainnya. Sayangnya kami kurang kompak tapi tidak ada kesengitan di antara kami. Hanya segelintir orang saja dan itu jelas siapa biangnya. Biang keroknya jelas “kalangan” superior. Jelas. Robbi. Masalahnya: rebutan wanita!
Robbi menaruh hati pada wanita pribumi berotak cerdas, berparas ayu, bersahaja. Teman sebangkunya, tepatnya sahabatnya sendiri juga tertarik pada wanita itu. Persaingan sengit terjadi sampai mereka “terpecah”. Banyak yang melerai mereka. Mereka pun akur kembali tapi tak serekat sebelumnya. Robbi punya teman dekat baru. Panggil dia Dewa, keturunan Batak-Jawa. Superstar kelasku dan ke depannya dia memang superstar selama di sekolah. Pebasket, anak band, tampan dan manis, postur tubuh jelas oke untuk superstar lokal sepertinya. Lokal karena masih kalangan pelajar di sekolah kami dan sekolah tetangga kami. Dialah Dewa, titik start api asmaraku yang menggebu lalu redup dan kembali membara pada Robbi berada.
***
 “Eciieee... Dewa, Dewi... pasangan baru, coy! Pasangan baru!” seru Robbi suatu siang setelah pelajaran olah raga usai, ketika semua siswa sepuluh tujuh lengkap leyeh-leyeh di dalam kelas.
Aku dan Dewa saling berpandangan lalu menautkan kedua alis masing-masing. Kami menghentikan diskusi kami tentang Matematika logaritma. Iya, Matematika adalah pelajaran paling kubenci sejak SMP. Semakin tinggi sekolahnya, materinya semakin sulit dan aku sebal. Dan Dewa benar-benar menjadi “dewa penyelamat”. Matematika “takluk” kepadanya.
“Wah, wah, opo ae seh, Bi??” ucap Dewa. Aku hanya manyun. Dan seisi kelas sudah sigap menyeru juga, menggoda kami.
Rasanya? Emm... aku suka sekali. Dewa siswa tampan dan cerdas, siapa yang tak suka. Penampilannya juga tak jelek-jelek amat walaupun tak semenarik Robbi yang apapun melekat di dirinya adalah barang bermerek mahal dan terkenal. Entah perasaan Dewa. Tapi, pada akhirnya aku tahu bahwa Dewa menjauhiku setelah penjodohan tanpa alasan jelas oleh Robbi. Tapi itu tak membuat Robbi berhenti usil menjodoh-jodohkan aku dan Dewa. Aku menikmati bahkan akhirnya aku sering berinteraksi dengannya untuk bicara soal Dewa.
Robbi bercerita lepas tentang asmaranya dengan adik kelas. Sesekali dia menggodaku tentang Dewa. Berandai-andai tentang aku dan Dewa. Yah, semuanya menyenangkan. Aku merasa suka pada Dewa tak peduli dia juga suka padaku atau tidak, di sisi lain aku suka mendengar suara Robbi di telpon dan bertemu di sekolah. Bahkan aku pernah melakukan suatu hal cuma-cuma untuknya.
“Tolong dong, bantuin tugas Bimbingan Konselingku. Masa’ gara-gara telat kemarin aku disuruh ngrangkum sebuku gini? Lima ratus halaman!” kata Robbi suatu siang saat istirahat.
“Yee... yang punya tugas siapa?!”
“Tolongin dong! Aku bilangin Dewa lho, ya, kamu jahat sama temennya,” godanya.
 “Bilangin aja sono!” tungkasku.
“Oke, fifty-fifty, ya? Please... bantuin aku, ya, Wi? Banyak banget lho,”
Robbi setengah memaksa. Aku menggeleng sambil menyantap pentol kesukaanku.
“Ayo ta lah! Njaluk tulung. Mosok ndak isa, to?” Logat khasnya sebagai suku peranakan di bumi Jawa bagian timur keluar.
Aku berubah pikiran. Kulirik dia.
“Imbalannya?” tanyaku.
“Gampang nanti ae,
Siapa tahu aku bisa mengeruk informasi tentang Dewa, aku mulai tertarik. Dewa atau Robbi sendiri? Entah.
***
Waktu lama berlalu. Aku mulai “gila”. Bagaimana tidak, setiap hari di otakku hanya Robbi, Robbi dan Robbi. Dewa kuabaikan. Robbi adalah “candu” baru untukku. Aku ingin dengar suaranya. Aku ingin menatap wajahnya setiap hari. Bahkan aku selalu bertanya pada mereka-mereka yang menurutku berpengalaman soal cinta tentang “kasusku” dengan Robbi. Lalu, satu statement yang membuatku senang bukan main. Bisa jadi, Robbi menyukaiku karena tiba-tiba saja mencari perhatianku dengan menjodoh-jodohkan aku dengan kawannya sendiri. Percaya tak percaya. Lebih besar tak percayanya. Aku sadar kami bagai langit dan bumi.
