Dia dan Sketsa Rupaku
Aku
menyamankan diri duduk di sofa kesukaanku. Sofa ternyaman yang pernah kurasakan
dari sekian banyak yang pernah kududuki dimanapun ia berada. Café di penghujung
jalan protokol kota kecil bernama Pare, hanya sejam dari pusat Kerajaan Kediri
-dulunya-, memang menawarkan kenyamanan dengan budget sesuai kantong para pemuda kota kecil ini. Bukan level
premium tapi apapun yang ada di café ini membuat customernya terpuaskan. Pelayanan, menu-menunya, fasilitasnya. Yah,
itu alasan mengapa aku sering menghabiskan waktu ketika sejenak
menghibernasikan diri dari rutinitas kota yang bermaskot ikan Hiu dan Buaya itu.
Well, aku
memanjakan diriku di café itu. Menyeruput kopi lalu kue lalu entah jajanan
apapun yang ada di sana. Sendiri. Di suatu sudut. Kemudian mengamati
tindak-tanduk segala yang bergerak di sekelilingku. Kemudian otak mengolah
informasi itu lalu menarik kesimpulan berdasarkan persepsiku sendiri. Puas!
Senang! Kebiasaan ini sudah lama, delapan tahun lalu. Waktu itu duduk di bangku
kelas 2 SMA. Aku mulai senang mengamati sekelilingku untuk konsumsi pribadiku
sendiri. Segala keindahan, keburukan dan apapun itu aku simpan dalam memoriku
sendiri. Tak nyana itu memberikan kepuasan tersendiri. Hidup ini nikmat bisa
menjalani kesendirian yang berkualitas.
Ternyata
sudah sebulan aku tak pernah mengunjungi café ini. Padahal sebelum sebulan kemarin,
tiap minggu –aku pulang kampung setiap hari Sabtu dan Minggu- aku menikmati
kesendirianku di sini. Rasa senang dan puasku bukan hanya soal kepuasan tentang
kesendirian menjadi penikmat sekeliling tapi juga karena sekarang aku bisa
menghambur-hamburkan uangku sendiri, hasil kerja kerasku sendiri. Dulu, mana
bisa kulakukan ini?
Sebulan
berlalu aku rindu. Emm... rindu kenikmatan kesendirian dan alasan lain adalah
kegiatan observasiku sudah dua bulan sebelum vakum sebulan kemarin, “parkir”
lama pada sebuah “pemandangan”. Di sana ada objek seorang lelaki dengan kaca
matanya, pensilnya, kertas-kertasnya, cangkir kopi, piring kecil berisi kue dan
senyuman yang ia lempar kepada siapapun yang menyapanya. Bahkan ia nampak
sangat akrab dengan pelayan café ini. Pelanggan setia mungkin -pikirku-. Dan
kali ini aku menikmati pemandangan itu. Aihh... wajahnya teduh. Mungkin dia
tipe good boy.
Sejam
berlalu. Dia masih asyik menggores belasan kertas putih polos sejak sejam lalu
di tempat itu. Seolah merasa paling aman untuk meleburkan diri ke dalam dunia
yang mungkin hanya dia yang paham. Aku tahu dari kejauhan apa yang ia lakukan.
Mewujudkan imajinya dalam goresan pensil. Ia seolah hidup bersama yang
digambarnya itu dan tak banyak bicara dengan sekelilingnya. Hanya senyum jika
ada orang menyapa. Hal ini membuat tak sedikit yang berkasak-kusuk di
belakangnya –entah bicara apa- tapi aku mencoba memastikan mungkin terkait
kebiasaannya yang seolah tenggelam sendiri dalam dunianya, tak banyak berinteraksi
dengan orang lain. Hampir nyaris dikira alien. Sangat pendiam. Tak banyak
tingkah. Ya, itu tadi, hanya senyuman –kalau ada yang menyapa-. Selebihnya ia
serius mengonstruksi gambar-gambarnya itu.
