Sudut
Rindu - Desember, 2012
Ah...
lelaki itu... delapan tahun terakhir selalu hadir dalam mimpiku, selalu ada
dalam do’aku, selalu kuucapkan harapan tentangnya. Sederhana saja, aku ingin
bertemu dan melepas rindu. Aku tak berani lebih dari itu. Perbedaan kami jauh.
Jauh sekali. Dia salib, aku bintang dan bulan. Dia engkoh, aku mbah kakung. Dia
bermerek, aku ala kadarnya. Dia banyak kata, aku lebih suka diam. Dan mungkin
banyak hal dari kami yang berbeda. Tapi, perasaan ini begitu manis walaupun aku
sendiri yang merasakan. Manis meski terkadang terlalu pahit karena dinding di
antara kami menjulang tinggi. Untuknya yang “berenang-renang” di bawah sadarku,
kutitipkan rindu melalui layang-layang terbang diterpa hembusan sang bayu.
Terimalah salam rinduku.
***
Namanya Robbi, lelaki
bermata sipit sedikit tambun dari kalangan superior di sekolah ini. Orangtuanya
donatur setiap ada acara di sekolah negeri favorit tempatku bersekolah. Aku
masih ingat dulu semasa SMP di sekolah yang sama dengannya, mataku sering
tertuju padanya –tanpa sengaja- dan aku memandang benci. Bingung. Entah
mengapa.
Kelas sepuluh tujuh. Di
sana aku mengenal Robbi dan entah sial, entah untung, aku duduk tepat di
seberang samping kanan bangkungnya. Dan kelas kami jarang melakukan rotasi
tempat duduk karena kami susah diatur juga aslinya. Hahaha. Interaksi berjalan
secara alami.
Beberapa bulan berlalu
kami bersama-sama dalam kemajemukan. Aku, Robbi dan 41 siswa lainnya. Sayangnya
kami kurang kompak tapi tidak ada kesengitan di antara kami. Hanya segelintir
orang saja dan itu jelas siapa biangnya. Biang keroknya jelas “kalangan”
superior. Jelas. Robbi. Masalahnya: rebutan wanita!
Robbi menaruh hati pada
wanita pribumi berotak cerdas, berparas ayu, bersahaja. Teman sebangkunya,
tepatnya sahabatnya sendiri juga tertarik pada wanita itu. Persaingan sengit
terjadi sampai mereka “terpecah”. Banyak yang melerai mereka. Mereka pun akur
kembali tapi tak serekat sebelumnya. Robbi punya teman dekat baru. Panggil dia Dewa,
keturunan Batak-Jawa. Superstar kelasku dan ke depannya dia memang superstar
selama di sekolah. Pebasket, anak band, tampan dan manis, postur tubuh jelas
oke untuk superstar lokal sepertinya. Lokal karena masih kalangan pelajar di
sekolah kami dan sekolah tetangga kami. Dialah Dewa, titik start api asmaraku yang menggebu lalu redup dan kembali membara
pada Robbi berada.
***
“Eciieee... Dewa, Dewi... pasangan baru, coy!
Pasangan baru!” seru Robbi suatu siang setelah pelajaran olah raga usai, ketika
semua siswa sepuluh tujuh lengkap leyeh-leyeh
di dalam kelas.
Aku dan Dewa saling
berpandangan lalu menautkan kedua alis masing-masing. Kami menghentikan diskusi
kami tentang Matematika logaritma. Iya, Matematika adalah pelajaran paling
kubenci sejak SMP. Semakin tinggi sekolahnya, materinya semakin sulit dan aku
sebal. Dan Dewa benar-benar menjadi “dewa penyelamat”. Matematika “takluk”
kepadanya.
“Wah, wah, opo ae seh, Bi??” ucap Dewa. Aku hanya
manyun. Dan seisi kelas sudah sigap menyeru juga, menggoda kami.
Rasanya? Emm... aku
suka sekali. Dewa siswa tampan dan cerdas, siapa yang tak suka. Penampilannya
juga tak jelek-jelek amat walaupun tak semenarik Robbi yang apapun melekat di
dirinya adalah barang bermerek mahal dan terkenal. Entah perasaan Dewa. Tapi,
pada akhirnya aku tahu bahwa Dewa menjauhiku setelah penjodohan tanpa alasan
jelas oleh Robbi. Tapi itu tak membuat Robbi berhenti usil menjodoh-jodohkan
aku dan Dewa. Aku menikmati bahkan akhirnya aku sering berinteraksi dengannya
untuk bicara soal Dewa.