Robbi, kata orang culas, congkak, borju, bermulut pedas, merendahkan orang lain, oportunis. Beberapa di antara itu ada benarnya. Buktinya aku, dimanfaatkan mengerjakan tugasnya. Bukan cuman lima puluh persen, delapan puluh persen! Bodohnya, tak kuminta imbalanku. Membuatku “tinggi” tentang Dewa padahal faktanya Dewa justru mengabaikanku tanpa ampun. Tapi, di sisi lain... Robbi tak pernah menolak menerima telpon dariku. Bahkan dia bercerita panjang lebar tentang dirinya, tidak semua tapi seputar asmaranya. Bicara panjang kali lebar dengannya di telpon saja membuatku bahagia. Sikapnya juga tak lagi congkak padaku. Ramah. Lalu sempat membuatku terpaku ketika sepasang bola matanya menatapku  tajam di sebuah lorong kelas. Dia terdiam, aku terpaku. Lebih dari tiga detik kami bertatapan. Itu benar terjadi persis di film-film romansa. Tapi, aku tak tahu apakah adegan itu adegan romantis bertemunya dua pasang bola mata lalu terpaut hati masing-masing. Aku sendiri tak dapat mengartikannya. Aku juga masih terus bertanya-tanya pada hari-hari berikutnya, “Robbi, sukakah kamu padaku?”. Semenjak itu aku sendiri jadi linglung. Apa pesonanya? Mungkin satu, kekurangannya di mata orang lain adalah pesona bagiku. Gila. Seiring dengan itu aku hanya mau tahu satu hal: Robbi, aku menyukaimu.
***
 “Tarik lalu ulur. Ulur lalu tarik. Begitu terus, Wi!” kata Bastian, teman sekantorku berdarah Catalonia sedikit lantang. Karena hembusan angin begitu kuat sehingga berbicara lirih tidak ampuh untuk berkomunikasi dengan orang lain. Ia paham aku belum lihai bermain layangan.
“Berat, Yan! Nggak bisa! Eh, eh... jatuh, jatuh. Mau jatuh. Ini, nih!” seruku sambil segera kuberikan pada Bastian kembali.
“Kamu belum terbiasa, Wi. Nanti kalau terbiasa, seru,” tungkasnya.
“Oke, Guru! Gila ya, kayak anak pribumi kamu,” kataku.
I’m Indonesian too, Dewi. Mami Suroboyo, papa Catalon. Lahir di Kute, besar di Spanyolaaa, hahaha...” kelakar Bastian sambil berubah-ubah logat bahasa. Aku tertawa terpingkal-pingkal. Dia memang punya daya humor tinggi. Tak konyol, jadi wibawanya dan ketampanannya tak luntur.
Aku minggir sejenak. Kubiarkan Bastian asyik dengan yang lain dan layang-layangnya. Aku duduk di sebuah gubuk kecil tak jauh dari bibir pantai. Kuraih tasku untuk melihat ponselku. Siapa tahu ada pesan atau telpon penting masuk.
Belum kutemukan ponselku, fokusku jatuh pada secarik kertas. Kertas itu aku “curi” dari dinding pengumuman di sebuah universitas terkemuka di Jakarta setelah aku melakukan pekerjaanku di biro konsultasi psikologi di sana. Kertas itu bisa menjadi sebuah “jembatan” untukku kembali ke masa lalu, delapan tahun lalu. Aku bisa bertemu dengannya lagi. Melepas kerinduan. Tapi, jika memang Tuhan mengizinkan aku bertemu dengannya lagi, apa yang akan aku perbuat? Aku tak mungkin memeluknya. Lalu aku mengambil bolpoin dari dalam tasku. Aku tuliskan rinduku yang tak pernah terucap dengan lisan tepat di balik secarik kertas pengumuman tentang seminar motivasi dengan pembicara Robbi Pratama Tjandra.
Sudah sewindu berlalu. Terhitung sewindu aku menyukaimu. Tapi ketika aku sadar, kamu “menjauh” walau raga tetap bisa bertemu. Tapi kemudian kamu makin “menjauh” lalu “lenyap”. Tiada suara, tiada raga tapi rasaku makin bertumbuh. Sekarang aku rindu. Kamu tahu? Kamu rasa? Hai, lelaki sipit yang kutahu di profil picture-mu sekarang kamu mengurus, jelek. Aku suka kamu yang chubby. Terimalah pesan rinduku ini. Aku rindu.
Aku melipat surat itu menjadi dua. Aku menghampiri Bastian dan meminta Bastian menurunkan layangannya.
“Bastian, titip surat ini ke angkasa, ya?” kataku sambil menempelkan surat itu di permukaan layang-layang Bastian.
For what?
“Surat cinta,” kataku tersenyum.
“Kenapa kamu tak membuat perahu kertas seperti Kugy atau  surat kaleng dan lempar jauh-jauh ke tengah samudra sekalian?” tanya Bastian.
“Angkasa lebih luas ketimbang samudra. Aku ingin rinduku menggema seisi jagat raya, bukan hanya melampaui bumi ini,”
“Yah... kamu selalu suka berpuitis ria, Dewi. Semoga rindumu tersampaikan untuk pangeranmu,” kata Bastian memberi semangat.
“Kamu siap, Bastian? Kali ini aku butuh bantuanmu. Terbangkan layang-layang setinggi mungkin!” pintaku.
 “UYEEEAAAHHHHH!!!” teriaknya dan layang-layang itu terbang tinggi. Tinggiiii sekali.
Dalam hatiku berkata,”Tuhan, walaupun kami berbeda, bahagiakan Robbi dan katakan aku rindu. Sungguh. Kau lebih tahu dariku, Tuhan. Aku rindu.”
***



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ditunggu kritik dan saran membangun yah :)