Heran
melintas di otakku. Mengapa ada orang sedemikian hanyut dalam dunianya sendiri
tanpa takut dicecar orang lain dianggap sombong sampai dituding makhluk luar
angksa yang nyasar ke bumi. Ia cuek. Sedemikian cuek apa kata orang yang
“rutin” berkasak-kusuk di belakangnya tapi bermuka manis di depannya. Lalu aku
bercermin pada diriku sendiri. Aku? Tipe orang yang sering tak pede, sering memedulikan
omongan orang yang terkadang tak penting sampai membuat semua urat syaraf
sekujur tubuhku kaku bukan main. Hormon-hormon pemicu kecemasan meningkat. Dan
syaraf motorik atas perintah otak melakukan segala tindakan yang dapat “membungkam”
mulut orang lain. membuktikan bahwa aku tak seperti yang mereka katakan. Tapi
hidupku tak nyaman, tak tenang, tak senang, tak damai. Hidupku untuk
menyenangkan orang lain. Kukira bagus karena aku bisa diterima mereka tapi
mereka senang aku sengsara. Lalu, dia... ada apakah dalam sistem organ tubuhnya
yang membuat dirinya tak ambil pusing apa kata orang? Tuhan memberinya
“kelebihan” apa? Apakah dia wujud malaikat? Mana mungkin? Malaikat di zaman sekarang
mana mungkin ada? Kalaupun ada bisa dirancu dengan wujud iblis yang suka
menggoda anak cucu Adam dan Hawa.
Seorang
pelayan menghampirinya. Aku tak tahu pasti isi pembicaraan mereka. Atau sudah
pasti hanya perihal pesan menu saja.
“Ssstt,
itu, tuh, yang di pojok sana! Sumpah ganteng mampus!” celetuk salah seorang
cewek yang duduk di seberangku. Aku melirik. Segera kumemicingkan mata.
Lagi.
Cewek (sok) metropolis dengan make up
menor, cleavage yang nunjukin
tonjolan dadanya, rok supermini yang nampaknya pantes untuk anak TK murid tetanggaku
di rumah. Ah... glamor yang dipaksakan! Korban kapitalisme yang beredar.
Uppss... tapi bisa jadi dia lebih-lebih ketimbang diriku. Lebih cerdas
ketimbang aku kali. Entah. Segera kutepis kebiasaanku yang –tak sengaja-
meremehkan orang lain.
Kuamati
cewek (sok) metropolis itu dan kawanannya. Pengamatanku jitu. Tak salah aku
menasbihkan diri sebagai observer
yang handal. Itu juga diakui dosen pembimbing skripsiku ketika aku melakukan
observasi terhadap pasien skizofrenia. Yah, dibanding dengan kawan lain yang
masih strata satu, kemampuan observasiku lebih dibandingkan mereka. Berbanggalah
aku. Kemudian, beberapa detik kemudian aku sudah dapat memastikan kawanan cewek
(sok) metropolis itu sedang bergosip ria tentang “DIA”. Ya, dia yang sedari
tadi asyik menggambar dan sesekali membenarkan kaca matanya, sesekali
menyeruput kopi, dan sesekali melahap kue di depannya.
“Mau
dong ya, gue jadi bininya. Hahaha...” ujar salah seorang dari kawanan
cewek-cewek tadi. Aku mendengarkan dengan seksama. Selain aku punya mata yang
jeli, aku juga punya pendengaran yang tajam.
Heran,
di kota kecil dipaksakan bicara “elo” dan “gue” tapi medoknya minta ampun. Aku
cuman ingin tertawa sejadi-jadinya. Terdengar konyol nona-nona (sok)
metropolis!!! Huh!
