Graduasi
Maaf mungkin maksa dari graduation ke graduasi. Intinya kelulusan.
Syukur alkhamdulillah, 4,5 tahun sudah menuntut ilmu yang memang
diidam-idamkan dan tinggal 3 hari lagi
bakal sah menjadi sarjana psikologi. Amazing!!
Saya puji diri saya sendiri
karena ternyata saya bisa! Mulanya dapat
kasak-kusuk yang memandang sebelah mata saya mampu kuliah. Mulanya saya
sendiri sempat “tumbang” karena biaya hidup mahal sementara di rumah adik-adik
masih butuh biaya sekolah. Mulanya dan selama proses belajar psikologi
berlangsung selalu dihiasi segala macam “warna” kebahagiaan, kesedihan,
kekecewaaan, ketidakpercayadirian dan semacamnya dan akhirnya saya bisa!
Psikologi. Dulu ketika SMA
saya hanya tahu kalau jadi psikolog bakalan tahu karakter orang hanya dengan
beberapa kali interaksi. Ternyata tidak. Kalaupun bisa, tentu membutuhkan
pengalaman yang lebih, lebih dan lebih. Kami lulusan psikologi dan mungkin
calon psikolog nantinya, juga tidak serta-merta disangka bisa membaca karakter
orang begitu saja. Kami bukan dukun, paranormal apalagi tukang sihir yang
sekonyong-konyong menilai orang, memutuskan seseorang begini-begini-begitu. No. No. No. Kami punya kode etik. (Aduh,
bahasanya sudah belaga ekspert ya J)
Psikologi. Saya ngebet
menekuni ilmu itu hanya demi ingin tahu karakter orang lain. Sederhanya: pengen
tahu Anda itu suka sama saya nggak, sih? Anda benci saya? Apa yang Anda
pikirkan tentang saya? Mulanya begitu. Tapi ternyata banyak hal yang perlu
dipelajari dari A sampai Z sodara-sodara! Menyenangkan! Kami berinteraksi
dengan banyak karakter termasuk mereka yang memiliki permasalahan psikologi
tingkat ringan hingga berat. Itulah kesenangan tersendiri. Membuat diri ini
merasa lebih, lebih dan lebih bersyukur -semoga-.
Anda tahu? Bahwa pertama
kali saya berinteraksi dengan penderita Skizofrenia (maaf orang awam mengatakan
gila, kami memiliki istilah sendiri) pada usia saya di fakultas psikologi Unair
masih semester tiga. Di Cisarua, Bogor, Jawa Barat. Otak saya jungkir balik -lebay-.
Mindset saya tentang mereka yang
dirawat di rumah sakit jiwa adalah seperti yang saya lihat di sinetron-sinetron
(kelihatan dulunya pecandu sinetron :D) adalah mereka yang dengan sigap
menyerang siapapun. Itulah ketakutan saya! And
then... saya membuktikan itu-sama-sekali-tidak-benar! Di sana semua
terstruktur rapi. Ada pembagian kelas untuk mereka yang masih mengalami
gaduh-gelisah (penderita Skizofrenia yang berteriak-teriak belum bisa
dikendalikan) maupun yang sudah tenang. Dan
saya mendapatkan subjek yang sudah tenang dan dapat berinteraksi dengan cukup
baik dengan saya. Walaupun waham dan alur pemikiran dan pembicaraan yang
loncat-loncat.
Dia wanita masih berusia 20-an
tahun, tidak jauh berbeda dengan saya kala itu. Masuk rumah sakit jiwa karena
genetik dan dipicu permasalahan asmara yang rumit. Dia sering melakukan hal
destruktif sebelum dirawat di rumah sakit jiwa. Ah... saya amat sangat
beruntung melihat kisah wanita itu. Sekurang-kurangnya saya, kedua orangtua
saya setia untuk menguatkan saya di kala jatuh dan mengingatkan saya untuk
memegang teguh prinsip agama. Itulah kunci kebahagiaan dunia-akhirat, Itulah
pesan ayah dan ibu saya.
