Sabtu, 25 Januari 2014

Kesempatan Kedua


Kesempatan Kedua

Ponsel itu menyalak lagi. Sialan! Aku sudah teramat lelah hari ini tapi kenapa dia terus menerorku?!!
Dia sudah aku enyahkan dari kamus hidupku. Orang seperti dia, sudah sepantasnya dijebloskan ke dalam lubang setan di Segitiga Bermuda sana! Ah, kebencianku meluap-luap lagi.
Ponsel itu berhenti berdering. Kemudian satu pesan masuk. Darinya.
>> Apa tak bisa kita cakap baik-baik? Awak hendak balik ke KL. Urusan awak di sini sudah usai
Aku mendengus sambil mematikan ponselku. Aku ingin tidur, besok ada meeting  pagi-pagi.
#
Aku menyeruput teh hangat di depanku sembari menunggu meeting dimulai. Aku memang datang terlalu pagi, sendiri di ruangan ini. Aku ingin segalanya sempurna di hari aku presentasi, jadi aku harus datang lebih awal menyiapkan segalanya.
Aku nyalakan TV flat yang terpajang di tembok di seberangku. Langsung muncul berita kecelakaan pesawat komersil di Juanda.
“.... Tidak ada korban jiwa dalam kecelakaan pesawat tujuan Surabaya-Kuala Lumpur ini, yang rencananya terbang tadi malam pukul delapan. Tapi ada sepuluh orang terluka dan sisanya trauma karena hentakan keras ketika pesawat mendadak berguncang hebat dan kemudian jatuh setelah beberapa detik berusaha untuk terbang landas.
Tubuhku refleks menegak.
Para penumpang yang terluka di bawa ke rumah sakit terdekat di Sidoarjo...”
Aku mendadak gusar. Aku teringat dia. Kemudian mengecek SMS darinya. Awak hendak balik ke KL. Ah, pasti dia tak termasuk.  
Tapi, mendadak aku cemas. Iya, aku mencemaskannya.
#
Aku langsung mengempaskan diri di kasur sepulang dari kantor.  Lelah. Seharian meeting, ke lapangan lalu membuat laporan karyawan. Ya, seperti itulah “makanan”ku di bagian personalia pabrik produsen produk sabun dan makanan terkemuka di Indonesia. Kesibukanku ini menyita nyaris keseluruhan fokus kehidupanku. Bahkan hanya berkumpul dengan keluargaku di Malang atau kawan dekat kuliah bisa dihitung jari berapa kali. Rasanya hidupku sepi.
Pikiranku pun terlempar ke masa lalu. Tentang dia yang datang suatu ketika meniupkan ruh semangat setiap kali berangkat bekerja. Dia datang dari negeri seberang sebagai teknisi ahli di pabrik tempat aku bekerja. Kami berkenalan ketika aku terjebak hujan dengan fixi-ku sepulang bekerja. Waktu itu aku memang mencoba sepeda baruku. Berniat hidup sehat, hehehe. Dia menolongku. Sepedaku diangkutnya ke jok belakang mobil dan aku khawatir nanti mengotori mobilnya. Dan dia menyahut. “Ini mobil kantor.” Dia  melempar senyum manis dari wajah timur-tengahnya yang khas.
“Sudah terbiasa menyetir di sini?” cetusku membuka pembicaraan kala itu.
Dia menatapku. “Ya. Awak sudah belajar menyetir selama satu tahun dulu di Jakarta.”
Aku paham jadinya. Ia sempat bekerja juga di pabrik pusat di Jakarta. Tapi aku sempat tersenyum geli ketika logat negaranya keluar. Bukan aku hendak mencemooh tapi lelaki tampan seperti dia biasanya (mungkin berusaha) berlogat elegan sebagai seorang ekspatriat. Setidaknya, seperti itulah bule-bule yang sering aku temui sebelum dia hadir di pabrik.
Semenjak itu kami semakin intim. Tapi kami tidak pacaran. Namun, aku tak bisa tak jatuh hati mendapat perhatian istimewanya padahal aku punya rekanan kerja yang cantik dan semlohai bodi gitar Spanyol. Kenapa bukan temanku itu?
Mulai titik ini aku tersenyum sengit dan getir. Lima bulan kami berhaha-hihi dan bermenye-menye seperti orang pacaran, bencana itu datang.
Aku mendapatinya bergumul di atas ranjang dengan seorang wanita yang entahlah siapa dia. Lebih bertampang wanita bayaran untuk one-night stand. Hatiku hancur lebur seperti debu yang siap lenyap diterpa badai.
