Nia masih terpaku diam
menatap sebuah foto yang terbingkai rapi terpajang di dinding kamarnya.
Terlihat di sana, fotonya dan sahabatnya, Nania. Pikiran Nia melayang kembali
ke masa lalu. Masa-masa indah bersama Nania tak akan terlupakan. Hanya Nania
yang bisa menjaganya, mendengarkan semua keluh kesahnya tanpa protes dan
bentakan tanda geregetan dengan sikap Nia yang selalu berputus asa, membantunya
saat kesusahan, selalu membuat Nia tersenyum bahagia di kala benar-benar merasa
jatuh dan sendirian. Sekalipun semua itu tak pernah maksimal. Nania memang
bukan manusia sempurna seperti orang pada umumnya tapi jiwanya bak malaikat
yang selalu dapat mendamaikan hati Nia. Sekalipun orang awam bicara Nania bukan
gadis waras tapi bagi Nia, “ketidakwarasan” itulah yang menjadi keistimewaan
Nania di hati Nia.
###
“Ini buat kamu, Nania! Kamu suka kerupuk pedas
ini, kan? Hehehe....,” kata Nia ketika menyambangi Nania di “rumah”nya.
“Iya!” sahut Nania
cepat.
“Mau makan sekarang?”
tanya Nia. Nania mengangguk cepat.
“Tapi... ssstttt...,”
Nia belum selesai bicara, Nania menirukan gerakan Nia meletakkan jari
telunjuknya di mulut. “jangan berisik. Biar ibu kepala dan mbak-mbak di sini nggak tahu kita makan ini. Oke?” Nia
membuat kesepakatan dengan Nania. Nania menyambutnya dengan mantab.
Kemudian Nania
melahapnya dengan senang hati. Sesudah itu, ia berekspresi kepedasan bukan main
lalu membuka mulutnya lebar-lebar bak naga yang sedang menyemburkan api. Tawa
riang pecah lalu keduanya saling membungkam mulut masing-masing memenuhi
kesepakatan yang telah dibuat.
“Nania, tahu nggak? Hari ini aku ketemu sama cowok
yang aku suka, loh! He-em. Tapi dia jalan bareng cewek lain. Dia bergandengan
tangan begini sama cewek itu, gini..iya, begini. Mesraaa banget...Tapi, aku nggak sakit hati lagi kok! Kamu pernah
bilang aku harus kuat! Aku nggak
boleh cengeng,” kata Nia sambil berusaha menghibur diri. Tapi, Nania jauh lebih
peka ketimbang Nia. Nania menyadari bahwa air mata hendak membasahi pipi Nia.
“Jangan nangis! Lihat!" Nania menunjuk seekor Beo dalam sangkar tak jauh dari mereka duduk. "Beo nggak nangis! Beo nyanyi pelangi pelangi alangkah
indahmu merah kuning hijau di langit yang biru.... ” suara Nania menyanyi.
“Aku iri sama kamu Nania, kamu selalu
seneng hidupnya walaupun kamu seperti ini. Kamu tak pernah punya beban dalam
hidup. Sekalipun kamu dibuang oleh orangtuamu sejak kecil tapi sejatinya kamu
tak akan pernah berpikir terlalu luas dan terlalu jauh sepertiku. Hidupmu
bahagia dalam keterbatasan,” gumam Nia.
Sejenak Nia melamun
memikirkan hidupnya yang dirasanya tak seberuntung Nania yang baru dikenalnya
awal kuliah, tiga tahun lalu. Dalam hidup Nia merasa tak ada satu pun yang
mengerti dia sekalipun orangtuanya. Orangtuanya selalu memaksa dia menjadi
nomor satu, melarangnya pacaran, “mencetak” seorang Nia menjadi orang yang
disiplin, kerja keras, pantang menyerah, perfeksionis, mengingat mereka bukan
berasal dari orang kaya. Tapi, orangtuanya tak pernah melihat dari sisi Nia, bagaimana
perasaan Nia sebenarnya. Dia tak pernah menyesali nilai-nilai yang ditanamkan
oleh oran tuanya tapi dampak dari itu semua, Nia menjadi pribadi yang tertutup,
takut melakukan kesalahan, tidak luwes berteman dengan lawan jenis, menganggap
semua hal serius sekalipun itu hal sepele dan akhirnya Nia merasa ia menjadi
manusia robot, tiada lelah bekerja padahal ia manusia yang punya keterbatasan
dan ia stres! Dan saat ia merasakan itu, tak ada satu pun yang mau dijadikan
tempat bersandar.
