Senin, 11 Maret 2013

Dia dan Sketsa Rupaku


Dia dan Sketsa Rupaku

Aku menyamankan diri duduk di sofa kesukaanku. Sofa ternyaman yang pernah kurasakan dari sekian banyak yang pernah kududuki dimanapun ia berada. Café di penghujung jalan protokol kota kecil bernama Pare, hanya sejam dari pusat Kerajaan Kediri -dulunya-, memang menawarkan kenyamanan dengan budget sesuai kantong para pemuda kota kecil ini. Bukan level premium tapi apapun yang ada di café ini membuat customernya terpuaskan. Pelayanan, menu-menunya, fasilitasnya. Yah, itu alasan mengapa aku sering menghabiskan waktu ketika sejenak menghibernasikan diri dari rutinitas kota yang bermaskot ikan Hiu dan Buaya itu.
Well, aku memanjakan diriku di café itu. Menyeruput kopi lalu kue lalu entah jajanan apapun yang ada di sana. Sendiri. Di suatu sudut. Kemudian mengamati tindak-tanduk segala yang bergerak di sekelilingku. Kemudian otak mengolah informasi itu lalu menarik kesimpulan berdasarkan persepsiku sendiri. Puas! Senang! Kebiasaan ini sudah lama, delapan tahun lalu. Waktu itu duduk di bangku kelas 2 SMA. Aku mulai senang mengamati sekelilingku untuk konsumsi pribadiku sendiri. Segala keindahan, keburukan dan apapun itu aku simpan dalam memoriku sendiri. Tak nyana itu memberikan kepuasan tersendiri. Hidup ini nikmat bisa menjalani kesendirian yang berkualitas.
Ternyata sudah sebulan aku tak pernah mengunjungi café ini. Padahal sebelum sebulan kemarin, tiap minggu –aku pulang kampung setiap hari Sabtu dan Minggu- aku menikmati kesendirianku di sini. Rasa senang dan puasku bukan hanya soal kepuasan tentang kesendirian menjadi penikmat sekeliling tapi juga karena sekarang aku bisa menghambur-hamburkan uangku sendiri, hasil kerja kerasku sendiri. Dulu, mana bisa kulakukan ini?
Sebulan berlalu aku rindu. Emm... rindu kenikmatan kesendirian dan alasan lain adalah kegiatan observasiku sudah dua bulan sebelum vakum sebulan kemarin, “parkir” lama pada sebuah “pemandangan”. Di sana ada objek seorang lelaki dengan kaca matanya, pensilnya, kertas-kertasnya, cangkir kopi, piring kecil berisi kue dan senyuman yang ia lempar kepada siapapun yang menyapanya. Bahkan ia nampak sangat akrab dengan pelayan café ini. Pelanggan setia mungkin -pikirku-. Dan kali ini aku menikmati pemandangan itu. Aihh... wajahnya teduh. Mungkin dia tipe good boy.
Sejam berlalu. Dia masih asyik menggores belasan kertas putih polos sejak sejam lalu di tempat itu. Seolah merasa paling aman untuk meleburkan diri ke dalam dunia yang mungkin hanya dia yang paham. Aku tahu dari kejauhan apa yang ia lakukan. Mewujudkan imajinya dalam goresan pensil. Ia seolah hidup bersama yang digambarnya itu dan tak banyak bicara dengan sekelilingnya. Hanya senyum jika ada orang menyapa. Hal ini membuat tak sedikit yang berkasak-kusuk di belakangnya –entah bicara apa- tapi aku mencoba memastikan mungkin terkait kebiasaannya yang seolah tenggelam sendiri dalam dunianya, tak banyak berinteraksi dengan orang lain. Hampir nyaris dikira alien. Sangat pendiam. Tak banyak tingkah. Ya, itu tadi, hanya senyuman –kalau ada yang menyapa-. Selebihnya ia serius mengonstruksi gambar-gambarnya itu.
Heran melintas di otakku. Mengapa ada orang sedemikian hanyut dalam dunianya sendiri tanpa takut dicecar orang lain dianggap sombong sampai dituding makhluk luar angksa yang nyasar ke bumi. Ia cuek. Sedemikian cuek apa kata orang yang “rutin” berkasak-kusuk di belakangnya tapi bermuka manis di depannya. Lalu aku bercermin pada diriku sendiri. Aku? Tipe orang yang sering tak pede, sering memedulikan omongan orang yang terkadang tak penting sampai membuat semua urat syaraf sekujur tubuhku kaku bukan main. Hormon-hormon pemicu kecemasan meningkat. Dan syaraf motorik atas perintah otak melakukan segala tindakan yang dapat “membungkam” mulut orang lain. membuktikan bahwa aku tak seperti yang mereka katakan. Tapi hidupku tak nyaman, tak tenang, tak senang, tak damai. Hidupku untuk menyenangkan orang lain. Kukira bagus karena aku bisa diterima mereka tapi mereka senang aku sengsara. Lalu, dia... ada apakah dalam sistem organ tubuhnya yang membuat dirinya tak ambil pusing apa kata orang? Tuhan memberinya “kelebihan” apa? Apakah dia wujud malaikat? Mana mungkin? Malaikat di zaman sekarang mana mungkin ada? Kalaupun ada bisa dirancu dengan wujud iblis yang suka menggoda anak cucu Adam dan Hawa.
