Sabtu, 25 Januari 2014

Halaman Persembahan Skripsiku -iseng mode on-




2014. Tahun baru. Waktunya mengisi blog ini. Lagiii... seneng, deh.
Dan kali ini untuk mengisi waktu nganggur, iseng-iseng ikutan lomba. Yang entah, kayaknya sih, nggak menang deh. Tulisan ini aku ikutin lomba nulis halaman persembahan skripsi. Tanpa bermaksud menyudutkan pihak mana pun.  Sok, cek lah, sodara-sodara :)


---------------------------------------------


HALAMAN PERSEMBAHAN

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat-Nya, skripsi yang berjudul “Kesejahteraan Psikologis Orang Dengan Lupus (ODAPUS) Wanita Usia Dewasa Awal Berstatus Menikah” ini dapat diselesaikan sebagai syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Psikologi (S.Psi).
Penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada:
1.         Dosen pembimbing yang tiap kali ditemuin selalu memancarkan aura “emang-gue-pikirin” atau “itu-derita-elo” tapi aslinya “sini-aku-bantuin-kasihan kamu” tapi (mungkin) ada embel-embel “keburu-gue-males-liat-muka-elo-bimbingan-mulu”. Terima kasih perhatiannya yang cool sok-sok jutek tapi aslinya perhatian (semoga begitu), persis tokoh di fiksi-fiksi romantis begitu, deh.
2.         Orangtua yang selalu memotivasi tapi (bisa jadi) dalam hati “shit-kamu-pinter-tapi-kok-lulusnya-telat” (Jedaarrr!! Semoga kalian tak sejahat itu, mams, paps L). But anyway, terima kasih atas uang saku yang selalu (diusahakan) mengalir buat skripsi ini. Aku serius kok, ngerjain tapi ya gitu deh, maaf molor kayak kolor.
3.         Kedua adikku yang keren yang nggak banyak berkontribusi buat penyelesaian skripsiku kecuali sebagai kurir buat ngirim uang saku ke bank dan nama kalian tertera di kolom “pengirim” di struk pengiriman uang. Nggak ada kalian, aku tiada daya dan upaya.
4.         Para partisipan skripsiku, (yang ini serius, khidmat dan bukan candaan), semoga Tuhan selalu memberi kalian kesehatan dan enyahlah duhai Lupus dari saudara-saudara ketemu gedeku! Selalu keep smile ya, Mbak-mbak kece J
5.         Sohib-sohibku yang aku repotin dari titip beli pentol pas nongkrong ngerjain di perpus (padahal DILARANG MEMBAWA MAKANAN DAN MINUMAN ke dalam perpustakaan!!!) sampai ngetranslet ringkasan ke bahasa inggris, salam peluk-cium-usap-tepukan-cubitan gemas. Kalian adalah tangan-tangan Tuhan untuk menolongku. Semoga kalian bahagia bagai di surga nirwana
6.         Tukang ngeprint, tukang foto copy, pedagang warteg, penjual pulsa, sopir angkot, tukang becak, pemilik plus penjaga toko alat tulis, tukang parkir, resepsionis kampus, penjaga perpus dan semua pihak yang memperlancar maupun memperlambat kinerjaku mengerjakan skripsi, bagaimanapun kalian adalah anugerah Tuhan tiada tara. Kalian bisa dipandang remeh tapi kalian buatku (dan buat kami yang lagi skripsi) adalah malaikat penolong yang diutus Tuhan ke bumi pertiwi ini.
7.         Buat mantan-mantan (gebetan) yang sama sekali tidak ikut berkontribusi dalam penyusunan dan penyelesaian skripsi ini tapi yakinlah, kalian mempengaruhi psikologisku selama ini.  Kalian t’lah mendewasakanku dan nih bukti aku bisa tanpamu! Untung gue jomblo (nggak jadian sama kalian) sehingga bisa meraih prestasi ini. Walau faktanya telat setaon tapi itu murni karena kemalasan yang menancap kuat sehingga menimbulkan kontroversi hati tersendiri.
8.         Buat diri penulis sendiri (tanpa bermaksud narsis apalagi justru mengurangi rasa hormat pada diri sendiri) semoga skripsimu yang 500 halaman ini tetap menggairahkan orang untuk membaca dan (tidak) menggairahkanmu menjadikannya bantal tidur. Ingat perjuangan! Setahun buat skripsi, 4 tahun 6 bulan kuliah demi Sarjana Psikologi, pliss... perjuangan peluh dan keluh adalah energi semangat termagis yang selalu sukses bikin meringis.

