Kesempatan Kedua
Ponsel itu menyalak lagi. Sialan! Aku sudah teramat
lelah hari ini tapi kenapa dia terus menerorku?!!
Dia sudah
aku enyahkan dari kamus hidupku. Orang seperti dia, sudah sepantasnya dijebloskan
ke dalam lubang setan di Segitiga Bermuda sana! Ah, kebencianku meluap-luap
lagi.
Ponsel itu berhenti berdering. Kemudian satu pesan
masuk. Darinya.
>> Apa tak
bisa kita cakap baik-baik? Awak hendak balik ke KL. Urusan awak di sini sudah
usai
Aku mendengus sambil mematikan ponselku. Aku ingin
tidur, besok ada meeting pagi-pagi.
#
Aku menyeruput teh hangat di depanku sembari menunggu meeting dimulai. Aku memang datang terlalu
pagi, sendiri di ruangan ini. Aku ingin segalanya sempurna di hari aku
presentasi, jadi aku harus datang lebih awal menyiapkan segalanya.
Aku nyalakan TV flat yang terpajang di tembok di
seberangku. Langsung muncul berita kecelakaan pesawat komersil di Juanda.
“.... Tidak ada
korban jiwa dalam kecelakaan pesawat tujuan Surabaya-Kuala Lumpur ini, yang
rencananya terbang tadi malam pukul delapan. Tapi ada sepuluh orang terluka dan
sisanya trauma karena hentakan keras ketika pesawat mendadak berguncang hebat
dan kemudian jatuh setelah beberapa detik berusaha untuk terbang landas.”
Tubuhku refleks menegak.
“Para penumpang yang terluka di bawa ke rumah
sakit terdekat di Sidoarjo...”
Aku mendadak gusar. Aku teringat dia. Kemudian mengecek SMS
darinya. Awak
hendak balik ke KL. Ah, pasti dia tak termasuk.
Tapi, mendadak aku cemas. Iya, aku mencemaskannya.
#
Aku langsung mengempaskan diri di kasur sepulang dari
kantor. Lelah. Seharian meeting,
ke lapangan lalu membuat laporan karyawan. Ya, seperti itulah “makanan”ku di
bagian personalia pabrik produsen produk sabun dan makanan terkemuka di
Indonesia. Kesibukanku ini menyita nyaris keseluruhan fokus kehidupanku. Bahkan
hanya berkumpul dengan keluargaku di Malang atau kawan dekat kuliah bisa dihitung
jari berapa kali. Rasanya hidupku sepi.
Pikiranku pun terlempar ke masa lalu. Tentang dia yang datang suatu ketika
meniupkan ruh semangat setiap kali berangkat bekerja. Dia datang dari negeri seberang sebagai
teknisi ahli di pabrik tempat aku bekerja. Kami berkenalan ketika aku terjebak
hujan dengan fixi-ku sepulang bekerja. Waktu itu aku memang mencoba sepeda
baruku. Berniat hidup sehat, hehehe. Dia menolongku. Sepedaku diangkutnya ke
jok belakang mobil dan aku khawatir nanti mengotori mobilnya. Dan dia menyahut.
“Ini mobil kantor.” Dia melempar senyum manis
dari wajah timur-tengahnya yang khas.
“Sudah terbiasa menyetir di sini?” cetusku membuka
pembicaraan kala itu.
Dia menatapku. “Ya. Awak sudah belajar menyetir selama
satu tahun dulu di Jakarta.”
Aku paham jadinya. Ia sempat bekerja juga di pabrik
pusat di Jakarta. Tapi aku sempat tersenyum geli ketika logat negaranya keluar.
Bukan aku hendak mencemooh tapi lelaki tampan seperti dia biasanya (mungkin
berusaha) berlogat elegan sebagai seorang ekspatriat. Setidaknya, seperti
itulah bule-bule yang sering aku temui sebelum dia hadir di pabrik.
Semenjak itu kami semakin intim. Tapi kami tidak
pacaran. Namun, aku tak bisa tak jatuh hati mendapat perhatian istimewanya
padahal aku punya rekanan kerja yang cantik dan semlohai bodi gitar Spanyol.
Kenapa bukan temanku itu?
Mulai titik ini aku tersenyum sengit dan getir. Lima
bulan kami berhaha-hihi dan bermenye-menye seperti orang pacaran, bencana itu datang.
Aku mendapatinya bergumul di atas ranjang dengan seorang
wanita yang entahlah siapa dia. Lebih bertampang wanita bayaran untuk one-night stand. Hatiku hancur
lebur seperti debu yang siap lenyap diterpa badai.