Seorang pelayan menghampirinya. Aku tak tahu pasti isi pembicaraan mereka. Atau sudah pasti hanya perihal pesan menu saja.
“Ssstt, itu, tuh, yang di pojok sana! Sumpah ganteng mampus!” celetuk salah seorang cewek yang duduk di seberangku. Aku melirik. Segera kumemicingkan mata.
Lagi. Cewek (sok) metropolis dengan make up menor, cleavage yang nunjukin tonjolan dadanya, rok supermini yang nampaknya pantes untuk anak TK murid tetanggaku di rumah. Ah... glamor yang dipaksakan! Korban kapitalisme yang beredar. Uppss... tapi bisa jadi dia lebih-lebih ketimbang diriku. Lebih cerdas ketimbang aku kali. Entah. Segera kutepis kebiasaanku yang –tak sengaja- meremehkan orang lain.
Kuamati cewek (sok) metropolis itu dan kawanannya. Pengamatanku jitu. Tak salah aku menasbihkan diri sebagai observer yang handal. Itu juga diakui dosen pembimbing skripsiku ketika aku melakukan observasi terhadap pasien skizofrenia. Yah, dibanding dengan kawan lain yang masih strata satu, kemampuan observasiku lebih dibandingkan mereka. Berbanggalah aku. Kemudian, beberapa detik kemudian aku sudah dapat memastikan kawanan cewek (sok) metropolis itu sedang bergosip ria tentang “DIA”. Ya, dia yang sedari tadi asyik menggambar dan sesekali membenarkan kaca matanya, sesekali menyeruput kopi, dan sesekali melahap kue di depannya.
“Mau dong ya, gue jadi bininya. Hahaha...” ujar salah seorang dari kawanan cewek-cewek tadi. Aku mendengarkan dengan seksama. Selain aku punya mata yang jeli, aku juga punya pendengaran yang tajam.
Heran, di kota kecil dipaksakan bicara “elo” dan “gue” tapi medoknya minta ampun. Aku cuman ingin tertawa sejadi-jadinya. Terdengar konyol nona-nona (sok) metropolis!!! Huh!
Heemmm, tapi memang secara fisik, dia adalah “ukiran” Tuhan yang termasuk perfecto. Rambutnya lurus lembut nampaknya, cepak. Jidatnya lebar menandakan dia cerdas –kata orang zaman dulu-, hidungnya mancung –sangat disarankan untuk calon pasangannya yang pesek supaya mengalami perbaikan keturunan-, garis wajahnya kuat dan tegas, sedikit berjambang tapi kulitnya bersih, postur tubuh tegap sempurna. Sayang aku tak pernah mendengar suaranya. Seksikah? Soalnya David Beckham yang tampan itu menurutku suaranya tak begitu seksi seperti bodinya.
Aku sibuk dengan pikiranku sendiri diiringi suara berisik cewek-cewek tadi yang sekarang sudah beralih topik tapi sesekali mereka masih membahas “DIA”. Lalu aku memecah keheninganku sendiri. Aku menoleh ke arahnya. Dia membereskan kertas-kertas berserakan di mejanya dan semuanya ia rapikan. Ia meraih tasnya dan memasukkan perlengkapannya ke dalam tas. Ah, dia beranjak pergi. Sebal. Rinduku belum terpuaskan. Sorot mataku terus mengikutinya sampai tak terlihat lagi satu senti pun bagian tubuhnya. Kecewa.
Jam kuno yang berdiri elegan di samping kasir memberikan tanda dentangan keras menunjukkan pukul empat sore. Belum waktunya pulang. Biasanya aku pulang menjelang maghrib. Kumanfaatkan wifi café untuk mengecek e-mailku. Sudah ada tugas untuk Senin. Kepalaku berat mendadak.
Please... rileks... aku bisa melakukannya tanpa buang waktu sia-sia dan mengambil lagi kedamaianku seperti ini minggu depan. Rileks... rileks... rileks.
Aku melakukan self talk, meyakinkan diri sendiri. Memang susah tapi aku sudah mencoba melakukannya hampir dua tahun terakhir setelah gangguan obsesif kompulsifku “berulah”. Delapan puluh persen berhasil, tentunya dibantu dengan pengubahan pola pikir irasional menjadi rasional.
“Selamat sore, Mbak, ini pesanan Mbak tadi dan satu lagi ini ada titipan untuk Mbak,” suara pelayan café mengalihkan perhatianku sambil ia menyodorkan sekotak kue dan sebuah map.
Aku tersenyum dan berterima kasih padanya.