Heemmm,
tapi memang secara fisik, dia adalah “ukiran” Tuhan yang termasuk perfecto. Rambutnya lurus lembut nampaknya,
cepak. Jidatnya lebar menandakan dia cerdas –kata orang zaman dulu-, hidungnya
mancung –sangat disarankan untuk calon pasangannya yang pesek supaya mengalami
perbaikan keturunan-, garis wajahnya kuat dan tegas, sedikit berjambang tapi
kulitnya bersih, postur tubuh tegap sempurna. Sayang aku tak pernah mendengar
suaranya. Seksikah? Soalnya David Beckham yang tampan itu menurutku suaranya
tak begitu seksi seperti bodinya.
Aku
sibuk dengan pikiranku sendiri diiringi suara berisik cewek-cewek tadi yang sekarang
sudah beralih topik tapi sesekali mereka masih membahas “DIA”. Lalu aku memecah
keheninganku sendiri. Aku menoleh ke arahnya. Dia membereskan kertas-kertas
berserakan di mejanya dan semuanya ia rapikan. Ia meraih tasnya dan memasukkan
perlengkapannya ke dalam tas. Ah, dia beranjak pergi. Sebal. Rinduku belum
terpuaskan. Sorot mataku terus mengikutinya sampai tak terlihat lagi satu senti
pun bagian tubuhnya. Kecewa.
Jam
kuno yang berdiri elegan di samping kasir memberikan tanda dentangan keras
menunjukkan pukul empat sore. Belum waktunya pulang. Biasanya aku pulang
menjelang maghrib. Kumanfaatkan wifi café untuk mengecek e-mailku. Sudah ada tugas untuk Senin. Kepalaku berat mendadak.
Please... rileks... aku bisa melakukannya tanpa
buang waktu sia-sia dan mengambil lagi kedamaianku seperti ini minggu depan.
Rileks... rileks... rileks.
Aku
melakukan self talk, meyakinkan diri
sendiri. Memang susah tapi aku sudah mencoba melakukannya hampir dua tahun
terakhir setelah gangguan obsesif kompulsifku “berulah”. Delapan puluh persen
berhasil, tentunya dibantu dengan pengubahan pola pikir irasional menjadi
rasional.
“Selamat
sore, Mbak, ini pesanan Mbak tadi dan satu lagi ini ada titipan untuk Mbak,”
suara pelayan café mengalihkan perhatianku sambil ia menyodorkan sekotak kue
dan sebuah map.
Aku
tersenyum dan berterima kasih padanya.
Map.
Kukira tagihan yang harus kubayar, ternyata bukan. Justru kertas bergambar.
Mulanya tak kumengerti maksud gambar itu. Wanita? Seharusnya gambar lelaki
rupawan yang disodorkan padaku. Aku diam. Aku tak tahu maksud si empunya
mengirim ini padaku. Ternyata, gambar itu tak hanya satu. Ada dua. Tiga. Yap,
tiga lembar kertas bergambar. Aku membolak-balik ketiganya. Masih tak paham
apapun. Tapi... wait... hidung agak besar
tak mancung itu seperti milikku. Tiga tahi lalat tak menonjol yang membentuk
garis lengkung beberapa senti di bawah mata kiri itu persis punyaku. Rambut
lurus mengembang sebahu itu aku juga punya. Senyumku merekah segera. Itu aku!
Ada seseorang yang diam-diam membuatnya untukku. Hmmm, aku punya pengagum
rahasia. Atau mungkin saja wajahku terlalu eksotis untuk dilukis –penilaian
pribadiku tanpa dasar kuat-. Aku tertawa keras di dalam hati. Aku terus
mengamati lekat-lekat rupaku itu. Terima kasih menggambarku.
Senja
segera menjemput malam, meninggalkan matahari berganti menerangi belahan bumi
lainnya. Aku beranjak dari sofa biru tosca itu. Waktunya pulang. Aku membawa
gambar-gambarku itu ke dalam tas. Akan aku simpan bahkan aku ingin
mempostingnya ke blogku. Memakainya untuk profil
picture akun jejaring sosialku. Well,
aku senang hari ini.
