Kamis, 14 Maret 2013

Nania, Ketidakwarasan Nia

Nia masih terpaku diam menatap sebuah foto yang terbingkai rapi terpajang di dinding kamarnya. Terlihat di sana, fotonya dan sahabatnya, Nania. Pikiran Nia melayang kembali ke masa lalu. Masa-masa indah bersama Nania tak akan terlupakan. Hanya Nania yang bisa menjaganya, mendengarkan semua keluh kesahnya tanpa protes dan bentakan tanda geregetan dengan sikap Nia yang selalu berputus asa, membantunya saat kesusahan, selalu membuat Nia tersenyum bahagia di kala benar-benar merasa jatuh dan sendirian. Sekalipun semua itu tak pernah maksimal. Nania memang bukan manusia sempurna seperti orang pada umumnya tapi jiwanya bak malaikat yang selalu dapat mendamaikan hati Nia. Sekalipun orang awam bicara Nania bukan gadis waras tapi bagi Nia, “ketidakwarasan” itulah yang menjadi keistimewaan Nania di hati Nia.
###
 “Ini buat kamu, Nania! Kamu suka kerupuk pedas ini, kan? Hehehe....,” kata Nia ketika menyambangi Nania di “rumah”nya.
“Iya!” sahut Nania cepat.
“Mau makan sekarang?” tanya Nia. Nania mengangguk cepat.
“Tapi... ssstttt...,” Nia belum selesai bicara, Nania menirukan gerakan Nia meletakkan jari telunjuknya di mulut. “jangan berisik. Biar ibu kepala dan mbak-mbak di sini nggak tahu kita makan ini. Oke?” Nia membuat kesepakatan dengan Nania. Nania menyambutnya dengan mantab.
Kemudian Nania melahapnya dengan senang hati. Sesudah itu, ia berekspresi kepedasan bukan main lalu membuka mulutnya lebar-lebar bak naga yang sedang menyemburkan api. Tawa riang pecah lalu keduanya saling membungkam mulut masing-masing memenuhi kesepakatan yang telah dibuat.
“Nania, tahu nggak? Hari ini aku ketemu sama cowok yang aku suka, loh! He-em. Tapi dia jalan bareng cewek lain. Dia bergandengan tangan begini sama cewek itu, gini..iya, begini. Mesraaa banget...Tapi, aku nggak sakit hati lagi kok! Kamu pernah bilang aku harus kuat! Aku nggak boleh cengeng,” kata Nia sambil berusaha menghibur diri. Tapi, Nania jauh lebih peka ketimbang Nia. Nania menyadari bahwa air mata hendak membasahi pipi Nia.
“Jangan nangis! Lihat!" Nania menunjuk seekor Beo dalam sangkar tak jauh dari mereka duduk. "Beo nggak  nangis! Beo nyanyi pelangi pelangi alangkah indahmu merah kuning hijau di langit yang biru.... ” suara Nania menyanyi.
            “Aku iri sama kamu Nania, kamu selalu seneng hidupnya walaupun kamu seperti ini. Kamu tak pernah punya beban dalam hidup. Sekalipun kamu dibuang oleh orangtuamu sejak kecil tapi sejatinya kamu tak akan pernah berpikir terlalu luas dan terlalu jauh sepertiku. Hidupmu bahagia dalam keterbatasan,” gumam Nia.
Sejenak Nia melamun memikirkan hidupnya yang dirasanya tak seberuntung Nania yang baru dikenalnya awal kuliah, tiga tahun lalu. Dalam hidup Nia merasa tak ada satu pun yang mengerti dia sekalipun orangtuanya. Orangtuanya selalu memaksa dia menjadi nomor satu, melarangnya pacaran, “mencetak” seorang Nia menjadi orang yang disiplin, kerja keras, pantang menyerah, perfeksionis, mengingat mereka bukan berasal dari orang kaya. Tapi, orangtuanya tak pernah melihat dari sisi Nia, bagaimana perasaan Nia sebenarnya. Dia tak pernah menyesali nilai-nilai yang ditanamkan oleh oran tuanya tapi dampak dari itu semua, Nia menjadi pribadi yang tertutup, takut melakukan kesalahan, tidak luwes berteman dengan lawan jenis, menganggap semua hal serius sekalipun itu hal sepele dan akhirnya Nia merasa ia menjadi manusia robot, tiada lelah bekerja padahal ia manusia yang punya keterbatasan dan ia stres! Dan saat ia merasakan itu, tak ada satu pun yang mau dijadikan tempat bersandar.