Sekian, ucapan terima kasih penulis  berdasarkan suara hati yang terdalam.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih memiliki banyak kekurangan, harap maklum, manusia tempatnya salah dan dosa tapi manusia wajib untuk menjaga tali silaturahim sebab bisa memperpanjang usia kita. Maka dari itu, mari kita saling memaafkan apabila terdapat kesalahan dalam skripsi ini.
Besar harapan penulis, informasi dalam skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak, terkait maupun tidak. Tiada yang lebih bermanfaat dari kehidupan kecuali berbagi kebermanfaatan. Minimal, (semoga ada yang) membaca halaman persembahan ini supaya tidak sia-sia penulis menulisnya dengan apik dan ciamik. Memang, tiada yang sia-sia dalam hidup ini. Aamiin.

 Kediri, 22 Januari 2014

Penulis


-----------------------------
*ditulis untuk event lomba menulis halaman persembahan oleh Sam @skripsit – author “Catatan Akhir Kuliah” (sumber:  http://bentangpustaka.com/lomba-menulis-halaman-persembahan-skripsi-w-sam-skripsit/ )

Kesempatan Kedua


Kesempatan Kedua

Ponsel itu menyalak lagi. Sialan! Aku sudah teramat lelah hari ini tapi kenapa dia terus menerorku?!!
Dia sudah aku enyahkan dari kamus hidupku. Orang seperti dia, sudah sepantasnya dijebloskan ke dalam lubang setan di Segitiga Bermuda sana! Ah, kebencianku meluap-luap lagi.
Ponsel itu berhenti berdering. Kemudian satu pesan masuk. Darinya.
>> Apa tak bisa kita cakap baik-baik? Awak hendak balik ke KL. Urusan awak di sini sudah usai
Aku mendengus sambil mematikan ponselku. Aku ingin tidur, besok ada meeting  pagi-pagi.
#
Aku menyeruput teh hangat di depanku sembari menunggu meeting dimulai. Aku memang datang terlalu pagi, sendiri di ruangan ini. Aku ingin segalanya sempurna di hari aku presentasi, jadi aku harus datang lebih awal menyiapkan segalanya.
Aku nyalakan TV flat yang terpajang di tembok di seberangku. Langsung muncul berita kecelakaan pesawat komersil di Juanda.
“.... Tidak ada korban jiwa dalam kecelakaan pesawat tujuan Surabaya-Kuala Lumpur ini, yang rencananya terbang tadi malam pukul delapan. Tapi ada sepuluh orang terluka dan sisanya trauma karena hentakan keras ketika pesawat mendadak berguncang hebat dan kemudian jatuh setelah beberapa detik berusaha untuk terbang landas.
Tubuhku refleks menegak.
Para penumpang yang terluka di bawa ke rumah sakit terdekat di Sidoarjo...”
Aku mendadak gusar. Aku teringat dia. Kemudian mengecek SMS darinya. Awak hendak balik ke KL. Ah, pasti dia tak termasuk.  
Tapi, mendadak aku cemas. Iya, aku mencemaskannya.
#
Aku langsung mengempaskan diri di kasur sepulang dari kantor.  Lelah. Seharian meeting, ke lapangan lalu membuat laporan karyawan. Ya, seperti itulah “makanan”ku di bagian personalia pabrik produsen produk sabun dan makanan terkemuka di Indonesia. Kesibukanku ini menyita nyaris keseluruhan fokus kehidupanku. Bahkan hanya berkumpul dengan keluargaku di Malang atau kawan dekat kuliah bisa dihitung jari berapa kali. Rasanya hidupku sepi.
Pikiranku pun terlempar ke masa lalu. Tentang dia yang datang suatu ketika meniupkan ruh semangat setiap kali berangkat bekerja. Dia datang dari negeri seberang sebagai teknisi ahli di pabrik tempat aku bekerja. Kami berkenalan ketika aku terjebak hujan dengan fixi-ku sepulang bekerja. Waktu itu aku memang mencoba sepeda baruku. Berniat hidup sehat, hehehe. Dia menolongku. Sepedaku diangkutnya ke jok belakang mobil dan aku khawatir nanti mengotori mobilnya. Dan dia menyahut. “Ini mobil kantor.” Dia  melempar senyum manis dari wajah timur-tengahnya yang khas.
“Sudah terbiasa menyetir di sini?” cetusku membuka pembicaraan kala itu.
Dia menatapku. “Ya. Awak sudah belajar menyetir selama satu tahun dulu di Jakarta.”
Aku paham jadinya. Ia sempat bekerja juga di pabrik pusat di Jakarta. Tapi aku sempat tersenyum geli ketika logat negaranya keluar. Bukan aku hendak mencemooh tapi lelaki tampan seperti dia biasanya (mungkin berusaha) berlogat elegan sebagai seorang ekspatriat. Setidaknya, seperti itulah bule-bule yang sering aku temui sebelum dia hadir di pabrik.