Aku
telah melewati pintu café itu lalu mencoba menelpon adikku yang siapa tahu bisa
menjemputku. Angin senja itu berhembus begitu kencang menyibak apapun yang bisa
tersibak karena massanya yang lebih ringan ketimbang angin itu sendiri. Kemudian
fokus mataku jatuh pada satu titik di seberang jalan sana. Aku kembali
mendapati sosok dia. Berbincang dengan seseorang. Tapi ada keanehan. Dia
menggerakkan kedua tangannya sebagai tanda isyarat. Siapa yang aneh? Dirinya
atau orang yang bicara dengannya? Oh, ya dia sendiri susah untuk menyampaikan
pesan pada lawan bicaranya dengan gerakan isyarat karena lengan kirinya
mengapit sebuah map. Orang itu pergi dan dia hendak beranjak dari pandanganku.
Ia membenarkan posisi kaca matanya dan membenarkan mapnya. Tapi agak sial,
angin kembali ekstrim menarik kertas-kertas di dalam map itu bertebaran ke sana
kemari. Gerak refleksku mengarah padanya. Membantunya memunguti kertas-kertas
itu. Satu. Dua. Tiga. Sketsa arsitektur bangunan. Empat. Lima. Enam. Sketsa
arsitektur gedung kuno ala romawi. Tujuh. Sketsa wanita ber-head phone, tangan memegang cangkir,
mulut berpelepotan kue. Apik. Aku terpaku sampai akhirnya ia memecahkan
lamunanku. Aku menyodorkan kumpulan sketsa itu padanya.
“Maaf,”
ujarku. “Gambarnya bagus,” lanjutku tersenyum. Kecepatan degup jantungku
bertambah. Grogi berbicara dengannya.
“The-rhi-mha-kha-sih,”
balasnya. Aku kaget. Pelafalannya tak jelas. Aku berusaha mengatur ekspresi
wajahku agar tak menyiratkan raut tak mengenakkan.
Ia
tersenyum lalu menyodorkan gambar terakhir yang sukses membuatku terpaku tadi.
Aku tak yakin itu aku tapi...
“Ih-nhi-un-thuk-kha-mhu.
She-mho-gha-shu-kha,” ucapnya sambil menggerakkan kedua tangannya. Otakku
langsung memberikan sinyal agar segera menarik kesimpulan. Dia unik. Aku tak
suka menyebut kekurangan orang lain dengan kata “keterbatasan”.
“Untukku?
Wah, terima kasih banyak,” sahutku tersenyum bangga. “Kalau begitu ini juga
darimu?” tanyaku sambil mengambil kertas bergambar yang kudapatkan dari pelayan
café tadi. Ia nampak tersipu malu. Ia mengangguk.
“Kalau
boleh narsis sih, ini gambarku bukan?” tanyaku percaya diri. Ia mengangguk
tersenyum.
“Semuanya
untukku?”
“Shim-phan-bha-ikh-bha-ikh,
yha?” pintanya.
“Tentu
saja. Akan kusimpan baik-baik. Oh, ya, aku boleh tahu siapa namamu?” tanyaku.
Ia
menunjukkan nama di sudut kertas bergambarnya. Reyhan.
“Oh,
Reyhan. Lala,” ujarku.
“Ah-khu-pher-ghi-dhu-lu,
yha,”
“Oh,
iya. Ehm, betewe, kapan bisa bertemu lagi?” tanyaku super pede.
Dia
hanya tersenyum lalu pergi. Aku masih terpaku. Tak ingin kehilangan kesempatan
memperhatikannya lagi walau hanya punggungnya saja. Sampai ia hilang dari
pandangan. Jauh. Hilang. Sedikit kecewa, kenapa dia tak menjawab. Tapi akan
kutunggu. Siapa tahu minggu depan bisa bertemu lagi. Aku bahagia dengan sketsa
rupaku yang dibuatnya. Dan aku menyukai sang creatornya. Cerita selanjutnya mungkin akan berlanjut.
JJJ
cool Titiiinnn :)
BalasHapusterima kasih, ada yng missing g? soalnya barusan tadi siang kurubah endingnya hehe
BalasHapus