Nia terbangun dari
lamunannya ketika Nania menyelipkan setangkai bunga di telinga kanan Nia.
“Cantik!” seru Nania.
“Ah, kamu bisa aja.
Terima kasih, ya? Tapi, Edo nggak
akan pernah mengatakan itu padaku dan menerima perasaanku...” kata Nia kembali
bersedih.
“Nia cantik! Jangan
sedih lagi,” sahut Nania menghibur.
###
“Kamu ngapain pulang malem-malem lagi? Padahal
tugas-tugas akhir kamu sudah selesai semua,” tanya ibunda Nia ketika Nia sampai
rumah tepat pukul sepuluh malam.
“Dari panti Melati,
Bu,” jawab Nia tak bersemangat.
“Kamu ngapain lagi ke
sana? Kamu ketemu lagi sama orang ndak
waras itu???” tuduh ibunya.
“Ibu, sudah berapa kali
saya bilang, Nania itu nggak gila!
Ibu ndak bisa baca, ya? Itu yayasan
untuk orang-orang tuna daksa! Bukan rumah sakit jiwa!” balas Nia dengan suara
lantang.
“Tapi tetap saja dia nggak bisa berpikir normal kayak kita!”
sahut ibunya.
“Ibu, tolong, saya ini
sudah hampir lulus dari kuliah ini, tapi kenapa sih, ibu ndak sedikitpun mau memahami apa yang saya lakukan?”
“Karena ibu dan ayah ndak pernah merestui kamu di jurusan nggak jelas begitu! Apa untungnya? Mau
jadi apa kamu jadi sarjana sepikologi??!!”
“Psikologi, Bu,” Nia
membenarkan pelafalan ibunya.
“Apapun itu! Ngapain
pula berurusan dengan orang-orang aneh seperti mereka??!!”
“Sudahlah, Bu, saya
capek meributkan hal-hal itu saja sama ibu. Ibu boleh tidak memaafkan saya tapi
tolong Ibu rubah mind set Ibu tentang
Nania. Dia hanya keterbelakangan mental bukan gila!” tegas Nia segera pergi ke
kamarnya.
Nania dongkol lagi
dalam hati. Entah apa yang ada di pikiran kedua orangtuanya dan apa yang
membuat hati mereka begitu kokoh tak terpatahkan untuk memandang remeh apa yang
dilakukan Nania. Ada apa dengan ilmu psikologi? Ada apa bila Nia bergaul dengan
mereka yang memiliki keterbelakangan mental dan bahkan gangguan jiwa? Kenapa
orangtua Nia begitu tidak meridhoi anaknya berhubungan dengan itu semua. Nia
menghanyutkan tubuhnya di kasur dan menangis sejadi-jadinya. Hidupnya sial!
Orangtua otoriter, tak pernah disukai lawan jenis, persahabatan yang penuh
dusta, tak pernah ada yang beres dalam hidupnya. Kemudian terlintas pikiran
gila di otak Nia. Bunuh diri. Ah, tapi tidak, sekalipun ia marah pada orangtuanya
tapi ia masih ingin membahagiakan orangtuanya. Lari ke narkoba? Ah, apa kata
orang nanti?
“Niatku adalah
mengabdikan hidupku untuk kebaikan membantu sesama yang mungkin merasakan hal
yang sama denganku. Menjadikan diriku sendiri sebagai contoh yang bisa survive dalam semua masalah yang
menempaku, seberat apapun itu. Aku harus survive.
Seperti Nania dan kawan-kawan yang lain itu. Mereka mampu melewati kepahitan
yang terjadi dalam hidup mereka. Dan aku yang lebih dari mereka harus lebih
bisa berpikir sehat,” gumam Nia sambil menyeka air matanya.
###
Nia baru selesai kuliah
dan hendak pergi makan siang bersama teman-temannya tapi tiba-tiba telepon dari
panti Melati memberitahukan bahwa Nania kecelakaan parah dan dibawa ke rumah
sakit dekat kampus Nia. Spontan Nia cemas dan bergegas ke rumah sakit. Tapi di
tengah jalan ia bertemu Edo dan Edo “menghadangnya” sebentar.