Kejadian itu enam bulan lalu, sih. Masih membekas sekali sakitnya. Seiring dengan itu dia mengejarku untuk menjelaskan semuanya. Aku mendengarkan tapi bukannya meredakan sakitku malah membuatnya semakin perih.
Bagiku dia penjahat kelamin! Sungguh aku makin membencinya. Tapi yang sempat membuatku terkesima adalah kalimatnya yang menyatakan bahwa semenjak bertemu denganku, ia ingin mengakhiri semuanya. Aku tersanjung? Jelas. Akulah penakluk pria -yang tak kuduga- flamboyan. Tapi tidak. Orangtuaku pasti menyabitku kalau menikahi begundal semacamnya.
Ah, sudah, sudah. Dadaku semakin sesak mengingat peristiwa itu.
Ponselku berdering. Dari nomor asing.
Katanya dari rumah sakit di Sidoarjo, mengabarkan ada pasien bernama Rifat mencariku. Dia terkapar di rumah sakit dan terus mengigaukanku. Astaga! Jantungku jumpalitan sendiri. Terkapar? Mengigau? Mungkinkah dia menjadi korban kecelakaan semalam? Bukannya, setelah jam kecelakaan itu, dia masih menghubungiku?
Tanpa pikir panjang aku sesegera mungkin ke sana. Sesampainya di sana, aku segera ke kamarnya.
Aku melihatnya dirawat di kamar kelas dua, berisi dua orang. Tapi tempat tidur satunya kosong. Hanya dia. Menurut suster, ia baru saja tidur setelah shock akibat kecelakaan semalam. Dia tidak apa-apa. Hanya terluka di kening dan beberapa nyeri di tubuhnya. Aku bernapas lega. Untung dia selamat. Dan sialan, dia masih mengingatku ketika nyaris kehilangan nyawa!
Aku berjalan mendekatinya. Menggerak-gerakkan tanganku di atas wajahnya yang terlihat bersinar itu, memastikan ia memang tidur. Dia memang punya wajah yang cerah. Setiap orang pasti suka menatapnya berlama-lama entah sambil mengobrol maupun tidak.
Tiba-tiba dia membuka mata dan aku salah tingkah. Kemudian dia tersenyum.
“Terima kasih peduli sama awak.”
“Demi rasa kemanusiaan saja. Kata suster kamu mengigaukanku. Benar?”
“Awak selalu memikirkan Sarah.”
Aku mengibaskan tanganku. Bosan.
Dia sontak meraih tanganku. Mata kami bertukar pandangan.
“Tolong kasih maaf untuk awak,” ujarnya lalu menarik napas dalam dengan mimik wajahnya seakan menahan nyeri di dada.
Aku menatapnya cemas.
“Awak cinta sama Sarah. Awak sudah bercakap dengan Mrs. Clara untuk beberapa konseling ke depan. Awak akan berusaha berhenti bertualang. Tolong, percaya pada awak, Sarah.”
Aku terpaku. Bu Clara? Iya, dia psikiater rekanan perusahaanku. Rifat berniat berhenti bertualang demi aku? Haruskah aku percaya?
“Maaf, tidak semudah itu.”
“Plis, janganlah Sarah menutup diri. Izinkan awak masuk, memperbaiki semuanya dan kita mencobanya. Awak paham, Sarah juga cinta sama awak. Mata Sarah tak bisa bohong, kan? Please,Dear.”
Mataku panas, air mataku mulai mengalir. Aku bimbang. Haruskah aku menerimanya? Ia sudah berjanji dan sudah berusaha. Bu Clara juga beberapa waktu lalu menyampaikan Rifat datang padanya. Tapi dia tidak menjelaskan lebih lanjut kenapa Rifat mengunjunginya. Aku pun sudah tak peduli tapi dalam hati aku bertanya-tanya. Tak kusangka demi aku.
Akhirnya, aku memutuskan.
Tidak ada yang salah  di antara kita kecuali masa lalu. Yang lalu biar berlalu. Aku akan mencobanya. Asal kamu sembuh dulu. Katanya kamu mengalami trauma karena semalam.”
Rifat tersenyum mengangguk. Kemudian menggenggam tanganku erat. “Tapi, temani awak supaya lekas sembuh.”
Aku mengangguk tersenyum pula. Malam ini aku lalui dengan menemaninya. Di rumah sakit. Berdua. Syahdu.

-selesai-



 ditulis untuk event  Kuis Berhadiah Novel "(Bukan) Salah Waktu" karangan Nastiti Deny @nastiti_ds. (sumber: http://www.kampungfiksi.com/2014/01/kuis-berhadiah-novel-salah-waktu.html )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ditunggu kritik dan saran membangun yah :)