Semenjak itu kami semakin intim. Tapi kami tidak pacaran. Namun, aku tak bisa tak jatuh hati mendapat perhatian istimewanya padahal aku punya rekanan kerja yang cantik dan semlohai bodi gitar Spanyol. Kenapa bukan temanku itu?
Mulai titik ini aku tersenyum sengit dan getir. Lima bulan kami berhaha-hihi dan bermenye-menye seperti orang pacaran, bencana itu datang.
Aku mendapatinya bergumul di atas ranjang dengan seorang wanita yang entahlah siapa dia. Lebih bertampang wanita bayaran untuk one-night stand. Hatiku hancur lebur seperti debu yang siap lenyap diterpa badai.
Kejadian itu enam bulan lalu, sih. Masih membekas sekali sakitnya. Seiring dengan itu dia mengejarku untuk menjelaskan semuanya. Aku mendengarkan tapi bukannya meredakan sakitku malah membuatnya semakin perih.
Bagiku dia penjahat kelamin! Sungguh aku makin membencinya. Tapi yang sempat membuatku terkesima adalah kalimatnya yang menyatakan bahwa semenjak bertemu denganku, ia ingin mengakhiri semuanya. Aku tersanjung? Jelas. Akulah penakluk pria -yang tak kuduga- flamboyan. Tapi tidak. Orangtuaku pasti menyabitku kalau menikahi begundal semacamnya.
Ah, sudah, sudah. Dadaku semakin sesak mengingat peristiwa itu.
Ponselku berdering. Dari nomor asing.
Katanya dari rumah sakit di Sidoarjo, mengabarkan ada pasien bernama Rifat mencariku. Dia terkapar di rumah sakit dan terus mengigaukanku. Astaga! Jantungku jumpalitan sendiri. Terkapar? Mengigau? Mungkinkah dia menjadi korban kecelakaan semalam? Bukannya, setelah jam kecelakaan itu, dia masih menghubungiku?
Tanpa pikir panjang aku sesegera mungkin ke sana. Sesampainya di sana, aku segera ke kamarnya.
Aku melihatnya dirawat di kamar kelas dua, berisi dua orang. Tapi tempat tidur satunya kosong. Hanya dia. Menurut suster, ia baru saja tidur setelah shock akibat kecelakaan semalam. Dia tidak apa-apa. Hanya terluka di kening dan beberapa nyeri di tubuhnya. Aku bernapas lega. Untung dia selamat. Dan sialan, dia masih mengingatku ketika nyaris kehilangan nyawa!
Aku berjalan mendekatinya. Menggerak-gerakkan tanganku di atas wajahnya yang terlihat bersinar itu, memastikan ia memang tidur. Dia memang punya wajah yang cerah. Setiap orang pasti suka menatapnya berlama-lama entah sambil mengobrol maupun tidak.
Tiba-tiba dia membuka mata dan aku salah tingkah. Kemudian dia tersenyum.
“Terima kasih peduli sama awak.”
“Demi rasa kemanusiaan saja. Kata suster kamu mengigaukanku. Benar?”
“Awak selalu memikirkan Sarah.”
Aku mengibaskan tanganku. Bosan.
Dia sontak meraih tanganku. Mata kami bertukar pandangan.
“Tolong kasih maaf untuk awak,” ujarnya lalu menarik napas dalam dengan mimik wajahnya seakan menahan nyeri di dada.
Aku menatapnya cemas.
“Awak cinta sama Sarah. Awak sudah bercakap dengan Mrs. Clara untuk beberapa konseling ke depan. Awak akan berusaha berhenti bertualang. Tolong, percaya pada awak, Sarah.”
Aku terpaku. Bu Clara? Iya, dia psikiater rekanan perusahaanku. Rifat berniat berhenti bertualang demi aku? Haruskah aku percaya?
“Maaf, tidak semudah itu.”
“Plis, janganlah Sarah menutup diri. Izinkan awak masuk, memperbaiki semuanya dan kita mencobanya. Awak paham, Sarah juga cinta sama awak. Mata Sarah tak bisa bohong, kan? Please,Dear.”
Mataku panas, air mataku mulai mengalir. Aku bimbang. Haruskah aku menerimanya? Ia sudah berjanji dan sudah berusaha. Bu Clara juga beberapa waktu lalu menyampaikan Rifat datang padanya. Tapi dia tidak menjelaskan lebih lanjut kenapa Rifat mengunjunginya. Aku pun sudah tak peduli tapi dalam hati aku bertanya-tanya. Tak kusangka demi aku.
Akhirnya, aku memutuskan.
Tidak ada yang salah  di antara kita kecuali masa lalu. Yang lalu biar berlalu. Aku akan mencobanya. Asal kamu sembuh dulu. Katanya kamu mengalami trauma karena semalam.”
Rifat tersenyum mengangguk. Kemudian menggenggam tanganku erat. “Tapi, temani awak supaya lekas sembuh.”
Aku mengangguk tersenyum pula. Malam ini aku lalui dengan menemaninya. Di rumah sakit. Berdua. Syahdu.

-selesai-



 ditulis untuk event  Kuis Berhadiah Novel "(Bukan) Salah Waktu" karangan Nastiti Deny @nastiti_ds. (sumber: http://www.kampungfiksi.com/2014/01/kuis-berhadiah-novel-salah-waktu.html )