Robbi bercerita lepas
tentang asmaranya dengan adik kelas. Sesekali dia menggodaku tentang Dewa.
Berandai-andai tentang aku dan Dewa. Yah, semuanya menyenangkan. Aku merasa
suka pada Dewa tak peduli dia juga suka padaku atau tidak, di sisi lain aku
suka mendengar suara Robbi di telpon dan bertemu di sekolah. Bahkan aku pernah
melakukan suatu hal cuma-cuma untuknya.
“Tolong dong, bantuin
tugas Bimbingan Konselingku. Masa’ gara-gara telat kemarin aku disuruh
ngrangkum sebuku gini? Lima ratus halaman!” kata Robbi suatu siang saat
istirahat.
“Yee... yang punya
tugas siapa?!”
“Tolongin dong! Aku
bilangin Dewa lho, ya, kamu jahat sama temennya,” godanya.
“Bilangin aja sono!” tungkasku.
“Oke, fifty-fifty, ya? Please... bantuin aku, ya, Wi? Banyak banget lho,”
Robbi setengah memaksa.
Aku menggeleng sambil menyantap pentol kesukaanku.
“Ayo ta lah! Njaluk tulung. Mosok ndak isa, to?” Logat khasnya sebagai suku
peranakan di bumi Jawa bagian timur keluar.
Aku berubah pikiran.
Kulirik dia.
“Imbalannya?” tanyaku.
“Gampang nanti ae,”
Siapa tahu aku bisa
mengeruk informasi tentang Dewa, aku mulai tertarik. Dewa atau Robbi sendiri?
Entah.
***
Waktu lama berlalu. Aku
mulai “gila”. Bagaimana tidak, setiap hari di otakku hanya Robbi, Robbi dan
Robbi. Dewa kuabaikan. Robbi adalah “candu” baru untukku. Aku ingin dengar
suaranya. Aku ingin menatap wajahnya setiap hari. Bahkan aku selalu bertanya
pada mereka-mereka yang menurutku berpengalaman soal cinta tentang “kasusku”
dengan Robbi. Lalu, satu statement
yang membuatku senang bukan main. Bisa jadi, Robbi menyukaiku karena tiba-tiba
saja mencari perhatianku dengan menjodoh-jodohkan aku dengan kawannya sendiri.
Percaya tak percaya. Lebih besar tak percayanya. Aku sadar kami bagai langit
dan bumi.
Robbi, kata orang
culas, congkak, borju, bermulut pedas, merendahkan orang lain, oportunis.
Beberapa di antara itu ada benarnya. Buktinya aku, dimanfaatkan mengerjakan
tugasnya. Bukan cuman lima puluh persen, delapan puluh persen! Bodohnya, tak
kuminta imbalanku. Membuatku “tinggi” tentang Dewa padahal faktanya Dewa justru
mengabaikanku tanpa ampun. Tapi, di sisi lain... Robbi tak pernah menolak
menerima telpon dariku. Bahkan dia bercerita panjang lebar tentang dirinya,
tidak semua tapi seputar asmaranya. Bicara panjang kali lebar dengannya di telpon
saja membuatku bahagia. Sikapnya juga tak lagi congkak padaku. Ramah. Lalu
sempat membuatku terpaku ketika sepasang bola matanya menatapku tajam di sebuah lorong kelas. Dia terdiam,
aku terpaku. Lebih dari tiga detik kami bertatapan. Itu benar terjadi persis di
film-film romansa. Tapi, aku tak tahu apakah adegan itu adegan romantis
bertemunya dua pasang bola mata lalu terpaut hati masing-masing. Aku sendiri
tak dapat mengartikannya. Aku juga masih terus bertanya-tanya pada hari-hari
berikutnya, “Robbi, sukakah kamu padaku?”.
Semenjak itu aku sendiri jadi linglung. Apa pesonanya? Mungkin satu,
kekurangannya di mata orang lain adalah pesona bagiku. Gila. Seiring dengan itu
aku hanya mau tahu satu hal: Robbi, aku
menyukaimu.