Nia terbangun dari lamunannya ketika Nania menyelipkan setangkai bunga di telinga kanan Nia.
“Cantik!” seru Nania.
“Ah, kamu bisa aja. Terima kasih, ya? Tapi, Edo nggak akan pernah mengatakan itu padaku dan menerima perasaanku...” kata Nia kembali bersedih.
“Nia cantik! Jangan sedih lagi,” sahut Nania menghibur.
###
 “Kamu ngapain pulang malem-malem lagi? Padahal tugas-tugas akhir kamu sudah selesai semua,” tanya ibunda Nia ketika Nia sampai rumah tepat pukul sepuluh malam.
“Dari panti Melati, Bu,” jawab Nia tak bersemangat.
“Kamu ngapain lagi ke sana? Kamu ketemu lagi sama orang ndak waras itu???” tuduh ibunya.
“Ibu, sudah berapa kali saya bilang, Nania itu nggak gila! Ibu ndak bisa baca, ya? Itu yayasan untuk orang-orang tuna daksa! Bukan rumah sakit jiwa!” balas Nia dengan suara lantang.
“Tapi tetap saja dia nggak bisa berpikir normal kayak kita!” sahut ibunya.
“Ibu, tolong, saya ini sudah hampir lulus dari kuliah ini, tapi kenapa sih, ibu ndak sedikitpun mau memahami apa yang saya lakukan?”
“Karena ibu dan ayah ndak pernah merestui kamu di jurusan nggak jelas begitu! Apa untungnya? Mau jadi apa kamu jadi sarjana sepikologi??!!”
“Psikologi, Bu,” Nia membenarkan pelafalan ibunya.
“Apapun itu! Ngapain pula berurusan dengan orang-orang aneh seperti mereka??!!”
“Sudahlah, Bu, saya capek meributkan hal-hal itu saja sama ibu. Ibu boleh tidak memaafkan saya tapi tolong Ibu rubah mind set Ibu tentang Nania. Dia hanya keterbelakangan mental bukan gila!” tegas Nia segera pergi ke kamarnya.
Nania dongkol lagi dalam hati. Entah apa yang ada di pikiran kedua orangtuanya dan apa yang membuat hati mereka begitu kokoh tak terpatahkan untuk memandang remeh apa yang dilakukan Nania. Ada apa dengan ilmu psikologi? Ada apa bila Nia bergaul dengan mereka yang memiliki keterbelakangan mental dan bahkan gangguan jiwa? Kenapa orangtua Nia begitu tidak meridhoi anaknya berhubungan dengan itu semua. Nia menghanyutkan tubuhnya di kasur dan menangis sejadi-jadinya. Hidupnya sial! Orangtua otoriter, tak pernah disukai lawan jenis, persahabatan yang penuh dusta, tak pernah ada yang beres dalam hidupnya. Kemudian terlintas pikiran gila di otak Nia. Bunuh diri. Ah, tapi tidak, sekalipun ia marah pada orangtuanya tapi ia masih ingin membahagiakan orangtuanya. Lari ke narkoba? Ah, apa kata orang nanti?
“Niatku adalah mengabdikan hidupku untuk kebaikan membantu sesama yang mungkin merasakan hal yang sama denganku. Menjadikan diriku sendiri sebagai contoh yang bisa survive dalam semua masalah yang menempaku, seberat apapun itu. Aku harus survive. Seperti Nania dan kawan-kawan yang lain itu. Mereka mampu melewati kepahitan yang terjadi dalam hidup mereka. Dan aku yang lebih dari mereka harus lebih bisa berpikir sehat,” gumam Nia sambil menyeka air matanya.
###
Nia baru selesai kuliah dan hendak pergi makan siang bersama teman-temannya tapi tiba-tiba telepon dari panti Melati memberitahukan bahwa Nania kecelakaan parah dan dibawa ke rumah sakit dekat kampus Nia. Spontan Nia cemas dan bergegas ke rumah sakit. Tapi di tengah jalan ia bertemu Edo dan Edo “menghadangnya” sebentar.