Intinya, dari psikologi saya
mengambil banyak pengetahuan walaupun pengalaman belum terlalu banyak. Bicara soal
ini saya harus membuka file lama yang
menunjukkan saya 3 kali gagal seleksi magang di unit-unit psikologi yang
dimiliki fakultas tempat saya kuliah. Ouucchhh.,.. kecewa berat. Dan berpikir apakah
saya terlalu buruk ya kalau jadi magangers? Sampai saya sendiri takut kalau mau
psikotes! Bahkan agak benci. Psikotes itu tidak menjamin sepenuhnya orang itu
seperti hasil yang ada. Banyak faktor yang mempengaruhi. Dan itu yang saya
benci sekaligus takut. Benci karena kenapa harus diberi psikotes –walau alasan
kuatnya juga sudah tahu tapi terkadang tidak terima kok sampai saya gagal di psikotes??-
dan takut apakah memang karakter saya terlalu buruk kalau diterima? Dan ini jadi
polemik tersendiri buat saya menghadapi “dunia baru” setelah kuliah, bekerja. Ah,
sudah lupakan psikotes.
Sebagai sarjana psikologi
bukan apa-apa bagi saya. Ilmu saya terlalu cethek
apalagi dengan sistem belajar saya yang SKS alias Sistem Kebut Subuh pas musim
ujian. Lalala-lalala... kok bisa lulus? Lulus karbitan? Cuman orientasi nilai? Ya,
saya akan jawab semuanya IYA. Saya ngerasa 4,5 tahun saya nggak dapet apa-apa. Dan
kalaupun mau sekolah lagi melanjutkan profesi psikologi ooohh... saat ini saya
nggak siap. Saya mau “banting setir” ke dunia lain. Dunia yang saya gandrungi
sejak kelas 1 SMP, nulis. Dan saya ingin mewujudkan impian saya menjadi penulis.
Amin.
Selama ini saya hidup belum
bisa menikmati setiap proses. Sekalipun psikologi adalah keinginan pribadi tapi
ternyata selama perjalanannya juga sangat melelahkan membuat saya berulang kali
ingin berhenti. Maka dari itu dari pada saya yang ilmunya cethek ini melanjutkan profesi dan biaya tidak memadai dan profesi
psikolog itu diekspektasi-i terlalu besar oleh masyarakat, saya pilih yang lain
saja. Tapi... yang masih bisa saya gunakan ilmu psikologi saya dan tentunya
bermanfaat bagi sesama. J Itulah
keinginan saya setelah lulus dan sah pada 26 Maret mendatang.
Oh, iya, kesenangan saya
hari ini adalah akhirnya bisa berfoto bersama dengan dosen wali nan tampan. (mohon untuk pembaca yang tahu siapa dosen
wali saya termasuk teman-teman satu dosen wali, DILARANG KERAS TERTAWA dan
menarik kesimpulan). Beliau ini menggantikan dosen wali sebelumnya sekitar
pertengahan tahun 2011 –kalau tidak salah-. Dosen wali lelaki satu ini masih
muda, pebasket pula (jadi seolah ada link
yang menghubungkan saya dengan beliau tanpa langsung) dan kami berinteraksi
hanya ketika akhir atau awal semester sebatas minta tanda tangan KRS (Kartu
Rencana Studi) sa-ja. Selebihnya hanya tahu di dunia maya dan kasak-kusuk yang
berlintas lalu. (Maaf ya, Pak J). Tapi
sayang beribu sayang kok, tadi saya nggak ambil posisi foto di sebelahnya ya? -__-“
ah, sudahlah... intinya sudah senang dikasih ucapan selamat dan bersalaman. *siul-siul*.
Oke, finally Agustin Wahyuningsih, S.Psi. Ekspektasi orang meningkat
satu level, nih, nampaknya. Alkhamdulillah... (pamer nih, pamer :D). Berterima
kasih pada semua pihak yang tak dapat saya sebutkan satu per satu, semoga saya
bisa menjadi lebih dan lebih dalam kebaikan dan bisa bermanfaat bagi sesama
sehingga segera membalas kebaikan kalian semua. Amin.
Leyeh-leyeh
dulu, ah... ;)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Ditunggu kritik dan saran membangun yah :)