Kejadian itu enam bulan lalu, sih. Masih membekas
sekali sakitnya. Seiring dengan itu dia mengejarku untuk menjelaskan semuanya.
Aku mendengarkan tapi bukannya meredakan sakitku malah membuatnya semakin
perih.
Bagiku dia penjahat
kelamin! Sungguh aku
makin membencinya. Tapi yang sempat membuatku terkesima adalah kalimatnya yang
menyatakan bahwa semenjak bertemu denganku, ia ingin mengakhiri semuanya. Aku
tersanjung? Jelas. Akulah penakluk pria -yang tak kuduga- flamboyan. Tapi
tidak. Orangtuaku pasti menyabitku kalau menikahi begundal semacamnya.
Ah, sudah, sudah. Dadaku semakin sesak mengingat
peristiwa itu.
Ponselku berdering. Dari nomor asing.
Katanya dari rumah sakit di Sidoarjo, mengabarkan ada
pasien bernama Rifat mencariku. Dia terkapar di rumah sakit dan terus
mengigaukanku. Astaga! Jantungku jumpalitan sendiri. Terkapar? Mengigau?
Mungkinkah dia menjadi korban kecelakaan semalam? Bukannya, setelah jam
kecelakaan itu, dia masih menghubungiku?
Tanpa pikir panjang aku sesegera mungkin ke sana.
Sesampainya di sana, aku segera ke kamarnya.
Aku melihatnya dirawat di kamar kelas dua, berisi dua
orang. Tapi tempat tidur satunya kosong. Hanya dia. Menurut suster, ia baru
saja tidur setelah shock akibat kecelakaan semalam. Dia tidak
apa-apa. Hanya terluka di kening dan beberapa nyeri di tubuhnya. Aku bernapas
lega. Untung dia selamat. Dan sialan, dia masih mengingatku ketika nyaris
kehilangan nyawa!
Aku berjalan mendekatinya. Menggerak-gerakkan tanganku
di atas wajahnya yang terlihat bersinar itu, memastikan ia memang tidur. Dia
memang punya wajah yang cerah. Setiap orang pasti suka menatapnya berlama-lama
entah sambil mengobrol maupun tidak.
Tiba-tiba dia membuka mata dan aku salah tingkah.
Kemudian dia tersenyum.
“Terima kasih peduli sama awak.”
“Demi rasa kemanusiaan saja. Kata suster kamu
mengigaukanku. Benar?”
“Awak selalu memikirkan Sarah.”
Aku mengibaskan tanganku. Bosan.
Dia sontak meraih tanganku. Mata kami bertukar
pandangan.
“Tolong kasih maaf untuk awak,” ujarnya lalu menarik
napas dalam dengan mimik wajahnya seakan menahan nyeri di dada.
Aku menatapnya cemas.
“Awak cinta sama Sarah. Awak sudah bercakap dengan
Mrs. Clara untuk beberapa konseling ke depan. Awak akan berusaha berhenti
bertualang. Tolong, percaya pada awak, Sarah.”
Aku terpaku. Bu Clara? Iya, dia psikiater rekanan
perusahaanku. Rifat berniat berhenti bertualang demi aku? Haruskah aku percaya?
“Maaf, tidak semudah itu.”
“Plis, janganlah Sarah menutup diri. Izinkan awak
masuk, memperbaiki semuanya dan kita mencobanya. Awak paham, Sarah juga cinta
sama awak. Mata Sarah tak bisa bohong, kan? Please,Dear.”
Mataku panas, air mataku mulai mengalir. Aku bimbang.
Haruskah aku menerimanya? Ia sudah berjanji dan sudah berusaha. Bu Clara juga
beberapa waktu lalu menyampaikan Rifat datang padanya. Tapi dia tidak
menjelaskan lebih lanjut kenapa Rifat mengunjunginya. Aku pun sudah tak peduli
tapi dalam hati aku bertanya-tanya. Tak kusangka demi aku.
Akhirnya, aku memutuskan.
“Tidak ada yang salah di antara kita
kecuali masa lalu. Yang
lalu biar berlalu. Aku akan mencobanya. Asal kamu sembuh dulu. Katanya kamu
mengalami trauma karena semalam.”
Rifat tersenyum mengangguk. Kemudian menggenggam
tanganku erat. “Tapi, temani awak supaya lekas sembuh.”
Aku mengangguk tersenyum pula. Malam ini aku lalui
dengan menemaninya. Di rumah sakit. Berdua. Syahdu.
-selesai-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Ditunggu kritik dan saran membangun yah :)