“Nia, bisa bicara sebentar?”
“Kenapa? Cepetan!”
“Kita ketemu Sabtu besok di taman kota, ya? Ada yang pengen aku omongin ke kamu,”
“Oke, aku bisa dateng. Duluan ya, urgent, nih!” kata Nia sambil buru-buru lari sedang Edo nampak bingung sendiri.
Sesampainya di rumah sakit dengan jalan kaki, Nia segera menuju ruang operasi di mana Nania berada. Di sana ia menemui ketua yayasan yang memang selama ini juga dekat dengan Nania dan menyayangi Nania.
“Gimana Nania, Bu?” tanya Nia khawatir.
“Masih dioperasi, Nia,” jawab ibu itu.
Setelah beberapa waktu menunggu akhirnya dokter keluar dengan raut wajah murung.
“Nania gimana, Dok?? Selamat kan, Dok? Dokter, gimana Nania?” tanya Nia beruntun.
“Maaf, saudara Nania....” kata dokter itu terhenti sejenak.
“Kenapa, Dok?” tanya ibu ketua yayasan tak kalah khawatir.
“Saudara Nania tak tertolong. Kami sudah berusaha keras tapi pendarahan di kepalanya sungguh parah. Kami mohon maaf,” lanjut si Dokter sambil beranjak pergi.
Nia dan Ibu ketua yayasan yang merangkap sebagai kepala sekolah shock berat. Nia segera masuk ruang operasi dan memeluk Nania yang sudah terkapar tak bernyawa itu. Rasanya benar-benar sulit diterima, “malaikat”nya pergi tanpa pamit sebegitu mendadaknya. Nia belum siap kehilangan orang kepercayaannya dan yang paling disayanginya itu. Nia kemudian pingsan untuk beberapa waktu. Bahkan sampai proses pemakaman Nania, Nia masih sering jatuh bangun pingsan. Nia juga sempat menunggui pusara Nania hingga hari hampir menjelang senja setelah Nania dikebumikan. Hingga beberapa hari setelahnya Nania masih menutup diri untuk hal-hal berkaitan dengan Nania.
###
Dua minggu berlalu Nia menyambangi panti Melati, tempat di mana banyak kenangan dengan sahabatnya terekam indah. Sesampainya di sana, ibu ketua yayasan memberikan secarik kertas pada Nia. Kertas itu ternyata bergambar orang-orang yang dinamai pada masing-masing orang: Nia, Nania, keluarga Nia dan Edo dengan ekspresi wajah bahagia. Mungkin itu adalah doa Nania selama ini untuk dirinya. Tak terasa Nia meneteskan air mata. Kehilangan Nania seolah-olah kehilangan separuh jiwa. Sekalipun Nania tak sesempurna dirinya tapi Nania punya hati yang bersih, tak pernah berburuk sangka dan jahat pada orang lain. Dan Nia kembali merenung, tak lagi ada yang mengerti dia, sementara orangtuanya tetap sama tak pernah berubah. Dan Edo ternyata hanya ingin menegaskan bahwa di antara mereka hanya teman dan tak akan pernah terjalin cinta kasih karena di mata Edo, Nania tak ubahnya pungguk merindukan rembulan. Bagi Nia, semenjak kematian Nania, semua orang semakin kejam dan memuakkan!
...
“Biarkan aku dengan ketidakwarasanku yang menganggap semua orang kejam karena bagiku semua begitu adanya! Hanya dengan ketidakwarasanku ini, aku bisa berkhayal bertemu dengan Nania kembali, bercengkerama dengannya dan menghapus semua kepedihan. Jangan sadarkan aku dari ketidakwarasan ini karena kalian pun tak akan pernah mau mengerti diriku. Jadi, buat apa aku mewaraskan diriku? Percuma!” batin Nia dalam hati sambil memeluk foto kenangan saat ia dan Nania berfoto bersama di salah satu sudut taman panti Melati.
-selesai-


*Ditulis ulang untuk event Moment to Remember 2013 dengan tema "friendship"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ditunggu kritik dan saran membangun yah :)