Map. Kukira tagihan yang harus kubayar, ternyata bukan. Justru kertas bergambar. Mulanya tak kumengerti maksud gambar itu. Wanita? Seharusnya gambar lelaki rupawan yang disodorkan padaku. Aku diam. Aku tak tahu maksud si empunya mengirim ini padaku. Ternyata, gambar itu tak hanya satu. Ada dua. Tiga. Yap, tiga lembar kertas bergambar. Aku membolak-balik ketiganya. Masih tak paham apapun. Tapi... wait... hidung agak besar tak mancung itu seperti milikku. Tiga tahi lalat tak menonjol yang membentuk garis lengkung beberapa senti di bawah mata kiri itu persis punyaku. Rambut lurus mengembang sebahu itu aku juga punya. Senyumku merekah segera. Itu aku! Ada seseorang yang diam-diam membuatnya untukku. Hmmm, aku punya pengagum rahasia. Atau mungkin saja wajahku terlalu eksotis untuk dilukis –penilaian pribadiku tanpa dasar kuat-. Aku tertawa keras di dalam hati. Aku terus mengamati lekat-lekat rupaku itu. Terima kasih menggambarku.
Senja segera menjemput malam, meninggalkan matahari berganti menerangi belahan bumi lainnya. Aku beranjak dari sofa biru tosca itu. Waktunya pulang. Aku membawa gambar-gambarku itu ke dalam tas. Akan aku simpan bahkan aku ingin mempostingnya ke blogku. Memakainya untuk profil picture akun jejaring sosialku. Well,  aku senang hari ini.
Aku telah melewati pintu café itu lalu mencoba menelpon adikku yang siapa tahu bisa menjemputku. Angin senja itu berhembus begitu kencang menyibak apapun yang bisa tersibak karena massanya yang lebih ringan ketimbang angin itu sendiri. Kemudian fokus mataku jatuh pada satu titik di seberang jalan sana. Aku kembali mendapati sosok dia. Berbincang dengan seseorang. Tapi ada keanehan. Dia menggerakkan kedua tangannya sebagai tanda isyarat. Siapa yang aneh? Dirinya atau orang yang bicara dengannya? Oh, ya dia sendiri susah untuk menyampaikan pesan pada lawan bicaranya dengan gerakan isyarat karena lengan kirinya mengapit sebuah map. Orang itu pergi dan dia hendak beranjak dari pandanganku. Ia membenarkan posisi kaca matanya dan membenarkan mapnya. Tapi agak sial, angin kembali ekstrim menarik kertas-kertas di dalam map itu bertebaran ke sana kemari. Gerak refleksku mengarah padanya. Membantunya memunguti kertas-kertas itu. Satu. Dua. Tiga. Sketsa arsitektur bangunan. Empat. Lima. Enam. Sketsa arsitektur gedung kuno ala romawi. Tujuh. Sketsa wanita ber-head phone, tangan memegang cangkir, mulut berpelepotan kue. Apik. Aku terpaku sampai akhirnya ia memecahkan lamunanku. Aku menyodorkan kumpulan sketsa itu padanya.
“Maaf,” ujarku. “Gambarnya bagus,” lanjutku tersenyum. Kecepatan degup jantungku bertambah. Grogi berbicara dengannya.
“The-rhi-mha-kha-sih,” balasnya. Aku kaget. Pelafalannya tak jelas. Aku berusaha mengatur ekspresi wajahku agar tak menyiratkan raut tak mengenakkan.
Ia tersenyum lalu menyodorkan gambar terakhir yang sukses membuatku terpaku tadi. Aku tak yakin itu aku tapi...
“Ih-nhi-un-thuk-kha-mhu. She-mho-gha-shu-kha,” ucapnya sambil menggerakkan kedua tangannya. Otakku langsung memberikan sinyal agar segera menarik kesimpulan. Dia unik. Aku tak suka menyebut kekurangan orang lain dengan kata “keterbatasan”.
“Untukku? Wah, terima kasih banyak,” sahutku tersenyum bangga. “Kalau begitu ini juga darimu?” tanyaku sambil mengambil kertas bergambar yang kudapatkan dari pelayan café tadi. Ia nampak tersipu malu. Ia mengangguk.
“Kalau boleh narsis sih, ini gambarku bukan?” tanyaku percaya diri. Ia mengangguk tersenyum.
“Semuanya untukku?”
“Shim-phan-bha-ikh-bha-ikh, yha?” pintanya.
“Tentu saja. Akan kusimpan baik-baik. Oh, ya, aku boleh tahu siapa namamu?” tanyaku.
Ia menunjukkan nama di sudut kertas bergambarnya. Reyhan.
“Oh, Reyhan. Lala,” ujarku.
“Ah-khu-pher-ghi-dhu-lu, yha,”
“Oh, iya. Ehm, betewe, kapan bisa bertemu lagi?” tanyaku super pede.
Dia hanya tersenyum lalu pergi. Aku masih terpaku. Tak ingin kehilangan kesempatan memperhatikannya lagi walau hanya punggungnya saja. Sampai ia hilang dari pandangan. Jauh. Hilang. Sedikit kecewa, kenapa dia tak menjawab. Tapi akan kutunggu. Siapa tahu minggu depan bisa bertemu lagi. Aku bahagia dengan sketsa rupaku yang dibuatnya. Dan aku menyukai sang creatornya. Cerita selanjutnya mungkin akan berlanjut.
JJJ


2 komentar:

Ditunggu kritik dan saran membangun yah :)