***
“Tarik lalu ulur. Ulur lalu tarik. Begitu
terus, Wi!” kata Bastian, teman sekantorku berdarah Catalonia sedikit lantang.
Karena hembusan angin begitu kuat sehingga berbicara lirih tidak ampuh untuk
berkomunikasi dengan orang lain. Ia paham aku belum lihai bermain layangan.
“Berat, Yan! Nggak bisa! Eh, eh... jatuh, jatuh. Mau
jatuh. Ini, nih!” seruku sambil segera kuberikan pada Bastian kembali.
“Kamu belum terbiasa,
Wi. Nanti kalau terbiasa, seru,” tungkasnya.
“Oke, Guru! Gila ya,
kayak anak pribumi kamu,” kataku.
“I’m Indonesian too, Dewi. Mami Suroboyo, papa Catalon. Lahir di
Kute, besar di Spanyolaaa, hahaha...” kelakar Bastian sambil berubah-ubah logat
bahasa. Aku tertawa terpingkal-pingkal. Dia memang punya daya humor tinggi. Tak
konyol, jadi wibawanya dan ketampanannya tak luntur.
Aku minggir sejenak.
Kubiarkan Bastian asyik dengan yang lain dan layang-layangnya. Aku duduk di
sebuah gubuk kecil tak jauh dari bibir pantai. Kuraih tasku untuk melihat
ponselku. Siapa tahu ada pesan atau telpon penting masuk.
Belum kutemukan ponselku,
fokusku jatuh pada secarik kertas. Kertas itu aku “curi” dari dinding
pengumuman di sebuah universitas terkemuka di Jakarta setelah aku melakukan
pekerjaanku di biro konsultasi psikologi di sana. Kertas itu bisa menjadi
sebuah “jembatan” untukku kembali ke masa lalu, delapan tahun lalu. Aku bisa
bertemu dengannya lagi. Melepas kerinduan. Tapi, jika memang Tuhan mengizinkan
aku bertemu dengannya lagi, apa yang akan aku perbuat? Aku tak mungkin
memeluknya. Lalu aku mengambil bolpoin dari dalam tasku. Aku tuliskan rinduku
yang tak pernah terucap dengan lisan tepat di balik secarik kertas pengumuman
tentang seminar motivasi dengan pembicara Robbi
Pratama Tjandra.
Sudah
sewindu berlalu. Terhitung sewindu aku menyukaimu. Tapi ketika aku sadar, kamu
“menjauh” walau raga tetap bisa bertemu. Tapi kemudian kamu makin “menjauh”
lalu “lenyap”. Tiada suara, tiada raga tapi rasaku makin bertumbuh. Sekarang aku
rindu. Kamu tahu? Kamu rasa? Hai, lelaki sipit yang kutahu di profil picture-mu
sekarang kamu mengurus, jelek. Aku suka kamu yang chubby. Terimalah pesan
rinduku ini. Aku rindu.
Aku melipat surat itu
menjadi dua. Aku menghampiri Bastian dan meminta Bastian menurunkan
layangannya.
“Bastian, titip surat
ini ke angkasa, ya?” kataku sambil menempelkan surat itu di permukaan
layang-layang Bastian.
“For what?”
“Surat cinta,” kataku
tersenyum.
“Kenapa kamu tak
membuat perahu kertas seperti Kugy atau
surat kaleng dan lempar jauh-jauh ke tengah samudra sekalian?” tanya Bastian.
“Angkasa lebih luas
ketimbang samudra. Aku ingin rinduku menggema seisi jagat raya, bukan hanya
melampaui bumi ini,”
“Yah... kamu selalu
suka berpuitis ria, Dewi. Semoga rindumu tersampaikan untuk pangeranmu,” kata Bastian
memberi semangat.
“Kamu siap, Bastian?
Kali ini aku butuh bantuanmu. Terbangkan layang-layang setinggi mungkin!”
pintaku.
“UYEEEAAAHHHHH!!!” teriaknya dan layang-layang
itu terbang tinggi. Tinggiiii sekali.
Dalam hatiku
berkata,”Tuhan, walaupun kami berbeda, bahagiakan Robbi dan katakan aku rindu.
Sungguh. Kau lebih tahu dariku, Tuhan. Aku rindu.”
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Ditunggu kritik dan saran membangun yah :)