“Nia, bisa bicara
sebentar?”
“Kenapa? Cepetan!”
“Kita ketemu Sabtu
besok di taman kota, ya? Ada yang pengen aku omongin ke kamu,”
“Oke, aku bisa dateng.
Duluan ya, urgent, nih!” kata Nia
sambil buru-buru lari sedang Edo nampak bingung sendiri.
Sesampainya di rumah
sakit dengan jalan kaki, Nia segera menuju ruang operasi di mana Nania berada.
Di sana ia menemui ketua yayasan yang memang selama ini juga dekat dengan Nania
dan menyayangi Nania.
“Gimana Nania, Bu?”
tanya Nia khawatir.
“Masih dioperasi,
Nia,” jawab ibu itu.
Setelah beberapa waktu
menunggu akhirnya dokter keluar dengan raut wajah murung.
“Nania gimana, Dok??
Selamat kan, Dok? Dokter, gimana Nania?” tanya Nia beruntun.
“Maaf, saudara
Nania....” kata dokter itu terhenti sejenak.
“Kenapa, Dok?” tanya
ibu ketua yayasan tak kalah khawatir.
“Saudara Nania tak
tertolong. Kami sudah berusaha keras tapi pendarahan di kepalanya sungguh
parah. Kami mohon maaf,” lanjut si Dokter sambil beranjak pergi.
Nia dan Ibu ketua yayasan
yang merangkap sebagai kepala sekolah shock
berat. Nia segera masuk ruang operasi dan memeluk Nania yang sudah terkapar tak
bernyawa itu. Rasanya benar-benar sulit diterima, “malaikat”nya pergi tanpa
pamit sebegitu mendadaknya. Nia belum siap kehilangan orang kepercayaannya dan
yang paling disayanginya itu. Nia kemudian pingsan untuk beberapa waktu. Bahkan
sampai proses pemakaman Nania, Nia masih sering jatuh bangun pingsan. Nia juga
sempat menunggui pusara Nania hingga hari hampir menjelang senja setelah Nania
dikebumikan. Hingga beberapa hari setelahnya Nania masih menutup diri untuk
hal-hal berkaitan dengan Nania.
###
Dua minggu berlalu Nia
menyambangi panti Melati, tempat di mana banyak kenangan dengan sahabatnya
terekam indah. Sesampainya di sana, ibu ketua yayasan memberikan secarik kertas
pada Nia. Kertas itu ternyata bergambar orang-orang yang dinamai pada
masing-masing orang: Nia, Nania, keluarga Nia dan Edo dengan ekspresi wajah
bahagia. Mungkin itu adalah doa Nania selama ini untuk dirinya. Tak terasa Nia
meneteskan air mata. Kehilangan Nania seolah-olah kehilangan separuh jiwa.
Sekalipun Nania tak sesempurna dirinya tapi Nania punya hati yang bersih, tak
pernah berburuk sangka dan jahat pada orang lain. Dan Nia kembali merenung, tak
lagi ada yang mengerti dia, sementara orangtuanya tetap sama tak pernah
berubah. Dan Edo ternyata hanya ingin menegaskan bahwa di antara mereka hanya
teman dan tak akan pernah terjalin cinta kasih karena di mata Edo, Nania tak
ubahnya pungguk merindukan rembulan. Bagi Nia, semenjak kematian Nania, semua
orang semakin kejam dan memuakkan!
...
“Biarkan aku dengan
ketidakwarasanku yang menganggap semua orang kejam karena bagiku semua begitu
adanya! Hanya dengan ketidakwarasanku ini, aku bisa berkhayal bertemu dengan
Nania kembali, bercengkerama dengannya dan menghapus semua kepedihan. Jangan
sadarkan aku dari ketidakwarasan ini karena kalian pun tak akan pernah mau
mengerti diriku. Jadi, buat apa aku mewaraskan diriku? Percuma!” batin Nia
dalam hati sambil memeluk foto kenangan saat ia dan Nania berfoto bersama di
salah satu sudut taman panti Melati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Ditunggu kritik dan saran membangun yah :)